Sunday, 1 December 2019

Aliran dan Pemikiran Feminisme



BERBAGAI ALIRAN DAN PEMIKIRAN FEMINISME

Pemikiran dan teori feminis lahir dari suatu refleksi atas realitas ketidak adilan sosial yang dialami perempuan dalam dunia hukum. Para pemikir feminist legal theory percaya bahwa tatanan sosial dibentuk dan didefinisikan dari perspektif laki-laki dan untuk kepentingan laki-laki. Demikian pula hukum diciptakan dan dibangun dari perspektif laki-laki sebagai instrumen untuk melanggengkan posisi subordinasi perempuan dihadapan laki-laki.[1]
Perkembangan sejarah dan realitas sosial yang dihadapi perempuan telah melahirkan berbagai gerakan, pemikiran dan teori feminis, yang kemudian menjadi landasan bagi pemikiran feminist legal theory. Pemikiran feminis kemudian dipemetakan dalam tiga gelombang besar yang masing-masing memiliki ciri-ciri tersendiri, yaitu;  feminism gelombang pertama dimulai sejak 1800an, yang melahirkan pemikiran-pemikiran dan aliran-aliran feminis, seperti  feminism liberal,  feminism radikal, serta  feminism marxis dan sosialis. Feminism gelombang kedua yang berkembang pada awal-awal tahun 1960an, yang berorientasi pada kegiatan yang sifatnya teoritis, seperti mempengaruhi pemikiran New Left (Kiri Baru) dan melahirkan paham feminism kulturan atau eksistensialis. Feminism gelombang ketiga merupakan paham feminism yang kemunculannya mengikuti atau bersinggungan dengan pemikiran-pemikiran kontemporer, seperti feminism postmodernisme, poskolonial, multikultur dan global.[2]
Berikut ini beberapa aliran besar dalam feminism dan feminist legal theory:
1.      Feminisme Liberal
Feminisme liberal berpandangan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan otonomi setiap individu. Perempuan adalah makhluk rasional yang juga sama dengan laki-laki, karenanya harus diberi hak dan diperlakukan sama dengan laki-laki untuk mengembangkan kapasitas nalar dan moralnya, diantaranya memberikan akses yang sama atas pendidikan, dan pilihan-pilihan kesempatan untuk bekerja atau di rumah, serta hak politik yang sama dengan laki-laki.[3]
Meskipun terdapat perdebatan untuk mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, mustikah mereka diperlakukan sama ataukan berbeda, namun pada akhirnya, sebagian mereka percaya bahwa ”hukum yang spesifik gender adalah lebih baik daripada hukum yang netral gender dalam memastikan kesetaraan di antara dua jenis kelamin.”[4]
Feminis liberal percaya bahwa untuk mencapai kesetaraan perlu perjuangan melalui pendekatan hukum dengan cara mereformasi sistem yang ada agar perempuan memiliki hak yang sama di bidang politik, pendidikan, dan kesempatan kerja.[5]
Kritik Terhadap Feminisme Liberal
1.         Menekankan persamaan perempuan dan laki-laki (sameness), namun perlu diertanyakan:
·      Dapatkah perempuan menjadi seperti laki-laki?
·      Apakah perempuan menginginkannya?
·      Apakah perempuan harus menginginkannya?
2.         Perempuan tidak hidup dengn nalar dan otonomi semata, atau perempuan tidak dapat hanya didefinisikan sebagai manusia yang berakal atau otonom
3.         Feminisme Liberal sebgai rasis, klasis, dan heteroseksis (Eksklusif perempuan kulit putih, kelas menengah, heteroseksual)
Kemudian yang menjadi permasalahan terkait pertanyaan: apakah kesetaraan gender paling baik dicapai dengan menekankan “ke-satu-an” perempuan sebagi gender, atau dalam “keberagaman” mereka sebagai individual, “kesamaan” antara perempuan dan laki-laki atau “perbedaan” di antara keduanya?. Berdasarkan dinamika pemikiran Betty Friedan, maka dapat disimpulkan bahwa:
·         Pada buku pertama, The Feminine Mystique, 1963, Friedan kurang menyadari perspektif lain selain perspektif perempuan terdidik, heteroseksual, yang sorotannya pada keluarga kaya AS.
·         Perempuan kontemporer perlu mendapatkan pekerjaan yang bermakna di sektor publik secara penuh waktu.
·         Ketidakhadiran ibu/istri di rumah akan membuat suami dan anak-anak menjadi lebih mandiri.
·         Meski kurang respek terhadap istri yang penuh pengabdian dan ibu yang memanjakan, Friedan tidak menuntut perempuan untuk mengorbankan perkawinan. Pencapaian identitas diri, kesetaraan, dan kekuasaan politik tidak berarti perempuan berhenti dari kebutuhan mencintai dan dicintai.
·         Sama seperti Wollstonecraft, Taylor dan Mill, Friedan berpendapat: membatasi perempuan hanya sebagai istri dan ibu (tanpa karier), sama dengan membatasi perempuan untuk tidak bisa berkembang sebagai manusia seutuhnya.
·         Kesalahan yang dipaparkan dalam “mistik feminin” adalah: perempuan terlalu tinggi “menghargai” perkawinan & motherhood dan melihat kedua lembaga itu sebagai jawaban terhadap seluruh kebutuhan dan keinginan perempuan.
Namun pemikiran tersebut mendapat kritikan karena:
·         Buku tesebutb gagal menanggapi isu perempuan yang lebih besar daripada sekadar “masalah tak bernama” (the problem that has no name).
·         Friedan “mengirim” perempuan ke luar rumah/ke ranah publik tanpa memanggil laki-laki memasuki ranah personal/domestik.
·         Salah memahami, betapa sulit mengombinasikan karier dengan perkawinan dan motherhood, kecuali dilakukan perubahan struktural besar-besaran dalam dan di luar rumah tangga.
Meskipun demikian, dari berbagai literatur yang ada dapat disimpulkan bahwa fokus pembahasan feminisme liberal bersumber pada:
1.      Mary Wollstonecraft (A Vindication Rights of The Woman, 1779)
2.      John Stuart Mill & Harriet Taylor Mill (Early Essay on Marriage and Divorce, 1832; Enfranchisement of Women, 1851; The Subjection of Women)
3.      Betty Friedan (The Feminine Mystique, 1963; The Second Stage, 1981; The Fountain of Age, 1993)
4.      NOW (National Organization for Women)
Dari ke-4 pemikiran tersebut, apapun kelemahannya, tujuan umum dari feminisme liberal adalah menciptakan “masyarakat yang adil dan peduli tempat kebebasan berkembang”. Hanya dalam masyarakat seprti itu, perempuan dan laki-laki dapat mengembangkan diri.

2.      Feminisme Radikal
Feminisme radikal lahir dari aktivitas dan analis politik mengenai hak-hak sipil dan gerakan perubahan sosial pada tahun 1950an dan 1960an, serta gerakan-gerakan wanita yang ramai sekitar tahun 60 dan 70an. Mahzab ini dapat dilacak melalui para pendukungnya. Lewat karya Vindication of the Rights of Women, Mary Wollstonecraft pada tahun 1797 menganjurkan kemandirian wanita dalam bidang ekonomi. Maria Stewart, salah satu feminis kulit hitamn pertama pada tahun 1830an mengusulkan penguatan relasi di antara wanita kulit hitam. Elizabeth Cuddy Stanton pada tahun 1880an menentang hak-hak seksual laki-laki terhadap wanita dan menyerang justifikasi keagamaan yang menindas wanita. (dalam Suharto, 2006).
Feminis radikal juga dikembangkan dari gerakan kiri baru (new left) yang menyatakan bahwa perasaan-perasaan keterasingan dan ketidakberdayaan pada dasarnya diciptakan secara politik dan karenanya transformasi personal melalui aksi-aksi radikal merupakan cara dan tujuan yang paling baik. Mazhab ini secara fundamental menolak agenda feminisme liberal mengenai kesamaan hak wanita. Berseberangan dengan feminis liberal yang menekankan kesamaan antara wanita dan laki-laki, feminis radikal menekankan pada perbedaan antara wanita dan laki-laki.
Menurut Suharto, inti ajaran feminis radikal adalah sebagai berikut:
a.     The personal is political adalah slogan yang sering digunakan oleh feminis radikal. Maknanya bahwa pengalaman-pengalaman individual wanita mengenai ketidakadilan dan kesengsaraan yang oleh para wanita dianggap sebagai masalah personal, pada hakekatnya adalah isu-isu politik yang berakar pada ketidakseimbangan kekuasaan antara wanita dan laki-laki.
b.     Memprotes eksploitasi wanita dan pelaksanaan peran sebagai istri, ibu, dan pasangan sex laki-laki, serta menganggap perkawinan sebagai bentuk formalisasi pendiskriminasian terhadap wanita.
c.     Menggambarkan sexisme sebagai sistem sosial yang terdiri dari hukum, tradisi, ekonomi, pendidikan, lembaga keagamaan, ilmu pengetahuan, bahasa, media massa, moralitas seksual, perawatan anak, pembagian kerja, dan interaksi sosial sehari-hari. Agenda tersembunyi dari sistem sosial itu adalah memeberikan kekuasaan laki-laki melebihi wanita.
d.    Masyarakat harus diubah secara menyeluruh. Lembaga-lembaga sosial yang paling fundamental harus diubah secara fundamental pula. Para feminis radikal menolak perkawinan bukan hanya dalam teori, melainkan sering pula dalam praktek.
e.     menolak sistem hirarkis yang berstrata berdasarkan garis gender dan kelas, sebagaimana diterima oleh feminis liberal.
Feminis radikal pada dasarnya mempunyai 3 pokok pikiran sebagai berikut:
1.      Bahwa perempuan mengalami penindasan, dan yang menindas adalah laki-laki. Kekuasaan laki-laki ini harus dikenali dan dimengerti, dan tidak boleh direduksi menjadi kekuasaan kapitalis, misalnya.
2.      Bahwa perbedaan gender yang sering disebut maskulin dan feminin sepenuhnya adalah konstruksi sosial atau diciptakan oleh masyarakat, sebenarnya tidak atas dasar perbedaan alami perempuan dan laki-laki. Maka yang diperlukan adalah penghapusan peran perempuan dan laki-laki yang diciptakan oleh masyarakat di atas tadi.
3.      Bahwa penindasan oleh laki-laki adalah yang paling utama dari seluruh bentuk penindasan lainnya, di mana hal ini menjadi suatu pola penindasan.
Pemikiran ini berkembang dan feminis radikal adalah aliran yang paling dekat ke munculnya feminis lesbian dan yang mengajukan kritik terhadap heteroseksual sebagai orientasi yang diharuskan atau disebut sebagai normal. Selanjutnya pemikiran ini berpendapat bahwa wanita boleh tidak bersuami, boleh tidak mengandung dan menyusui. bahkan pemikiran lain menyatakan, adanya sekulerisme. Oleh karena itu lah slogan yang sering didengungkan dari feminisme radikal adalah “hak untuk memilih”.
Dalam feminisme radikal ada beberapa aliran lagi di antaranya feminisme radikal libertarian. Salah satu dari feminis radikal libertarian yang pertama bersikeras menyatakan bahwa akar tekanan dan penindasan terhadap perempuan sudah terkubur dalam di dalam sistem seks/gender di dalam patriarki adalah Kate Millett. Millet berpendapat dalam bukunya Sexual Politics (1970), bahwa seks adalah politis, terutama karena hubungan laki-laki dan perempuan merupakan paradigma dari semua hubungan kekuasaan. Ideologi patriarki, menurut Millett, membesar-besarkan perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki selalu mempunyai peran yang dominan dari pada perempuan.
Seperti Millet, Shulamith Firestone dalam karyanya Dialectic of Sex, mengklaim bahwa dasar material ideologi seksual/politik dari submisi perempuan dan dominasi laki-laki berakar pada peran reproduksi laki-laki dan perempuan. Menurut Firestone dibutuhkan lebih dari revolusi biologis dan sosial, untuk menghasilkan jenis pembebasan manusia yaitu reproduksi buatan (ex utero) akan harus menggantikan reproduksi alami (in Utero).
Firestone bersikeras bahwa tidak akan ada perubahan fundamental bagi perempuan selama reproduksi alamiah tetap menjadi keharusan. Menurutnya, reproduksi alamiah adalah akar dari kejahatan, terutama kejahatan yang muncul dari rasa memiliki, yang menghasilkan rasa kebencian dan kecemburuan di antara manusia.
Feminisme radikal libertarian menolak asumsi bahwa ada hubungan yang pasti antara jenis kelamin seseorang dengan gender seseorang. Mereka mengklaim bahwa gender adalah terpisah dari jenis kelamin dan masyarakat patriakal menggunakan peran gender yang kaku, untuk memastikan bahwa perempuan tetap pasif. Karena itu, cara bagi perempuan untuk menghancurkan kekuasaan laki-laki yang tidak layak atas perempuan adalah dengan pertama-tama menyadari bahwa perempuan tidak ditakdirkan utnuk menjadi pasif, seperti juga laki-laki tidak ditakdirkan untuk menjadi aktif. Feminisme radikal libertarian yakin bahwa semakin sedikit perempuan terlibat di dalam proses reproduksi, semakin banyak waktu dan tenaga yang dapat digunakan untuk terlibat di dalam proses produktif masyarakat.
Aliran lain dari feminisme radikal adalah feminisme radikal kultural. Marilyn French berpendapat bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan lebih kepada biologi daripada kepada sosialisasi. Dalam bukunya Beyond Power, French mengisyaratkan bahwa sifat tradisional perempuan lebih baik daripada sifat tradisional laki-laki. Stratifikasi laki-laki yang di atas perempuan pada gilirannya mengarahkan kepada stratifikasi kelas. French mengklaim, bahwa nilai-nilai feminim harus direintegrasikan ke dalam masyarakat laki-laki yang telah diciptakan oleh ideologi patriakal.
Mary Daly, merendahkan nilai-nilai maskulin tradisional. Dalam bukunya Beyond God The Father, Mary Daly menolak istilah maskulin dan feminin secara keseluruhan, sebagai produk kebingungan patriarki. Daly menyimpulkan bahwa perempuan harus menolak apa yang tampaknya merupakan aspek “baik” dari feminitas, dan juga menolak aspek yang sudah jelas-jelas “buruk” karena kesemua itu merupakan “konstruksi yang dibuat laki-laki”, yang dibentuk untuk kepentingan menjebak perempuan di dalam penjara patriarki yang dalam.
Kritik Terhadap Feminisme Radikal
Karena memfokuskan serangannya pada keberadaan institusi keluarga dan sistem patriarki, dimana keluaraga dianggap sebagai institusi yang melegitimasi dominasi laki-laki (patriarki), sehingga perempuan tertindas. Sehingga cenderung membenci laki-laki sebagai individu dan mengajak perempuan untuk mandiri, bahkan tanpa perlu keberadaan laki-laki dalam kehidupan perempuan. kemudian Elsa Gidlow mengemukakan teori bahwa menjadi lesbian adalah telah terbebas dari dominasi laki-laki, baik internal maupun eksternal. Bahkan Martha Shelley selanjutnya memperkuat bahwa perempuan lesbian perlu dijadikan model sebagai perempuan mandiri.
Karena keradikalannya, teori ini mendapat kritikan yang tajam, bukan saja dari kalangan sosiolog, tetapi juga dari kalangan feminis sendiri. Tokoh feminis liberal tidak setuju sepenuhnya dengan teori ini. Persamaan total antara laki-laki dan perempuan pada akhirnya akan merugikan perempuan sendiri. Laki-laki yang tidak terbebani oleh masalah reproduksi akan sulit diimbangi oleh perempuan yang tidak bisa lepas dari beban ini.

3.      Feminisme Marxis Dan Sosialis
Rosemarie Putnam Tong, menyatakan bahwa perbedaan feminism marxis dan sosialis lebih merupakan masalah penekanan daripada masalah substansi.[6] Feminisme marxis melihat bahwa masalah ketertindasan perempuan terletak pada masalah kelas yang menyebabkan perbedaan fungsi dan peran perempuan. Penindasan tersebut terjadi melalui produk politik, social dan struktur ekonomi yang berkaitan erat dengan sistem kapitalisme.[7]
Mereka percaya bahwa kekuatan ekonomi dan posisi ekonomi yang lebih baik bagi perempuan merupakan jawaban untuk mengakhiri penindasan terhadap perempuan.[8] Sementara feminisme sosialis lebih menekankan penindasan gender dibandingkan penindasan kelas sebagai salah satu sebab penindasan perempuan. Feminism sosialis setuju dengan feminism marxis bahwa pembebasan perempuan bergantung pada penghapusan kapitalisme, namun mereka mengklaim bahwa kapitalisme tidak mungkin dihancurkan kecuali patrairkhi juga dihancurkan.
Bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi karena ideologi patriarkhi. Bahkan sekalipun kapitalisme telah dihancurkan, perempuan akan tetap menjadi subordinat laki-laki, hingga perempuan dan laki-laki terbebaskan dari pemikiran patriakh yang menempatkan perempuan kurang setara dari laki-laki.[9]
Kritik Terhadap Feminisme Radikal
Kritikan ini muncul ketika Mictchell memaparkan bahwa interseksionalisme bergantung pada poltik identitas, yaitu pendekatan borjuis dan individualitas terhadap perjuangan yang tidak menghiraukan keadaan material seputar gender dan relasi gender, hal ini untuk berfokus kepada mereformasikan kapitalisme sebagai cara emansipasi berkaitan “gaji yang setara untuk kerja yang setara”, dengan menggunaka politik identitas sebagai cara menentan sistem penindasan.  Politik identitas menganggap bahwa dasar dari perjuangan adalah distribusi individualisme yang setara. Jadi individualisme yang meningkat sebagai akibat krisis kapitalisme menjelma dalam politik identitas bahkan pada mereka yang mengaku antikapitalisme sehingga dianggap tidak menghiraukan gender hanya berfokus secara berlebihan kepada kelas.

4.      Feminisme Psikoanalisis dan Gender
Ini adalah hal aneh lainnya yang dilakukan Tong, membelah feminis psikoanalisis dan gender sebagai hal yang berdiri sendiri. Menurut Tong feminis psikoanalisis dan gender melingkupi pencarian penjelasan dasar atas cara bertindak perempuan yang berakar dalam psike terutama cara berpikir yang merupakan proses akumulasi pengalaman masa kecil. Feminis gender (kadang-kadang disebut feminis kultural) cenderung berpendapat bahwa mungkin ada perbedaan biologis dan juga perbedaan psikologis atau penjelasan kultural atas maskulinitas dan feminitas perempuan (Tong 2004,190).
Ketika Freud mengintroduksi psikologi (fenomena Oedipus kompleks dsbnya), efek lanjutnya kajian ini mempengaruhi banyak cara pandang tidak terkecuali feminisme. Anak laki-laki yang berkembang sempurna menurut Freud (dalam Tong 2004, 191) ketika ia menjadi laki-laki yang menunjukkan sifat maskulin dan sebaliknya begitu pula dengan perempuan. Dalam hal ini (versi Freud) terdapat “standarisasi” gender deterministik biologis, efeknya kelainan dari standar yang telah ditentukan akan diposisikan menyimpang.
Betty Friedan, seorang feminis psikoanalis, melakukan kritik atas teoritisasi psikologi Freud. Friedan (dalam Tong 2004,197) berpendapat pengajegan seks dan hubungannya dengan aspek psikologis tidak dapat diterima karena hal itu membuat perempuan dalam kondisi pasif, reseptif, bergantung pada orang lain dan selalu mencari tujuan akhir kehidupan seksual mereka yaitu “hamil”. Sementara Millet (dalam Tong 2004,198) menyatakan bahwa konsep kecemburuan bukan determinisme biologis.
Dinnerstein (dalam Tong 2004,205) mengidentifikasi 5 karakteristik hubungan gender masa kini yaitu (1) keposesifan seksual laki-laki yang lebih besar dikarenakan ketidakmampuan mengatasi ibunya secara total dimasa lalu sehingga ia membalasnya kepada istri atau kekasihnya, (2) pembisuan dorongan impulsif erotisme perempuan, (3) perasaan bersalah yang lebih membebani perempuan, (4) perempuan dipandang suatu benda sementara pria dipandangi sebagai “saya”, dan (5) ambivalensi terhadap tubuh (kekecewaan atas keterbatasan tubuh).
Feminis gender (terkadang disebut feminis kultural) juga tertarik pada perbedaan psike perempuan dan laki-laki tetapi bedanya feminis gender tidak menekankan analisa pada perkembangan psike dalam masa perkembangan anak tetapi psikomoral. Psikomoral yaitu perkembangan nilai-nilai seseorang. Menurut Kohlberg (dlam Tong 2004,225) perkembangan moral terdiri dari 6 tahapan yaitu (1) orientasi hukuman dan kepatuhan, (2) orientasi relativis instrumental, (3) kesesuaian intrapersonal (menjadi anak laki-laki dan perempuan yang baik dan manis), (4) orientasi hukum dan tatanan, (5) orientasi legalistik sosial kontrak, dan (6) orientasi prinsip etis universial (model Kantian).

Kritik Terhadap Feminisme Psikoanalisis dan Gender
Berdasarkan kritikan menurut Giligan perihal bahwa indikator penilaian Kohlberg tidak akurat mengukur perkembangan moral laki-laki dan perempuan. Dengan melakukan penelitian kuantitatif atas 29 perempuan hamil tentang aborsi atau tidak, Giligan menyimpulkan (berdasarkan hasil penelitiannya) bahwa berapapun umur, apapun kelas sosial, status perkawinan ataupun latar etnis mereka setiap perempuan ini memanifestasi suatu cara berpikir  tentang masalah moral yang sangat berbeda dari laki-laki.
Pengkategorisasian “feminis gender” oleh Tong dapat  memunculkan kesan ambigu seiring sayap kata “gender” terlalu panjang dan lebar. Mengapa tidak mengganti penamaan feminis gender sebagai feminis psikoanalis moral atau feminis psiko-moral?

5.      Feminisme Eksistensialis
Sebelum pemakaian kategorisasi feminis eksistensialis digunakan serampangan, sebaiknya terdapat pengertian dasar yang dipahami bersama. Teks eksistensialis nantinya akan mengacu pada teks Beauvoir dimulai dari Sartre yang terintertekstual dengan pemikir sebelumnya seperti Heidegger, Nietzche, Kierkegaard, Berdyaev, Francis Ponge atau Dostoyevsky. Menjelaskan istilah dan konsep menjadi penting agar terhindar dari kesalahan maksud dan penggunaan.
Satu kalimat populer Satre yang (mungkin) dapat menggambarkan eksistensialisme secara cepat ialah “eksistensi mendahului esensi (existence precedes essence)” (Sartre 2007, 22). Kalimat ini menjelaskan bahwa tidak ada esensi, yang ada hanya eksistensi.
Eksistensi manusia ditentukan oleh dirinya sendiri, tidak ada sesuatu esensial yang menubuh. Efeknya ialah rontoknya sifat alamiah/nature manusia karena menurut eksistensialis “sifat alamiah” itu sesuatu yang tidak ada.
Tujuan dari eksistensialisme ini ialah membangkitkan kesadaran “siapa kita” dan juga memberikan pemandangan bahwa apa yang kita lakukan secara sadar dan nyata membentuk “siapa kita”. Sartre (2007,22,23), bapak eksistensialis ini, menulis “man is nothing other than what he makes of himself…man is responsible for what he is”. Tentunya teks ini tidak terkurung literal untuk pria semata tetapi juga untuk perempuan atau semua manusia. Dapat diambil kesimpulan sederhana judul buku Sartre Existentialism is a Humanisn memberi gambaran eksistensialisme bersentrum pada manusia itu sendiri/antroposentris.
Eksistensialisme berusaha mengeleminasi penjelasan non-manusia atas manusia dan melawan dehumanisasi. Selain memprovokasi untuk menganalisa masalah eksistensi, hal ini juga memprovokasi kedalam tahap aksi/tindakan. Sesuatu hal yang perlu bagi feminisme secara partikular (kesesuaian topik tulisan ini).
Tong berargumen (2004, 259) dari semua kategori yang diajukan Sartre, “Ada untuk yang lain” barangkali adalah yang paling tepat untuk diterapkan dalam analisis feminis. Menurut Sartre (dalam Tong 2004) hubungan manusia adalah variasi dari dua bentuk dasar tema konflik; konflik antara kesadaran yang saling bersaing yaitu antara Diri dan Liyan. Pertama, ada cinta yang pada dasarnya bersifat masokistik dan kedua, ketidakpedulian, hasrat dan kebencian yang sifatnya sadistik. Penyatuan tanpa pelarutan ini adalah mimpi yang tidak akan menjadi kenyataan. 
Teks eksistensialis yang implisit mengarah ke feminism dilakukan oleh Simone de Beauvoir dalam karya Le Deuxieme Sexe/The Second Sex (1949). Karya ini menjadi istimewa karena tidak hanya penjelasan yang kompleks mengenai kondisi “ke-aku-an perempuan” tetapi juga tahun terbitnya hanya 4 tahun setelah Perang Dunia II zona eropa berakhir dimana kondisi material (infrastruktur dsbnya) dan immaterial (ide, psike) masih dalam lingkup rusak dan trauma.
Beauvoir berangkat dari ketidakpuasan penjelasan perempuan yang dilakukan oleh ahli biologi, psikoanalisis Freud maupun para ekonom Marxis (Tong 2004, 263), misalnya Beauvoir memuji sekaligus memberikan kritikan terhadap penjelasan opresi perempuan dalam metode historis materialis karya Engels (The Origin of the Family).
Beauvoir berpendapat (2010, 185,188) penjelasan Engels memberikan cahaya kebenaran penjelasan bahwa manusia bukan spesies semata tetapi realitasnya terbentuk secara fakta historis ekonomi dan sosial namun penjelasannya tidak memadai. Engels menjelaskan kesejarahan ini secara esensial dari sejarah perubahan teknologi (modus produksi) yang awalnya (zaman batu) dua jenis kelamin ini setara kemudian seiring perubahan produksi, kepemilikan, pembagian kerja, keduanya (perempuan, pria) tidak setara lagi. Kesemuanya berporos pada transisi dari rezim komunitarian ke kepemilikan pribadi tanpa menjelaskan bagaimana hal tersebut bisa terjadi (tidak terdapat penjelasan detail). Sama ketidakjelasan apakah kepemilikan pribadi sudah pasti menuntun keperbudakan perempuan? Kemudian mengarahkan konflik jenis kelamin (hirarki,patriarki) ke kelas.
Beauvoir melakukan eksplorasi dibagian yang biasanya pemikiran/pendapat diberlakukan taken for granted oleh kaum Marxis. Meskipun simpulan akhir Engels begitu meyakinkan dan berwaktu panjang bahwa kesetaraan akan terwujud apabila kesetaraan ekonomi terwujud lebih dahulu (masyarakat sosialisme), Beauvoir tidak terburu-buru untuk sampai diujung tersebut melainkan mengembangkan analisa pada prosesnya khususnya eksistensi yang bukan menjadi fokus Engels. Bahkan pada kondisi ujung tersebut menurut Tong (2004, 266) perempuan sangat mungkin akan tetap menjadi liyan dalam masyarakat sosialis atau dengan kata lain perubahan ke masyarakat sosialis tidak serta merta/otomatis merubah relasi perempuan dan laki-laki.
Menurut Tong (2004, 266,267), Beauvoir mencari penjelasan yang lebih mengenai mengapa laki-laki menamai laki-laki sang Diri dan perempuan sang Liyan. Beauvoir melakukan penelusuran mitos perempuan pada 5 pengarang laki-laki dimana perempuan direpresentasikan mencari naluri kebinatangan murni dalam perempuan, menuntut perempuan untuk merefleksikan seksualitas feminis, saudara sejiwa, menghubungkan dengan alam dan sesuatu yang di-idealkan. Dalam setiap kasus terdapat hal fundamental yang sama yaitu perempuan didorong untuk melupakan, mengabaikan atau menegasikan dirinya sendiri. Perempuan diarahkan menjadi pelengkap laki-laki, menyelamatkan kekasih mereka, mengorbankan tubuh mereka atau ringkasnya membentuk kepercayaan bahwa perempuan yang ideal dipuja laki-laki adalah perempuan yang percaya tugas mereka untuk mengobarkan diri menyelamatkan laki-laki.
Beauvoir (dalam Tong 2004, 271-273), memperlihatkan tiga jenis contoh perempuan yang memainkan peran sampai ke puncaknya yaitu perempuan pelacur, narsis dan mistis. Untuk perempuan pelacur sangatlah kompleks (sebagai Liyan, objek, eksploitasi) karena peran ia mainkan tidak hanya untuk kebutuhan ekonomi tetapi juga penghargaan atas ke-Liyan-an yang ia dapatkan sebagai alat pemenuhan mimpi laki-laki “kemakmuran dan ketenaran” beda halnya dengan istri atau kekasih. Hetaira (perempuan panggilan, atau perempuan penghibur kelas atas dalam masyarakat Yunani Kuno) lebih mempunyai banyak power dibandingkan perempuan jalanan. Laki-laki lebih banyak membutuhkannya dibandingkan mereka membutuhkan laki-laki. Tong memberikan contoh dari koleganya yang berpendapat bahwa perempuan jenis itu lebih mempunyai kekuatan dan cara untuk meremehkan serta mempermalukan laki-laki baik sebagai laki-laki ataupun intelektualitasnya. Untuk perempuan narsis, eksistensinya merupakan hasil dari ke-Liyan-annya yaitu merasa putus asa sebagai subjek karena tidak diperkenankan terlibat dalam kegiatan mendefiniskan diri dan arena kegiatan femininnya tidaklah memberikan kepuasan. Perempuan kemudian menjadi objek pentingnya sendiri, mempercayai dirinya suatu objek – keyakinan yang ditegaskan kebanyakan orang disekitarnya. Perempuan terpesona dan mungkin menjadi obsesif terhadap citranya sendiri (wajah, tubuh, pakaiannya). Ia menjadikan dirinya sangat penting karena tidak ada objek penting yang dapat diaksesnya. Ia menjadi sintesis mustahil dari Ada untuk dirinya sendiri (pour-soi) dan Ada pada dirinya sendiri (en-soi). Pada akhirnya Ia terikat oleh kebutuhan untuk memenuhi hasrat laki-laki dan selera masyarakat. Sedangkan untuk perempuan mistis, Ia tidak dapat membedakan antara Tuhan dan laki-laki. Kesemua tragedi peran itu bukanlah konstruksi oleh perempuan sendiri melainkan proses pengumpanan untuk mendapatkan persetujuan dari dunia maskulin dalam masyarakat produktif. Tetapi karena perempuan (seperti juga pria) tidak memiliki esensi maka ia dapat mendefinisi ulang perannya. Tidak ada esensi feminitas yang abadi yang mencetak identitas siap pakai.
Untuk emansipasi, Beauvoir (dalam Tong 2004, 274) memberikan 4 strategi yaitu (1) perempuan bekerja, (2) menjadi intelektual, (3) bekerja untuk transformasi masyarakat sosialis dan (4) mandiri. Tentu dalam hal ini terlihat bagaimana Beauvoir tidak secara total menegasi Marxisme tetapi bersepakat sebagian terutama tatanan masyarakat sosialis dibandingkan tetap dalam kungkungan masyarakat kapitalis. Kalimat Beavouir yang banyak menginspirasi feminis yaitu “one is not born a woman, but, rather, becomes one”.

Kritik Terhadap Feminisme Eksistensialis
Tidak ada karya tanpa kritik, begitu juga karya Beauvoir yang dihujani kritik. Elstain berpendapat buku ini (The Second Sex) tidak dapat diakses oleh mayoritas perempuan karena “imanensi dan transendensi”, “essensi dan eksistensi”, “Ada bagi dirinya sendiri dan Ada pada dirinya sendiri” adalah ide yang tidak muncul dari pengalaman langsung hidup perempuan tetapi abstraksi spekulasi sang filsuf ketika duduk di kursi goyang. Beauvoir juga kecewa atas pendapat sekolega eksistensialis yaitu Camus yang menganggap buku ini penyerangan sangat naïf terhadap maskulinitas. Kemudian tanggapan dingin Partai Komunis Lokal yang menganggap buku ini sebagai katalog bodoh dari keluhan perempuan yang mengalihkan perjuangan kelas sesungguhnya. Tetapi diantara hujan kritik itu, sebanyak 22.000 eksamplar terjual habis dalam minggu pertama publikasi buku tersebut dan yang paling menyenangkan Beauvoir adalah antusias respondensi pembaca melalui surat-surat yang diterimanya.
Ada satu pemikir perempuan lagi yang karyanya cukup besar di abad 20 tetapi di dalam karyanya tidak menjelaskan feminisme secara eksplisit yaitu Hannah Arendt. Karya Arendt lebih luas kepada politik. Memaksa memasukkan Arendt kedalam feminisme hanya karena Arendt seorang perempuan akan membuat paragraf ini menjadi paragraf terlemah ditulisan ini.

6.      Feminisme Postmodern
Feminist postmodern memandang bahwa ketertindasan perempuan terjadi karena mengalami alienasi yang disebabkan oleh cara berada, berfikir dan bahasa perempuan yang tidak memungkinkan terjadinya keterbukaan, pluralism, diversifiksi dan perbedaan.
Alienasi tersebut terjadi secara seksual, psikologis dan sastra dengan bertumpu pada bahasa sebagai sistem. Dengan kata lain perempuan dilihat sebagai ”yang lain”, yang memiliki perbedaan cara berada, berpikir dan ”berbahasa” yang berbeda dari laki-laki. Sedangkan, selama ini aturan-aturan simbolis yang berlaku sarat sarat dengan “aturan laki-laki” yang sangat maskulin. Hal ini yang menyebabkan penindasan terhadap perempuan terus terjadi secara berulang.[10]

Kritik Terhadap Feminisme Postmodern
Sejumlah kritikus menolak feminisme posmodern bagi kalangan akademik. Alasan dari para kritikus ttersebut ialah feminisme postmodern sulit untuk dimengerti dan menyalahkan feminisme postmodern karena berada di posisi yang salah karena seperti perdebatan ang terjadi mengenai perbedaan hak antaa perempuan dan laki-laki. Hal tersebut terjadi karena mereka hanya melihat realitas sebatas text dan terkadang permpuan tidak femenism sedangkan laki-laki tidak maskulin. Semua itu terjadi karena semangat mereka mengadakan pembongkaran dan keberagaman (pluralism). Namun kelebihannya dapat dilihat dari contoh kasus mengenai Lady Gaga dalam bibgkai post modern sangat sesuai karena aliran postmodern dapat menjelaskan perilaku Lady Gaga sebagai seorang wanita yang bebas tanpa dikekang oleh aturan yang ada di masyarakat.

7.      Feminisme Multikultural Dan Global/Post Kolonial
Feminisme multikultural dan global memiliki kesamaan dalam cara pandangnya mengenai perempuan yang dilihat sebagai Diri yang terfragmentasi (terpecah). Fragmentasi ini lebih bersifat budaya, rasial, dan etnik daripada seksual, psikologis, dan sastrawi. Keduanya menentang “esensialisme perempuan” yang memandang “perempuan” secara platonic, yang seolah setiap perempuan, dengan darah dan daging dapat sesuai dalam satu ketegori.[11]
Adapun perbedaan keduanya, feminism multikultural didasarkan atas pandangan bahwa dalam satu negara, semua perempuan tidak diciptakan atau dikonstruksikan secara setara. Bergantung pada ras dan kelas, dan juga kecenderungan seksual, usia, agama, pencapaian pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, kondisi kesehatan, dan sebagainya, dimana setiap perempuan akan mengalami opresi sebagai seorang perempuan secara berbeda pula.[12]
Sementara feminism global berfokus pada hasil opresif kebijakan dan praktek kolonial dan nasionalis, dimana “pemerintahan besar” dan “bisnis besar” membagi dunia ke dalam apa yang disebut sebagai “dunia pertama” (yang berpunya) dan “dunia ketiga” (yang tak berpunya). Menurut mereka opresi terhadap perempuan di satu bagian di dunia seringkali disebabkan oleh apa yang terjadi di bagian dunia yang lain, bahwa tidak akan ada perempuan bebas hingga semua kondisi opresi terhadap perempuan dihancurkan dimanapun juga.[13]
Feminisme global atau post kolonial juga berpandangan bahwa pengalaman perempuan dunia pertama berbeda dengan pengelaman perempuan dunia ketiga, dimana perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama.

Kritik Terhadap Feminisme Multikultural Dan Global/Post Kolonial
Adanya ketegangan-ketegangan dalam upaya merajut harmoni para feminis global seperti pro-kontranya terhadap agenda internasional yang melibatkan multi aktor (baik negara maupun non-negara).  Pada tahun 1975, PBB mendeklarasikan tahun 1975-1985 sebagai Dasawarsa Perempuan (konferensi awal Mexico City 1975, konferensi tengah di Kopenhagen 1980, konferensi akhir di Nairobi – Kenya 1985). Lebih dari 2.000 delegasi dari 140 negara menghadiri pertemuan terakhir itu. 13.000 delegasi berpartisipasi dalam forum 85 yaitu konfederasi 157 LSM. Feminis global menyambut hangat agenda tersebut tetapi terdapat kekwatiran yaitu terpinggirkannya isu perempuan oleh isu politik dikarenakan beberapa hal yaitu: didukung oleh organisasi patriarkal “PBB” menimbulkan banyak masalah, kepentingan perempuan terpinggirkan dan lebih memperhatikan kepentingan Big Brother, isu politik yang dibawa delegasi yang telah dipesan oleh pemerintah utusan mereka cenderung lebih besar daripada isu perempuan (misalnya delegasi negara komunis, Asia, Amerika Latin dan Afrika), naiknya isu zionisme, rasisme dan imperialisme barat, klise politik dan pidato, pertikaian Timur-Barat dan Utara-Selatan. Pemimpin delegasi  Amerika Serikat, Mauren Reagan, mengintisarikan Konferensi Nairobi sebagai “pesta hipokritas politik dan ideologi”
Tegangan intra-feminis global juga ditambahkan dengan ketegangan inter-feminis global dan multicultural dalam payung absolutisme etis versus relativisme etis dalam mengkaji dan mengadvokasi masalah. Dari sudut ini dapat diperoleh pemandangan bahwa secara praktik dalam mengartikulasikan feminisme terdapat tegangan-tegangan yang kadangkala tidak untuk diselesaikan dalam bentuk suatu kesimpulan monolitik.
8.      Ekofeminisme
Ekofeminisme yakin bahwa manusia adalah saling berhubungan satu sama lain dan berhubungan juga dengan dunia bukan manusia, atau alam. Ekofeminisme berpendapat bahwa ada hubungan konseptual, simbolik, dan linguistic antara feminis dan isu ekologi. Asumsi dasar dunia dibentuk oleh bingkai pikir konseptual patriarkhal yang opresif, yang bertujuan menjelaskan, membenarkan, dan menjaga hubungan dominatif, khususnya dominasi laki-laki atas perempuan.
Cara berfikir patriarkhis yang hirarkhism dualistic, dan opresif telah merusak perempuan dan alam. Hal ini karena perempuan “dinaturalisasi”, ketika digambarkan melalui acuan terhadap binatang, missal, “sapi, serigala, ayam, ular, anjing betina, otak burung, otak kuda, dll”. Demikian pula alam “difeminisasi” ketika “ia” diperkosa, dikuasai, ditakhlukkan, dikendalikan, dipenetrasi, dikalahkan, dan ditambang oleh laki-laki, atau ketika “ia” dihormati atau disembah sebagai “ibu” yang paling mulia dari segala ibu.[14]
Bahwa penindasan manusia terhadap alam juga berakibat pada penindasan pada manusia lainnya. Karenanya menyelamatkan manusia berarti menyelamatakan alam dan juga sebaliknya.

Kritik Terhadap Feminisme Ekofeminisme
Karena kita tidak dapat melihat persoalan perempuan dan alam secara persial. Sehingga perjuangan perempuan dan alam harus dielaborasi demi mencapai keadilan dan kesetaraan untuk perempuan, jika tidak ia hanya memberikan keadilan semu dan dipakai untuk perjuangan kelompok lain yang mengatasnamakan perempuan. Erjuangan perempuan dengan berpegang pada adat dan spiritualitas yang esensialistik tidak memandang perempuan secara setara, dan pada akhirnya tidak melihat persoaan secara holistik. Bagi feminisme, perjuangan melindungi alam berbasis keadilan terhadap perempuan dengan berani membongjar peindasan partiarkal yang masih bersarang di sana. Feminisme sebagai upaya untuk melawan naturisme dan esensialisme, yang artinya, ia berupaya menghapus seksisme.
Gagasan ini penting dalam pemikiran ekofeminisme, karena lgika ini berhasil mendeteksi bahw secara konseptual seksisme beririsan dengan naturisme, jangan sampai kita mempertahankan logika dominasi dalam memperjuangkan alam dan menggunakan konsep “ibu bumi” untuk kepentingan budaya patriaki. Sehingga perjuangan ekofeminisme harus konsisten dan konsekuen barulah ia akan mendekat pada keadilan dan kesetaraan.







DAFTAR PUSTAKA
Hilman Phew Fauzi, 2012, “Teori-Teori Feminisme”, diakses melalui: https://www.scribd.com/doc/78230719/Teori-teori-feminis#download, Pada hari Rabu tanggal 8 Mei 2019
Danang Arif Nugroho dan Ady Apriliawan, 2011, “Teori Feminisme Liberal”, diakses melalui: https://wwwa.scribd.com/doc/70900255/Teori-Feminisme-Liberal#download, Pada hari Rabu tanggal 8 Mei 2019
Wibiono. 2011, “Teori Feminisme Radikal”, diakses melalui : https://www.scribd.com/doc/74024284/Teori-Feminisme-Radikal#download, Pada hari Rabu tanggal 8 Mei 2019
Diakes  melalui: https://lakilakibaru.or.id/feminist-legal-theory-sebuah-tinjauan-singkat/, Pada hari Rabu tanggal 8 Mei 2019
Diakses melalui: http://muhaiminzul.lecture.ub.ac.id/2017/01/feminisme-suatu-pengantar-singkat/, Pada hari Rabu tanggal 8 Mei 2019


[1] Irianto, Sulistyawati, 2009, Op. Cit., hlm. 256., diakses melalui: https://lakilakibaru.or.id/feminist-legal-theory-sebuah-tinjauan-singkat/
[2] Arifia, Gadis, 2003, Filsafat Berperspektif Feminis. Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta. hlm. 84., diakses melalui: https://lakilakibaru.or.id/feminist-legal-theory-sebuah-tinjauan-singkat/ 
[3] Tong, Rosemarie Putnam, 2008, Feminist Thought. Jalasutra, Yogyakarta. Hlm. 18-21., diakses melalui: https://lakilakibaru.or.id/feminist-legal-theory-sebuah-tinjauan-singkat/
[5] Arifia, Gadis, 2003, Op. Cit, hlm 99 ., diakses melalui: https://lakilakibaru.or.id/feminist-legal-theory-sebuah-tinjauan-singkat/
[6] Tong, Rosemarie Putnam, 2008, Op. Cit., hlm 139., diakses melalui: https://lakilakibaru.or.id/feminist-legal-theory-sebuah-tinjauan-singkat/ 
[7] Arifia, Gadis, 2003, Op. Cit., hlm. 111., diakses melalui: https://lakilakibaru.or.id/feminist-legal-theory-sebuah-tinjauan-singkat/ 
[9] ong, Rosemarie Putnam, 2008, Op. Cit., hlm 177., diakses melalui: https://lakilakibaru.or.id/feminist-legal-theory-sebuah-tinjauan-singkat/
[11]  Tong, Rosemarie Putnam, 2008, Op. Cit., hlm. 309., diakses melalui: https://lakilakibaru.or.id/feminist-legal-theory-sebuah-tinjauan-singkat/

No comments:

Post a Comment

  KETERKAITAN TEORI KEADILAN DENGAN PAJAK AIR TANAH Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pajak air tanah adalah pajak atas pengambila...