Teori Riangular Concept Of Legal
Pluralism
(Konsep Segitiga Terhadap Pluralisme Hukum Oleh Werner Menski)
Di kalangan pakar teori
hukum, sekarang dikenal sebuah teori hukum termutakhir untuk menjawab realitas
dunia globalisasi saat ini, yaitu triangular concept of legal pluralism (konsep
segitiga pluralisme hukum). Teori ini diperkenalkan sejak tahun 2000 kemudian
dimodifikasi pada tahun 2006 oleh Werner
Menski, seorang profesor hukum dari University of Landon, pakar hukum di
bidang Hukum Bangsa-Bangsa Asia dan Afrika, yang menonjolkan Karakter Plural kultur dan hukum. Dari
subjek kajiannya, Menski kemudian memperkenalkan teori hukumnya itu, yang
memang sangat relevan bagi hukum bangsa-bangsa Asia dan Afrika, maupun juga
bagi bangsa Barat.
Sejak itu, banyak
teori-teori hukum sebelumnya yang mulai tergeser, seperti teori the disorder
of law-nya Charles Sampford yang ekstrem untuk menolak eksistensi
sistem hukum, dan terutama menggeser keras teori-teori klasik yang dianggap
tidak relevan dengan dunia globalisasi, antara lain teori-teori positivistik
dari Hans Kelsen, dan Montesqueiu. Tetapi sebaliknya, triangular concept legal pluralism dari menski ini, memperkuat
konsep Lawrence M. Friedman tentang unsur sistem hukum ketiga, yaitu Legal Culture (kultur hukum), yang
sebelumnya belum dikenal, sebelum Friedman memperkenalkannya di tahun 1970-an.
Justru eksistensi kultur hukum yang sifatnya sangat pluralistik, melahirkan
kebutuhan adanya sebuah teori hukum yang mampu menjelaskan fenomena pluralisme
hukum, yang merupakan suatu realitas. Di era globalisasi saat ini, di mana
hubungan antarwarga dunia, tidak lagi dibatasi oleh sekat-sekat sempit otoritas
kaku dari masing-masing negara, tetapi di hampir semua bidang, komunikasi yang semakin canggih, menebab n
dunia tiba-tiba terasa menjad suatu
“negara dunia”, dan setiap warga dunia dari suatu negara ke negara lain,
suka atau tidak suka, akan berhadapan dengan hukum asing, yang tentunya tidak
mungkin persis sama atau bahkan sangat kontras dengan hukum di negaranya
sendiri. Setiap penduduk dunia yang melakukan perjalanan ke negara asing, baik
secara fisik maupun melalui “dunia maya” (Internet) akan merasakan kehadiran
realitas pluralisme hukum itu dalam kehidupannya.
Pluralisme hukum bukan
hanya mengenai beraneka ragamnya hukum positif yang ada, baik antarbangsa
maupun di dalam sutu negara tertentu, contonhnya di Amerika Serikat, setiap “state” (negara bagian) memiliki sistem
hukum, sistem peradilan, dan hukum positif masing-masing; demikian juga di
Indonesia setiap daerah memiliki hukum lokal masing-masing; melainkan juga,
pluralisme hukum adalah mengenai perilaku
hukum dari masing-masing individu atau kelompok yang ada disetiap bangsa
dan masyarakat di dunia ini. Dan tentu saja sangat tidak realitas, ketika
berbagai sistem hukum, sistem peradilan dan hukum positif yang sangat plural
atau beraneka ragam itu, hanya dikaji dengan menggunakan salah satu jenis
pendekatan hukum secara sempit saja, atau pendekatan moral belaka. Tak ada
metode ang lebih relevan untuk menghadapi berbagai isu hukum di era globalisasi
dunia dewasa ini, kecuali dengan penggunaan
secara proporsional secara serentak ketiga pendekatan hukum: normatif,
empiris dan filsufis, dan itulah yang dikenal sebagai Triangular Concept Of Legal
Pluralism.
1. Pendekatan ‘jurisprudential’ atau
kajian normatif hukum, yang menfokuskan kajiannya dengan
memandang hukum sebagai suatu sistem yang utuh yang mencakupi seperangkat
asas-asas hukum, norma-norma hukum, dan aturan-aturan hukum (tertulis maupun
tidak tertulis).
Harus
diketahui bahwa asas hukum ang elahirkan norms hukum, dsn norms hukum
melahirkan aturan hukum. Dari satu asas hukum dapat melahirkan lebih dari satu
norma hukum hingga tak terhingga norma hukum, dan dari satu norma hukum dapat
melahirkan lebih dari satu aturan hukum hingga tak terhingga aturan hukm.
2. Pendekatan empiris ‘legal
empirical’, yang memfokuskan kajiannya dengan
memandang hukum sebagai seperangkat realitas (reality), seperangkat tindakan (action), dan seperangkat perilaku (behavior).
Pendekaan
legal emirical ini masih dibedakan
lagi kedalam kajian-kajian:
a. Sosiologi
hukum yang masih dibedakan kedalam:
·
Sosiology
of law yang lahir di Eropa Barat.
·
Sociologicsl
jurisprudance yang lahir di Amerika; plopornya
Profesor Roscoe Pound dari Harvard University Law School.
b. Antropology
hukum
c. Psikologi
hukum yang masih dibedakan ke dalam:
·
Psychology
in lawI, merujuk pada suatu aplikasi spesifik dari
psikologi dalam hukum.
·
Psychology
and law, digunakan untuk riset psikologi terhadap terdakwa,
para polisi, pengacara, jaksa dan hakim.
·
Psychology
of law, digunakan untuk merujuk pada riset psikologis
terhadap isu-isu, seperti mengapa orang menaati hukum atau tidak menaati hukum
tertentu, perkembangan moral, dan presepsi serta sikap publik terhadap berbagai
sanksi pidana.
·
Forensic
pschology adalah penggunaan psikologi dalam proses
pengadilan.
Di luar itu, kalau ke empat
pendekatan di atas lebih berfokus pada faktor kejiwaannya belaka, maka telah
muncul ilmu baru ang identik, yang lebih menekankan pada faktor ilmu baru yang
identik, yang lebih menekankan pada faktor biologis pengaruh otak dan saraf
terhadap isu-isu hukum. Neuroscience and
law adalah suatu kajian baru tentang keunikan pentingnya pengaruh otak dan
saraf bagi perilaku manusia, dan karena itu bagi masyarakat dan hukum. Ada
empat area utama kajian neuroscience and
law, yaitu: (1) wawasan baru tentang isu-isu pertanggungjawaba; (2)
meningkatkan kemampuan untuk ‘membaca pikiran’; (3) prediksi yang lebih baik
terhadap perilaku yang akan datang; dan (4) prospek terhadap peningkatan kemanpuan
otak manusia. Salah satu contoh penerapan kajian ini kedalam praktek hukum,
antara lain penggunaan alat penguji kebohongan atau lie detection.
d. Hukum
dan ekonomi (law and economic),
bedakan dengan kajian hukum ekonomi yang mrupakan bagian pendekatan jurisprudential atau kajian normatif
hukum.
e. Hukum
dan pembangun (law and devolovment)
f. Hukum
dan struktur sosial (law and sosial structure0
g. Kajian
hukum kritis (the critical legal)
3. Pendekatan filsufis,
yang memfokuskan kajiannya ddengan memandang hukum sebagai seperangkat
nilai-nilai mral serta ide-ide yang abstrak, di antaranya kajian tentang moral
keadilan.
Penedekatan
filsfis ini dipelajari dalam mata kuliah Filsafa Hukum, Logika Hukum, dan Teori
Hukum. Dalam kaitan tiga pendekatan ilmu hukum itu, hukum ummna dapat dibedakan
kedalam:
a. Ius constituendum:
hukum ideal yang diharapkan berlaku, bidang ini didekati dengan pendekatan
filsufis
b. Ius constitutum:
hkum ositif, yaitu hukum yang diberlakukan oleh suatu negara tertentu, untu
suatu waktu tertentu, tetapi belum tentu di dalam realitasnya bener-benar
berlaku
c. Ius operatum:
hukum ang dalam ralitasnya benar-benar berlaku
Beberapa pakar hukum membedakan
ilmu hukum ke dalam:
a. Ilmu
hukum semu (quasi jurisprudance) atau
ilmu hukum praktis
b. Ilmu
hukum yang sesungguhnya (true
jurisprudance)
Tentu yang dimaksud sebagai ilmu
hukum semu adalah ilmu hukum positif atau ilmu hukum perundang-undangan,
sedangkan yang dimaksud ilmu hukum yang sesungguhnya adalah kajian emiris dan
kajian filosofis terhadap hukum
Dari komentar
editor Cambridge University Press
tentang karya monumental Werner Menski berjudul Coparative Law in a Global: Context, The Legal System of Asia and
Africa (2006). Dapat disimpulkan bahwa teori Menski, menyajikan satu
pemikiran kembali secara kritis dalam kajian perbandingan hukum dan teori
hukum, di dunia globalisasi dewasa ini, dan mengusulkan suatu metode baru
teori hukum, yang meyoroti kelemahan pendekatan teoritis Barat selama ini,
mencakupi kelemahan teori-teori perbandingan hukum, hukum publik internasional,
teori hukum, dan ilmu hukum normatif, terutama kajian Barat tentang hukum Asia
dan Afrika. Menski menegaskan bahwa teori-teori Barat yang terlalu sempit dan
eurosentris tak mamp menjawab tantangan globalisasi. teori hukum Menski mengombinasikan
secara interaktif teori hukum alam modern, postivisme, dan sosiologi hukum,
untuk membahas pluralisme hukum ang merupakan realitas dunia global, melalui konsep segitiga pluralisme hukum-nya.
Fokus utama kajian Menski adalah hukum Hindu, hukum Islam, hukum-hukum Afrika,
dan hukum Cina, yang kemudian dapat diterapkan untuk mengjkaji hukum lain.
A.
Unsur
triangular concept of legal pluralism
Menurut
Menski, sifat alami hukum yang plural adalah sesuatu yang ada sehubungan dengan
sifat plural hukum tersebut, lebih awal ditujukan melalui konsep yang
dicetuskan oleh Chiba tentang identity
postulate (postulat identitas dari setiap hukum). Model yang digunakan
Thuis, mengerucut dalam suatu konsep global yang rada mengelompokkan konsep
global tentang legal culture, ketika
Chiba menuliskan bahwa:
“Sepanjang suatu kultur hukum terpelihara,
maka a basic legal postulate for the
people’s cultural identity i law, (suatu dasar postulat hukum bagi
identitas kultural rakyat di dalam hukum),
harus disyaratkan sebagai the
identity postulate of a legal culture (Postulat identitas dari suatu kultur
hukum), harus disyaratkan sebagi berfungsi. Hal itu akan memandu orang dalam
memilih bagaimana untuk melakukan
“reformasi” terhadap keseluruhan sruktur hukum, mencakup, antara lain,
kombinasi hukum asli (pribumi) dan hukum yang merupakan hasil cangkokan hukum
asing, dalam rangka untuk memelihara akomodasi mereka untuk mampu mengubah
keadaan di lingkungannya.”
‘postulat identitas’
ini muncul sebagai sebuah pusat yang secara terus-menerus menegoisasikan elemen
suatu kultur hukum secara terus-menerus, mendekat dan secara langsung
berhubungan pada nilai etis, norma-norma sosial dan aturan-aturan yang dibuat
oleh pemerintah, sebagai fakta kehidupan manusia dalam berbagai penjelmaan spesifik
kultur mereka. Ini berarti bahwa, hukum sebagai suatu fenomena global memiliki
kesamaan di seluruh dunia, dalam arti bahwa di mana-mana hukum terdiri atas
dasar nilai etis, norma-norma sosial, dan aturan-aturan yang dibuat oleh negara,
meskipun tentu saja di dalam realitasnya, muncul banak sekali variasi kultur
yang lebih spesifik. Hal ini hanya mengkonfirmasikan tentang ‘premis dasar’
yang telah diketahui, bahwa semua hukum adalah kultur-spesifik dan bahwa di
dalam berbagai bidang hukum seperti kontrak, perkawinan, dan pembunuhan adalah
merupakan fenomena universal, yang tampak secara terus-menerus berubah dari
waktu ke waktu serta dari raung/spasi ke ruang/spasi lain.
Lebih
lanjut bagi menski, dengan menggunakan pendekatan tiga tipe utama hukum utama
yaitu hukum yang diciptakan oleh masyarakat, hukum yang diciptakan oleh negara
dan hukum yang timbulnya melalui nilai dan estetika, maka kajian mutakhir kini,
terutama sekali yang digunakan di dalam Bagian II buku karya Werner Menski ini,
telah ditujukan bahwa ketiga unsur tersebut bersifat plural. Sesungguhnya, di
dalam realitas, tampak bahwa masing-masing dari ketiga tipe hukum tersebut,
juga berisikan dua unsur tipe hukum lainnya. Selanjutnya kita lalu menemukan
suatu level intristik yang benar-benar bersifat plural, yang kemudian saat ini,
menghasilkan sembilan unsur-unsur atau komponen nyata dari hukum, dan bukan
hanya tiga unsur saja. Maka dimungkinkanlah untuk menggambarkan hal ini ke
dalam satu grafik mengenai sifat plural internal dari ketiga tipe hukum
tersebut diatas, ang berfokus pada analisis terhadap sistem-sitem hukum yang
ada di Asia dan Afrika.
Skema
yang digunakan adalah benar-benar tidak lagi mudah untuk menjelaskan dan
memahaminya. Betapa pun, realisme hukum adalah menyangkut akal sehat. Untuk
menggambarkan model ini, kita memberikan simbol penomoran, yaitu nomor 1 pada
segitiga unsur ‘masyarakat’ (number 1 to the triangle of society), nomor 2 pada
unsur ‘negara’ (number 2 to the triangle of state), dan nomor 3 pada dunia
nilai serta etika (number 3 to the realm of values And ethics). Urutan ini
tidak menyiratkan bahwa ada unsur yang relatif lebih unggul atau superior
ketimbang unsur lain, tidak bertujuan bahwa secara relatif nomor 1 lebih unggul
atau superior ketimbang nomor 2 dan nomor 3; atau yang nomor 2 lebih unggul
ketimbang nomor 3.
![]() |
Hal
utama adalah untuk secara sungguh-sungguh menciptakan suatu interaksi yang
sifatnya tetap, dari tiga unsur yang telah diberi nomor urut tadi, terutama
tidak berdasarkan kekuasaan maupun status relatif masing-masing dari ketiga
unsur tersebut. Inilah yang menjadi alasan, mengapa satu tipe teori hukum
terhadap dirinya sendiri, tidak akan bekerja untuk menjelaskan sifat alami
hukum yang pada hakikatnya bersifat plural, dan hanya satu analisis pendukung
pluralisme sebagai yang disajikan di dalam pembahasan ini yang mampu untuk
mencapai hal ini.
Selanjutnya
menurut Menski, untuk memperkenalkan representatif grafis atau (skema) dari ‘level of intristic the second’ pluralisme hukum yang disajikan di atas, kita
memulai dengan hukum yang ditemukan di dalam kehidupan sosial, karena di
kehidupan sosial itulah merupakan tempat di mana hukum selalu berlokasi. Studi
terkini di bidang hukum, mengonfirmasikan bahwa tidak ada masyarakat yang tanpa
hukum, sementara itu, mungkin sedikit sekali, atau hampir tidak ada hukum produk
negara di dalam suatu konteks kultur dan lokal khusus tertentu. Di bidanng
sosial, kita menemukan aturan-aturan, norma-norma, ataupun input-input yang
berasal dari negoisasi hukum yang kurang lebih murni bersumber dari citra
pluralismenya hukum, di mana barangkali tidak ada dari citra pluralisnya hukum,
di mana barangkali tidak ada dari dalam satu masyarakat tertentu (dalam hal
ini, pegertian masyarakat, tentu saja bukan dalam makna ‘masyarakat secara
nasional’, melainkan dimaksudkan adalah masyarakat dalam bentuk suatu komunitas
atau kelompok lokal yang kecil, bahkan barangkali dalam bentuk suatu klan atau
komunitas, menurut Cotterel, akan tampak, tergantung pada pernyataan identitas
masing-masing. Jika suatu kelompok manusia tertentu membedakan kelompoknya
sendiri sebagai anggota kelompok dengan anggota kelompoknya, misalnya perbedaan
secara etnis, maka di situ kita mulai untuk melihat kemunculan tata hukum yang
terpisah). Ini yang kita berikan nomor 11 dalam penomoran, yang merefleksikan
fakta bahwa seluruh atau sebagian besar elemen dari tipe hukum ini, mula-mula
berasal dari dalam segitiga ini. Aturan-aturan di dalam kehidupan sosial, juga
dipengaruhi oleh kehadiran dari ‘co-existing’
hukum produk negara, yang kita berikan sebagi nomor 12 dalam penomoran, yang
mencerminkan sifatnya yang lebih hibrid dan mendapat pengaruh persial dari hukum produk negara. di sisi
lain, poros pusat dalam ‘the triangle of
society’, kita berikan sebagai nomor 13 dalam penomoran, terhadap
norma-norma sosial dan proses-proses yang menghasilkan beberapa validitas dan
kewenangan dari lingkungan etika dan nilai-nilai. Secara meneluruh, citra
intristik dari pluralisme hukum terdapat dalam ‘the triangle of society’. Hal
itu membuktikan bahwa ini juga merupakan kehidupan kultur, tetapi kultur yang
barangkali juga secara intristik bersifat plural dan bersifat meluas ke dalam
kehidupan kenegaraan dan ke alam nilai. Dengan demikian, hal itu berarti bahwa
analisis kultural juga akan memperoleh manfaat dari penerapan metode analisis
kesadaran pluralitas (plurality-conscious analytical methods).
Berikutnya
kita pidah ke the triangle of the state.
Di dalam suatu konteks hukum tertentu, mungkin saja tidak tampak adanya hukum
produk negara, di mana studi ini menemukan bahwa selalu terdapat beberapa jenis
hukum. Dengan demikian, jenis hukum yang secara langsung bersumber dari produk
negara, mungkin saja relatif kecil dan bahkan tak terliha, atau mungkin juga
dalam bentuknya sebagai legislasi formal dalam jumlah yang besar-besaran. Namun,
apapun bentuknya dan apa pun membentuknya, dan apa pun kemungkinan sifat yang
tepat dari negara, (hal ini merupakan suatu problem yang ditinggalkan untuk
para ilmuwan politik, tetapi studi termutakhir menyakinkan bahwa masalah
tersebut merupakan bidang mereka, yang juga, mereka akan memperoleh manfaat dari
analisis kesedaran-pluralitas yang lebih mendalam), kita memberikan elemen
sentral dari hukum produk negara sebagai penomoran dengan nomor 22. Ini
merefleksikan fakta bahwa seperti berbagai jenis hukum produk negara, yang mana
dapat mengambil bentuk dari aturan-aturan, norma-norma ataupun input negoisasi,
yang tumbah terutama dalam jenis segitaga hukum produk negara ini. Berikutnya,
kita memberikan nomor 21 untuk berbagai jenis hukum produk negara negara yang mendapat pengaruh oleh dunia
kehidupan sosialnya. Kita segera dapat memikirkan berbagai contoh-contoh jenis
hukum, yang mana dalam istilah yang digunakan Chiba dikenal sebagai ‘the second type of official law’ (tipe
kedua dari hukum resmi negara), yaitu hukum negara yang tidak benar-benar
dibuat oleh negara, melainkan dilegitimasi berlakunya oleh negara (‘state law
that was not really made by state but accepted
by it’). Penalaran yang sama dapat diterapkan, pada sisi lain dari ‘the
statist triangle’, kepada tipe-tipe hukum produk negara (‘state-made law) yag
mendapat pengaruh dari nilai-nilai dan etika spesifik. Ini yang dalam penomoran
kita berikan sebagai nomor 23, yang merefleksikan input dari segitiga ketiga
(‘third triangle’).
Kita
kemudian dapat pindah ke pembahasan mengenai’segitiga hukum alam’ (the triangle
of natural law) dan pengembangan keadaanya yang plural. Kita memberikan nomor
33 bagi tipe hukum yang sumbernya telah ‘berutang’ pada ‘input-input’ yang
berhubungan erat dengan jenis segitiga hukum alam ini. Kita kemudian memberikan
nomor 32 untuk unsur-unsur nilai dan unsur-unsur etis, dari apa yang
diistilahkan oleh Chiba, sebagai ‘postulat hukum’, yang secara sebagain besar
telah ‘berutang’, baik mengenai eksistensi mereka maupun mengena bentuk mereka,
akibat kehadiran negara, atau karena adanya kesadaran tentang kehadiran ‘some
rule-negoitating power’ yang menggerakkan awal dari segitiga jenis ini.
Selanjutnya kita melengkapi putaran ini, denga cara memberi nomor 31 bagi nilai
dan etika, yang tampak untuk sebagian tersebar telah’berutang’ bentuk mereka
pad ‘input’ sosial, dan kemudian kita kembali pada kehidupan kultur yang lebih
luas. Citranya secara keseluruha kemudian tampak dalam skema yang telah
digambarkan sebelumnya.
B. Menerima Pluuralisme Hukum Sebagai
Suaturealitas Tak Terelakkan
Menurut
Prof. Achmad Ali, S.H, berdasarkan pendapat Menski, bahwa kalu kita ibaratkan
hukum itu sebagai pohon, maka kita tidak dapat memandang bagian-bagian pohon
itu secara persial, melainkan secara total. Kita tidak boleh memandang sebagian
kayunya hanya dalam fungsi sebagai ‘akar’
yang menyerap makanan dari tanah (yang dalam hukum adalah masyarakat dan
nilai-nilai hukumnya), ‘batang’ yang
memperkokoh pohon itu (dalam hukum adalah hukum positif), dan ‘dahan ranting’ yang menjulur ka atas
langit dan ke berbagai arah untuk menghirup aroma surgawi ( di dalam hukum
adalah nilai-nilai moral, agama, dan etika). Hukum jika di ibaratkan pohon,
maka seluruh kayunya harus dipandang secara total, sebagai satu kesatuan yang
utuh, terdiri dari: hukum yang dilahirkan masyarakat, hukum yang merupakan
produk negara dan nilai-nilai moral, keagamaan dan etika. Ketiga pilar utama
itulah hukum yang utuh.
Kalau
kita bandigkan dengan teori tiga tipe hukum dari Nonet & Selznick, maka
mereka menempatkantipe hukum responsif
sebagai tipe hukum ideal mereka, yang dalam perkembangannya telah melewati tipe
hukum represif dan tipe hukum otonom. Sedangkan, Warner Menski, menjadikan
sebagai tipe hukum idealnya, yaitu “the
holy grail of all law, suatu tipe hukum yang berhasil secara optimal
menjalin interaksi di antara iga komponen utama tadi, secaranorms atau norma-norma sosial, dan posited state-made legal rules (
state-made law), yaitu hukum buatan
negra.
Dan
jika konsp pluralisme hukum dari Menski ini kita hubungkan dengan konsep tiga
unsur sistem hukum yang diperkenalkan oleh Lawrence M. Friedman, maka dapat
kita katakan, bahwa pluralitas hkum tidak hanya menyangkut substansi atau
strukturnya, tetapi juga bahkan lebih tinggi tingkatan pluralitasnya unsur
‘kultur hukum’ yang mencakup pluralitas kebiasaan-kebiasaan yang ada, serta
juga pluralitas dari cara berfikir dan cara bertindak di bidang hukum.
Dan
yang terpenting dari tiga komponen dikembangkan menjadi sembilan komponen
menunjukkan jenis-jenis pilar yang ada dalam konsep segitiga Menski sebagai
berikut:
1.
Hukum produk negara yang sesungguhnya,
yang muncul langsung sebagai hukum, dan tidak dikenal sebelumnya di dalam
nilai-nilai etika, moral dan agama, mapun norma sosial. Contohnya UU penggunaan
Helm BAGI Pengendara Motor. Peraturan ini absolut produk negara
2.
Produk hukum negara yang hanya
melegitimasi norma sosial yang telah ada sebelumnya, contohnya; larangan
membunuh, mencuri, dan memperkosa. Perbuatan itu sebelum diancamkan pidana
dalam KUHP, memeng telah dinyatakan sebagai kejahan oleh norma moral dan agama,
maupun oleh norma-norma sosial.
3.
Hukum produk negara yang memperoleh
pengaruh sebagai hasil negosiasi dengan norma-norma etika, moral dan agama,
atau norma-norma sosial atau kultur tertentu.
4.
Hukum ang murni produk sosial
5.
Hukum produk sosial yang telah mendapat
pengaruh sebagai hasil negosiasi dengan kekuasaan negara
6.
Hukum produk sosial yang telah mendapat
pengaruh sebagai hasil negosiasi dengan nilai etika moral atau agama
7.
Nilai-nilai etika, moral, atau agama
yang masih murni
8.
Nilai-nilai etika, moral, atau agama
yang telah mendapat pengaruh sebagai hasil negosiasi dengan norma-norma sosial
atau kultur tertentu
9.
Nilai-nilai etika, moral atau agama yang
telah mendapat pengaruh sebagai hasil negosiasi dengan kekuasaan pemerintah.
Tidak ada pohon yang benar-benar sama, demikian juga
hukum. Oleh karena itu, sebagai analisis realistis, berhadapan dengan dilema
umum yang menrupakan fenomena uiversal, yaitu, bahwa kita berupaya untuk
menganalisis sedemikian anyak bentuk-bentu yang berbeda, di mana kita akan
teru-terus sibuk mengidentifikasi unsur-unsur secara keseluruhan, untuk dapat
memahami sebagai suatu totalitas yang pada hakikatnya bersifat plural. Pada
saat bersamaan, kita juga harus mencoba memahami skenario spesifik untuk
bekerja ke arah sesuai, solusi-solusi justice-consensius
(kesadaran tentang keadilan). Baik di tingkat global, maupun tingkat lokal, dan
di tingkat mana pun, maka tantangan merupakan suatu negoisasi yang konstan,
buka suatu pernyataan yang kabur tentang hal ini atau tentang perspektif itu.
Untuk, sifat hukum yang alami, yang pada hakikatnya plural, selalu memungkinkan
banyak perspektif. Oleh karena itu, dalam beberapa hal, keseluruhan teori hukum
menghadapi keadaan sulit, ang kemunculannya barangkalai sebagain besar dengan
tajam dari Ilmu Hukum Islam, di mana konsep kunci dari ikhtilaf, adalah menoleransi
keanekaragaman dan mengakui kemungkinan kesalahan yang dihasilkan oleh sifat
manusia. Dan, di dalam tradisi Ilmu Hukum Islam, pengakuan tentang pluralisme
sangat tampak, karena tidak ada seorangpun yang mempunyai hak istimewa untuk
menjadi penafsir tunggal, sebagi contoh, dikenalnya mazhab dalam hukum Islam
(Maliki, Syafi, Hambali, dan lainnya).
Sumber:
Achmad
Ali, 2009, “Menguak Teori Hukum Dan Teori
Peradialan”, Jakarta: Kencana
No comments:
Post a Comment