Sunday, 1 December 2019

Realisme Hukum Amerika Serikat dan Realisme Hukum Skandinavia



Realisme Hukum Amerika Serikat dan Realisme Hukum Skandinavia

A.    Realisme Hukum Amerika Serikat
Aliran Realisme Amerika Serikat merupaka kumpulan pemikiran yang beragam, tetapi mempunyai satu fokus pandangan yang sama tentang hukum. Realisem hukum berarti studi tentang hukum sebagai suatu yang benar-benar secara nyata dilaksanakan, ketimbang sekedar hukum sebagai aturan yang teruat dalam perundang-undang. Adapun karakteristik pendekatan aliran realis terhadap problem-problem ilmu hukum mencakup:
·         Suatu penyelidikan kedalam unsur-unsur khas dari kasus-kasus
·         Suatu kesadaran tentang faktor-faktor iraasional faktor-faktor tidak logis dalm pembuatan putusan hakim
·         Penafsirantentang aturan-aturan hukum melalui evaluasiterhadap konsekuensi-konsekuensi praktis dari aturan-aturan tersebut
·         Suatu perhatian terhadap hukum dalam kaitannya dengan politik, ekonomi, dan lain-lain.
Holmes, sebagai hakim agung pada Mahkamah Agung Amerika, telah mengilhami gerakan kaum realis di Amerika Serikat, dengan peryataan fundamental bahwa para juris tidak seharusnya puas dengan bentukbentuk dangkal dari kata-kata, semata-mata hanya karena kata-kata bersangkuta telah sangat sering digunakan dan telah diulang-ulang dari salah satu ujung “union” keujung lainnya. Sehingga harus memikirkan ha-hal, bukannya kata-kata, atau sekurang-kuragnya harus secara konstan menerjemahkan kata-kata kedalam fakta-fakta yang diwakiliny jika hendak mengikuti sesuatu yang nyata dan benar, jadi esensi penegasan Holmestentang pengujian fakta-fakta. Menurut Holmes kehidupan hukum bukan logika, melainkan pengalaman (the life of the law has been, not logic, but experience). Adapun kritikan terhadap realisme  hukum Amerika, yakni:
1.      Pemikiran realisme ala Amerika Serikat hanya munkin diterapkan di negara dimana bagian terbesar hukumnya dikembangkan melalui pengadilan-pengadilan seperti di Amerika Serikat, padahal di dalam kenyataanya, banyak negara dan masyarakat yang tidak seperti Amerika serikat. Sehingga hapir tidak diterapkan di negara-negara atau masyarakat-masyarakat yang menggunakan sistem yang menuangkan sebagian besar hukumya ke dalam perundang-undangan.
2.      Pendekatan realis tidak dapat diterapkan pada kasus-kasus sulit, yaitu dalam hal undang-undangnya tiak jelas atau belum ada secara eksplit. Dimana hukum sudah pasti dan jelas, maka hakim hanya sedikit melakukan pilihan yaitu menemukan aturan mana yang akan digunakannya untuk kasus konkret yang dihadapnya atau menerapkan hukum. Namun menurut prof. Achmad Ali, keterlibatan hakim secara priadi dalam putusan-putusannya, tidak hanya ada kalau aturannya kurang jelas, sebab undang-undang hanya mengatur hal-hal yang sifatnya umum, dan hakimlah yang selalu menghubungkan dan mencocokkannya dengan kasus-kasus konkret yang diadilinya, dengan menggunakan interpretasi.
Meskipun secara umum penganut realisme hukum berpandangan bahwa yang dimaknakan sebagai hukum adalah putusa hakim, dan bukan undang-undang, karena undang-undang hanyalah sumber hukum, dan baru menjadi hukum setelah dijelmakan dalam putusan hakim. Tetapi di kalngan kaum realis sendiri terdapat dua sayap yaitu:
1.      The sociological wing of realism, inti ajarannya adalah bahwa ada beraneka ragam kekuatan sosial yang memaksadan mempengaruhi penilaian hakim terhadap fakta-fakta dari kasus yang sdang dihadapinya, yang mana, kekuatan sosialitulah yang menentukan lahirnya putusan hakim, ketimbang aturan-aturan hukum.
2.      The indiosyncracy wing of realism yang menekankan pada pengaruh faktor psikologis dan kepribadian individu.
Dengan demikian sayap sosiologis dalam realisme merupakan embrio mazhab sosiologis sedangkan syap indiosyncray dalam realisme merupakan embrio mazhab legal psikologis.

B.     Realisme Hukum Skandinavia
Realisme Skandinavia sejalan dengan realisme Amerika Serikar, yaitu secara umum menolak das sollen dalam studi hukum dan berpaling jauh dari spekulasi yang bersifat metafisik dan berpaling jauh dari spekulasiyang bersifat metafisikdan beralih ke investigasi tentang fakta-fakta dari sistem-sistem hukum. Meskipun demikian terdapat perbedaan antara realisme Amerika Serikat dan Skandinavia, yaitu:
1.      Realisme Amerika Serikat lebih menaruh perhatian terhadap aspek-aspek perilaku pengadilan ketimbang terhadap pertanyaan-pertanyaan hukum yang dihasilkan dari perhatian terhadap sifat dan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang
2.      Dasar filsafat Skandinavia adalah penolakan terhadap konsep tentang pikiran (mind) yang encakup fenomena-fenomena mental, yang merupakan tiak lebih dari reaksi-reaksi otak.
3.      Bagi kaum realisme Skandinavia, yang disebut “ide-ide”, semata-mata merupakan rasionalisasi-rasionalisasi dari eksistensi objektif, ide-ide itu semata-mata ungkapan verbal dari reaksi-reaksi terhadap fakta-fakta dan kondisi-kondisi (lingkungan-lingkungan) eksternalnya.
Lundstedt, seorang professor hukum Swedia, mengikuti Hagerstrom dalam penolakannya secara total terhadap argumen yang bersifat metafisik. Menurut Lundstedt, hukum hanyalah merupakan fakta-fakta esksistensi sosila, sedangkan selain itu tidak lebih hanya sekedar ilusi. Suatu sistem hukum mencerminkan aspirasi-aspirasi sosial yang secarasistematik mengorganisir fakta sosial, maka tujuan-tujuan sistem itu aka muncul pula secara jelas.
Penganut lainnya, Olivecrona, seorang juris swedia menggap tidak perlu mendifinisikan hukum. Metode analisis yang digunakannya mencakupi penyelidikan tentang keseluruhan fakta yang ada dalam istilah “aturan-aturan hukum”. Olivecrona menekankan bahwa, atruran-aturan hukum, meskipun bukan merupakan perintah nyata, etapi diberikan dalam bentuk perintah.  Kata-kata apa yang digunaka, arti dari aturan adalah suatu tindakan ini harus dilakukan dalam kondisi-kondisi demikian dan demikian, hak ini harus muncul dari fakta-fakta yang demikian dan demikian, pejabat itu harus mempunyai kekuasaan ini atau itu, dan lain-lain. Olivecrona mengistilahkan aturan-aturan yang bersifat paksaandenga istilah “aturan-aturan primer”, sedangkat aturan-aturan bagi tingka laku warga yag bersifat privat (perdata) diistilahkan sebagai “aturan-aturan sekunder”.
Penganut relisme Skandinavia berpandangan, bahwa para warga mengasumsikan perintah-perintah yang bersifat independen itu sbagai perintah-perintah yang harus ditaati, karena mereka memang telah dikondisikan untuk berfikir dengan cara ini. Tetapi aturan-aturan yang berdasarkan perintah-perintah independen itu harus tampak masuk akal dan sanksi-sanksi yang menyertainya harus bersifat tetap dan tidak memihak.



Sumber:
Achmad Ali, 2009, “Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradialan”, Jakarta: Kencana

1 comment:

  KETERKAITAN TEORI KEADILAN DENGAN PAJAK AIR TANAH Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pajak air tanah adalah pajak atas pengambila...