BERBAGAI ALIRAN DAN PEMIKIRAN
FEMINISME
Pemikiran dan teori
feminis lahir dari suatu refleksi atas realitas ketidak adilan sosial yang
dialami perempuan dalam dunia hukum. Para pemikir feminist legal theory percaya bahwa tatanan sosial
dibentuk dan didefinisikan dari perspektif laki-laki dan untuk kepentingan
laki-laki. Demikian pula hukum diciptakan dan dibangun dari perspektif
laki-laki sebagai instrumen untuk melanggengkan posisi subordinasi perempuan
dihadapan laki-laki.[1]
Perkembangan sejarah
dan realitas sosial yang dihadapi perempuan telah melahirkan berbagai gerakan,
pemikiran dan teori feminis, yang kemudian menjadi landasan bagi
pemikiran feminist legal theory. Pemikiran
feminis kemudian dipemetakan dalam tiga gelombang besar yang masing-masing
memiliki ciri-ciri tersendiri, yaitu; feminism gelombang
pertama dimulai sejak 1800an, yang melahirkan pemikiran-pemikiran dan
aliran-aliran feminis, seperti feminism liberal,
feminism radikal, serta feminism marxis dan sosialis. Feminism gelombang
kedua yang berkembang pada awal-awal tahun 1960an, yang berorientasi pada
kegiatan yang sifatnya teoritis, seperti mempengaruhi pemikiran New Left (Kiri Baru) dan melahirkan paham feminism
kulturan atau eksistensialis. Feminism gelombang
ketiga merupakan paham feminism yang kemunculannya mengikuti atau bersinggungan
dengan pemikiran-pemikiran kontemporer, seperti feminism postmodernisme,
poskolonial, multikultur dan global.[2]
Berikut ini beberapa aliran besar dalam
feminism dan feminist legal theory:
1.
Feminisme Liberal
Feminisme liberal berpandangan bahwa kebebasan
dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan otonomi setiap individu. Perempuan
adalah makhluk rasional yang juga sama dengan laki-laki, karenanya harus diberi
hak dan diperlakukan sama dengan laki-laki untuk mengembangkan kapasitas nalar
dan moralnya, diantaranya memberikan akses yang sama atas pendidikan, dan
pilihan-pilihan kesempatan untuk bekerja atau di rumah, serta hak politik yang
sama dengan laki-laki.[3]
Meskipun terdapat perdebatan untuk mencapai
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, mustikah mereka diperlakukan sama
ataukan berbeda, namun pada akhirnya, sebagian mereka percaya bahwa ”hukum yang
spesifik gender adalah lebih baik daripada hukum yang netral gender dalam
memastikan kesetaraan di antara dua jenis kelamin.”[4]
Feminis liberal percaya bahwa untuk mencapai
kesetaraan perlu perjuangan melalui pendekatan hukum dengan cara mereformasi
sistem yang ada agar perempuan memiliki hak yang sama di bidang politik,
pendidikan, dan kesempatan kerja.[5]
Kritik Terhadap
Feminisme Liberal
1.
Menekankan persamaan perempuan dan laki-laki (sameness), namun perlu diertanyakan:
· Dapatkah perempuan
menjadi seperti laki-laki?
· Apakah perempuan
menginginkannya?
· Apakah perempuan harus
menginginkannya?
2.
Perempuan tidak hidup dengn nalar dan otonomi
semata,
atau
perempuan tidak dapat hanya didefinisikan sebagai manusia yang berakal atau otonom
3.
Feminisme Liberal sebgai rasis, klasis,
dan heteroseksis (Eksklusif perempuan kulit putih, kelas
menengah, heteroseksual)
Kemudian
yang menjadi permasalahan terkait pertanyaan: apakah kesetaraan gender paling
baik dicapai dengan menekankan “ke-satu-an” perempuan sebagi gender, atau dalam
“keberagaman” mereka sebagai individual, “kesamaan” antara perempuan dan
laki-laki atau “perbedaan” di antara keduanya?. Berdasarkan dinamika pemikiran
Betty Friedan, maka dapat disimpulkan bahwa:
·
Pada buku pertama, The
Feminine Mystique, 1963, Friedan kurang menyadari perspektif lain selain
perspektif perempuan terdidik, heteroseksual, yang sorotannya pada keluarga kaya AS.
·
Perempuan kontemporer
perlu mendapatkan pekerjaan yang bermakna di sektor
publik secara penuh waktu.
·
Ketidakhadiran ibu/istri
di rumah akan membuat suami dan anak-anak
menjadi lebih mandiri.
·
Meski kurang respek terhadap istri yang penuh pengabdian dan
ibu yang memanjakan, Friedan
tidak menuntut perempuan untuk
mengorbankan perkawinan. Pencapaian identitas diri, kesetaraan, dan kekuasaan
politik tidak berarti perempuan berhenti dari kebutuhan mencintai dan dicintai.
·
Sama seperti
Wollstonecraft, Taylor dan Mill, Friedan berpendapat: membatasi perempuan hanya sebagai istri dan ibu (tanpa
karier), sama dengan membatasi perempuan untuk tidak bisa berkembang
sebagai manusia seutuhnya.
·
Kesalahan yang dipaparkan dalam “mistik feminin” adalah: perempuan terlalu
tinggi “menghargai” perkawinan & motherhood
dan melihat kedua lembaga itu sebagai jawaban terhadap seluruh kebutuhan dan
keinginan perempuan.
Namun
pemikiran tersebut mendapat kritikan karena:
·
Buku tesebutb gagal menanggapi isu
perempuan yang
lebih besar daripada sekadar “masalah tak
bernama” (the problem that has no name).
·
Friedan “mengirim”
perempuan ke luar rumah/ke ranah publik tanpa memanggil laki-laki memasuki
ranah personal/domestik.
·
Salah memahami, betapa
sulit mengombinasikan karier dengan perkawinan dan motherhood, kecuali dilakukan perubahan
struktural besar-besaran dalam dan di luar rumah
tangga.
Meskipun demikian, dari berbagai
literatur yang ada dapat disimpulkan bahwa fokus pembahasan feminisme liberal
bersumber pada:
1. Mary
Wollstonecraft (A Vindication Rights of
The Woman, 1779)
2. John
Stuart Mill & Harriet Taylor Mill (Early
Essay on Marriage and Divorce, 1832;
Enfranchisement of Women, 1851; The
Subjection of Women)
3. Betty
Friedan (The Feminine Mystique, 1963; The Second Stage, 1981; The Fountain of Age, 1993)
4. NOW
(National Organization for Women)
Dari
ke-4 pemikiran tersebut,
apapun kelemahannya, tujuan umum dari feminisme liberal adalah menciptakan
“masyarakat yang
adil dan peduli tempat kebebasan berkembang”. Hanya dalam masyarakat seprti itu, perempuan dan
laki-laki dapat mengembangkan diri.
2. Feminisme Radikal
Feminisme
radikal lahir dari aktivitas dan analis politik mengenai hak-hak sipil dan
gerakan perubahan sosial pada tahun 1950an dan 1960an, serta gerakan-gerakan
wanita yang ramai sekitar tahun 60 dan 70an. Mahzab ini dapat dilacak melalui
para pendukungnya. Lewat karya Vindication
of the Rights of Women, Mary Wollstonecraft pada tahun 1797 menganjurkan
kemandirian wanita dalam bidang ekonomi. Maria Stewart, salah satu feminis
kulit hitamn pertama pada tahun 1830an mengusulkan penguatan relasi di antara
wanita kulit hitam. Elizabeth Cuddy Stanton pada tahun 1880an menentang hak-hak
seksual laki-laki terhadap wanita dan menyerang justifikasi keagamaan yang
menindas wanita. (dalam Suharto, 2006).
Feminis
radikal juga dikembangkan dari gerakan kiri baru (new left) yang menyatakan bahwa perasaan-perasaan keterasingan dan
ketidakberdayaan pada dasarnya diciptakan secara politik dan karenanya
transformasi personal melalui aksi-aksi radikal merupakan cara dan tujuan yang
paling baik. Mazhab ini secara fundamental menolak agenda feminisme liberal
mengenai kesamaan hak wanita. Berseberangan dengan feminis liberal yang
menekankan kesamaan antara wanita dan laki-laki, feminis radikal menekankan
pada perbedaan antara wanita dan laki-laki.
Menurut Suharto, inti ajaran feminis
radikal adalah sebagai berikut:
a.
The personal is
political adalah slogan yang sering digunakan oleh feminis
radikal. Maknanya bahwa pengalaman-pengalaman individual wanita mengenai
ketidakadilan dan kesengsaraan yang oleh para wanita dianggap sebagai masalah
personal, pada hakekatnya adalah isu-isu politik yang berakar pada
ketidakseimbangan kekuasaan antara wanita dan laki-laki.
b.
Memprotes eksploitasi wanita dan
pelaksanaan peran sebagai istri, ibu, dan pasangan sex laki-laki, serta
menganggap perkawinan sebagai bentuk formalisasi pendiskriminasian terhadap
wanita.
c.
Menggambarkan sexisme sebagai sistem sosial yang terdiri dari hukum, tradisi,
ekonomi, pendidikan, lembaga keagamaan, ilmu pengetahuan, bahasa, media massa,
moralitas seksual, perawatan anak, pembagian kerja, dan interaksi sosial
sehari-hari. Agenda tersembunyi dari sistem sosial itu adalah memeberikan
kekuasaan laki-laki melebihi wanita.
d.
Masyarakat harus diubah secara
menyeluruh. Lembaga-lembaga sosial yang paling fundamental harus diubah secara
fundamental pula. Para feminis radikal menolak perkawinan bukan hanya dalam
teori, melainkan sering pula dalam praktek.
e.
menolak sistem hirarkis yang berstrata
berdasarkan garis gender dan kelas, sebagaimana diterima oleh feminis liberal.
Feminis radikal pada dasarnya mempunyai 3 pokok pikiran
sebagai berikut:
1.
Bahwa perempuan mengalami penindasan,
dan yang menindas adalah laki-laki. Kekuasaan laki-laki ini harus dikenali dan
dimengerti, dan tidak boleh direduksi menjadi kekuasaan kapitalis, misalnya.
2.
Bahwa perbedaan gender yang sering
disebut maskulin dan feminin sepenuhnya adalah konstruksi sosial atau
diciptakan oleh masyarakat, sebenarnya tidak atas dasar perbedaan alami
perempuan dan laki-laki. Maka yang diperlukan adalah penghapusan peran
perempuan dan laki-laki yang diciptakan oleh masyarakat di atas tadi.
3.
Bahwa penindasan oleh laki-laki adalah
yang paling utama dari seluruh bentuk penindasan lainnya, di mana hal ini
menjadi suatu pola penindasan.
Pemikiran ini
berkembang dan feminis radikal adalah aliran yang paling dekat ke munculnya
feminis lesbian dan yang mengajukan kritik terhadap heteroseksual sebagai
orientasi yang diharuskan atau disebut sebagai normal. Selanjutnya pemikiran
ini berpendapat bahwa wanita boleh tidak bersuami, boleh tidak mengandung dan
menyusui. bahkan pemikiran lain menyatakan, adanya sekulerisme. Oleh karena itu
lah slogan yang sering didengungkan dari feminisme radikal adalah “hak untuk
memilih”.
Dalam feminisme
radikal ada beberapa aliran lagi di antaranya feminisme radikal libertarian.
Salah satu dari feminis radikal libertarian yang pertama bersikeras menyatakan
bahwa akar tekanan dan penindasan terhadap perempuan sudah terkubur dalam di
dalam sistem seks/gender di dalam patriarki adalah Kate Millett. Millet
berpendapat dalam bukunya Sexual Politics (1970), bahwa seks adalah politis,
terutama karena hubungan laki-laki dan perempuan merupakan paradigma dari semua
hubungan kekuasaan. Ideologi patriarki, menurut Millett, membesar-besarkan
perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki selalu
mempunyai peran yang dominan dari pada perempuan.
Seperti Millet,
Shulamith Firestone dalam karyanya Dialectic
of Sex, mengklaim bahwa dasar material ideologi seksual/politik dari
submisi perempuan dan dominasi laki-laki berakar pada peran reproduksi
laki-laki dan perempuan. Menurut Firestone dibutuhkan lebih dari revolusi
biologis dan sosial, untuk menghasilkan jenis pembebasan manusia yaitu
reproduksi buatan (ex utero) akan
harus menggantikan reproduksi alami (in
Utero).
Firestone
bersikeras bahwa tidak akan ada perubahan fundamental bagi perempuan selama
reproduksi alamiah tetap menjadi keharusan. Menurutnya, reproduksi alamiah
adalah akar dari kejahatan, terutama kejahatan yang muncul dari rasa memiliki,
yang menghasilkan rasa kebencian dan kecemburuan di antara manusia.
Feminisme
radikal libertarian menolak asumsi bahwa ada hubungan yang pasti antara jenis
kelamin seseorang dengan gender seseorang. Mereka mengklaim bahwa gender adalah
terpisah dari jenis kelamin dan masyarakat patriakal menggunakan peran gender
yang kaku, untuk memastikan bahwa perempuan tetap pasif. Karena itu, cara bagi
perempuan untuk menghancurkan kekuasaan laki-laki yang tidak layak atas
perempuan adalah dengan pertama-tama menyadari bahwa perempuan tidak
ditakdirkan utnuk menjadi pasif, seperti juga laki-laki tidak ditakdirkan untuk
menjadi aktif. Feminisme radikal libertarian yakin bahwa semakin sedikit
perempuan terlibat di dalam proses reproduksi, semakin banyak waktu dan tenaga
yang dapat digunakan untuk terlibat di dalam proses produktif masyarakat.
Aliran lain
dari feminisme radikal adalah feminisme radikal kultural. Marilyn French
berpendapat bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan lebih kepada biologi
daripada kepada sosialisasi. Dalam bukunya Beyond
Power, French mengisyaratkan bahwa sifat tradisional perempuan lebih baik
daripada sifat tradisional laki-laki. Stratifikasi laki-laki yang di atas
perempuan pada gilirannya mengarahkan kepada stratifikasi kelas. French
mengklaim, bahwa nilai-nilai feminim harus direintegrasikan ke dalam masyarakat
laki-laki yang telah diciptakan oleh ideologi patriakal.
Mary Daly,
merendahkan nilai-nilai maskulin tradisional. Dalam bukunya Beyond God The Father, Mary Daly menolak
istilah maskulin dan feminin secara keseluruhan, sebagai produk kebingungan
patriarki. Daly menyimpulkan bahwa perempuan harus menolak apa yang tampaknya
merupakan aspek “baik” dari feminitas, dan juga menolak aspek yang sudah
jelas-jelas “buruk” karena kesemua itu merupakan “konstruksi yang dibuat
laki-laki”, yang dibentuk untuk kepentingan menjebak perempuan di dalam penjara
patriarki yang dalam.
Kritik Terhadap Feminisme Radikal
Karena memfokuskan
serangannya pada keberadaan institusi keluarga dan sistem patriarki, dimana keluaraga dianggap sebagai
institusi yang melegitimasi dominasi laki-laki (patriarki), sehingga perempuan
tertindas. Sehingga cenderung
membenci laki-laki sebagai individu dan mengajak perempuan untuk mandiri,
bahkan tanpa perlu keberadaan laki-laki dalam kehidupan perempuan. kemudian Elsa Gidlow
mengemukakan teori bahwa menjadi lesbian adalah telah terbebas dari dominasi
laki-laki, baik internal maupun eksternal. Bahkan Martha Shelley
selanjutnya memperkuat bahwa perempuan lesbian perlu dijadikan model sebagai
perempuan mandiri.
Karena
keradikalannya, teori ini mendapat kritikan yang tajam, bukan saja dari
kalangan sosiolog, tetapi juga dari kalangan feminis sendiri. Tokoh feminis
liberal tidak setuju sepenuhnya dengan teori ini. Persamaan total antara
laki-laki dan perempuan pada akhirnya akan merugikan perempuan sendiri.
Laki-laki yang tidak terbebani oleh masalah reproduksi akan sulit diimbangi
oleh perempuan yang tidak bisa lepas dari beban ini.
3. Feminisme Marxis Dan Sosialis
Rosemarie Putnam Tong,
menyatakan bahwa perbedaan feminism marxis dan
sosialis lebih merupakan masalah penekanan daripada masalah substansi.[6]
Feminisme marxis
melihat bahwa masalah ketertindasan perempuan terletak pada masalah kelas yang
menyebabkan perbedaan fungsi dan peran perempuan. Penindasan tersebut terjadi
melalui produk politik, social dan struktur ekonomi yang berkaitan erat dengan
sistem kapitalisme.[7]
Mereka percaya bahwa
kekuatan ekonomi dan posisi ekonomi yang lebih baik bagi perempuan merupakan
jawaban untuk mengakhiri penindasan terhadap perempuan.[8]
Sementara feminisme
sosialis lebih menekankan penindasan gender dibandingkan penindasan kelas
sebagai salah satu sebab penindasan perempuan. Feminism sosialis setuju dengan
feminism marxis bahwa pembebasan perempuan bergantung pada penghapusan
kapitalisme, namun mereka mengklaim bahwa kapitalisme tidak mungkin dihancurkan
kecuali patrairkhi juga dihancurkan.
Bahwa penindasan
terhadap perempuan terjadi karena ideologi patriarkhi. Bahkan sekalipun
kapitalisme telah dihancurkan, perempuan akan tetap menjadi subordinat
laki-laki, hingga perempuan dan laki-laki terbebaskan dari pemikiran patriakh
yang menempatkan perempuan kurang setara dari laki-laki.[9]
Kritik Terhadap Feminisme Radikal
Kritikan ini muncul
ketika Mictchell memaparkan bahwa interseksionalisme bergantung pada poltik
identitas, yaitu pendekatan borjuis dan individualitas terhadap perjuangan yang
tidak menghiraukan keadaan material seputar gender dan relasi gender, hal ini untuk
berfokus kepada mereformasikan kapitalisme sebagai cara emansipasi berkaitan
“gaji yang setara untuk kerja yang setara”, dengan menggunaka politik identitas
sebagai cara menentan sistem penindasan.
Politik identitas menganggap bahwa dasar dari perjuangan adalah
distribusi individualisme yang setara. Jadi
individualisme yang meningkat sebagai akibat krisis kapitalisme menjelma dalam
politik identitas bahkan pada mereka yang mengaku antikapitalisme sehingga
dianggap tidak menghiraukan gender hanya berfokus secara berlebihan kepada
kelas.
4. Feminisme Psikoanalisis dan Gender
Ini adalah hal aneh lainnya yang dilakukan Tong, membelah
feminis psikoanalisis dan gender sebagai hal yang berdiri sendiri. Menurut Tong
feminis psikoanalisis dan gender melingkupi pencarian penjelasan dasar atas
cara bertindak perempuan yang berakar dalam psike terutama cara berpikir yang
merupakan proses akumulasi pengalaman masa kecil. Feminis gender (kadang-kadang
disebut feminis kultural) cenderung berpendapat bahwa mungkin ada perbedaan
biologis dan juga perbedaan psikologis atau penjelasan kultural atas
maskulinitas dan feminitas perempuan (Tong 2004,190).
Ketika Freud mengintroduksi psikologi (fenomena Oedipus kompleks
dsbnya), efek lanjutnya kajian ini mempengaruhi banyak cara pandang tidak
terkecuali feminisme. Anak laki-laki yang berkembang sempurna menurut Freud
(dalam Tong 2004, 191) ketika ia menjadi laki-laki yang menunjukkan sifat
maskulin dan sebaliknya begitu pula dengan perempuan. Dalam hal ini (versi
Freud) terdapat “standarisasi” gender deterministik biologis, efeknya kelainan
dari standar yang telah ditentukan akan diposisikan menyimpang.
Betty Friedan, seorang feminis psikoanalis, melakukan kritik
atas teoritisasi psikologi Freud. Friedan (dalam Tong 2004,197) berpendapat
pengajegan seks dan hubungannya dengan aspek psikologis tidak dapat diterima
karena hal itu membuat perempuan dalam kondisi pasif, reseptif, bergantung pada
orang lain dan selalu mencari tujuan akhir kehidupan seksual mereka yaitu
“hamil”. Sementara Millet (dalam Tong 2004,198) menyatakan bahwa konsep
kecemburuan bukan determinisme biologis.
Dinnerstein (dalam Tong 2004,205) mengidentifikasi 5
karakteristik hubungan gender masa kini yaitu (1) keposesifan seksual laki-laki
yang lebih besar dikarenakan ketidakmampuan mengatasi ibunya secara total
dimasa lalu sehingga ia membalasnya kepada istri atau kekasihnya, (2) pembisuan
dorongan impulsif erotisme perempuan, (3) perasaan bersalah yang lebih
membebani perempuan, (4) perempuan dipandang suatu benda sementara pria
dipandangi sebagai “saya”, dan (5) ambivalensi terhadap tubuh (kekecewaan atas
keterbatasan tubuh).
Feminis gender (terkadang disebut feminis kultural) juga
tertarik pada perbedaan psike perempuan dan laki-laki tetapi bedanya feminis
gender tidak menekankan analisa pada perkembangan psike dalam masa perkembangan
anak tetapi psikomoral. Psikomoral yaitu perkembangan nilai-nilai seseorang.
Menurut Kohlberg (dlam Tong 2004,225) perkembangan moral terdiri dari 6 tahapan
yaitu (1) orientasi hukuman dan kepatuhan, (2) orientasi relativis
instrumental, (3) kesesuaian intrapersonal (menjadi anak laki-laki dan
perempuan yang baik dan manis), (4) orientasi hukum dan tatanan, (5) orientasi
legalistik sosial kontrak, dan (6) orientasi prinsip etis universial (model
Kantian).
Kritik Terhadap Feminisme Psikoanalisis
dan Gender
Berdasarkan kritikan menurut Giligan
perihal bahwa
indikator penilaian Kohlberg tidak akurat mengukur perkembangan moral laki-laki
dan perempuan. Dengan melakukan penelitian kuantitatif atas 29 perempuan hamil
tentang aborsi atau tidak, Giligan menyimpulkan (berdasarkan hasil
penelitiannya) bahwa berapapun umur, apapun kelas sosial, status perkawinan
ataupun latar etnis mereka setiap perempuan ini memanifestasi suatu cara
berpikir tentang masalah moral yang
sangat berbeda dari laki-laki.
Pengkategorisasian “feminis gender” oleh Tong dapat memunculkan kesan ambigu seiring sayap kata
“gender” terlalu panjang dan lebar. Mengapa tidak mengganti penamaan feminis
gender sebagai feminis psikoanalis moral atau feminis psiko-moral?
5. Feminisme Eksistensialis
Sebelum pemakaian kategorisasi feminis eksistensialis digunakan
serampangan, sebaiknya terdapat pengertian dasar yang dipahami bersama. Teks
eksistensialis nantinya akan mengacu pada teks Beauvoir dimulai dari Sartre
yang terintertekstual dengan pemikir sebelumnya seperti Heidegger, Nietzche,
Kierkegaard, Berdyaev, Francis Ponge atau Dostoyevsky. Menjelaskan istilah dan
konsep menjadi penting agar terhindar dari kesalahan maksud dan penggunaan.
Satu kalimat populer Satre yang (mungkin) dapat menggambarkan
eksistensialisme secara cepat ialah “eksistensi mendahului esensi (existence
precedes essence)” (Sartre 2007, 22). Kalimat ini menjelaskan bahwa tidak ada
esensi, yang ada hanya eksistensi.
Eksistensi manusia ditentukan oleh dirinya sendiri, tidak ada
sesuatu esensial yang menubuh. Efeknya ialah rontoknya sifat alamiah/nature
manusia karena menurut eksistensialis “sifat alamiah” itu sesuatu yang tidak
ada.
Tujuan dari eksistensialisme ini ialah membangkitkan kesadaran
“siapa kita” dan juga memberikan pemandangan bahwa apa yang kita lakukan secara
sadar dan nyata membentuk “siapa kita”. Sartre (2007,22,23), bapak
eksistensialis ini, menulis “man is nothing other than what he makes of himself…man
is responsible for what he is”. Tentunya teks ini tidak terkurung literal untuk
pria semata tetapi juga untuk perempuan atau semua manusia. Dapat diambil
kesimpulan sederhana judul buku Sartre Existentialism is a Humanisn memberi
gambaran eksistensialisme bersentrum pada manusia itu sendiri/antroposentris.
Eksistensialisme berusaha mengeleminasi penjelasan non-manusia
atas manusia dan melawan dehumanisasi. Selain memprovokasi untuk menganalisa
masalah eksistensi, hal ini juga memprovokasi kedalam tahap aksi/tindakan.
Sesuatu hal yang perlu bagi feminisme secara partikular (kesesuaian topik
tulisan ini).
Tong berargumen (2004, 259) dari semua kategori yang diajukan
Sartre, “Ada untuk yang lain” barangkali adalah yang paling tepat untuk
diterapkan dalam analisis feminis. Menurut Sartre (dalam Tong 2004) hubungan
manusia adalah variasi dari dua bentuk dasar tema konflik; konflik antara
kesadaran yang saling bersaing yaitu antara Diri dan Liyan. Pertama, ada cinta
yang pada dasarnya bersifat masokistik dan kedua, ketidakpedulian, hasrat dan
kebencian yang sifatnya sadistik. Penyatuan tanpa pelarutan ini adalah mimpi
yang tidak akan menjadi kenyataan.
Teks eksistensialis yang implisit mengarah ke feminism dilakukan
oleh Simone de Beauvoir dalam karya Le Deuxieme Sexe/The Second Sex (1949).
Karya ini menjadi istimewa karena tidak hanya penjelasan yang kompleks mengenai
kondisi “ke-aku-an perempuan” tetapi juga tahun terbitnya hanya 4 tahun setelah
Perang Dunia II zona eropa berakhir dimana kondisi material (infrastruktur
dsbnya) dan immaterial (ide, psike) masih dalam lingkup rusak dan trauma.
Beauvoir berangkat dari ketidakpuasan penjelasan perempuan yang
dilakukan oleh ahli biologi, psikoanalisis Freud maupun para ekonom Marxis
(Tong 2004, 263), misalnya Beauvoir memuji sekaligus memberikan kritikan
terhadap penjelasan opresi perempuan dalam metode historis materialis karya
Engels (The Origin of the Family).
Beauvoir berpendapat (2010, 185,188) penjelasan Engels
memberikan cahaya kebenaran penjelasan bahwa manusia bukan spesies semata
tetapi realitasnya terbentuk secara fakta historis ekonomi dan sosial namun
penjelasannya tidak memadai. Engels menjelaskan kesejarahan ini secara esensial
dari sejarah perubahan teknologi (modus produksi) yang awalnya (zaman batu) dua
jenis kelamin ini setara kemudian seiring perubahan produksi, kepemilikan,
pembagian kerja, keduanya (perempuan, pria) tidak setara lagi. Kesemuanya
berporos pada transisi dari rezim komunitarian ke kepemilikan pribadi tanpa
menjelaskan bagaimana hal tersebut bisa terjadi (tidak terdapat penjelasan detail).
Sama ketidakjelasan apakah kepemilikan pribadi sudah pasti menuntun
keperbudakan perempuan? Kemudian mengarahkan konflik jenis kelamin
(hirarki,patriarki) ke kelas.
Beauvoir melakukan eksplorasi dibagian yang biasanya
pemikiran/pendapat diberlakukan taken for granted oleh kaum Marxis. Meskipun
simpulan akhir Engels begitu meyakinkan dan berwaktu panjang bahwa kesetaraan
akan terwujud apabila kesetaraan ekonomi terwujud lebih dahulu (masyarakat
sosialisme), Beauvoir tidak terburu-buru untuk sampai diujung tersebut
melainkan mengembangkan analisa pada prosesnya khususnya eksistensi yang bukan
menjadi fokus Engels. Bahkan pada kondisi ujung tersebut menurut Tong (2004,
266) perempuan sangat mungkin akan tetap menjadi liyan dalam masyarakat
sosialis atau dengan kata lain perubahan ke masyarakat sosialis tidak serta
merta/otomatis merubah relasi perempuan dan laki-laki.
Menurut Tong (2004, 266,267), Beauvoir mencari penjelasan yang
lebih mengenai mengapa laki-laki menamai laki-laki sang Diri dan perempuan sang
Liyan. Beauvoir melakukan penelusuran mitos perempuan pada 5 pengarang
laki-laki dimana perempuan direpresentasikan mencari naluri kebinatangan murni
dalam perempuan, menuntut perempuan untuk merefleksikan seksualitas feminis,
saudara sejiwa, menghubungkan dengan alam dan sesuatu yang di-idealkan. Dalam
setiap kasus terdapat hal fundamental yang sama yaitu perempuan didorong untuk
melupakan, mengabaikan atau menegasikan dirinya sendiri. Perempuan diarahkan
menjadi pelengkap laki-laki, menyelamatkan kekasih mereka, mengorbankan tubuh
mereka atau ringkasnya membentuk kepercayaan bahwa perempuan yang ideal dipuja
laki-laki adalah perempuan yang percaya tugas mereka untuk mengobarkan diri
menyelamatkan laki-laki.
Beauvoir (dalam Tong 2004, 271-273), memperlihatkan tiga jenis
contoh perempuan yang memainkan peran sampai ke puncaknya yaitu perempuan
pelacur, narsis dan mistis. Untuk perempuan pelacur sangatlah kompleks (sebagai
Liyan, objek, eksploitasi) karena peran ia mainkan tidak hanya untuk kebutuhan
ekonomi tetapi juga penghargaan atas ke-Liyan-an yang ia dapatkan sebagai alat
pemenuhan mimpi laki-laki “kemakmuran dan ketenaran” beda halnya dengan istri
atau kekasih. Hetaira (perempuan panggilan, atau perempuan penghibur kelas atas
dalam masyarakat Yunani Kuno) lebih mempunyai banyak power dibandingkan
perempuan jalanan. Laki-laki lebih banyak membutuhkannya dibandingkan mereka
membutuhkan laki-laki. Tong memberikan contoh dari koleganya yang berpendapat
bahwa perempuan jenis itu lebih mempunyai kekuatan dan cara untuk meremehkan
serta mempermalukan laki-laki baik sebagai laki-laki ataupun
intelektualitasnya. Untuk perempuan narsis, eksistensinya merupakan hasil dari
ke-Liyan-annya yaitu merasa putus asa sebagai subjek karena tidak diperkenankan
terlibat dalam kegiatan mendefiniskan diri dan arena kegiatan femininnya
tidaklah memberikan kepuasan. Perempuan kemudian menjadi objek pentingnya
sendiri, mempercayai dirinya suatu objek – keyakinan yang ditegaskan kebanyakan
orang disekitarnya. Perempuan terpesona dan mungkin menjadi obsesif terhadap
citranya sendiri (wajah, tubuh, pakaiannya). Ia menjadikan dirinya sangat
penting karena tidak ada objek penting yang dapat diaksesnya. Ia menjadi
sintesis mustahil dari Ada untuk dirinya sendiri (pour-soi) dan Ada pada dirinya
sendiri (en-soi). Pada akhirnya Ia terikat oleh kebutuhan untuk memenuhi hasrat
laki-laki dan selera masyarakat. Sedangkan untuk perempuan mistis, Ia tidak
dapat membedakan antara Tuhan dan laki-laki. Kesemua tragedi peran itu bukanlah
konstruksi oleh perempuan sendiri melainkan proses pengumpanan untuk
mendapatkan persetujuan dari dunia maskulin dalam masyarakat produktif. Tetapi
karena perempuan (seperti juga pria) tidak memiliki esensi maka ia dapat
mendefinisi ulang perannya. Tidak ada esensi feminitas yang abadi yang mencetak
identitas siap pakai.
Untuk emansipasi, Beauvoir (dalam Tong 2004, 274) memberikan 4
strategi yaitu (1) perempuan bekerja, (2) menjadi intelektual, (3) bekerja
untuk transformasi masyarakat sosialis dan (4) mandiri. Tentu dalam hal ini
terlihat bagaimana Beauvoir tidak secara total menegasi Marxisme tetapi
bersepakat sebagian terutama tatanan masyarakat sosialis dibandingkan tetap
dalam kungkungan masyarakat kapitalis. Kalimat Beavouir yang banyak
menginspirasi feminis yaitu “one is not born a woman, but, rather, becomes
one”.
Kritik
Terhadap Feminisme Eksistensialis
Tidak ada karya tanpa kritik, begitu juga karya Beauvoir yang
dihujani kritik. Elstain berpendapat buku ini (The Second Sex) tidak dapat diakses oleh mayoritas perempuan karena
“imanensi dan transendensi”, “essensi dan eksistensi”, “Ada bagi dirinya
sendiri dan Ada pada dirinya sendiri” adalah ide yang tidak muncul dari
pengalaman langsung hidup perempuan tetapi abstraksi spekulasi sang filsuf
ketika duduk di kursi goyang. Beauvoir juga kecewa atas pendapat sekolega
eksistensialis yaitu Camus yang menganggap buku ini penyerangan sangat naïf
terhadap maskulinitas. Kemudian tanggapan dingin Partai Komunis Lokal yang
menganggap buku ini sebagai katalog bodoh dari keluhan perempuan yang
mengalihkan perjuangan kelas sesungguhnya. Tetapi diantara hujan kritik itu,
sebanyak 22.000 eksamplar terjual habis dalam minggu pertama publikasi buku
tersebut dan yang paling menyenangkan Beauvoir adalah antusias respondensi
pembaca melalui surat-surat yang diterimanya.
Ada satu pemikir perempuan lagi yang karyanya cukup besar di
abad 20 tetapi di dalam karyanya tidak menjelaskan feminisme secara eksplisit
yaitu Hannah Arendt. Karya Arendt lebih luas kepada politik. Memaksa memasukkan
Arendt kedalam feminisme hanya karena Arendt seorang perempuan akan membuat
paragraf ini menjadi paragraf terlemah ditulisan ini.
6. Feminisme Postmodern
Feminist postmodern
memandang bahwa ketertindasan perempuan terjadi karena mengalami alienasi yang
disebabkan oleh cara berada, berfikir dan bahasa perempuan yang tidak
memungkinkan terjadinya keterbukaan, pluralism, diversifiksi dan perbedaan.
Alienasi tersebut
terjadi secara seksual, psikologis dan sastra dengan bertumpu pada bahasa
sebagai sistem. Dengan kata lain perempuan dilihat sebagai ”yang lain”, yang
memiliki perbedaan cara berada, berpikir dan ”berbahasa” yang berbeda dari
laki-laki. Sedangkan, selama ini aturan-aturan simbolis
yang berlaku sarat sarat dengan “aturan laki-laki” yang sangat maskulin. Hal
ini yang menyebabkan penindasan terhadap perempuan terus terjadi secara
berulang.[10]
Kritik
Terhadap Feminisme Postmodern
Sejumlah kritikus menolak feminisme
posmodern bagi kalangan akademik. Alasan dari para kritikus ttersebut ialah
feminisme postmodern sulit untuk dimengerti dan menyalahkan feminisme
postmodern karena berada di posisi yang salah karena seperti perdebatan ang
terjadi mengenai perbedaan hak antaa perempuan dan laki-laki. Hal tersebut
terjadi karena mereka hanya melihat realitas sebatas text dan terkadang
permpuan tidak femenism sedangkan laki-laki tidak maskulin. Semua itu terjadi
karena semangat mereka mengadakan pembongkaran dan keberagaman (pluralism).
Namun kelebihannya dapat dilihat dari contoh kasus mengenai Lady Gaga dalam
bibgkai post modern sangat sesuai karena aliran postmodern dapat menjelaskan
perilaku Lady Gaga sebagai seorang wanita yang bebas tanpa dikekang oleh aturan
yang ada di masyarakat.
7. Feminisme Multikultural Dan
Global/Post Kolonial
Feminisme
multikultural dan global memiliki kesamaan dalam cara pandangnya mengenai
perempuan yang dilihat sebagai Diri yang terfragmentasi (terpecah). Fragmentasi
ini lebih bersifat budaya, rasial, dan etnik daripada seksual, psikologis, dan
sastrawi. Keduanya menentang “esensialisme perempuan” yang memandang
“perempuan” secara platonic, yang seolah setiap perempuan, dengan darah dan
daging dapat sesuai dalam satu ketegori.[11]
Adapun perbedaan
keduanya, feminism multikultural didasarkan atas pandangan bahwa dalam satu
negara, semua perempuan tidak diciptakan atau dikonstruksikan secara setara.
Bergantung pada ras dan kelas, dan juga kecenderungan seksual, usia, agama,
pencapaian pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, kondisi kesehatan, dan sebagainya,
dimana setiap perempuan akan mengalami opresi sebagai seorang perempuan secara
berbeda pula.[12]
Sementara feminism
global berfokus pada hasil opresif kebijakan dan praktek kolonial dan
nasionalis, dimana “pemerintahan besar” dan “bisnis besar” membagi dunia ke
dalam apa yang disebut sebagai “dunia pertama” (yang berpunya) dan “dunia
ketiga” (yang tak berpunya). Menurut mereka opresi terhadap perempuan di satu
bagian di dunia seringkali disebabkan oleh apa yang terjadi di bagian dunia
yang lain, bahwa tidak akan ada perempuan bebas hingga semua kondisi opresi
terhadap perempuan dihancurkan dimanapun juga.[13]
Feminisme global atau
post kolonial juga berpandangan bahwa pengalaman perempuan dunia pertama
berbeda dengan pengelaman perempuan dunia ketiga, dimana perempuan dunia ketiga
menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan
berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan
agama.
Kritik
Terhadap Feminisme Multikultural Dan Global/Post Kolonial
Adanya
ketegangan-ketegangan dalam upaya merajut harmoni para feminis global seperti
pro-kontranya terhadap agenda internasional yang melibatkan multi aktor (baik
negara maupun non-negara). Pada tahun
1975, PBB mendeklarasikan tahun 1975-1985 sebagai Dasawarsa Perempuan
(konferensi awal Mexico City 1975, konferensi tengah di Kopenhagen 1980,
konferensi akhir di Nairobi – Kenya 1985). Lebih dari 2.000 delegasi dari 140
negara menghadiri pertemuan terakhir itu. 13.000 delegasi berpartisipasi dalam
forum 85 yaitu konfederasi 157 LSM. Feminis global menyambut hangat agenda
tersebut tetapi terdapat kekwatiran yaitu terpinggirkannya isu perempuan oleh
isu politik dikarenakan beberapa hal yaitu: didukung oleh organisasi patriarkal
“PBB” menimbulkan banyak masalah, kepentingan perempuan terpinggirkan dan lebih
memperhatikan kepentingan Big Brother, isu politik yang dibawa delegasi yang
telah dipesan oleh pemerintah utusan mereka cenderung lebih besar daripada isu
perempuan (misalnya delegasi negara komunis, Asia, Amerika Latin dan Afrika),
naiknya isu zionisme, rasisme dan imperialisme barat, klise politik dan pidato,
pertikaian Timur-Barat dan Utara-Selatan. Pemimpin delegasi Amerika Serikat, Mauren Reagan,
mengintisarikan Konferensi Nairobi sebagai “pesta hipokritas politik dan
ideologi”
Tegangan intra-feminis
global juga ditambahkan dengan ketegangan inter-feminis global dan
multicultural dalam payung absolutisme etis versus relativisme etis dalam mengkaji
dan mengadvokasi masalah. Dari sudut ini dapat diperoleh pemandangan bahwa
secara praktik dalam mengartikulasikan feminisme terdapat tegangan-tegangan
yang kadangkala tidak untuk diselesaikan dalam bentuk suatu kesimpulan
monolitik.
8. Ekofeminisme
Ekofeminisme yakin
bahwa manusia adalah saling berhubungan satu sama lain dan berhubungan juga
dengan dunia bukan manusia, atau alam. Ekofeminisme berpendapat bahwa ada
hubungan konseptual, simbolik, dan linguistic antara feminis dan isu ekologi.
Asumsi dasar dunia
dibentuk oleh bingkai pikir konseptual patriarkhal yang opresif, yang bertujuan
menjelaskan, membenarkan, dan menjaga hubungan dominatif, khususnya dominasi
laki-laki atas perempuan.
Cara berfikir
patriarkhis yang hirarkhism dualistic, dan opresif telah merusak perempuan dan
alam. Hal ini karena perempuan “dinaturalisasi”, ketika digambarkan melalui
acuan terhadap binatang, missal, “sapi, serigala, ayam, ular, anjing betina,
otak burung, otak kuda, dll”. Demikian pula alam
“difeminisasi” ketika “ia” diperkosa, dikuasai, ditakhlukkan, dikendalikan,
dipenetrasi, dikalahkan, dan ditambang oleh laki-laki, atau ketika “ia”
dihormati atau disembah sebagai “ibu” yang paling mulia dari segala ibu.[14]
Bahwa penindasan
manusia terhadap alam juga berakibat pada penindasan pada manusia lainnya.
Karenanya menyelamatkan manusia berarti menyelamatakan alam dan juga
sebaliknya.
Kritik
Terhadap Feminisme Ekofeminisme
Karena kita tidak
dapat melihat persoalan perempuan dan alam secara persial. Sehingga perjuangan perempuan
dan alam harus dielaborasi demi mencapai keadilan dan
kesetaraan untuk perempuan, jika tidak ia hanya memberikan keadilan semu dan
dipakai untuk perjuangan kelompok lain yang mengatasnamakan perempuan.
Erjuangan perempuan dengan berpegang pada adat dan spiritualitas yang
esensialistik tidak memandang perempuan secara setara, dan pada akhirnya tidak
melihat persoaan secara holistik. Bagi feminisme, perjuangan melindungi alam
berbasis keadilan terhadap perempuan dengan berani membongjar peindasan partiarkal
yang masih bersarang di sana. Feminisme sebagai upaya untuk melawan naturisme
dan esensialisme, yang artinya, ia berupaya menghapus seksisme.
Gagasan ini penting dalam pemikiran ekofeminisme, karena lgika ini
berhasil mendeteksi bahw secara konseptual seksisme beririsan dengan naturisme,
jangan sampai kita mempertahankan logika dominasi dalam memperjuangkan alam dan
menggunakan konsep “ibu bumi” untuk kepentingan budaya patriaki. Sehingga
perjuangan ekofeminisme harus konsisten dan konsekuen barulah ia akan mendekat
pada keadilan dan kesetaraan.
DAFTAR PUSTAKA
Hilman Phew Fauzi, 2012, “Teori-Teori Feminisme”, diakses
melalui: https://www.scribd.com/doc/78230719/Teori-teori-feminis#download, Pada hari Rabu tanggal 8 Mei 2019
Danang Arif Nugroho dan Ady Apriliawan,
2011, “Teori Feminisme Liberal”,
diakses melalui: https://wwwa.scribd.com/doc/70900255/Teori-Feminisme-Liberal#download,
Pada hari Rabu tanggal 8 Mei 2019
Wibiono. 2011, “Teori Feminisme Radikal”, diakses melalui : https://www.scribd.com/doc/74024284/Teori-Feminisme-Radikal#download, Pada hari Rabu tanggal 8 Mei 2019
Diakes melalui: https://mausukasuka.blogspot.com/2011/03/teori-hukum-feminist-legal-theory.html, Pada hari Rabu tanggal 8 Mei 2019
Diakes
melalui: https://lakilakibaru.or.id/feminist-legal-theory-sebuah-tinjauan-singkat/,
Pada hari Rabu tanggal 8 Mei 2019
Diakses melalui: https://penulisbima.blogspot.com/2017/11/feminisme-multikultural-dan-global.html,
Pada hari Rabu tanggal 8 Mei 2019
Diakses melalui: http://muhaiminzul.lecture.ub.ac.id/2017/01/feminisme-suatu-pengantar-singkat/,
Pada hari Rabu tanggal 8 Mei 2019
[1] Irianto, Sulistyawati, 2009, Op.
Cit., hlm. 256., diakses melalui: https://lakilakibaru.or.id/feminist-legal-theory-sebuah-tinjauan-singkat/
[2] Arifia, Gadis, 2003, Filsafat
Berperspektif Feminis. Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta. hlm. 84., diakses
melalui: https://lakilakibaru.or.id/feminist-legal-theory-sebuah-tinjauan-singkat/
[3] Tong, Rosemarie Putnam, 2008, Feminist
Thought. Jalasutra, Yogyakarta. Hlm. 18-21., diakses melalui: https://lakilakibaru.or.id/feminist-legal-theory-sebuah-tinjauan-singkat/
[4] ibid., Hlm. 45., diakses
melalui: https://lakilakibaru.or.id/feminist-legal-theory-sebuah-tinjauan-singkat/
[5] Arifia, Gadis, 2003, Op. Cit,
hlm 99 ., diakses melalui: https://lakilakibaru.or.id/feminist-legal-theory-sebuah-tinjauan-singkat/
[6] Tong, Rosemarie Putnam, 2008,
Op. Cit., hlm 139., diakses melalui: https://lakilakibaru.or.id/feminist-legal-theory-sebuah-tinjauan-singkat/
[7] Arifia, Gadis, 2003, Op. Cit.,
hlm. 111., diakses melalui:
https://lakilakibaru.or.id/feminist-legal-theory-sebuah-tinjauan-singkat/
[8] Ibid. hlm. 120., diakses
melalui: https://lakilakibaru.or.id/feminist-legal-theory-sebuah-tinjauan-singkat/
[9] ong, Rosemarie Putnam, 2008, Op.
Cit., hlm 177., diakses melalui: https://lakilakibaru.or.id/feminist-legal-theory-sebuah-tinjauan-singkat/
[10] Ibid. hlm. 129., diakses
melalui: https://lakilakibaru.or.id/feminist-legal-theory-sebuah-tinjauan-singkat/
[11] Tong, Rosemarie Putnam, 2008, Op. Cit., hlm.
309., diakses melalui: https://lakilakibaru.or.id/feminist-legal-theory-sebuah-tinjauan-singkat/
[12] Ibid. hlm. 309-3010., diakses melalui: https://lakilakibaru.or.id/feminist-legal-theory-sebuah-tinjauan-singkat/
[13] Ibid. hlm. 330., diakses
melalui: https://lakilakibaru.or.id/feminist-legal-theory-sebuah-tinjauan-singkat/
[14] Ibid. hlm. 359-360., diakses
melalui: https://lakilakibaru.or.id/feminist-legal-theory-sebuah-tinjauan-singkat/
No comments:
Post a Comment