ANALISIS
PEMILU 2019 TERKAIT BANYAKNYA ANGGOTA KPPS YANG MENINGGAL
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Pemilihan Umum
2019 adalah pemilihan
legislatif dengan pemilihan
presiden yang diadakan secara serentak. Hal ini dilakukan
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-11/2013 tentang pemilu
serentak, yang bertujuan untuk meminimalkan pembiayaan negara dalam pelaksanaan
pemilu, meminimalisir politik biaya tinggi bagi peserta pemilu, serta politik
uang yang melibatkan pemilih, penyalahgunaan kekuasaan atau mencegah politisasi
birokrasi, dan merampingkan skema kerja pemerintah.
Untuk
mewujudkan pemilihan 2019 yang simultan, diperlukan upaya-upaya terkait
bagaimana merancang pemilihan yang serentak dalam perspektif politik, yakni dengan
mereformasi sistem perwakilan, sistem pemilihan, dan sistem kepartaian, dalam melaksanakan
pemilihan umum serentak 2019 yang bertujuan
menciptakan pemerintahan yang efektif.
Namun Pengaturan pemilu secara parsial, berupa undang-undang pemilu legislatif
(UU No 8/2012), undang-undang pemilu presiden (UU No 42/2008), dan
undang-undang pilkada (UU No 1/2015 juncto UU No 8/2015), serta undang-undang
penyelenggara pemilu (UU No 15/2011), telah menghasilkan 4 masalah serius:
pertama, tumpang tindih dan kontradiksi pengaturan; kedua, pengulangan atau
duplikasi pengaturan; ketiga, standar beda atas isu yang sama; dan keempat,
tidak koheren dalam mengatur sistem pemilu legislatif dan pemilu eksekutif.
Dengan sendirinya keempat masalah itu menyebabkan ketidakpastian dan
ketidakadilan hukum pemilu.[1]
Berdasarkan hal tersebut, apakah menjadi penyebab kasus
meninggalnya petugas penyelenggara Pemilu 2019 yang menjadi catatan di pesta
demokrasi lima tahunan kali ini?. KPU menyebut ada 456 orang petugas KPPS yang
meninggal dan 4.310 lainnya yang sakit.[2]
Kelelahan akibat beban kerja yang berat disinyalir menjadi penyebab melayangnya
nyawa para pahlawan demokrasi itu. Fenomena tersebut menjadi sorotan publik dan
para elite politik, dikarenakan masih menyisakan banyak tanya, karena banyak
kejanggalan yang muncul belakangan.
Untuk itu dalam makalah ini penulis mencoba mencari
tahu penyebab banyak anggota KPPS yang meninggal, melalui asumsi-asumsi yang
ada dimedia serta fakta-fakta yang terungkap terkait fenomena yang terjadi di
pemilihan umum 2019, apakah hal ini terjadi karena pengaruh peraturan
perundang-undangan pemilihan umum yang persial atau karena faktor lain diluar
hukum yang terpengaruh karena aturan tersebut atau murni karena faktor lain
yang tidak ada kaitannya dengan aturan tersebut.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian latar masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan pemilu berkaitan dengan analisis pemilihan umum 2019
terkait banyaknya anggota KPPS yang
meninggal?
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1. Tinjauan Umum terkait KPPS
2.1.1. Pengertian KPPS[3]
KPPS Adalah Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara. Petugas KPPS sangat
vital didalam pelaksanaan Pemilu yang jurdil, merekalah ujung tombak dari
pelaksanaan Pemilu, sehingga Netralitas dan kualitas SDM disini sangat
dibutuhkan. Ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan terkait dengan petugas
KPPS ini,
1)
Dibutuhkan SDM
yang tangguh karena meraka harus bertugas dari pagi sampai malam bahkan sampai
tengah malam/dini hari,
2)
Dibutuhkan SDM
yang berkualitas karena mereka harus betul betul jeli ketika melakukan
pemungutan suara maupun input data, ada kesalahan sedikit saja bisa berakibat
fatal.
3)
Netralitas
petugas. Sayangnya dibanyak tempat para petugas KPPS dari sisi kualitas ada
yang kurang pas, ada juga yang tidak netral.
Sebagai contoh ada di beberapa tempat Petugas KPPS tidak paham tentang
surat suara yang syah dan tidak syah, ketika saya mencoba keliling ke TPS-TPS
saya melihat ada kesalahan persepsi tentang syah dan tidaknya suatu surat
suara, sehingga saya terpaksa menyuruh untuk dilakukan penghitungan ulang dari
awal lagi, padahal sudah selesai menghitung satu Tingkatan legislatif. Padahal
mereka sudah di BIMTEK, namun tetap saja tidak paham. Ini salah satu contoh
dilapangan. Solusinya : kondisi ini bisa
di minimalisir ketika dari para saksi banyak yang paham tentang proses
penghitungan surat suara, tentu saja disertai bukti berupa juklaknya, sehingga
mereka bisa mengkoreksi kalau terjadi “kesalahan”. Masih ada beberapa
permasalahan lain di tingkat KPPS yang sangat urgent untuk diperhatikan, yaitu
“kesalahan” penjumlahan surat suara, “kesalahan” input data. Ini sangat penting
sekali dan hal ini jika di lihat secara global
yaitu sekitar 801 ribuan TPS maka menjadi dahsyat. Bisa dibayangkan
ketika terjadi “kesalahan” 5 surat suara saja ditiap TPS dikalikan 800.000 TPS
se Indonesia maka jumlahnya menjadi 4 juta suara. Untuk itu siapapun peserta
kontestannya kalau ingin selamat suaranya maka harus memiliki kader kader yang
hebat yang dijadikan saksi di tingkat TPS-TPS, bahkan bilamana perlu kerahkan
segala kekuatan untuk mengawal surat suara di tingkat TPS, jangan ada satu
TPSpun yang terlewatkan. Karena peluang terbesar terjadinya “kesalahan” ada di
TPS.
2.1.2. Tugas dan Wewenang KPPS[4]
Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara atau disingkat
dengan KPPS dibentuk oleh pps atas nama kpu kabupaten/kota untuk melaksanakan
pemungutan suara dan penghitungan suara di TPS. Anggota KPPS sebanyak 7 (tujuh)
orang yang terdiri atas seorang ketua merangkap anggota dan enam anggota serta
dibantu oleh 2 (dua) orang petugas ketertiban dan keamanan TPS. Berikut adalah
tugas dan wewenang kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS).
Secara Umum Tugas KPPS dalam melaksanakan pemungutan
dan penghitungan suara di TPS salah satunya adalah dalam rangka mewujudkan
kedaulatan pemilih, melayani pemilih menggunakan hak pilih, memberikan akses
dan layanan kepada pemilih disabilitas dalam memberikan hak pilihnya.
Adapun
Tugas dan wewenang KPPS, antara lain:
1)
Mengumumkan dan
menempelkan daftar pemilih tetap di TPS;
2)
Menyerahkan
daftar pemilih tetap kepada saksi peserta Pemilu yang hadir dan Pengawas Pemilu
Lapangan;
3)
Melaksanakan
pemungutan dan penghitungan suara di TPS;
4)
Mengumumkan
hasil penghitungan suara di TPS;
5)
Menindaklanjuti
dengan segera temuan dan laporan yang disampaikan oleh saksi, Pengawas Pemilu
Lapangan, peserta Pemilu, dan masyarakat pada hari pemungutan suara;
6)
Menjaga dan
mengamankan keutuhan kotak suara setelah penghitungan suara dan setelah kotak
suara disegel;
7)
Membuat berita
acara pemungutan dan penghitungan suara serta mebuat sertifikat penghitungan
suara dan wajib menyerahkannya kepada saksi peserta Pemilu, Pengawas Pemilu
Lapangan, dan PPK melalui PPS;
8)
Menyerahkan
hasil penghitungan suara kepada PPS dan Pengawas Pemilu Lapangan;
9)
Menyerahkan
kotak suara tersegel yang berisi surat suara dan sertifikat hasil penghitungan
suara kepada PPK melalui PPS pada hari yang sama;
10)
Melaksanakan
tugas, wewenang, dan kewajiban lain yang diberikan oleh KPU, KPU Provinsi, KPU
Kabupaten/Kota, PPK, dan PPS sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
11)
Melaksanakan
tugas, wewenang, dan kewajiban lain yang diberikan oleh Undang-undang.
2.2. Peluang
dan Tantangan dalam PEMILU 2019
2.2.1. Peluang dan Tantangan bagi Pemilih[5]
Untuk melihat peluang, hal
ini merujuk pada pendapat para ilmuan bahwa pemilu serentak akan meningkatkan
partisipasi pemilih. Menurut Norris, pemilih dalam pemilihan umum legislatif
lebih rendah jika pemilihan umum legislatif
dan pemilihan umum presiden dilaksanakan secara terpisah (Stockemer
& Calca, 2014: 564). Menurunnya suara dalam pemilihan umum legislatif
karena menganggap bahwa pemilihan umum presiden lebih penting daripada
pemilihan umum legislatif. Menurunnya jumlah pemilih dalam pileg, karena
pemilih harus datang ke TPS dua kali yang tentunya akan membutuhkan biaya,
termasuk juga biasa untuk mencari informasi mengenai isu dan kandidat dari
kedua pemilihan. Adanya biaya yang harus dikeluarkan tersebut mencegah pemilih
untuk datang ke TPS, khususnya dalam pileg yang dianggap kurang penting.
Di Indonesia, pemilu anggota
legislatif dilaksanakan terlebih dahulu
dari pemilu presiden. Tingkat partisipasi politik dari masyarakat pada pemilu
legislatif dalam pemilu 2009 sebesar
71%, sementara dalam pilpres turun menjadi 72,09%. Sedangkan dalam pemilu 2014,
partisipasi pemilih dalam pemilu
anggota legislatif sebesar
75,1% sedangkan dalam
pemilihan umum presiden sebesar 69,58% (Purnamasari, 2017).
Penurunan tingkat partisipasi pemilih ini bisa dihindari apabila dilaksanakan
pemilu serentak. Dengan demikian, pemilu serentak antara pileg dan pilpres akan
meningkatkan partisipasi. Argumen pemilu serentak akan meningkatkan partisipasi
pemilih, selain alasan efisiensi waktu, tenaga dan biaya dari pemilih yang
dikeluarkan untuk datang ke TPS. Riker dan Ordeshook (dalam Stockemer &
Calca, 2014: 564) menyatakan bahwa pemilu serentak akan memberikan dorongan
psikologis, yaitu mereka menilai bahwa mereka memilih dua pejabat tinggi secara
serentak.
Sedangkan untuk melihat
tantangan, meskipun pemilu serentak akan meningkatkan partisipasi pemilih dan
efisiensi waktu, tenaga dan biaya untuk datang ke TPS, namun pelaksanaan pemilu
serentak yang memilih beberapa pejabat politik sekaligus membutuhkan waktu yang
lebih banyak dalam bilik suara. Paling tidak terdapat 5 kertas suara yang harus
dipilih yaitu pasangan calon presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI,
anggota DPD RI, anggota DPRD Provinsi dan anggota DPRD Kabupaten/Kota.
Selain terdapat 5 kertas
suara yang harus dipilih, pemilu proporsional yang memilih
calon menjadikan kertas
suara cukup besar,
sehingga waktu yang
dibutuhkan untuk membuka dan
melipat kembali menjadi lebih banyak. Selain itu, pemilu serentak membawa
kesulitan bagi pemilih dalam menentukan pilihannya karena informasi yang
diterima menjadi sangat banyak,
namun kemampuan untuk
mengolah informasi terbatas
sehingga pemilih cenderung
untuk memilih kandidat nasional dengan isu-isu nasional. Oleh karena
itu, perlu upaya sosialisasi dan pendidikan pemilih yang serius dari
penyelenggara pemilu untuk meningkatkan kesadaran politik dari pemilih.
2.2.2. Peluang dan Tantangan bagi Pemerintah (Presiden
dan DPR)
Pemilu serentak memberikan
peluang bagi terciptanya system pemerintahan presidensial yang lebih kuat
dan stabil. Hal
ini karena koalisi
yang dibentuk dalam
mengusung pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden dilakukan lebih awal dan didasarkan kepada
visi misi yang sama, tidak semata-mata untuk memenangkan pemilihan.
Hal ini
sebagaimana dinyatakan oleh
Reynolds, Reilly, &
Ellis (2008: 124) bahwa pemilu
serentak menguntungkan partai pendukung presiden, dan mengurangi
fragmentasi antara legislatif dan eksekutif. Dengan demikian maka koalisi yang
dibangun akan menjadi lebih solid. Koalisi yang memperoleh dukungan mayoritas
di parlemen dan memenangkan pilpres kemungkinan akan berjuang untuk memenangkan
pilkada. Kekuasaan yang sama pada level nasional dan lokal akan memudahkan presiden
dalam melakukan koordinasi
dan penyelenggaraan pemerintahan
yang berjenjang sehingga
pemerintahan juga akan lebih efektif.
Adapun tantangannya, dalam
menciptakan koalisi yang solid dan berbasis visi misi, diperlukan
penyederhanaan sistem kepartaian. Penyederhanaan sistem kepartaian akan bisa
terwujud apabila diawali dengan perbaikan sistem pemilu. Selain itu, diperlukan
sinkronisasi peraturan mengenai pemilu serentak, baik UU tentang partai
politik, UU pemilihan umum maupun UU pemilihan umum presiden dan Wakil
Presiden.
2.2.3. Peluang dan Tantangan bagi Partai Politik
Dengan peluang adanya pemilu
serentak, partai politik bisa melaksanakan fungsi-fungsinya secara lebih
efisien. Waktu, tenaga dan biaya yang dibutukan oleh partai politik untuk
kampanye menjadi lebih efisien karena dilakukan secara bersamaan. Koalisi dalam
mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden bisa dilakukan lebih awal.
Partai politik, bahkan partai kecil sekalipun mempunyai peluang yang sama dalam
mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Pasangan capres dan
cawapres yang popular dan bisa diterima oleh partai-partai yang lain merupakan
cara untuk mendongkrak suara partai dan memenangkan pemilu.
Sedangkan tantangannya,
partai politik harus mampu menawarkan pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden yang populer dan bisa diterima oleh partai-partai yang lain untuk
memperoleh dukungan dari koalisi partai yang akan dibentuk. Setiap sistem
pemilu membawa konsekuensi bagi partai politik, sehingga pemilu serentak
menuntut partai politik menggunakan strategi yang berbeda dalam
memenangkan pemilu. Hal
ini sebagaimana dikemukakan
oleh (Sartori, 2007:
23-24), bahwa perubahan
sistem pemilu akan
membawa perubahan cara
berkompetisi dan mempengaruhi karakter kompetitif dari partai politik.
Apalagi dalam pemilu
serentak terdapat coattail effect.
Apabila partai termasuk dalam gerbong calon
Presiden yang memperoleh
dukungan mayoritas dari
masyarakat akan mendapatkan
keuntungan dalam pemilihan
umum legislatif, namun
sebaliknya, bila kandidat
presiden yang diusung kurang populer di masyarakat akan
berdampak pada kurangnya simpatisan partai.
2.2.4. Peluang dan Tantangan Bagi Penyelenggara Pemilu
Peluang adanya pemilu
serentak bagi penyelenggara pemilu adalah efisiensi biaya pemilu itu sendiri.
Dalam konteks Indonesia, penyelenggara pemilu meliputi KPU dan Bawaslu yang
dalam pelaksanaan tugasnya secara etis dikontrol oleh Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemiu (DKPP). KPU bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemilu
mulai dari pendataan pemilih, menerima dan memvalidasi nominasi kontestan
pemilu baik partai politik maupun kandidat, melaksanakan pemilu, perhitungan
suara dan rekapitulasi suara. Sementara Bawaslu bertugas mengawasi pelaksanaan
pemilu agar sesuai
dengan asas pemilu
yang langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur
dan adil. Dalam pelaksanaan peran dan fungsi tersebut
tentunya terkait banyak aspek teknis pemilu dan manajemen pemilu yang harus
dilakukan. Sistem pemilu yang berbeda membutuhkan pengaturan dan persiapan
serta manajemen pemilu yang berbeda. Peluang terbesar dari penyelenggara pemilu
dengan dilaksanakannya pemilu serentak adalah efisiensi anggaran pemilu, karena
pemilu tidak lagi dilaksanakan berkali kali.
Sedangkan tantangannya,
perubahan sistem pemilu
dari pemilu bertahap
menjadi pemilu serentak membawa konsekuensi teknis
penyelenggaraan pemilu yang cukup besar. Pelaksanaan pemilu serentak
membutuhkan kapabilitas dan
profesionalitas
penyelenggara pemilu yang
baik. Meskipun pemilu serentak rentang waktu pelaksanaan pemilu menjadi
lebih pendek dan penggunaan
anggaran lebih efisien,
namun persiapan penyelenggaraan pemilu
membutuhkan waktu yang cukup
panjang. Aspek teknis penyelenggaraan pemilu menjadi lebih rumit. Logistik
pemilu menjadi lebih banyak, sehingga harus dipersiapkan secara matang agar
pelaksanaan pemilu tidak mengalami hambatan. Masalah kapabitas penyelenggara
pemilu ini sangat penting untuk suksesnya pemilu serentak. Hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Reynolds, dkk. (2008: 124), bahwa apabila terdapat permasalahan
kapabilitas dalam menangani logistik, pemilu legislatif dan pemilu presiden secara terpisah merupakan
pilihan.
Pemilu serentak
juga membutuhkan kertas
suara yang lebih
banyak, serta waktu
yang dibutuhkan pemilih di dalam
bilik suara menjadi lebih banyak. Oleh karena itu penyelenggara pemilu dituntut
untuk bisa mendesain surat suara yang lebih sederhana.
Selain itu,
sosialisasi kepada pemilih
harus dilaksanakan secara
lebih luas baik
dari segi kualitas maupun kuantitasnya agar tetap
tercipta pemilu yang berkualitas pula.
Beberapa
tantangan lain dalam penyelenggaraan pemilu serentak terkait dengan
penyederhanaan dalam penyelenggaraan pemilu adalah perubahan sistem pemilu yang
berbasis pada pilihan partai (sistem
proporsional daftar tertutup)
dan penyederhanaan system
kepartaian, serta penataan
kembali daerah penelitian.
Aspek sinkronisasi Undang-Undang, tertama
UU Pemilihan umum
presiden, UU Pemilu dan UU Partai politik, juga menjadi sangat penting
bagi penyelenggara pemilu. Semua
kebijakan yang mendukung
penyelenggaraan pemilu serentak
akan terwujud apabila
penyelenggara pemilu menjalin kerjasama yang baik dengan DPR dan
Pemerintah.
Selain
memperhatikan peluang dan tantangan pemilu serentak di atas, secara teknis,
hambatan penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 harus bisa menghitung dan
menjawab persoalan tentang norma pengaturan pemilu serentak itu; jadwal,
tahapan dan program, termasuk pola rekrutmen penyelenggara pemilu sampai ke
tingkat bawah yang tidak mengganggu berlangsungnya jadwal, tahapan dan program
satu siklus pemilu utuh, sampai soal eksekusi di lapangan yang melibatkan
pengamanan pemilunya (penyelenggara, logistik, proses pemilu, pengumuman hasil,
pelantikan). Sepanjang semua hal teknisnya diperhitungkan dan pengaturan
dasarnya dimuat dalam ketentuan undang-undang, pelaksanaan teknisnya tidak akan
ada masalah yang berarti. Untuk meminimalisir hambatan dalam penyelenggaraan
Pemilu Serentak 2019, beberapa hal (upaya) yang dapat dilakukan adalah adanya
undang-undang Pemilu Serentak yang mengatur garis besar penyelenggaraan Pemilu
Serentak itu. Tidak perlu rigid (kaku)karena ini yang akan dituangkan dalam
peraturan KPU. Koordinasi dengan berbagai pihak yang berhubungan dengan pemilu,
tentu menjadi hal yang harus selalu dijalin bahkan sejak saat ini.
BAB III
PEMBAHASAN
Keuntungan diadakannya pemilu serentak bagi
penyelenggara pemilu adalah efisiensi biaya pemilu itu sendiri. Namun, Sistem
pemilu yang berbeda membutuhkan pengaturan dan persiapan serta manajemen pemilu
yang berbeda. Meskipunkeuntungan terbesar dari penyelenggara pemilu dengan
dilaksanakannya pemilu serentak adalah efisiensi anggaran pemilu, karena pemilu
tidak lagi dilaksanakan berkali kali. Namun,
perubahan sistem pemilu
dari pemilu bertahap
menjadi pemilu serentak membawa konsekuensi teknis
penyelenggaraan pemilu yang cukup besar. Pelaksanaan pemilu serentak
membutuhkan kapabilitas dan
profesionalitas penyelenggara pemilu
yang baik. Meskipun pemilu serentak
rentang waktu pelaksanaan pemilu menjadi lebih pendek dan penggunaan anggaran
lebih efisien, namun
persiapan penyelenggaraan pemilu
membutuhkan waktu yang cukup
panjang. Aspek teknis penyelenggaraan pemilu menjadi lebih rumit. Logistik pemilu
menjadi lebih banyak, sehingga harus dipersiapkan secara matang agar
pelaksanaan pemilu tidak mengalami hambatan.
Pemilihan umum secara serentak telah selesai
dilaksanakan pada tanggal 17 April 2019 yang dalam prosesnya banyak ditemukan
permasalahan, namun yang paling banyak disoroti terkait Kasus meninggalnya
ratusan anggota KPPS masih menyisakan banyak tanya. Pasalnya hingga kini
kematian yang awalnya disebut-sebut karena kelelahan kerja (kill fatigue) namun ternyata banyak
kejanggalan yang muncul belakangan.
Kasus meninggal petugas KPPS ternyata juga pernah
terjadi di Pemilu 2014. Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthow menyebut saat
Pileg 2014 tercatat ada 114 orang petugas KPPS yang meninggal. Data itu memang
lebih kecil dari jumlah yang meninggal di Pemilu serentak 2019 yang hingga
Selasa tanggal 7 Mei 2019, tercatat ada 456 orang meninggal. Soal petugas KPU
di Pemilu 2019 lebih banyak meninggal, dia menyebut memang salah satunya karena
sistem pemilu yang menyatukan Pileg dan Pilpres dalam satu hari, sehingga ada 5
surat suara, menyebabkan beban pekerjaan semakin berat. Dan jumlah petugas KPPS
memang juga bertambah, yang dulunya TPS
570 ribuan, sekarang menjadi 810 ribuan.[6]
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
menilai fenomena banyaknya petugas KPPS yang meninggal di Pemilu 2019. Direktur
Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, mengatakan ada beberapa logikanya tidak
beres. UU Pemilu yang menggabungkan 3 UU yaitu UU tentang Penyelenggara Pemilu,
UU Pileg, dan UU Pilpres, menghasilkan pemilu yang rumit dan berkonsekuensi
pada banyak hal, salah satunya beban kerja penyelenggara pemilu. Menurutnya, UU
Pemilu seharusnya dibangun atas logika pemilu yang serentak, namun ternyata
pemerintah dan DPR sebagai penyusun undang-undang, masih menggunakan pemilu
yang terpisah. Selain masalah logika UU Pemilu, Titi menyebut peliknya Pemilu
2019 yang menyebabkan beban petugas bertambah. Selain karena surat suara ada
lima lembar, juga pertambahan parpol menjadi 16 yang otomatis membebani proses
penghitungan suara di TPS. Menurut titi, KPPS itu selain dibebani pekerjaan
yang berat, juga harus memahami banyak aturan baru agar mereka tidak keliru,
ditambah lagi kompleksitas teknis hari H di mana mereka dituntut bekerja
hati-hati dan cermat agar tidak melakukan kesalahan yang bisa membuat mereka
kena masalah berikutnya.
Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan
(Kemenkes) RI drg. Oscar Primadi mengatakan pihaknya sudah menerima laporan
hasil investigasi terkait penyebab kematian petugas KPPS dari dinkes di 4
provinsi (DKI Jakarta, Jawa Barat, Sulawesi Tenggara, dan Kepulauan Riau).
Keempat laporan tersebut menunjukkan hasil bahwa kematian petugas KPPS dipicu
penyakit-penyakit tertentu. Hal ini karena pekerjaan sebagai petugas pemilu
yang dituntut kondisi kesehatan yang prima, sehingga para petugas pemilu yang
mengidap penyakit tertentu akan terpicu bila tidak mengatur waktu bekerja yang
berlebihan, dan bahwa berdasarkan data KPU Pusat pertanggal 10 Mei 2019, petugas
penyelenggara Pemilu yang meninggal di DKI Jakarta sebanyak 22 jiwa, Jawa Barat
131 jiwa, Kepulauan Riau 3 jiwa, dan Sulawesi Tenggara 6 jiwa.
Laporan investigasi Dinas Kesehatan dari 4 provinsi
tersebut, korban meninggal dari DKI Jakarta disebabkan oleh infarc miocard,
gagal jantung, koma hepatikum, stroke, respiratory failure, dan meningitis. Di
Jawa Barat disebabkan oleh gagal jantung, stroke, respiratory failure, sepsis,
dan asma. Sementara di Kepulauan Riau meninggalnya petugas penyelenggara Pemilu
disebabkan oleh gagal jantung, kecelakaan, dan di Sulawesi Tenggara disebabkan
oleh kecelakaan. Sementara
dari usia, kebanyakan KPPS yang meninggal ternyata berusia lanjut, dimana yang
meninggal terbanyak di atas 50 tahun, bahkan sampai 70 tahun. Sehingga diperkirakan
penyebab meninggal nya anggota KPPS itu secara umum terkait dengan penyakit
sebelumnya yang dimiliki anggota KPPS. Faktor lain penyebab kematian adalah
beban kerja yang berat sebagai petugas KPPS, karena harus menghitung dan
merekap suara hingga lewat tengah malam, dan tidak boleh dijeda sesuai aturan.
Lebih lanjut pihak Kemenkes telah menyiagakan tenaga
kesehatan sejak sebelum waktu pencoblosan dimulai, dan adanya komunikasi dengan
tenaga kesehatan di daerah, sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelum tanggal 17
April 2019, dan kesiapsiagaan tenaga kesehatan juga telah diperkuat sejak
kejadian meninggalnya petugas pemilu, dengan disebarkannya surat edaran nomor
HK.02.02/III/1681/2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan bagi Petugas
KPPS/PPK yang Memerlukan Pelayanan Kesehatan Di Fasilitas Kesehatan pada 23
April 2019. Selain itu, Menteri Kesehatan Nila Moeloek telah membuat surat
edaran kepada seluruh dinas kesehatan untuk mengaudit secara medis penyebab
banyak KPPS meninggal dunia, melalui surat edaran nomor HK.02.02/III/1750/2019
tentang Audit Medis dan Pelaporan Petugas KPPS/PPK/Bawaslu yang Sakit dan
Meninggal di Fasilitas Pelayanan Kesehatan pada 29 April 2019. Lalu yang
terakhir surat edaran nomor HK.07.01/III/1792/2019 tentang Pelaksanaan Review
Kematian dan Laporan Pelayanan pada 7 Mei 2019.
Berdasarkan hal tersebut terdapat beberapa saran untuk
mengusut hal ini, diantaranya:
a.
Badan Pemenangan
Nasional (BPN) Prabowo-Sandi menilai peristiwa meninggalnya para petugas KPPS
ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Harus ada evaluasi dan penjelasan ilmiah
mengapa banyak sekali petugas KPU yang meninggal karena bertugas di pemilu yang
untuk pertama kalinya digelar serentak. BPN lalu mengusulkan dibentuk Tim
Pencari Fakta (TPF) yang independen untuk mengusut masalah ini. Direktur Materi
dan Debat BPN, Sudirman Said, menyebut TPF bisa menjadi pihak yang netral
mengusut masalah ini. Hal ini karena Tim Independen Pencari Fakta di samping
akan menyediakan data-data yang objektif, juga bisa menjadi jembatan bagi para
pihak yang berkonflik. Menurutnya, bila TPF dapat bekerja dengan netral, maka
akan mengembalikan kepercayaan kepada penyelenggara pemilu dan semua pihak yang
berkontestasi.
b.
Partai yang menyoroti
fenomena ini adalah PKS dengan mengusulkan adanya pansus untuk mengawasi dan
mengevaluasi akuntabilitas pelaksanaan Pemilu 2019. Ide itu diserukan anggota
DPR F-PKS Ledia Hanifa Amaliah saat sidang paripurna ke-16 di DPR. Menurutnya,
DPR patut membuat pansus pemilu untuk menyelidiki kinerja KPU yang saat ini
sangat buruk. Legislator PKS asal Jabar itu memaparkan, pemilu telah merenggut
korban jiwa sebanyak 554 orang dan membuat 788 orang sakit. Menurut Ledia, hak
angket dapat dilakukan untuk menyelidiki kasus ini, dengan mengajak seluruh
anggota DPR untuk membentuk pansus pemilu untuk mengawasi dan mengevaluasi
akuntabilitas pelaksanaan Pemilu 2019, menyelidiki penyebab kematian para
petugas KPPS, serta menyelidiki kesalahan pemasukan data yang dilakukan oleh
KPU.
Menyikapai fenomena ini, Ketua DPR Bambang Soesatyo
(Bamsoet) menegaskan DPR membuka peluang untuk mengevaluasi secara menyeluruh
pelaksanaan pemilu serentak 17 April lalu. Bamsoet mengaku, ia merekam berbagai
pandangan masyarakat soal kekurangan sistem pemilu serentak. Sehingga banyak masyarakat
yang menginginkan pemilu mendatang dilaksanakan secara terpisah dan mengkaji
kembali sistem pemilu yang lebih sesuai. Fenomena ini terjadi Diduga karena
penyatuan ini sehingga berkontribusi pada kerja KPPS yang menjadi lebih berat
hingga menimbulkan banyak korban jiwa karena kelelahan.
Kasus meninggalnya petugas penyelenggara Pemilu 2019
menjadi catatan di pesta demokrasi lima tahunan kali ini. KPU menyebut ada 456
orang petugas KPPS yang meninggal dan 4.310 lainnya yang sakit. Kelelahan
akibat beban kerja yang berat disinyalir menjadi penyebab melayangnya nyawa
para pahlawan demokrasi itu. Haruskah penyelenggaraan serentak antara pemilihan
umum anggota legislatif (pileg) dan Pemilu Presiden/Wakil Presiden (Pilpres) RI
dilanjutkan untuk Pemilu 2024? Pertanyaan itu mencuat setelah Pileg dan Pilpres
2019 secara serentak yang berlangsung 17 April lalu mengakibatkan lebih dari
seratus petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) meninggal dunia,
baik saat maupun setelah bertugas. Dalam sejarah pemilu di Tanah Air, angka itu
jelas yang tertinggi sehingga menjadi fenomenal. Demokrasi, sistem terbaik dan
paling damai dalam mengantarkan transisi atau kontinuitas terbatas kekuasaan
tanpa pertumpahan darah, jelas tak menghendaki fenomena tragis itu.
Tak berlebihan jika Presiden RI Joko Widodo yang juga
petahana dalam Pilpres 2019 menyatakan dukacita mendalam dan memberikan
predikat pahlawan demokrasi bagi mereka yang meninggal akibat jerih paya mereka
menunaikan kerja untuk demokrasi itu. Tentu pemangku kepentingan demokrasi di
Indonesia, baik elite politik, pakar politik, aktivis demokrasi, maupun warga
yang peduli nasib bangsa, perlu mengevaluasi kembali pelaksanaan pemilu
serentak yang mengakibatkan kematian dalam jumlah yang fenomenal itu.
Terlepas dari perkara takdir yang berada di luar
kapastitas manusia, faktor utama penyebab kematian petugas KPPS itu tak lain
dan tak bukan adalah kelelahan petugas. Meninggal akibat kelelahan, bagi pakar
di dunia medis agaknya dengan mudah dicarikan penjelasan ilmiahnya sekaligus
solusi untuk mencegah kejadian serupa di kemudian hari. Pemilu serentak yang
memaksa petugas KPPS bekerja di luar batas kemampuan rata-rata manusia, bahkan
ada yang terus bertugas menghitung surat suara melebihi 24 jam, karena harus
menghitung tuntas semua surat suara yang sudah tercobolos agaknya bisa dicari
penyelesaiannya.
Hal ini minumbulkan pertanyaan, Mengapa penghitungan
suara harus dituntaskan sehingga memaksa petugas kelelahan dan mengakibatkan
meninggal dunia bagi yang tak sanggup memanggul beban seberat itu? Tidak
bisakah dibuat aturan, misalnya, hari pertama yang dihitung cukup surat suara
untuk pemilihan umum presiden dan wakilnya? Keputusan untuk menghitung secara
tuntas, antara lain, dilandasi kekhawatiran dengan argumen bahwa menunda
penghitungan akan memberikan peluang untuk terjadinya kecurangan, peluang bagi
tangan-tangan jahil yang akan mengubah atau mendistorsi pilihan pada suarat
suara yang sudah tercoblos tetapi belum dihitung.
Namun bukankah peluang kecurangan bisa saja ditutup
dengan melibatkan polisi lebih banyak untuk menjaga surat suara dalam kotak
suara yang belum dihitung. Ini hanya soal prosedur pengamanan, yang bisa
diaplikasikan dengan konsekuensi menambah biaya penjagaan kotak suara. Karena
pemilu serentak telah memangkas cukup besar dana pemilu dibanding ketika pemilu
anggota legislatif dan pilpres diselenggarakan sendiri-sendiri, penambahan
biaya petugas keamanan menjaga surat suara selama sehari tentu tak terlampau
memberatkan anggaran.
Solusi lain mengatasi fenomena kematian petugas KKPS
adalah mengeluarkan aturan tentang persyaratan kesehatan bagi petugas KPPS pada
pemilu serentak 5 tahun mendatang. Kematian akibat kelelahan tentu berkaitan
dengan faktor kualitas kesehatan individu. Jumlah petugas KPPS secara
keseluruhan, yang bekerja untuk sekitar 809.500 tempat pemungutan suara (TPS),
dengan rata-rata tujuh petugas KPPS untuk setiap TPS, mencapai sekitar
5.666.500 orang.[7]
Sekali lagi, nyawa petugas KPPS yang melayang saat
bertugas tak bisa dipandang enteng dengan meninjaunya dari sudut kuantitas atau
dianggap sebagai persoalan statistik semata. Namun, dengan melihat rasio
kematian dengan jumlah keseluruhan petugas KPPS yang selamat menjalankan tugas,
persoalan kematian tak harus menjadi alasan untuk merombak sistem pemilu yang
yang secara substansial lebih bagus dari sistem sebelumnya. Mungkin yang paling
rasional adalah revisi teknis prosedural, bukan merombak sistem pemilu untuk
kembali ke sistem sebelumnya. Selama ini, belum terantisipasi bahwa petugas
KPPS haruslah warga yang sehat, tak memiliki riwayat penyakit jantung atau
penyakit yang berakibat fatal oleh faktor kelelahan. Dengan memiliki surat
keterangan dokter bahwa seseorang dinyatakan sehat, sedikitnya fenomena tragis
berupa kematian petugas KPPS akibat kelelahan dapat diminimalisasi.
Untuk mengembalikan sistem penyelenggaraan Pemilu
2014, yang memisahkan waktu berlangsungnya pileg dan pilpres untuk pemilu
mendatang agaknya perlu dikaji lebih jauh. Masalahnya, sistem pembedaan
penyelenggaraan pemilu yang mendahulukan pileg sebelum pilpres oleh para pakar
politik dinilai memiliki kelemahan esensial-substansial. Salah satu kelemahan
substansial adalah terjadinya tawar-menawar politik jangka pendek yang
didasarkan semata-mata atas kepentingan kekuasaan elite parpol dengan
capres/cawapres yang mereka dukung. Di luar itu, faktor utama yang membuat
Mahkamah Konstitusi berpihak pada pemilu serentak adalah penghematan anggaran.
Tidak bisa kita pungkiri juga bahwa kasus kematian
fenomenal petugas KPPS ini boleh jadi akan dimainkan oleh elite politik untuk
menghitung keuntungan dan kerugian politik bagi kepentingan kelompok. Hal ini
karena keuntungan dari Pemilihan Umum serentak bagi partai politik, apabila
partai termasuk dalam gerbong calon
Presiden yang memperoleh
dukungan mayoritas dari
masyarakat akan mendapatkan
keuntungan dalam pemilihan
umum legislatif, namun
sebaliknya, bila kandidat
presiden yang diusung kurang populer di masyarakat akan
berdampak pada kurangnya simpatisan partai. Bagi elite yang merasa parpolnya
menangguk suara lebih banyak saat Pemilu 2014, kecenderungan untuk memilih
sistem pemisahaan waktu pileg dan pilpres lebih kuat.
Fenomena banyaknya petugas Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia terus menjadi pembicaraan. Penulis
sependapat bahwa seharusnya semua pihak ramai-ramai untuk setuju agar isu
kematian petugas KPPS tidak dipolitisasi. Hal tersebut juga disampaikan Viryan
komisioner KPU Viryan Aziz saat menanggapi hoax
petugas KPPS bernama Sita Fitriati meninggal dunia karena diracun. Ia juga
mendukung langkah keluarga Sita yang melaporkan penyebar hoax itu ke polisi.. Imbauan
agar isu petugas KPPS meninggal dunia tak dipolitisir juga datang dari Bawaslu.
Komisioner Bawaslu, Mochammad Afifuddin mengutuk adanya berita bohong soal
petugas KPPS meninggal karena diracun. Afif mengatakan penyebab petugas KPPS
meninggal berbeda-beda, tetapi salah satunya karena kelelahan. Para petugas KPPS
menurutnya juga menghadapi tantangan tekanan publik. Selain itu, penyebab
lainnya, jika daya tahan tubuh lemah, petugas KPPS rentan terkena penyakit. Ia
memastikan tidak ada petugas yang meninggal karena diracun. Ia menyayangkan
beredarnya hoax petugas KPPS meninggal karena diracun.
Menyikapi fenomena ini penulis dapat menarik suatu
kesimpulan bahwa banyaknya anggota KPPS yang meninggal dikarenakan pengaturan
terkait peraturan perundang-undangannya yang belum memadai secara teknis
mengenai masalah pelaksanaan Pemilu serentak padahal dari data yang diungkap
oleh KPU bahwa dalam pemilu 2014 telah ada anggota KPPS yang meninggal harusnya
menjadi acuan, yang secara logika dengan pemilu serentak ini pasti akan terdapat anggota KPPS yang
meninggal yang mungkin jumlahna dapat meningkat mengigat tugas penyelenggara
Pemilu yang juga bertambah banyak, sehingga seharusnyaa ada revisi teknisi di
pemilu 2019 dengan mempertimbangkan tantangan dan peluang pada Pemilu 2019 yang serentak. Untuk itu
dalam pelaksanaan Pemilu 2019 ini terkait banyaknya anggota KPPS yang meninggal
agar kejadian tersebut tidak dipolitisasi dan menjadikan sebagai pembelajaran
terutama pemerintah untuk merancang suatu peraturan terkait Pemilu dengan
memperhaikan faktor-faktor yang lain terutama faktor kesehatan sebagi penyebab
utama kasus ini.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas
dapat penulis simpulkan bahwa Kasus meninggalnya petugas penyelenggara Pemilu 2019 menjadi catatan di
pesta demokrasi lima tahunan kali ini. KPU menyebut ada 456 orang petugas KPPS
yang meninggal dan 4.310 lainnya yang sakit. Kelelahan akibat beban kerja yang
berat disinyalir menjadi penyebab melayangnya nyawa para pahlawan demokrasi
itu. Selama ini, belum terantisipasi bahwa petugas KPPS haruslah warga yang
sehat, tak memiliki riwayat penyakit jantung atau penyakit yang berakibat fatal
oleh faktor kelelahan. Dengan memiliki surat keterangan dokter bahwa seseorang
dinyatakan sehat, sedikitnya fenomena tragis berupa kematian petugas KPPS
akibat kelelahan dapat diminimalisasi. Untuk mengembalikan sistem
penyelenggaraan Pemilu 2014, yang memisahkan waktu berlangsungnya pileg dan
pilpres untuk pemilu mendatang agaknya perlu dikaji lebih jauh, karena faktor
utama yang membuat Mahkamah Konstitusi berpihak pada pemilu serentak adalah
penghematan anggaran. Kasus kematian fenomenal petugas KPPS ini boleh jadi akan
dimainkan oleh elite politik untuk menghitung keuntungan dan kerugian politik
bagi kepentingan kelompok.
4.2. Saran
Menurut penulis meskipun penyelenggaraan
serentak antara pemilihan umum anggota legislatif (pileg) dan Pemilu
Presiden/Wakil Presiden (Pilpres) RI,
merupaka solusi yang bagus untuk menghemat anggaran tetapi perlu adanya kajian yang mendalam terkat pelaksanaannya sehingga kasus
seperti ini tidak terulang kembali, sebab demokrasi merupakan sistem terbaik dan
paling damai dalam mengantarkan transisi atau kontinuitas terbatas kekuasaan
tanpa pertumpahan darah, jelas tak menghendaki fenomena tragis itu.
DAFTAR PUSTAKA
Ratnia Solihah, 2018, Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan : Peluang
dan tantangan pemilu
serentak 2019 dalam
perspektif politik, Vol.3, No. 1, 2018,
73-88DOI: 10.14710/jiip.v3i1.3234 Universitas Padjadjaran, Indonesia diakses
malalui: https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jiip/article/view/3234/1921.
Pada hari sabtu tanggal 11 Mei 2019.
Diakses melalui:
http://rumahpemilu.org/jurnal-pemilu-demokrasi-9-kodifikasi-uu-pemilu-pembaruan-hukum-menuju-pemilu-serentak-nasional-dan-daerah/. Pada hari sabtu tanggal 11 Mei 2019.
Diakses melalui: http://www.uraiantugas.com/2017/10/tugas-dan-wewenang-kpps.html.
Pada hari sabtu tanggal 11 Mei 2019.
24 Berita, 2018,
Kemenkes umumkan hasil investigasi
petugas KPPS di 4 Provinsi, diakses
melalui: http://www.24berita.com/lifestyle/kemenkes-umumkan-hasil-investigasi-kematian-petugas-kpps-di-4-provinsi/227698-berita. Pada hari sabtu tanggal 11 Mei 2019.
Kumpara, 2019, Mengusut Penyebab kematian petugas KPPS Pemilu
2019, diakses melalui: https://r.search.yahoo.com/_ylt=Awrxgq81utZc4xcAiib3RQx.;_ylu=X3oDMTByajVjNzRjBGNvbG8Dc2czBHBvcwM0BHZ0aWQDBHNlYwNzcg--/RV=2/RE=1557605045/RO=10/RU=https%3a%2f%2fkumparan.com%2f%40kumparannews%2fmengusut-penyebab-kematian-petugas-kpps-pemilu-2019-1r2h3epIMiW/RK=2/RS=p95pokzyzdpGNCyridYza2ZHka4-.
Pada hari sabtu tanggal 11 Mei 2019.
Antranews, 2019,
Revisis Teknis solusi kematian petugas
KPPS, diakses melalui: https://pemilu.antaranews.com/berita/842711/revisi-teknis-solusi-kematian-petugas-kpps . Pada hari
sabtu tanggal 11 Mei 2019.
Diakses melalui:
http://waspada.co.id/pemilu/tkn-tak-masalah-komnas-ham-investigasi-kasus-kematian-ratusan-anggota-kpps/. Pada hari sabtu tanggal 11 Mei 2019.
DetikNews,2019, Ramai-rami Sepakat Tak Politisis Isu Petugas
KPPS Meninggal, diakses melalui: https://news.detik.com/berita/d-4545817/ramai-ramai-sepakat-tak-politisir-isu-petugas-kpps-meninggal. Pada hari sabtu tanggal 11 Mei 2019.
[1] Diakses melalui: http://rumahpemilu.org/jurnal-pemilu-demokrasi-9-kodifikasi-uu-pemilu -pembaruan-hukum-menuju-pemilu-serentak-nasional-dan-daerah/ . Pada hari sabtu tanggal
11 Mei 2019.
[2] Antranews, 2019, Revisis
Teknis solusi kematian petugas KPPS, diakses melalui: https://pemilu.antaranews.com/berita/842711/revisi-teknis-solusi-kematian-petugas-kpps . Pada hari sabtu tanggal
11 Mei 2019.
[4] Diakses
melalui: http://www.uraiantugas.com/2017/10/tugas-dan-wewenang-kpps.html. Pada
hari sabtu tanggal 11 Mei 2019.
[5] Ratnia
Solihah, 2018, Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan : Peluang
dan tantangan pemilu
serentak 2019 dalam
perspektif politik, Vol.3, No. 1, 2018, 73-88DOI:
10.14710/jiip.v3i1.3234 Universitas Padjadjaran, Indonesia diakses malalui: https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jiip/ar ticle/view/3234/1921. Pada
hari sabtu tanggal 11 Mei 2019.
[6] Kumpara, 2019, Mengusut
Penyebab kematian petugas KPPS Pemilu 2019, diakses melalui: https://r.search.yahoo.com/_ylt=Awrxgq81utZc4xcAiib3RQx.;_ylu=X3oDMTByaj VjNzRjBGNvbG8Dc2czBHBvcwM0BHZ0aWQDBHNlYwNzcg--/RV=2/RE=1557605045/RO= 10/RU=https%3a%2f%2fkumparan.com%2f%40kumparannews%2fmengusut-penyebab-kematian-petugas-kpps-pemilu-2019-1r2h3epIMiW/RK=2/RS=p95pokzyzdpGNC yridYza2 ZHka4- . Pada hari sabtu tanggal
11 Mei 2019.
[7] Antranews, 2019, Revisis
Teknis solusi kematian petugas KPPS, diakses melalui: https://pemilu.antaranews.com/berita/842711/revisi-teknis-solusi-kematian-petugas-kpps . Pada hari sabtu tanggal
11 Mei 2019.
No comments:
Post a Comment