Realisme Hukum Amerika Serikat dan Realisme
Hukum Skandinavia
A. Realisme
Hukum Amerika Serikat
Aliran Realisme Amerika Serikat merupaka kumpulan
pemikiran yang beragam, tetapi mempunyai satu fokus pandangan yang sama tentang
hukum. Realisem hukum berarti studi tentang hukum sebagai suatu yang
benar-benar secara nyata dilaksanakan, ketimbang sekedar hukum sebagai aturan yang
teruat dalam perundang-undang. Adapun karakteristik pendekatan aliran realis
terhadap problem-problem ilmu hukum mencakup:
·
Suatu
penyelidikan kedalam unsur-unsur khas dari kasus-kasus
·
Suatu
kesadaran tentang faktor-faktor iraasional faktor-faktor tidak logis dalm
pembuatan putusan hakim
·
Penafsirantentang
aturan-aturan hukum melalui evaluasiterhadap konsekuensi-konsekuensi praktis
dari aturan-aturan tersebut
·
Suatu
perhatian terhadap hukum dalam kaitannya dengan politik, ekonomi, dan
lain-lain.
Holmes, sebagai hakim agung pada Mahkamah Agung
Amerika, telah mengilhami gerakan kaum realis di Amerika Serikat, dengan
peryataan fundamental bahwa para juris tidak seharusnya puas dengan
bentukbentuk dangkal dari kata-kata, semata-mata hanya karena kata-kata bersangkuta
telah sangat sering digunakan dan telah diulang-ulang dari salah satu ujung
“union” keujung lainnya. Sehingga harus memikirkan ha-hal, bukannya kata-kata,
atau sekurang-kuragnya harus secara konstan menerjemahkan kata-kata kedalam
fakta-fakta yang diwakiliny jika hendak mengikuti sesuatu yang nyata dan benar,
jadi esensi penegasan Holmestentang pengujian fakta-fakta. Menurut Holmes
kehidupan hukum bukan logika, melainkan pengalaman (the life of the law has
been, not logic, but experience). Adapun kritikan terhadap realisme hukum Amerika, yakni:
1.
Pemikiran
realisme ala Amerika Serikat hanya munkin diterapkan di negara dimana bagian
terbesar hukumnya dikembangkan melalui pengadilan-pengadilan seperti di Amerika
Serikat, padahal di dalam kenyataanya, banyak negara dan masyarakat yang tidak
seperti Amerika serikat. Sehingga hapir tidak diterapkan di negara-negara atau
masyarakat-masyarakat yang menggunakan sistem yang menuangkan sebagian besar
hukumya ke dalam perundang-undangan.
2.
Pendekatan
realis tidak dapat diterapkan pada kasus-kasus sulit, yaitu dalam hal
undang-undangnya tiak jelas atau belum ada secara eksplit. Dimana hukum sudah
pasti dan jelas, maka hakim hanya sedikit melakukan pilihan yaitu menemukan
aturan mana yang akan digunakannya untuk kasus konkret yang dihadapnya atau
menerapkan hukum. Namun menurut prof. Achmad Ali, keterlibatan hakim secara
priadi dalam putusan-putusannya, tidak hanya ada kalau aturannya kurang jelas,
sebab undang-undang hanya mengatur hal-hal yang sifatnya umum, dan hakimlah
yang selalu menghubungkan dan mencocokkannya dengan kasus-kasus konkret yang
diadilinya, dengan menggunakan interpretasi.
Meskipun secara umum penganut realisme hukum
berpandangan bahwa yang dimaknakan sebagai hukum adalah putusa hakim, dan bukan
undang-undang, karena undang-undang hanyalah sumber hukum, dan baru menjadi
hukum setelah dijelmakan dalam putusan hakim. Tetapi di kalngan kaum realis
sendiri terdapat dua sayap yaitu:
1.
The
sociological wing of realism, inti ajarannya adalah bahwa ada beraneka ragam
kekuatan sosial yang memaksadan mempengaruhi penilaian hakim terhadap
fakta-fakta dari kasus yang sdang dihadapinya, yang mana, kekuatan sosialitulah
yang menentukan lahirnya putusan hakim, ketimbang aturan-aturan hukum.
2.
The
indiosyncracy wing of realism yang menekankan pada pengaruh faktor psikologis
dan kepribadian individu.
Dengan demikian sayap sosiologis dalam realisme
merupakan embrio mazhab sosiologis sedangkan syap indiosyncray dalam realisme
merupakan embrio mazhab legal psikologis.
B. Realisme
Hukum Skandinavia
Realisme Skandinavia sejalan dengan realisme Amerika
Serikar, yaitu secara umum menolak das sollen dalam studi hukum dan berpaling
jauh dari spekulasi yang bersifat metafisik dan berpaling jauh dari
spekulasiyang bersifat metafisikdan beralih ke investigasi tentang fakta-fakta
dari sistem-sistem hukum. Meskipun demikian terdapat perbedaan antara realisme
Amerika Serikat dan Skandinavia, yaitu:
1.
Realisme
Amerika Serikat lebih menaruh perhatian terhadap aspek-aspek perilaku pengadilan
ketimbang terhadap pertanyaan-pertanyaan hukum yang dihasilkan dari perhatian
terhadap sifat dan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang
2.
Dasar
filsafat Skandinavia adalah penolakan terhadap konsep tentang pikiran (mind)
yang encakup fenomena-fenomena mental, yang merupakan tiak lebih dari
reaksi-reaksi otak.
3.
Bagi
kaum realisme Skandinavia, yang disebut “ide-ide”, semata-mata merupakan
rasionalisasi-rasionalisasi dari eksistensi objektif, ide-ide itu semata-mata
ungkapan verbal dari reaksi-reaksi terhadap fakta-fakta dan kondisi-kondisi
(lingkungan-lingkungan) eksternalnya.
Lundstedt, seorang professor hukum Swedia, mengikuti
Hagerstrom dalam penolakannya secara total terhadap argumen yang bersifat
metafisik. Menurut Lundstedt, hukum hanyalah merupakan fakta-fakta esksistensi
sosila, sedangkan selain itu tidak lebih hanya sekedar ilusi. Suatu sistem
hukum mencerminkan aspirasi-aspirasi sosial yang secarasistematik mengorganisir
fakta sosial, maka tujuan-tujuan sistem itu aka muncul pula secara jelas.
Penganut lainnya, Olivecrona, seorang juris swedia
menggap tidak perlu mendifinisikan hukum. Metode analisis yang digunakannya
mencakupi penyelidikan tentang keseluruhan fakta yang ada dalam istilah
“aturan-aturan hukum”. Olivecrona menekankan bahwa, atruran-aturan hukum,
meskipun bukan merupakan perintah nyata, etapi diberikan dalam bentuk
perintah. Kata-kata apa yang digunaka,
arti dari aturan adalah suatu tindakan ini harus dilakukan dalam
kondisi-kondisi demikian dan demikian, hak ini harus muncul dari fakta-fakta
yang demikian dan demikian, pejabat itu harus mempunyai kekuasaan ini atau itu,
dan lain-lain. Olivecrona mengistilahkan aturan-aturan yang bersifat
paksaandenga istilah “aturan-aturan primer”, sedangkat aturan-aturan bagi
tingka laku warga yag bersifat privat (perdata) diistilahkan sebagai
“aturan-aturan sekunder”.
Penganut relisme Skandinavia berpandangan, bahwa
para warga mengasumsikan perintah-perintah yang bersifat independen itu sbagai
perintah-perintah yang harus ditaati, karena mereka memang telah dikondisikan
untuk berfikir dengan cara ini. Tetapi aturan-aturan yang berdasarkan
perintah-perintah independen itu harus tampak masuk akal dan sanksi-sanksi yang
menyertainya harus bersifat tetap dan tidak memihak.
Sumber:
Achmad
Ali, 2009, “Menguak Teori Hukum Dan Teori
Peradialan”, Jakarta: Kencana
ReplyDeleteشركة تنظيف بالقصيم
شركة نقل عفش بالقصيم
شركة مكافحة حشرات بالقصيم