Sunday, 23 September 2018

Sejarah Pengaturan Surat Berharga

BAB II
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Pada zaman ini kegiatan bisnis, baik dalam skala nasional maupun internasional berkembang begitu pesat dan telah mengarah pada perdagangan global, hal ini ditandai dengan terbentuknya area-area perdagangan regional. Begitupu dengan kegiatan  transaksi bisnisnya, dimana pelaku bisnis menggunakan  berbagai macam alat bayar.
Pada awal sistemmya pembayaran tradisional dilakukan dengan barter, kemudian berkembang lebih maju dan diciptakan alat bayar baru yang dikenal dengan mata uang setiap negara yang merdeka didunia. Dengan demikian, dalam perdagangan  pembayaran dengan uang tunai akan memiliki banyak resiko.
Selain itu menjadi incaran orang jahat terhadap barang bawaannya, juga akan menyulitkan saat membawa uang tersebut karena terlalu berat untuk mata uang tunai. Disamping itu dalam penghitungan mata uang tunai baik logam atau tunai, akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, dalam dunia perdagangan, diperlukan bentuk pembayaran yang lebih mudah, lebih lancar, lebih mudah, dan lebih aman. 
Untuk itu dalam memudahkan pembayaran dalam setiap bertransaksi maka diperlukan surat-surat berharga yang bernilai uang dimana surat-surat tersebut telah diakui dan dilindungi, berharga hukum baik dalam transaksi perdagangan, pembayaran, penagihan, dan lain sejenisnya. Surat-surat itu mudah diperdagangkan karena menunjukkan suatu nilai tertentu yang dapat dialihkan dari tangan satu ke tangan lain.
Sehingga dibuatlah alat bayar yang bukan berupa uang yang dapat dipergunakan, para pelaku bisnis yaitu menggunakan bentuk lain berupa surat berharga. Penggunaan surat berharga dalam kegiatan bisnis makin lama makin berkembang dan hampir semua pelaku bisnis menggunakan alat bayar tersebut, termasuk kegiatan bisnis sehari-hari yang dilakukan masyarakat umum.
Hal ini terjadi karena masyarakat umum dan khususnya masyarakat bisnis menganggap surat berharga memiliki kelebihan  diantaranya aman dan praktis. Yang dapat dilhat dari penggunaannya yang didukung dengan perkembangan bentuk dan sistem tempat berbelanja. Demikian juga dari segi bentuknya, makin lama makin berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Maka dari itu pada kesempatan ini saya akan membahas mengenai sejarah pengaturan surat berharaga.

1.2. Rumusan Masalah
Adapun yang akan saya bahas dalam makalah ini mengenai sejarah pengaturan surat berharga yang dibagi dalam tiga sistme antara lain :
1.2.1.      Sistem Prancis
1.2.2.      Sistem Jerman
1.2.3.      Sistem Inggris

1.3. Tujuan
Adapun tujuan dalam membuat makalah ini yaitu dapat mengetahui mengenai sejarah pengaturan surat berharga yang dibagi dalam tiga siste antara lain :
1.3.1.    Sistem Prancis
1.3.2.    Sistem Jerman
1.3.3.    Sistem Inggris





BAB II
PEMBAHASAN

Berdasarkan fakta sejarah yang menyatakan, bahwa KUHP dan KUHD diberlakukan di Indonesia melalui asas konkordasi dari burgerlijk weetbook dan weetbook van koophandel yang merupakan kitab hukum milik Belanda. Demikian halnya dengan kitab kodifikasi hukum yang dimiliki oleh Belanda, yang kemudian diberlakukan di Indonesia juga diberlakukan dengan asas konkordansi Code Civil dan Code de Comerrce Perancis. Oleh karena itu,  isi dan bentuknya hampir sama.
Sehingga sejarah perkembangan surat berharga, terdapat beberapa golongan sistem perundang-undangan surat berharga, khususnya surat wesel, dimana dibagi atas 3 golongan berdasarkan asas-asasnya yang bebeda satu sama lain yaitu:
2.1. Sistem Prancis
Sistem ini berdasarkan pada pendapat sarjana hukum Perancis yang terkenal seperti Potheir dan Domat. Menurut pendapat para sarjana hukum tersebut yaitu :
“Perjanjian wesel itu adalah perjanjian penukaran uang (contract de change). Jika A memberikan uang kepada B di suatu tempat, maka B akan membayar uang tersebut kepada A di tempat lain. Pembayaran oleh B dilakukan dengan menerbitkan sepucuk surat wesel. Surat wesel itu berlaku sebagai bukti dari perjanjian penukaran uang tadi. Jadi dalam surat wesel selalu ada klausula valuta (sebagai dasar perjanjian penukaran uang). Dalam contoh tadi B bertindak sebagai penerbit, sedangkan A bertindak sebagai pemegang pertama. Karena surat wesel berfungsi sebagai alat bukti penukaran uang, maka A sebagai pemegang pertama dapat memindahtangankan surat tersebut kepada orang lain, dengan uang pula.[1]
Sehingga Pendapat mereka ini dijadikan dasar penyusunan Code de Commerce perancis Tahun 1807. Karena  Code de Commerce Perancis pernah berpengaruh dinegara Belanda (dulu bekas jajahan Perancis) maka sistem ini diikuti juga oleh Belanda, dan dari belanda dibawa pula ke Indonesia (dulu bekas jajahan Belanda).


Menurut pendapat para sarjana hukum Perancis tersebut, perjanjian wesel adalah perjanjian penukaran uang  (contract de change). Dalam surat wesel selalu ada klausula tempat (tempat penerbit dan tempat pemegang pertama) dan klausula valuta (sebagai dasar perjanjian penukaran uang.
Konsekwensi dari pendapat tersebut jika ada cacat yang mengakibatkan batalnya perjanjian yang menjadi dasar penerbitan surat wesel maka pemegang surat wesel tidak berhak atas pembayaran wesel itu walaupun pemegang wesel itu adalah orang jujur. Sistem Perancis ini dianut di negara Perancis, Belanda, Indonesia, Belgia, Spanyol, Rumania dan negara-negara Amerika Tengah dan Amerika Selatan).[2]
Berdasar penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut sistem Perancis pengaturan mengenai surat berharga ini di awali dengan adanya pengaturan surat wesel sebagai pendapat dua sarjana di atas yang kemudian diadopsi dalam Code de Commerce.

2.2. Sistem Jerman
Sistem jerman bertentangan dengan sistem prancis, pengaturan menurut sisten Jerman ini didasarkan pada pendapat para sarjana hukum Jerman, seperti Einert dan Thol. Pendapat mereka ini merupakan dasar pembentukan undang-undang tentang surat wesel tahun 1848 (Algemenie Deutsche Wechselordnung). Menurut mereka bahwa surat wesel yang diterbitkan terlepas dari perikatan dasarnya, artinya dengan adanyan surat wesel ini para pihak dianggap melepaskan diri dari perikatan dasarnya, dengan kata lain wesel itu dipandang suatu janji untuk membayar yang abstrak yang diberikan oleh penerbit dan yang mengikat sama sekali terlepas dari perikatan dasarnya. Ajaran ini disebut ajaran “abstraksi”
Konsekwensi dari ajaran ini adalah jika ada cacat yang mengakibatkan batalnya perikatan dasar, maka pemegang surat wesel itu tetap berhak atas pembayaran wesel itu, dan tersangkut harus membayarnya. Sistem Jerman ini dianut di negara  Jerman, Italia, Austria, swiss, dan negara-negara Skandinavia.[3]




2.3. Sistem Inggris
Sistem Inggris dapat diketahui dari undang-undang yang bernama “Bill of exchange Act 1882” yang berdasarkan pada Rancangan Undang-Undang yang disusun oleh Sir Machenzei D. Chakmers dan ditiru pula oleh Amerika Serikat dalam “Negotiable Instruments law 1897“.
Sistem Inggris merupakan jalan tengah antara sistem Perancis dan sistem Jerman, artinya dengan menolak ajaran abstraksi pada system Jerman dan memperhatikan perikatan dasar yang menjadi latar belakang penerbitan surat wesel itu, serta memberikan perlindungan pada pemegang surat wesel yang jujur, walaupun ada cacat pada perikatan dasar yang menjadi latar belakang penerbitan surat wesel itu. Sistem ini dianut negara Inggris dan pada umumnya negara-negara yang berbahasa Inggris termasuk Amerika Serikat dan Irlandia.[4]
Usaha-Usaha Penyeragaman Secara International  Tentang Surat Berharga. Usaha penyeragaman tentang surat berharga dapat diketahui dengan diadakan konferensi Jeneva tahun 1930 tentang Unifikasi pengaturan surat wesel dan surat sanggup dan tahun 1931 tentang surat cek antar negara-negara peserta. Dalam konferensi-konferensi tersebut berhasil dirumuskan beberapa rancangan perjanjian internasional mengenai surat-surat berharga.
Pada konferensi Tahun 1930 tentang surat wesel dan surat sanggup menghasilkan kesepakatan :
a.    Perjanjian penyeragaman surat wesel dan surat sanggup
b.    Perjanjian penyelesaian perselisihan antara berbagai undang–undang mengenai surat wesel dan surat sanggup antara negara-negara peserta.
c.    Perjanjian mengenai materi surat wesel dan surat sanggup.
Pada konferensi Tahun 1931 tentang surat cek menghasilkan kesepakatan :
a.       Perjanjian penyeragaman surat cek
b.      Perjanjian penyelesaian perselisihan berbagai undang–undang mengenai surat cek antar negara-negara peserta.
c.       Perjanjian mengenai materi surat cek.[5]



Dalam kesepakatan itu perserta yang tidak menadatangani kesepakatan adalah negara Inggris dan AS  dengan alasan mereka mementingkan tujuan surat berharga sebagai alat pembayaran uang/alat tukar uang (negotiable instrument). Tujuan nya tidak terpenuhi jika mengikuti peraturan yang dirumuskan dalam rancangan perjanjian itu[6]
Negara belanda salah satu negara yang ikut menandatangani semua perjanjian internasional itu, pada tahun 1932 menyesuaikan Wet Boek Kophandel-nya (KUHD) dengan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian tersebut dengan mengubah titel 6 dan titel 7 buku I tentang surat wesel, surat sanggup dan surat cek. Perubahan ini diteruskan pula kepada KUHD Hindia Belanda dengan Sbt. 1934-562 jo.Sbt.1935-531, perubahan mana bagi hindia belanda mulai berlaku sejak tanggal 1 januari 1936.
Hingga saat ini di indonesia pengaturan surat berharga masih berpedoman pada kitap undang-undang hukum dagang dalam buku I titel 6 dan 7, pada hal perkembangan surat berharga sudah begitu pesat, misalnay berbagai bentuk baru surat-surat yang termasuk kriteria surat berharga, misalnya surat berharga komersial, bilyet giro, kartu kredit, dan sebagainya. Surat berharga yang diatur didalam KUHD hanya terdiri dari surat-surat seperti : wesel, surat sanggup, cek, promes, dan kwitansi-kwitansi atas tunjuk. Sistematika peraturannya adalah sebagai berikut :
a.    Wesel diatur dalam buku I titel keenam dari bagian pertama sampai dengan bagian keduabelas
b.    Surat sanggup diatur dalam buku I titel keenam bagian ketigabelas
c.    Cek diatur di dalam buku I titel ketujuh dalam bagian pertama sampai dengan bagian kesepuluh.
d.   Kwitansi-kwitansi dan promes atas tunjuk diatur dalam buku I titel ketujuh dalam bagian kesebelas.
Selain Kitap Undang-undang Hukum Dagang, ada beberapa peraturan yang mengatur bentuk-bentuk surat berharga  diluar KUHD, seperti :
a.    Surat keputusan direksi BI No.21/KEP/DIR, dan Surat Edaran BI No.21/27/UPG, tanggal 27 oktober 1998 tentang Sertifikat Deposito.
b.    Keputusan Presiden RI No.5 tahun 1984 tentang Penerbitan Sertifikat Bank Indonesia.
c.    SKBI No.21/25/KEP/DIR dan SEBI No.21/30/UPG, tanggal 27 Oktober 1998 Tentang Penerbitan dan Perdagangan Sertifikat Bank Indonesia.
d.   SEBI No.2/upg tanggal 16 september 1948 tentang Larangan SBI dan Surat Berharga Pasar Uang.
e.    SK Direktur BI No.28/52/KEP/DIR dan SEBI No.28/49/UPG, tanggal 11 Agustus 1995 tentang Persyaratan Penerbitan dan Perdagangan Surat Berharga Komersial.
f.     SKBI No.28/32/KEP/DIR/1995, tanggal 4 juli 1995 tentang Bilyet Giro.
g.    SEBI No.28/32/UPG, tanggal 4 JULI 1995.
h.    SEBI No.28/137/UPG 1996.[7]
Selain peraturan tersebut, ada satu undang-undang yang sempat diberlakukan, namun divabut kembali yaitu UU No.17 tahun 1964 tentang Larangan Penerbitan Cek Kosong, iundangkan dalam Lembaran Negara No.101 tahun 1964. UU ini kemudian dicabut dengan No.12 tahun 1971. dasar pertimbangan diterbitkannya uu No.17 hahun 1964 adalah :[8]
a.       Bahwa sering terjadi tidak tersedia dana pada bank atas nama cek diterbitkan
b.      Bahwa perbuatan penarikan cek kosong itu dapat berkembang menjadi suatu manipulasi yang dapat mengacau dan menggagalkan usaha-usaha pemerintah pada waktu itu dalam melaksanakan stabilitas/perbaikan-perbaikan moneter dan prekonomian pada umumnya
c.       Bahwa penerbitan cek kosong akan mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lalu lintas pembayaran dengan cek pada khususnya dan perbankan pada umumnya.
Akibat hal tersebut para pelaku bisnis takut menerbitkan surat cek, karena takut salah sebab mengendentifikasi para penerbit akan dikenakan sanksi yang berat, sesui dengan ketentuan Undang-undang larangan penerbitan cek kosong.





BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Dalam sejarah pengaturan surat berharga di bagi dalam tiga sistem antara lai yaitu
      3.1.1. Pengaturan Menurut Sistem Perancis :
Sistem ini berdasarkan pada pendapat sarjana hukum Perancis yang terkenal seperti Potheir dan Domat. Menurut pendapat para sarjana hukum Perancis tersebut, perjanjian wesel adalah perjanjian penukaran uang  (contract de change). Dalam surat wesel selalu ada klausula tempat (tempat penerbit dan tempat pemegang pertama) dan klausula valuta (sebagai dasar perjanjian penukaran uang. Konsekwensi dari pendapat tersebut jika ada cacat yang mengakibatkan batalnya perjanjian yang menjadi dasar penerbitan surat wesel maka pemegang surat wesel tidak berhak atas pembayaran wesel itu walaupun pemegang wesel itu adalah orang jujur. Sistem Perancis ini dianut di negara Perancis, Belanda, Indonesia, Belgia, Spanyol, Rumania dan negara-negara Amerika Tengah dan Amerika Selatan)
       3.1.2. Pengaturan Menurut System Jerman :
Pendapat eineft dan thol menjadi dasar pembentukan “Algemeine Deutsche Wechselordnung” yaitu Undang-Undang tentang Surat Wesel di Jerman tahun 1848. Menurut pendapat mereka surat wesel yang diterbitkan itu terlepas dari perikatan dasarnya, artinya dengan adanya surat wesel itu para pihak dianggap melepaskan diri dari perikatan dasarnya. Ajaran ini disebut “ajaran Absraksi”. Konsekwensi dari ajaran ini adalah jika ada cacat yang mengakibatkan batalnya perikatan dasar, maka pemegang surat wesel itu tetap berhak atas pembayaran wesel itu dan tersangkut harus membayarnya. Sistem Jerman ini dianut di negara  Jerman, Italia, Austria, swiss, dan negara-negara Skandinavia.
      3.1.3. Pengaturan Menurut Sistem Inggris :
Sistem Inggris merupakan jalan tengah antara sistem Perancis dan sistem Jerman, artinya dengan menolak ajaran abstraksi pada system Jerman dan memperhatikan perikatan dasar yang menjadi latar belakang penerbitan surat wesel itu, serta memberikan perlindungan pada pemegang surat wesel yang jujur, walaupun ada cacat pada perikatan dasar yang menjadi latar belakang penerbitan surat wesel itu.

3.2. Saran
Saya  menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan dan tidak menggunakan banyak sumber sehingga pembahasannya tidak terlalu menyeluruh. Oleh karena itu saya senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya.



[1] Dikutip Dari Pendapat Abdulkadir Muhammad dalam Hasan Soleh 2012. Surat Berharga diakses dari http://soleh-com.blogspot.co.id/2012/06/surat-berharga.html pada hari sabtu 28 November 2015 pukul 20:39 WITA
[2] Wirjono Prodjodikoro. 1966:52-54 dalam Junaidi.2011.catatan rangkuman surat berharga.diakses dari http://lawfile.blogspot.co.id/2011/12/catatan-rangkuman-hukum-surat-berharga.html hari sabtu 28 November 2015 pukul 20:35 WITA.
[3] Joni Emirson,2001.Hukum Surat Berharga dan Perkembangannya (Di Indonesia.PT Prenhallindo.Palembang) hlm.21
[4] Wirjono Prodjodikoro. 1966:52-54 dalam Junaidi.2011.Catatan Rangkuman Surat Berharga diakses dari http://lawfile.blogspot.co.id/2011/12/catatan-rangkuman-hukum-surat-berharga.html pada hari sabtu 28 November 2015 pukul 20:35 WITA.
[5] Hasan Soleh.2012. Surat Berharga diakses dari http://soleh-com.blogspot.co.id/2012/06/surat-berharga.html pada hari sabtu 28 November 2015 pukul 20:39 WITA
[6] Scheltema, 1938: 5-18 dalam Junaidi.2011.Catatan Rangkuman Surat Berharga.diakses dari http://lawfile.blogspot.co.id/2011/12/catatan-rangkuman-hukum-surat-berharga.html pada hari sabtu 28 November 2015 pukul 20:35 WITA.
[7] Joni Emirson.2001.Hukum Surat Berharga dan Perkembangannya (Di Indonesia.PT Prenhallindo.Palembang) hlm.23
[8] Emmy P. Simanjuntak, 1982:152 dalam Joni Emirson.2001.Hukum Surat Berharga dan Perkembangannya (Di Indonesia.PT Prenhallindo.Palembang) hlm.24

No comments:

Post a Comment

  KETERKAITAN TEORI KEADILAN DENGAN PAJAK AIR TANAH Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pajak air tanah adalah pajak atas pengambila...