BAB II
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada zaman ini
kegiatan bisnis, baik dalam skala nasional maupun internasional berkembang
begitu pesat dan telah mengarah pada perdagangan global, hal ini ditandai
dengan terbentuknya area-area perdagangan regional. Begitupu dengan kegiatan transaksi bisnisnya, dimana pelaku bisnis
menggunakan berbagai macam alat bayar.
Pada awal
sistemmya pembayaran tradisional dilakukan dengan barter, kemudian berkembang
lebih maju dan diciptakan alat bayar baru yang dikenal dengan mata uang setiap
negara yang merdeka didunia. Dengan demikian, dalam perdagangan pembayaran dengan uang tunai akan memiliki
banyak resiko.
Selain itu
menjadi incaran orang jahat terhadap barang bawaannya, juga akan menyulitkan
saat membawa uang tersebut karena terlalu berat untuk mata uang tunai.
Disamping itu dalam penghitungan mata uang tunai baik logam atau tunai, akan
membutuhkan waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, dalam dunia perdagangan,
diperlukan bentuk pembayaran yang lebih mudah, lebih lancar, lebih mudah, dan
lebih aman.
Untuk itu dalam
memudahkan pembayaran dalam setiap bertransaksi maka diperlukan surat-surat
berharga yang bernilai uang dimana surat-surat tersebut telah diakui dan
dilindungi, berharga hukum baik dalam transaksi perdagangan, pembayaran,
penagihan, dan lain sejenisnya. Surat-surat itu mudah diperdagangkan karena
menunjukkan suatu nilai tertentu yang dapat dialihkan dari tangan satu ke
tangan lain.
Sehingga
dibuatlah alat bayar yang bukan berupa uang yang dapat dipergunakan, para
pelaku bisnis yaitu menggunakan bentuk lain berupa surat berharga. Penggunaan
surat berharga dalam kegiatan bisnis makin lama makin berkembang dan hampir
semua pelaku bisnis menggunakan alat bayar tersebut, termasuk kegiatan bisnis
sehari-hari yang dilakukan masyarakat umum.
Hal ini terjadi
karena masyarakat umum dan khususnya masyarakat bisnis menganggap surat
berharga memiliki kelebihan diantaranya
aman dan praktis. Yang dapat dilhat dari penggunaannya yang didukung dengan
perkembangan bentuk dan sistem tempat berbelanja. Demikian juga dari segi
bentuknya, makin lama makin berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Maka
dari itu pada kesempatan ini saya akan membahas mengenai sejarah pengaturan
surat berharaga.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun yang akan
saya bahas dalam makalah ini mengenai sejarah pengaturan surat berharga yang
dibagi dalam tiga sistme antara lain :
1.2.1. Sistem
Prancis
1.2.2. Sistem
Jerman
1.2.3. Sistem
Inggris
1.3. Tujuan
Adapun tujuan
dalam membuat makalah ini yaitu dapat mengetahui mengenai sejarah pengaturan
surat berharga yang dibagi dalam tiga siste antara lain :
1.3.1. Sistem Prancis
1.3.2. Sistem Jerman
1.3.3. Sistem Inggris
BAB II
PEMBAHASAN
Berdasarkan
fakta sejarah yang menyatakan, bahwa KUHP dan KUHD diberlakukan di Indonesia
melalui asas konkordasi dari burgerlijk weetbook dan weetbook van koophandel
yang merupakan kitab hukum milik Belanda. Demikian halnya dengan kitab
kodifikasi hukum yang dimiliki oleh Belanda, yang kemudian diberlakukan di
Indonesia juga diberlakukan dengan asas konkordansi Code Civil dan Code de
Comerrce Perancis. Oleh karena itu, isi
dan bentuknya hampir sama.
Sehingga
sejarah perkembangan surat berharga, terdapat beberapa golongan sistem
perundang-undangan surat berharga, khususnya surat wesel, dimana dibagi atas 3
golongan berdasarkan asas-asasnya yang bebeda satu sama lain yaitu:
2.1. Sistem Prancis
Sistem ini
berdasarkan pada pendapat sarjana hukum Perancis yang terkenal seperti Potheir
dan Domat. Menurut pendapat para sarjana hukum tersebut yaitu :
“Perjanjian
wesel itu adalah perjanjian penukaran uang (contract de change). Jika A
memberikan uang kepada B di suatu tempat, maka B akan membayar uang tersebut
kepada A di tempat lain. Pembayaran oleh B dilakukan dengan menerbitkan sepucuk
surat wesel. Surat wesel itu berlaku sebagai bukti dari perjanjian penukaran
uang tadi. Jadi dalam surat wesel selalu ada klausula valuta (sebagai dasar
perjanjian penukaran uang). Dalam contoh tadi B bertindak sebagai penerbit,
sedangkan A bertindak sebagai pemegang pertama. Karena surat wesel berfungsi
sebagai alat bukti penukaran uang, maka A sebagai pemegang pertama dapat
memindahtangankan surat tersebut kepada orang lain, dengan uang pula.[1]
Sehingga Pendapat
mereka ini dijadikan dasar penyusunan Code de Commerce perancis Tahun 1807. Karena Code de Commerce Perancis pernah berpengaruh
dinegara Belanda (dulu bekas jajahan Perancis) maka sistem ini diikuti juga
oleh Belanda, dan dari belanda dibawa pula ke Indonesia (dulu bekas jajahan
Belanda).
Menurut pendapat
para sarjana hukum Perancis tersebut, perjanjian wesel adalah perjanjian
penukaran uang (contract de change).
Dalam surat wesel selalu ada klausula tempat (tempat penerbit dan tempat
pemegang pertama) dan klausula valuta (sebagai dasar perjanjian penukaran uang.
Konsekwensi dari
pendapat tersebut jika ada cacat yang mengakibatkan batalnya perjanjian yang
menjadi dasar penerbitan surat wesel maka pemegang surat wesel tidak berhak
atas pembayaran wesel itu walaupun pemegang wesel itu adalah orang jujur.
Sistem Perancis ini dianut di negara Perancis, Belanda, Indonesia, Belgia,
Spanyol, Rumania dan negara-negara Amerika Tengah dan Amerika Selatan).[2]
Berdasar
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa menurut sistem Perancis pengaturan
mengenai surat berharga ini di awali dengan adanya pengaturan surat wesel
sebagai pendapat dua sarjana di atas yang kemudian diadopsi dalam Code de
Commerce.
2.2. Sistem Jerman
Sistem jerman
bertentangan dengan sistem prancis, pengaturan menurut sisten Jerman ini
didasarkan pada pendapat para sarjana hukum Jerman, seperti Einert dan Thol.
Pendapat mereka ini merupakan dasar pembentukan undang-undang tentang surat
wesel tahun 1848 (Algemenie Deutsche Wechselordnung). Menurut mereka bahwa
surat wesel yang diterbitkan terlepas dari perikatan dasarnya, artinya dengan
adanyan surat wesel ini para pihak dianggap melepaskan diri dari perikatan
dasarnya, dengan kata lain wesel itu dipandang suatu janji untuk membayar yang
abstrak yang diberikan oleh penerbit dan yang mengikat sama sekali terlepas
dari perikatan dasarnya. Ajaran ini disebut ajaran “abstraksi”
Konsekwensi dari
ajaran ini adalah jika ada cacat yang mengakibatkan batalnya perikatan dasar,
maka pemegang surat wesel itu tetap berhak atas pembayaran wesel itu, dan
tersangkut harus membayarnya. Sistem Jerman ini dianut di negara Jerman, Italia, Austria, swiss, dan
negara-negara Skandinavia.[3]
2.3. Sistem Inggris
Sistem Inggris
dapat diketahui dari undang-undang yang bernama “Bill of exchange Act 1882”
yang berdasarkan pada Rancangan Undang-Undang yang disusun oleh Sir Machenzei
D. Chakmers dan ditiru pula oleh Amerika Serikat dalam “Negotiable Instruments
law 1897“.
Sistem Inggris
merupakan jalan tengah antara sistem Perancis dan sistem Jerman, artinya dengan
menolak ajaran abstraksi pada system Jerman dan memperhatikan perikatan dasar
yang menjadi latar belakang penerbitan surat wesel itu, serta memberikan
perlindungan pada pemegang surat wesel yang jujur, walaupun ada cacat pada perikatan
dasar yang menjadi latar belakang penerbitan surat wesel itu. Sistem ini dianut
negara Inggris dan pada umumnya negara-negara yang berbahasa Inggris termasuk
Amerika Serikat dan Irlandia.[4]
Usaha-Usaha
Penyeragaman Secara International
Tentang Surat Berharga. Usaha penyeragaman tentang surat berharga dapat
diketahui dengan diadakan konferensi Jeneva tahun 1930 tentang Unifikasi
pengaturan surat wesel dan surat sanggup dan tahun 1931 tentang surat cek antar
negara-negara peserta. Dalam konferensi-konferensi tersebut berhasil dirumuskan
beberapa rancangan perjanjian internasional mengenai surat-surat berharga.
Pada konferensi Tahun 1930 tentang
surat wesel dan surat sanggup menghasilkan kesepakatan :
a. Perjanjian
penyeragaman surat wesel dan surat sanggup
b. Perjanjian
penyelesaian perselisihan antara berbagai undang–undang mengenai surat wesel
dan surat sanggup antara negara-negara peserta.
c. Perjanjian
mengenai materi surat wesel dan surat sanggup.
Pada konferensi Tahun 1931 tentang
surat cek menghasilkan kesepakatan :
a.
Perjanjian penyeragaman
surat cek
b.
Perjanjian penyelesaian
perselisihan berbagai undang–undang mengenai surat cek antar negara-negara
peserta.
c.
Perjanjian mengenai
materi surat cek.[5]
Dalam kesepakatan itu
perserta yang tidak menadatangani kesepakatan adalah negara Inggris dan AS dengan alasan mereka mementingkan tujuan
surat berharga sebagai alat pembayaran uang/alat tukar uang (negotiable
instrument). Tujuan nya tidak terpenuhi jika mengikuti peraturan yang
dirumuskan dalam rancangan perjanjian itu[6]
Negara belanda
salah satu negara yang ikut menandatangani semua perjanjian internasional itu,
pada tahun 1932 menyesuaikan Wet Boek Kophandel-nya (KUHD) dengan
ketentuan-ketentuan dalam perjanjian tersebut dengan mengubah titel 6 dan titel
7 buku I tentang surat wesel, surat sanggup dan surat cek. Perubahan ini
diteruskan pula kepada KUHD Hindia Belanda dengan Sbt. 1934-562
jo.Sbt.1935-531, perubahan mana bagi hindia belanda mulai berlaku sejak tanggal
1 januari 1936.
Hingga saat ini
di indonesia pengaturan surat berharga masih berpedoman pada kitap
undang-undang hukum dagang dalam buku I titel 6 dan 7, pada hal perkembangan
surat berharga sudah begitu pesat, misalnay berbagai bentuk baru surat-surat
yang termasuk kriteria surat berharga, misalnya surat berharga komersial,
bilyet giro, kartu kredit, dan sebagainya. Surat berharga yang diatur didalam
KUHD hanya terdiri dari surat-surat seperti : wesel, surat sanggup, cek,
promes, dan kwitansi-kwitansi atas tunjuk. Sistematika peraturannya adalah
sebagai berikut :
a. Wesel
diatur dalam buku I titel keenam dari bagian pertama sampai dengan bagian
keduabelas
b. Surat
sanggup diatur dalam buku I titel keenam bagian ketigabelas
c. Cek
diatur di dalam buku I titel ketujuh dalam bagian pertama sampai dengan bagian
kesepuluh.
d. Kwitansi-kwitansi
dan promes atas tunjuk diatur dalam buku I titel ketujuh dalam bagian
kesebelas.
Selain Kitap Undang-undang Hukum Dagang, ada
beberapa peraturan yang mengatur bentuk-bentuk surat berharga diluar KUHD, seperti :
a. Surat
keputusan direksi BI No.21/KEP/DIR, dan Surat Edaran BI No.21/27/UPG, tanggal
27 oktober 1998 tentang Sertifikat Deposito.
b. Keputusan
Presiden RI No.5 tahun 1984 tentang Penerbitan Sertifikat Bank Indonesia.
c. SKBI
No.21/25/KEP/DIR dan SEBI No.21/30/UPG, tanggal 27 Oktober 1998 Tentang
Penerbitan dan Perdagangan Sertifikat Bank Indonesia.
d. SEBI
No.2/upg tanggal 16 september 1948 tentang Larangan SBI dan Surat Berharga
Pasar Uang.
e. SK
Direktur BI No.28/52/KEP/DIR dan SEBI No.28/49/UPG, tanggal 11 Agustus 1995
tentang Persyaratan Penerbitan dan Perdagangan Surat Berharga Komersial.
f. SKBI
No.28/32/KEP/DIR/1995, tanggal 4 juli 1995 tentang Bilyet Giro.
g. SEBI
No.28/32/UPG, tanggal 4 JULI 1995.
h. SEBI
No.28/137/UPG 1996.[7]
Selain peraturan tersebut, ada satu undang-undang
yang sempat diberlakukan, namun divabut kembali yaitu UU No.17 tahun 1964
tentang Larangan Penerbitan Cek Kosong, iundangkan dalam Lembaran Negara No.101
tahun 1964. UU ini kemudian dicabut dengan No.12 tahun 1971. dasar pertimbangan
diterbitkannya uu No.17 hahun 1964 adalah :[8]
a.
Bahwa sering terjadi
tidak tersedia dana pada bank atas nama cek diterbitkan
b.
Bahwa perbuatan
penarikan cek kosong itu dapat berkembang menjadi suatu manipulasi yang dapat
mengacau dan menggagalkan usaha-usaha pemerintah pada waktu itu dalam
melaksanakan stabilitas/perbaikan-perbaikan moneter dan prekonomian pada
umumnya
c.
Bahwa penerbitan cek
kosong akan mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lalu lintas
pembayaran dengan cek pada khususnya dan perbankan pada umumnya.
Akibat hal tersebut para pelaku bisnis takut
menerbitkan surat cek, karena takut salah sebab mengendentifikasi para penerbit
akan dikenakan sanksi yang berat, sesui dengan ketentuan Undang-undang larangan
penerbitan cek kosong.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dalam sejarah pengaturan surat berharga di bagi
dalam tiga sistem antara lai yaitu
3.1.1. Pengaturan Menurut Sistem Perancis
:
Sistem ini berdasarkan pada pendapat sarjana hukum
Perancis yang terkenal seperti Potheir dan Domat. Menurut pendapat para sarjana
hukum Perancis tersebut, perjanjian wesel adalah perjanjian penukaran uang (contract de change). Dalam surat wesel
selalu ada klausula tempat (tempat penerbit dan tempat pemegang pertama) dan
klausula valuta (sebagai dasar perjanjian penukaran uang. Konsekwensi dari
pendapat tersebut jika ada cacat yang mengakibatkan batalnya perjanjian yang
menjadi dasar penerbitan surat wesel maka pemegang surat wesel tidak berhak
atas pembayaran wesel itu walaupun pemegang wesel itu adalah orang jujur.
Sistem Perancis ini dianut di negara Perancis, Belanda, Indonesia, Belgia,
Spanyol, Rumania dan negara-negara Amerika Tengah dan Amerika Selatan)
3.1.2. Pengaturan Menurut System Jerman
:
Pendapat eineft dan thol menjadi dasar pembentukan
“Algemeine Deutsche Wechselordnung” yaitu Undang-Undang tentang Surat Wesel di
Jerman tahun 1848. Menurut pendapat mereka surat wesel yang diterbitkan itu
terlepas dari perikatan dasarnya, artinya dengan adanya surat wesel itu para
pihak dianggap melepaskan diri dari perikatan dasarnya. Ajaran ini disebut
“ajaran Absraksi”. Konsekwensi dari ajaran ini adalah jika ada cacat yang
mengakibatkan batalnya perikatan dasar, maka pemegang surat wesel itu tetap
berhak atas pembayaran wesel itu dan tersangkut harus membayarnya. Sistem
Jerman ini dianut di negara Jerman,
Italia, Austria, swiss, dan negara-negara Skandinavia.
3.1.3. Pengaturan Menurut Sistem Inggris
:
Sistem Inggris merupakan jalan tengah antara sistem
Perancis dan sistem Jerman, artinya dengan menolak ajaran abstraksi pada system
Jerman dan memperhatikan perikatan dasar yang menjadi latar belakang penerbitan
surat wesel itu, serta memberikan perlindungan pada pemegang surat wesel yang
jujur, walaupun ada cacat pada perikatan dasar yang menjadi latar belakang
penerbitan surat wesel itu.
3.2. Saran
Saya menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan
dan tidak menggunakan banyak sumber sehingga pembahasannya tidak terlalu
menyeluruh. Oleh karena itu saya senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan
dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan
makalah berikutnya.
[1] Dikutip Dari Pendapat Abdulkadir Muhammad dalam Hasan Soleh 2012. Surat Berharga diakses dari
http://soleh-com.blogspot.co.id/2012/06/surat-berharga.html pada hari sabtu 28
November 2015 pukul 20:39 WITA
[2] Wirjono Prodjodikoro. 1966:52-54 dalam Junaidi.2011.catatan rangkuman
surat berharga.diakses dari http://lawfile.blogspot.co.id/2011/12/catatan-rangkuman-hukum-surat-berharga.html
hari sabtu 28 November 2015 pukul 20:35 WITA.
[3] Joni Emirson,2001.Hukum Surat
Berharga dan Perkembangannya (Di Indonesia.PT Prenhallindo.Palembang)
hlm.21
[4] Wirjono Prodjodikoro. 1966:52-54 dalam Junaidi.2011.Catatan Rangkuman Surat Berharga diakses
dari http://lawfile.blogspot.co.id/2011/12/catatan-rangkuman-hukum-surat-berharga.html
pada hari sabtu 28 November 2015 pukul 20:35 WITA.
[5] Hasan Soleh.2012. Surat Berharga
diakses dari http://soleh-com.blogspot.co.id/2012/06/surat-berharga.html pada
hari sabtu 28 November 2015 pukul 20:39 WITA
[6] Scheltema, 1938: 5-18 dalam Junaidi.2011.Catatan Rangkuman Surat Berharga.diakses dari
http://lawfile.blogspot.co.id/2011/12/catatan-rangkuman-hukum-surat-berharga.html
pada hari sabtu 28 November 2015 pukul 20:35 WITA.
[7] Joni Emirson.2001.Hukum Surat
Berharga dan Perkembangannya (Di Indonesia.PT Prenhallindo.Palembang)
hlm.23
[8] Emmy P. Simanjuntak, 1982:152 dalam Joni Emirson.2001.Hukum Surat Berharga dan Perkembangannya
(Di Indonesia.PT Prenhallindo.Palembang) hlm.24
No comments:
Post a Comment