Sunday, 1 December 2019

Konsep Segitiga Terhadap Pluralisme Hukum Oleh Werner Menski


Teori Riangular Concept Of Legal Pluralism (Konsep Segitiga Terhadap Pluralisme Hukum Oleh Werner Menski)

Di kalangan pakar teori hukum, sekarang dikenal sebuah teori hukum termutakhir untuk menjawab realitas dunia globalisasi saat ini, yaitu triangular concept of legal pluralism (konsep segitiga pluralisme hukum). Teori ini diperkenalkan sejak tahun 2000 kemudian dimodifikasi pada tahun 2006 oleh Werner Menski, seorang profesor hukum dari University of Landon, pakar hukum di bidang Hukum Bangsa-Bangsa Asia dan Afrika, yang menonjolkan Karakter Plural kultur dan hukum. Dari subjek kajiannya, Menski kemudian memperkenalkan teori hukumnya itu, yang memang sangat relevan bagi hukum bangsa-bangsa Asia dan Afrika, maupun juga bagi bangsa Barat.
Sejak itu, banyak teori-teori hukum sebelumnya yang mulai tergeser, seperti teori the disorder  of law-nya Charles Sampford yang ekstrem untuk menolak eksistensi sistem hukum, dan terutama menggeser keras teori-teori klasik yang dianggap tidak relevan dengan dunia globalisasi, antara lain teori-teori positivistik dari Hans Kelsen, dan Montesqueiu. Tetapi sebaliknya, triangular concept legal pluralism dari menski ini, memperkuat konsep Lawrence M. Friedman tentang unsur sistem hukum ketiga, yaitu Legal Culture (kultur hukum), yang sebelumnya belum dikenal, sebelum Friedman memperkenalkannya di tahun 1970-an. Justru eksistensi kultur hukum yang sifatnya sangat pluralistik, melahirkan kebutuhan adanya sebuah teori hukum yang mampu menjelaskan fenomena pluralisme hukum, yang merupakan suatu realitas. Di era globalisasi saat ini, di mana hubungan antarwarga dunia, tidak lagi dibatasi oleh sekat-sekat sempit otoritas kaku dari masing-masing negara, tetapi di hampir semua bidang,  komunikasi yang semakin canggih, menebab n dunia tiba-tiba terasa menjad suatu  “negara dunia”, dan setiap warga dunia dari suatu negara ke negara lain, suka atau tidak suka, akan berhadapan dengan hukum asing, yang tentunya tidak mungkin persis sama atau bahkan sangat kontras dengan hukum di negaranya sendiri. Setiap penduduk dunia yang melakukan perjalanan ke negara asing, baik secara fisik maupun melalui “dunia maya” (Internet) akan merasakan kehadiran realitas pluralisme hukum itu dalam kehidupannya.
Pluralisme hukum bukan hanya mengenai beraneka ragamnya hukum positif yang ada, baik antarbangsa maupun di dalam sutu negara tertentu, contonhnya di Amerika Serikat, setiap “state” (negara bagian) memiliki sistem hukum, sistem peradilan, dan hukum positif masing-masing; demikian juga di Indonesia setiap daerah memiliki hukum lokal masing-masing; melainkan juga, pluralisme hukum adalah mengenai perilaku hukum dari masing-masing individu atau kelompok yang ada disetiap bangsa dan masyarakat di dunia ini. Dan tentu saja sangat tidak realitas, ketika berbagai sistem hukum, sistem peradilan dan hukum positif yang sangat plural atau beraneka ragam itu, hanya dikaji dengan menggunakan salah satu jenis pendekatan hukum secara sempit saja, atau pendekatan moral belaka. Tak ada metode ang lebih relevan untuk menghadapi berbagai isu hukum di era globalisasi dunia dewasa ini, kecuali dengan penggunaan  secara proporsional secara serentak ketiga pendekatan hukum: normatif, empiris dan filsufis, dan itulah yang dikenal sebagai Triangular Concept Of Legal Pluralism.
1.      Pendekatan ‘jurisprudential’ atau kajian normatif hukum, yang menfokuskan kajiannya dengan memandang hukum sebagai suatu sistem yang utuh yang mencakupi seperangkat asas-asas hukum, norma-norma hukum, dan aturan-aturan hukum (tertulis maupun tidak tertulis).
Harus diketahui bahwa asas hukum ang elahirkan norms hukum, dsn norms hukum melahirkan aturan hukum. Dari satu asas hukum dapat melahirkan lebih dari satu norma hukum hingga tak terhingga norma hukum, dan dari satu norma hukum dapat melahirkan lebih dari satu aturan hukum hingga tak terhingga aturan hukm.
2.      Pendekatan empiris ‘legal empirical’, yang memfokuskan kajiannya dengan memandang hukum sebagai seperangkat realitas (reality), seperangkat tindakan (action), dan seperangkat perilaku (behavior).
Pendekaan legal emirical ini masih dibedakan lagi kedalam kajian-kajian:
a.       Sosiologi hukum yang masih dibedakan kedalam:
·         Sosiology of law yang lahir di Eropa Barat.
·         Sociologicsl jurisprudance yang lahir di Amerika; plopornya Profesor Roscoe Pound dari Harvard University Law School.
b.      Antropology hukum
c.       Psikologi hukum yang masih dibedakan ke dalam:
·         Psychology in lawI, merujuk pada suatu aplikasi spesifik dari psikologi dalam hukum.
·         Psychology and law, digunakan untuk riset psikologi terhadap terdakwa, para polisi, pengacara, jaksa dan hakim.
·         Psychology of law, digunakan untuk merujuk pada riset psikologis terhadap isu-isu, seperti mengapa orang menaati hukum atau tidak menaati hukum tertentu, perkembangan moral, dan presepsi serta sikap publik terhadap berbagai sanksi pidana.
·         Forensic pschology adalah penggunaan psikologi dalam proses pengadilan.
Di luar itu, kalau ke empat pendekatan di atas lebih berfokus pada faktor kejiwaannya belaka, maka telah muncul ilmu baru ang identik, yang lebih menekankan pada faktor ilmu baru yang identik, yang lebih menekankan pada faktor biologis pengaruh otak dan saraf terhadap isu-isu hukum. Neuroscience and law adalah suatu kajian baru tentang keunikan pentingnya pengaruh otak dan saraf bagi perilaku manusia, dan karena itu bagi masyarakat dan hukum. Ada empat area utama kajian neuroscience and law, yaitu: (1) wawasan baru tentang isu-isu pertanggungjawaba; (2) meningkatkan kemampuan untuk ‘membaca pikiran’; (3) prediksi yang lebih baik terhadap perilaku yang akan datang; dan (4) prospek terhadap peningkatan kemanpuan otak manusia. Salah satu contoh penerapan kajian ini kedalam praktek hukum, antara lain penggunaan alat penguji kebohongan atau lie detection.
d.      Hukum dan ekonomi (law and economic), bedakan dengan kajian hukum ekonomi yang mrupakan bagian pendekatan jurisprudential atau kajian normatif hukum.
e.       Hukum dan pembangun (law and devolovment)
f.       Hukum dan struktur sosial (law and sosial  structure0
g.      Kajian hukum kritis (the critical legal)
3.      Pendekatan filsufis, yang memfokuskan kajiannya ddengan memandang hukum sebagai seperangkat nilai-nilai mral serta ide-ide yang abstrak, di antaranya kajian tentang moral keadilan.
Penedekatan filsfis ini dipelajari dalam mata kuliah Filsafa Hukum, Logika Hukum, dan Teori Hukum. Dalam kaitan tiga pendekatan ilmu hukum itu, hukum ummna dapat dibedakan kedalam:
a.       Ius constituendum: hukum ideal yang diharapkan berlaku, bidang ini didekati dengan pendekatan filsufis
b.      Ius constitutum: hkum ositif, yaitu hukum yang diberlakukan oleh suatu negara tertentu, untu suatu waktu tertentu, tetapi belum tentu di dalam realitasnya bener-benar berlaku
c.       Ius operatum: hukum ang dalam ralitasnya benar-benar berlaku
Beberapa pakar hukum membedakan ilmu hukum ke dalam:
a.       Ilmu hukum semu (quasi jurisprudance) atau ilmu hukum praktis
b.      Ilmu hukum yang sesungguhnya (true jurisprudance)
Tentu yang dimaksud sebagai ilmu hukum semu adalah ilmu hukum positif atau ilmu hukum perundang-undangan, sedangkan yang dimaksud ilmu hukum yang sesungguhnya adalah kajian emiris dan kajian filosofis terhadap hukum
Dari komentar editor  Cambridge University Press tentang karya monumental Werner Menski berjudul Coparative Law in a Global: Context, The Legal System of Asia and Africa (2006). Dapat disimpulkan bahwa teori Menski, menyajikan satu pemikiran kembali secara kritis dalam kajian perbandingan hukum dan teori hukum, di dunia globalisasi dewasa ini, dan mengusulkan suatu metode baru teori hukum, yang meyoroti kelemahan pendekatan teoritis Barat selama ini, mencakupi kelemahan teori-teori perbandingan hukum, hukum publik internasional, teori hukum, dan ilmu hukum normatif, terutama kajian Barat tentang hukum Asia dan Afrika. Menski menegaskan bahwa teori-teori Barat yang terlalu sempit dan eurosentris tak mamp menjawab tantangan globalisasi. teori hukum Menski mengombinasikan secara interaktif teori hukum alam modern, postivisme, dan sosiologi hukum, untuk membahas pluralisme hukum ang merupakan realitas dunia global, melalui konsep segitiga pluralisme hukum-nya. Fokus utama kajian Menski adalah hukum Hindu, hukum Islam, hukum-hukum Afrika, dan hukum Cina, yang kemudian dapat diterapkan untuk mengjkaji hukum lain.
A.    Unsur triangular concept of legal pluralism
Menurut Menski, sifat alami hukum yang plural adalah sesuatu yang ada sehubungan dengan sifat plural hukum tersebut, lebih awal ditujukan melalui konsep yang dicetuskan oleh Chiba tentang identity postulate (postulat identitas dari setiap hukum). Model yang digunakan Thuis, mengerucut dalam suatu konsep global yang rada mengelompokkan konsep global tentang legal culture, ketika Chiba menuliskan bahwa:
 “Sepanjang suatu kultur hukum terpelihara, maka a basic legal postulate for the people’s cultural identity i law, (suatu dasar postulat hukum bagi identitas kultural rakyat di dalam hukum), harus disyaratkan sebagai the identity postulate of a legal culture (Postulat identitas dari suatu kultur hukum), harus disyaratkan sebagi berfungsi. Hal itu akan memandu orang dalam memilih bagaimana  untuk melakukan “reformasi” terhadap keseluruhan sruktur hukum, mencakup, antara lain, kombinasi hukum asli (pribumi) dan hukum yang merupakan hasil cangkokan hukum asing, dalam rangka untuk memelihara akomodasi mereka untuk mampu mengubah keadaan di lingkungannya.”
‘postulat identitas’ ini muncul sebagai sebuah pusat yang secara terus-menerus menegoisasikan elemen suatu kultur hukum secara terus-menerus, mendekat dan secara langsung berhubungan pada nilai etis, norma-norma sosial dan aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah, sebagai fakta kehidupan manusia dalam berbagai penjelmaan spesifik kultur mereka. Ini berarti bahwa, hukum sebagai suatu fenomena global memiliki kesamaan di seluruh dunia, dalam arti bahwa di mana-mana hukum terdiri atas dasar  nilai etis, norma-norma sosial, dan aturan-aturan yang dibuat oleh negara, meskipun tentu saja di dalam realitasnya, muncul banak sekali variasi kultur yang lebih spesifik. Hal ini hanya mengkonfirmasikan tentang ‘premis dasar’ yang telah diketahui, bahwa semua hukum adalah kultur-spesifik dan bahwa di dalam berbagai bidang hukum seperti kontrak, perkawinan, dan pembunuhan adalah merupakan fenomena universal, yang tampak secara terus-menerus berubah dari waktu ke waktu serta dari raung/spasi ke ruang/spasi  lain.
Lebih lanjut bagi menski, dengan menggunakan pendekatan tiga tipe utama hukum utama yaitu hukum yang diciptakan oleh masyarakat, hukum yang diciptakan oleh negara dan hukum yang timbulnya melalui nilai dan estetika, maka kajian mutakhir kini, terutama sekali yang digunakan di dalam Bagian II buku karya Werner Menski ini, telah ditujukan bahwa ketiga unsur tersebut bersifat plural. Sesungguhnya, di dalam realitas, tampak bahwa masing-masing dari ketiga tipe hukum tersebut, juga berisikan dua unsur tipe hukum lainnya. Selanjutnya kita lalu menemukan suatu level intristik yang benar-benar bersifat plural, yang kemudian saat ini, menghasilkan sembilan unsur-unsur atau komponen nyata dari hukum, dan bukan hanya tiga unsur saja. Maka dimungkinkanlah untuk menggambarkan hal ini ke dalam satu grafik mengenai sifat plural internal dari ketiga tipe hukum tersebut diatas, ang berfokus pada analisis terhadap sistem-sitem hukum yang ada di Asia dan Afrika.
Skema yang digunakan adalah benar-benar tidak lagi mudah untuk menjelaskan dan memahaminya. Betapa pun, realisme hukum adalah menyangkut akal sehat. Untuk menggambarkan model ini, kita memberikan simbol penomoran, yaitu nomor 1 pada segitiga unsur ‘masyarakat’ (number 1 to the triangle of society), nomor 2 pada unsur ‘negara’ (number 2 to the triangle of state), dan nomor 3 pada dunia nilai serta etika (number 3 to the realm of values And ethics). Urutan ini tidak menyiratkan bahwa ada unsur yang relatif lebih unggul atau superior ketimbang unsur lain, tidak bertujuan bahwa secara relatif nomor 1 lebih unggul atau superior ketimbang nomor 2 dan nomor 3; atau yang nomor 2 lebih unggul ketimbang nomor 3.
 












Hal utama adalah untuk secara sungguh-sungguh menciptakan suatu interaksi yang sifatnya tetap, dari tiga unsur yang telah diberi nomor urut tadi, terutama tidak berdasarkan kekuasaan maupun status relatif masing-masing dari ketiga unsur tersebut. Inilah yang menjadi alasan, mengapa satu tipe teori hukum terhadap dirinya sendiri, tidak akan bekerja untuk menjelaskan sifat alami hukum yang pada hakikatnya bersifat plural, dan hanya satu analisis pendukung pluralisme sebagai yang disajikan di dalam pembahasan ini yang mampu untuk mencapai hal ini.
Selanjutnya menurut Menski, untuk memperkenalkan representatif grafis atau (skema) dari ‘level of intristic the second’  pluralisme hukum yang disajikan di atas, kita memulai dengan hukum yang ditemukan di dalam kehidupan sosial, karena di kehidupan sosial itulah merupakan tempat di mana hukum selalu berlokasi. Studi terkini di bidang hukum, mengonfirmasikan bahwa tidak ada masyarakat yang tanpa hukum, sementara itu, mungkin sedikit sekali, atau hampir tidak ada hukum produk negara di dalam suatu konteks kultur dan lokal khusus tertentu. Di bidanng sosial, kita menemukan aturan-aturan, norma-norma, ataupun input-input yang berasal dari negoisasi hukum yang kurang lebih murni bersumber dari citra pluralismenya hukum, di mana barangkali tidak ada dari citra pluralisnya hukum, di mana barangkali tidak ada dari dalam satu masyarakat tertentu (dalam hal ini, pegertian masyarakat, tentu saja bukan dalam makna ‘masyarakat secara nasional’, melainkan dimaksudkan adalah masyarakat dalam bentuk suatu komunitas atau kelompok lokal yang kecil, bahkan barangkali dalam bentuk suatu klan atau komunitas, menurut Cotterel, akan tampak, tergantung pada pernyataan identitas masing-masing. Jika suatu kelompok manusia tertentu membedakan kelompoknya sendiri sebagai anggota kelompok dengan anggota kelompoknya, misalnya perbedaan secara etnis, maka di situ kita mulai untuk melihat kemunculan tata hukum yang terpisah). Ini yang kita berikan nomor 11 dalam penomoran, yang merefleksikan fakta bahwa seluruh atau sebagian besar elemen dari tipe hukum ini, mula-mula berasal dari dalam segitiga ini. Aturan-aturan di dalam kehidupan sosial, juga dipengaruhi oleh kehadiran dari ‘co-existing’ hukum produk negara, yang kita berikan sebagi nomor 12 dalam penomoran, yang mencerminkan sifatnya yang lebih hibrid dan mendapat pengaruh  persial dari hukum produk negara. di sisi lain, poros pusat dalam ‘the triangle of society’, kita berikan sebagai nomor 13 dalam penomoran, terhadap norma-norma sosial dan proses-proses yang menghasilkan beberapa validitas dan kewenangan dari lingkungan etika dan nilai-nilai. Secara meneluruh, citra intristik dari pluralisme hukum terdapat dalam ‘the triangle of society’. Hal itu membuktikan bahwa ini juga merupakan kehidupan kultur, tetapi kultur yang barangkali juga secara intristik bersifat plural dan bersifat meluas ke dalam kehidupan kenegaraan dan ke alam nilai. Dengan demikian, hal itu berarti bahwa analisis kultural juga akan memperoleh manfaat dari penerapan metode analisis kesadaran pluralitas (plurality-conscious analytical methods).
Berikutnya kita pidah ke the triangle of the state. Di dalam suatu konteks hukum tertentu, mungkin saja tidak tampak adanya hukum produk negara, di mana studi ini menemukan bahwa selalu terdapat beberapa jenis hukum. Dengan demikian, jenis hukum yang secara langsung bersumber dari produk negara, mungkin saja relatif kecil dan bahkan tak terliha, atau mungkin juga dalam bentuknya sebagai legislasi formal dalam jumlah yang besar-besaran. Namun, apapun bentuknya dan apa pun membentuknya, dan apa pun kemungkinan sifat yang tepat dari negara, (hal ini merupakan suatu problem yang ditinggalkan untuk para ilmuwan politik, tetapi studi termutakhir menyakinkan bahwa masalah tersebut merupakan bidang mereka, yang juga, mereka akan memperoleh manfaat dari analisis kesedaran-pluralitas yang lebih mendalam), kita memberikan elemen sentral dari hukum produk negara sebagai penomoran dengan nomor 22. Ini merefleksikan fakta bahwa seperti berbagai jenis hukum produk negara, yang mana dapat mengambil bentuk dari aturan-aturan, norma-norma ataupun input negoisasi, yang tumbah terutama dalam jenis segitaga hukum produk negara ini. Berikutnya, kita memberikan nomor 21 untuk berbagai jenis hukum produk negara  negara yang mendapat pengaruh oleh dunia kehidupan sosialnya. Kita segera dapat memikirkan berbagai contoh-contoh jenis hukum, yang mana dalam istilah yang digunakan Chiba dikenal sebagai ‘the second type of official law’ (tipe kedua dari hukum resmi negara), yaitu hukum negara yang tidak benar-benar dibuat oleh negara, melainkan dilegitimasi berlakunya oleh negara (‘state law that was not really made by state but accepted  by it’). Penalaran yang sama dapat diterapkan, pada sisi lain dari ‘the statist triangle’, kepada tipe-tipe hukum produk negara (‘state-made law) yag mendapat pengaruh dari nilai-nilai dan etika spesifik. Ini yang dalam penomoran kita berikan sebagai nomor 23, yang merefleksikan input dari segitiga ketiga (‘third triangle’).
Kita kemudian dapat pindah ke pembahasan mengenai’segitiga hukum alam’ (the triangle of natural law) dan pengembangan keadaanya yang plural. Kita memberikan nomor 33 bagi tipe hukum yang sumbernya telah ‘berutang’ pada ‘input-input’ yang berhubungan erat dengan jenis segitiga hukum alam ini. Kita kemudian memberikan nomor 32 untuk unsur-unsur nilai dan unsur-unsur etis, dari apa yang diistilahkan oleh Chiba, sebagai ‘postulat hukum’, yang secara sebagain besar telah ‘berutang’, baik mengenai eksistensi mereka maupun mengena bentuk mereka, akibat kehadiran negara, atau karena adanya kesadaran tentang kehadiran ‘some rule-negoitating power’ yang menggerakkan awal dari segitiga jenis ini. Selanjutnya kita melengkapi putaran ini, denga cara memberi nomor 31 bagi nilai dan etika, yang tampak untuk sebagian tersebar telah’berutang’ bentuk mereka pad ‘input’ sosial, dan kemudian kita kembali pada kehidupan kultur yang lebih luas. Citranya secara keseluruha kemudian tampak dalam skema yang telah digambarkan sebelumnya.
B.     Menerima Pluuralisme Hukum Sebagai Suaturealitas Tak Terelakkan
Menurut Prof. Achmad Ali, S.H, berdasarkan pendapat Menski, bahwa kalu kita ibaratkan hukum itu sebagai pohon, maka kita tidak dapat memandang bagian-bagian pohon itu secara persial, melainkan secara total. Kita tidak boleh memandang sebagian kayunya hanya dalam fungsi sebagai ‘akar’ yang menyerap makanan dari tanah (yang dalam hukum adalah masyarakat dan nilai-nilai hukumnya), ‘batang’ yang memperkokoh pohon itu (dalam hukum adalah hukum positif), dan ‘dahan ranting’ yang menjulur ka atas langit dan ke berbagai arah untuk menghirup aroma surgawi ( di dalam hukum adalah nilai-nilai moral, agama, dan etika). Hukum jika di ibaratkan pohon, maka seluruh kayunya harus dipandang secara total, sebagai satu kesatuan yang utuh, terdiri dari: hukum yang dilahirkan masyarakat, hukum yang merupakan produk negara dan nilai-nilai moral, keagamaan dan etika. Ketiga pilar utama itulah hukum yang utuh.
Kalau kita bandigkan dengan teori tiga tipe hukum dari Nonet & Selznick, maka mereka menempatkantipe hukum responsif sebagai tipe hukum ideal mereka, yang dalam perkembangannya telah melewati tipe hukum represif dan tipe hukum otonom. Sedangkan, Warner Menski, menjadikan sebagai tipe hukum idealnya, yaitu “the holy grail of all law, suatu tipe hukum yang berhasil secara optimal menjalin interaksi di antara iga komponen utama tadi, secaranorms atau norma-norma sosial, dan  posited state-made legal rules ( state-made law), yaitu hukum buatan negra.
Dan jika konsp pluralisme hukum dari Menski ini kita hubungkan dengan konsep tiga unsur sistem hukum yang diperkenalkan oleh Lawrence M. Friedman, maka dapat kita katakan, bahwa pluralitas hkum tidak hanya menyangkut substansi atau strukturnya, tetapi juga bahkan lebih tinggi tingkatan pluralitasnya unsur ‘kultur hukum’ yang mencakup pluralitas kebiasaan-kebiasaan yang ada, serta juga pluralitas dari cara berfikir dan cara bertindak di bidang hukum.
Dan yang terpenting dari tiga komponen dikembangkan menjadi sembilan komponen menunjukkan jenis-jenis pilar yang ada dalam konsep segitiga Menski sebagai berikut:
1.      Hukum produk negara yang sesungguhnya, yang muncul langsung sebagai hukum, dan tidak dikenal sebelumnya di dalam nilai-nilai etika, moral dan agama, mapun norma sosial. Contohnya UU penggunaan Helm BAGI Pengendara Motor. Peraturan ini absolut produk negara
2.      Produk hukum negara yang hanya melegitimasi norma sosial yang telah ada sebelumnya, contohnya; larangan membunuh, mencuri, dan memperkosa. Perbuatan itu sebelum diancamkan pidana dalam KUHP, memeng telah dinyatakan sebagai kejahan oleh norma moral dan agama, maupun oleh norma-norma sosial.
3.      Hukum produk negara yang memperoleh pengaruh sebagai hasil negosiasi dengan norma-norma etika, moral dan agama, atau norma-norma sosial atau kultur tertentu.
4.      Hukum ang murni produk sosial
5.      Hukum produk sosial yang telah mendapat pengaruh sebagai hasil negosiasi dengan kekuasaan negara
6.      Hukum produk sosial yang telah mendapat pengaruh sebagai hasil negosiasi dengan nilai etika moral atau agama
7.      Nilai-nilai etika, moral, atau agama yang masih murni
8.      Nilai-nilai etika, moral, atau agama yang telah mendapat pengaruh sebagai hasil negosiasi dengan norma-norma sosial atau kultur tertentu
9.      Nilai-nilai etika, moral atau agama yang telah mendapat pengaruh sebagai hasil negosiasi dengan kekuasaan pemerintah.
Tidak ada pohon yang benar-benar sama, demikian juga hukum. Oleh karena itu, sebagai analisis realistis, berhadapan dengan dilema umum yang menrupakan fenomena uiversal, yaitu, bahwa kita berupaya untuk menganalisis sedemikian anyak bentuk-bentu yang berbeda, di mana kita akan teru-terus sibuk mengidentifikasi unsur-unsur secara keseluruhan, untuk dapat memahami sebagai suatu totalitas yang pada hakikatnya bersifat plural. Pada saat bersamaan, kita juga harus mencoba memahami skenario spesifik untuk bekerja ke arah sesuai, solusi-solusi justice-consensius (kesadaran tentang keadilan). Baik di tingkat global, maupun tingkat lokal, dan di tingkat mana pun, maka tantangan merupakan suatu negoisasi yang konstan, buka suatu pernyataan yang kabur tentang hal ini atau tentang perspektif itu. Untuk, sifat hukum yang alami, yang pada hakikatnya plural, selalu memungkinkan banyak perspektif. Oleh karena itu, dalam beberapa hal, keseluruhan teori hukum menghadapi keadaan sulit, ang kemunculannya barangkalai sebagain besar dengan tajam dari Ilmu Hukum Islam, di mana konsep kunci dari  ikhtilaf, adalah menoleransi keanekaragaman dan mengakui kemungkinan kesalahan yang dihasilkan oleh sifat manusia. Dan, di dalam tradisi Ilmu Hukum Islam, pengakuan tentang pluralisme sangat tampak, karena tidak ada seorangpun yang mempunyai hak istimewa untuk menjadi penafsir tunggal, sebagi contoh, dikenalnya mazhab dalam hukum Islam (Maliki, Syafi, Hambali, dan lainnya).

Sumber:
Achmad Ali, 2009, “Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradialan”, Jakarta: Kencana













No comments:

Post a Comment

  KETERKAITAN TEORI KEADILAN DENGAN PAJAK AIR TANAH Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pajak air tanah adalah pajak atas pengambila...