Sunday, 23 September 2018

Mediasi Dalam Sistem Hukum Indonesia Dan Potensi Pengembangannya


A. MEDIASI DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA
Pengertian Mediasi
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh Mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak.
Mediasi Menurut Hukum Positif : Peraturan Mahkamah Agung RI. No.2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di pengadilan, konsideranya adalah untuk mengurangi penumpukan perkara, merupakan salah satu cara menyelesaikan perkara lebih cepat dan murah, bersesuian dengan Pasal 130 HIR atau pasal P 153 RBg.

Mediasi Di Luar Pengadilan
Landasan yuridis bagi penyelenggaraan mediasi diluar pengadilan diatur dalam UU No.30 tahun 1999 dan PP No.54 tahun 2000. Undang-undang ini menekankan penyelesaian sengketa diluar pengadilan dengan menempuh cara arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa dan mengatur tentang luas lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan.
Proses pelaksanaan mediasi diluar pengadilan dalam UU No. 30 tahun 1999 diatur dalam pasal 20 sampai 24.
Sedangkan proses pelaksanaan mediasi dalam ketentuan pasal 20 PP 54 tahun 2000 dimulai dengan pemilihan atau penunjukan mediator oleh para pihak pada lembaga penyedia jasa. Atas dasar penunjukan, maka mediator secepat mungkin melakukan mediasi  untuk menyelesaikan sengketa secara damai.
Setelah proses mediasi tercapai, maka kesepakatan tersebut dijadikan dalam bentuk perjanjian tertulis di atas kertas bermaterai dan di tanda tangani oleh para pihak dan mediator. Dalam jangka waktu 30 hari setelah penanda tanganan kesepakatan, lembaran perjanjian tersebut tersebut diserahkan dan di daftarkan kepada panitera pengadilan negeri.

Mediasi Pada Lembaga Peradilan
Peraturan Mahkamah agung RI No. 02 tahun 2003 menjadikan mediasi sebagai bagian dari proses beracara pada pengadilan. Ia menjadi bagian integral dalam penyelesaian sengketa di pengadilan. Mediasi pada pengadilan menguatkan upaya damai sebagaimana yang tertuang dalam hukum acara pasal 130 HIR atau pasal 154 R.Bg. hal ini ditegaskan dalam pasal 2 perma No. 02 tahun 2003, yaitu semua perkara perdata yang diajukan kepada pengadian tingkat pertama harus terlebih dahulu di selesaikan dengan upaya damai.
Ketentuan pasal 2 perma mengharuskan hakim untuk menawarkan mediasi sebagai jalan penyelesaian sengketa sebelum perkara diperiksa. Mediasi merupakan kewajiban yang harus ditawarkan kepada pihak yang berperkara.
Pasal 3 perma dapat kita terjemahkan bahwa bagi pihak yang menolak mediasi tidak membawa konsekuensi hukum apapun terhadap perkaranya, karena perkaranya tersebut tetap akan dilanjutkan jika jalan mediasi gagal. Namun, pelanjutan sidang perkara tetap akan dipertimbangkan persyaratan formal perkara yang telah ditentukan dalam hukum acara.
Pada sidang pertama atau sebelum mediasi dilakukan, hakim wajib memberikan penjelasan kepada para pihak mengenai prosedur dan biaya mediasi. Kemudian para pihak dapat memilih mediator yang telah disediakan oleh pengadilan, ataupun dapat menunjuk mediator dari luar pengadilan. Bila para pihak memberikan kuasa kepada kuasa hukumnya, maka kuasa hukumnya lah yang akan melakukan mediasi, kuasa hukum akan bertindak untuk dan atas nama para pihak.
Dalam pasal 4 perma No,02 tahun 2003 disebutkan bahwa dalam waktu paling lama 1 hari kerja, para kuasa hukum mereka harus berunding untuk menentukan mediator . penentuan mediator ini harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Setelah semuanya tersepakati, maka hakim memerintahkan untuk segera melaksanakan proses mediasi.

Mediasi Dan Mediator
Mediasi, yang didefinisikan oleh Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 02 Tahun 2003 sebagai penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator , merupakan salah satu instrument efektif penyelesaian sengketa non-litigasi yang memiliki banyak keuntungan. Keuntungan menggunakan jalur mediasi antara lain adalah bahwa sengketa dapat diselesaikan dengan prinsip win-win solution, waktu yang digunakan tidak berkepanjangan, biaya lebih ringan, tetap terpeliharanya hubungan antara dua orang yang bersengketa dan terhindarkannya persoalan mereka dari publikasi yang berlebihan. Pengakuan akan keuntungan menggunakan jalur mediasi sebagai penyelesaian sengketa non-litigasi ini dapat dilihat dalam konsideran diterbitkannya Perma No. 02 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Mediasi tidak hanya bermanfaat bagi para pihak yang bersengketa, melainkan juga memberikan beberapa manfaat bagi dunia peradilan. Pertama, mediasi mengurangi kemungkinan menumpuknya jumlah perkara yang diajukan ke pengadilan. Banyaknya penyelesaian perkara melalui mediasi, dengan sendirinya, akan megurangi penumpukan perkara di pengadilan. Kedua, sedikitnya jumlah perkara yang diajukan ke pengadilan akan memudahkan pengawasan apabila terjadi kelambatan atau kesengajaan untuk melambatkan pemeriksaan suatu perkara untuk suatu tujuan tertentu yang tidak terpuji. Ketiga, sedikitnya jumlah perkara yang diajukan ke pengadilan tersebut juga akan membuat pemeriksaan perkara di pengadilan berjalan cepat.
Meski banyak memiliki kelebihan dan keuntungan, mediasi sebagai alternative penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidaklah diatur secara memadai dalam peraturan-perundangan Dalam UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa, mediasi tidak dijelaskan secara berimbang dan proporsional. Dalam Undang-undang ini, lembaga arbitrase diatur dan dijelaskan secara detail dalam 80 (delapan puluh) pasal, sedangkan alternative penyelesaian sengketa, termasuk mediasi di antaranya, hanya disebut dalam dua pasal saja, yaitu pasal 1, butir (10) dan pasal 6 yang terdiri dari 9 ayat. Selebihnya hanya diatur secara garis besar dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Dalam Perma No. 2 tahun 2003, mediator adalah pihak ketiga yang menyelesaikan perkara para pihak. Baik UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa maupun Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan sama sekali tidak menyebutkan criteria yang harus dipenuhi untuk menjadi mediator. Meski untuk garapan mediasi yang sangat spesifik, yakni mediasi untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup, kriteria mediator bisa dilihat dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 Tahun 2000. Dalam PP tersebut disebutkan bahwa untuk menjadi mediator lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan maka seseorang harus memenuhi beberapa persyaratan pokok. Pertama, dia harus cakap melakukan tindakan hokum. Kedua, berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun. Ketiga, memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif bidang lingkungan hidup paling sedikit 5 (lima) tahun. Keempat, tidak ada keberatan dari masyarakat (setelah diumumkan dalam jangka waktu satu bulan). Kelima, memiliki keterampilan untuk melakukan perundingan atau penengahan. Keenam, dengan merujuk pada Perma No. 02 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 11, memiliki sertifikat mediator, yaitu dokumen yang menyatakan bahwa dia telah mengikuti pelatihan atau pendidikan mediasi yang dikeluarkan oleh lembaga yang telah diakreditasi oleh Mahkamah Agung.
Di samping itu, seorang calon mediator juga harus memenuhi persyaratan tambahan, yaitu disetujui oleh para pihak yang bersengketa, tidak memiliki hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa, tidak mempunyai hubungan kerja dengan salah satu pihak yang bersengketa, tidak mempunyai kepentingan financial atau kepentingan lain terhadap kesepakatan para pihak yang bersengketa dan tidak memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupun hasilnya.
Meski hanya secara spesifik mengatur kriteria mediator untuk sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, kriteria mediator yang dikemukakan oleh PP No. 54 Tahun 2000 tersebut nampaknya sebagian dapat menjadi acuan bagi pengaturan kriteria mediator dalam sengketa non lingkungan hidup, sementara sebagian yang lain layak untuk dikritisi. Di antara yang layak untuk dikritisi adalah persyaratan pokok bahwa seorang mediator harus memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif bidang spesifik yang disengketakan paling sedikit 5 (lima) tahun. Penentuan criteria tersebut tentu terlalu berlebihan karena peran mediator bukanlah untuk mencari solusi atas persoalan yang disengketakan, melainkan untuk memberdayakan pihak-pihak yang bersengketa guna mencari solusi atas persoalan mereka sendiri. Solusi tentu bukanlah berasal dari mediator, melainkan dari para pihak yang bersengketa itu sendiri. Karenanya, seorang mediator tidak harus mengetahui, apalagi menguasai, secara detail bidang persoalan yang disengketakan.
Persyaratan pokok lainnya yang layak untuk dikritisi adalah penentuan umur minimal 30 (tigapuluh) tahun. Pertanyaan yang seringkali dimunculkan adalah mengapa seorang mediator minimal harus 30 (tiga puluh) tahun? Mengapa, misalnya, bukan 25 (dua puluh lima) atau 20 (dua puluh) tahun? Maksud penentuan umur minimal tersebut tentu tidak lain adalah bagaimana menampilkan seorang mediator yang memiliki kematangan intelektual (intellectual maturity), kedewaan berpikir dan keluasan wawasan.

Prosedur Dan Tahap Mediasi
Meski lebih fleksibel ketimbang penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi, mediasi juga memiliki prosedur-prosedur baku. Prosedur mediasi, sebagaimana dinyatakan oleh Perma No. 02 Tahun 2003 pasal 1 (item 8), adalah tahapan proses pelaksanaan mediasi sebagaimana diatur dalam Perma tersebut. Prosedur mediasi tersebut, sebagaimana disebutkan dalam pasal 7 Perma yang sama, harus diikuti oleh mediator dan para pihak yang bersengketa.
Perma No. 02 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan membagi prosedur mediasi menjadi dua tahap, yaitu tahap pramediasi dan tahapan mediasi.
Tahap Pramediasi
Pasal 3 Perma No. 02 Tahun 2003 menyatakan bahwa pada hari sidang pertama di pengadilan yang dihadiri oleh kedua belah pihak yang berperkara, hakim mewajibkan kedua belah pihak tersebut untuk terlebih dahulu menempuh jalur mediasi dengan menunda proses persidangan. Dalam hal ini hakim wajib memberikan penjelasan kepada dua pihak tersebut mengenai prosedur mediasi.
Selanjutnya pasal 4 Perma yang sama menyatakan bahwa paling lama satu hari kerja setelah siding pertama, para pihak yang bersengketa wajib berunding guna memilih mediator dari daftar mediator yang dimiliki oleh pengadilan atau mediator di luar daftar pengadilan. Bila dalam waktu satu hari tersebut kedua belah pihak belum dapat bersepakat tentang penggunaan mediator di dalam atau luar pengadilan, mereka wajib memilih mediator dari daftar mediator yang disediakan oleh pengadilan tingkat pertama. Bila dalam waktu satu hari kerja kedua belah pihak belum dapat memilih mediator dari daftar yang disediakan oleh pengadilan, ketua majlis berwenang untuk menunjuk seorang mediator dari daftar mediator dengan penetapan. Dalam hal ini, hakim yang memeriksa suatu perkara —baik sebagai ketua ataupun anggota majlis—dilarang untuk bertindak sebagai mediator bagi pelaksanaan mediasi perkara tersebut.
Selanjutnya dalam pasal 5 Perma yang sama mengatur bahwa proses mediasi yang menggunakan mediator di luar daftar mediator yang dimiliki oleh pengadilan berlangsung selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari kerja. Setelah jangka waktu tersebut, para pihak yang bersengketa wajib menghadap kembali pada hakim pada sidang yang ditentukan. Dalam hal pelaksanaan mediasi mereka mencapai kesepakatan, mereka dapat meminta penetapan dengan suatu akta perdamaian. Bila kesepakatan tersebut tidak dimintakan penetapannya dalamsebuah akta perdamaian maka pihak penggugat wajib menyatakan pencabutan gugatannya.
Tahap Mediasi
Pada tahap mediasi, pasal 8 Perma tersebut menjelaskan bahwa dalam waktu paling lambat tujuh hari kerja setelah pemilihan atau penunjukan mediator, para pihak wajib menyerahkan fotocopy dokumen yang memuat duduk perkara, fotocopy surat-surat yang diperlukan dan hal-hal lain yang terkait dengan sengketa kepada mediator. Pasal 9 menyatakan bahwa mediator wajib menentukan jadwal pertemuan untuk penyelesaian proses mediasi. Dalam proses mediasi termasuk para pihak dapat didampingi oleh kuasa hukumnya. Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus. Yang dimaksud dengan kaukus, sebagaimana dijelaskan oleh pasal 1 butir (4), adalah pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak dengan tanpa dihadiri oleh pihak lainnya.
Dalam hal ini, mediator wajib mendorong para pihak yang bersengketa untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak। Dalam proses mediasi ini, sebagaimana diatur dalam pasal 10, seorang mediator--atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum--dapat mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu para pihak dalam penyelesaian perbedaan. Semua biaya jasa seorang ahli atau lebih ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan.
Proses mediasi ini, sebagaimana diatur oleh pasal 9 ayat (5), berlangsung paling lama dua puluh dua hari kerja sejak pemilihan atau penetapan penunjukan mediator, dengan atau tanpa adanya kesepakatan antara kedua belah pihak di akhir proses mediasi.
Pasal 11 menyatakan bahwa dalam hal mediasi menghasilkan suatu kesepakatan, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai tersebut dengan ditandatangani oleh para pihak. Kesepakatan yang dirumuskan oleh kedua belah pihak tersebut wajib memuat klausul pencabutan perkara atau pernyataan bahwa perkara telah selesai. Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator wajib memeriksa materi kesepakatan untuk menghindari adanya kesepakatan yang bertentangan dengan hukum.
Setelah proses mediasi selesai para pihak wajib menghadap kembali pada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan telah dicapainya kesepakatan. Atas pemberitahuan akan adanya kesepakatan tersebut, hakim dapat mengukuhkan kesepakatan sebagai suatu akta perdamaian.
Pasal 12 menyatakan bahwa dalam hal mediasi tidak dapat menghasilkan suatu kesepakatan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, yaitu 22 (dua puluh dua) hari kerja sejak pemilihan atau penetapan penunjukan, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal untuk mencapai kesepakatan dan memberitahukan kegagalan proses mediasi tersebut kepada hakim.
Segera setelah menerima pemberitahuan akan gagalnya proses mediasi tersebut, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan Hukum Acara yang berlaku. Dalam hal ini, pasal 13 menyatakan bahwa jika para pihak gagal mencapai kesepakatan, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan atau perkara lainnya. Fotocopy dokumen dan notulen atau catatan-catatan yang ditulis oleh mediator wajib dimusnahkan. Mediator juga tidak dapat diminta menjadi saksi dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan.

Lembaga Mediasi Di Indonesia
1.      Lembaga Mediasi Non-Pengadilan
Lembaga mediasi non-pengadilan adalah lembaga mediasi yang memberikan pelayanan kepada masyarakat untuk menyelesaikan sengketa. biasanya lembaga ini berbentuk badan hukum yayasan.
2.      Pusat Mediasi Nasional
Pusat mediasi nasional didirikan sebagai badan penyelesaian alternatif masalah ditujukan untuk menyelesaikan masalah ekonomi dan bisnis.
3.      Indonesian Institute For Conflict Transformation (IICT)
IICT merupakan lembaga yang memfokuskan kegiatannya pada mediasi dalam bidang transformasi dan manajemen konflik.
4.      Badan Arbitrase Nasional (BANI)
BANI didirikan untuk memberikan pelayanan penyelesaian sengketa perdagangan, industri dan keuangan secara adil dan cepat, baik bersifat nasional maupun internasional.
5.      Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI)
BAPMI menyelesaikan sengketa atau beda pendapat yang berhubingan dengan kegitan di pasar modal indonesia dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku sepenuhnya dikuasai sepenuhnya oleh para pihak.
6.      Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
BASYARNAS merupakan perubahan dari Badan Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI) yang merupakan salah satu wujud arbitrase islam yang pertama kali didirikan di indonesia.
7.      Lembaga Mediasi Pada Bank Indonesia
Mediasi perbankan adalah mediasi yang diselenggarakan oleh lembaga mediasi independent yang dibentuk oleh asosiasi perbankan.
8.      Lembaga Mediasi Pada Perguruan Tinggi
Di beberapa perguruan tinggi di indonesia memiliki lembaga mediasi tersendiri untuk menyelesaikan konflik yang terjadi didalam perguruan tinggi tersebut.

B. POTENSI PENGEMBANGAN MEDIASI
Permasalahan-permasalahan yang menyangkut sengketa di bidang pertanahan dapat dikatakan tidak pernah surut bahkan bisa jadi tidak akan pernah surut mengingat begitu pesatnya tingkat pertumbuhan penduduk sedangkan tanah yang telah disediakan  Tuhan ini tidak mengembang yang konon justru menciut dikarenakan mencairnya es dikutub sebagai buntut dari pemanasan global. Hal demikian sangat berdampak bagi masyarakat luas serta mendatangkan berbagai permasalahan dalam kehidupan manusia baik secara ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Tanah sebagai hak ekonomi setiap orang, rawan memunculkan konflik dan sengketa. Coser mencoba memberikan batasan dari konflik, yang dimaksud dengan konflik menurutnya adalah sebagai berikut : “ Conflicts involve stuggles between two or more people over values, or competition for status, power, or scace resources” (Coser dikutip oleh Moore, 1996). Jika konflik itu telah nyata (manifest), maka hal itu disebut sengketa (Moore,1996: 17). pada hakikatnya timbulnya sengketa dibidang pertanahan ini ada tidak lain karena adanya konflik kepentingan (conflict of interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan badan hukum dan lain sebagainya.
Pada umumnya permasalahan-permasalahan ini timbul karena adanya beberapa faktor yang sangat bervariasi, antara lain:
1.      Meningkatnya kebutuhan masyarakat atas tanah untuk keperluan membangun;
2.      Harga tanah yang meningkat dengan cepat;
3.      Kondisi masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan kepentingan/haknya;
4.      Belum rapihnya system pembukuan pendaftaran tanah ditubuh Badan Pertanahan Nasional;
5.      Dll.
Penyelesaian terhadap kasus-kasus terkait dengan adanya sengketa tersebut pada umumnya ditempuh melalui jalur pengadilan yang memaksa para pihak yang terlibat dalam konflik untuk mengeluarkan biaya, sebab semakin lama proses penyelesaian sengketa tersebut, maka semakin membengkaklah biaya yang harus dikeluarkan. Tidak tertutup kemungkinan pula dengan berlarut-larutnya proses ini sangat potensial menimbulkan efek domino terutama pada penurunan produktifitas kerja atau usaha hal ini karena para pihak yang bersengketa harus meluangkan waktu secara khusus serta tenaga dan pikiran terhadap sengketa.
Kenyataan-kenyataan di atas telah membuat gerah banyak pemerhati hukum terkhusus para ahli dibidang hukum pertanahan. Telah banyak solusi hukum yang coba ditawarkan guna memperoleh penyelesaian yang terbaik, baik melalui proses ligitasi (melalui jalur Pengadilan) ataupun melalui jalur penyelesaian diluar pengadilan (non Ligitasi) yang dapat berupa penyelesaian sengketa alternatif semisal negosiasi, konsiliasi, mediasi, dan lain-lain.
Mediasi sebagai salah satu cara yang ditawarkan guna penyelesaian konfik pertanahan nampaknya kembali memperoleh perhatian. Pilihan penyelesaian konflik melalui proses ini dinilai memiliki banyak kelebihan bila dibandingkan dengan jalan litigasi yang sangat tidak menarik dilihat dari segi waktu, biaya, dan pikiran/tenaga. Mediasi memberikan keleluasaan kepada para pihak yang terlibat konflik untuk merumuskan suatu kesepakatan bersama tanpa tekanan ataupun paksaan, atau yang biasa dikenal dengan istilah win-win solution,  meski dalam prakteknya tidak semua permasalahan yang timbul dapat serta merta diselesaikan melalui mekanisme mediasi. Dengan demikian tulisan ini lebih lanjut akan mencoba mengupas bagaimana peluang mediasi dalam rangka penyelesaian sengketa pertanahan.

Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan Di Indonesia
Dalam pergaulan sosial masyarakat Indonesia, penyelesaian sengketa melalui mekanisme musyawarah sebenarnya telah lama hidup dan berkembang di dalam masyarakat kita, hanya saja Goodpaster (1995:1) mengemukakan bahwa pertimbangan penyelesaian sengketa dalam masyarakat tradisional melalui musyawarah lebih ditekankan untuk menjaga keharmonisan kelompok dan kadang-kadang mengabaikan kepentingan dari pihak-pihak yang bersengketa.
Keberadaan mediasi sebagai salah satu bentuk mekanisme penyelesaian sengketa alternatif (alternative dispute resolution/ADR) sudah barang tentu bukan lagi menjadi suatu hal yang asing lagi tentunya mengingat hal diatas tersebut. Menurut Susanti Adi Nugroho, mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah di mana pihak ketiga yang tidak memihak bekerja sama dengan para pihak yang bersengketa membantu memperoleh kesepakatan memuaskan.
Mediasi sebagai jalan menemukan suatu permasalahan yang lebih mengarah pada win-win solution. Adapun menurut Bevan (1992: 3-4) upaya untuk pencapaiannya ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya:
1.      proses pendekatan yang objektif terhadap sumber sengketa lebih dapat diterima oleh pihak-pihak dan memberikan hasil yang saling menguntungkan, dengan catatan, bahwa pendekatan itu harus menitikberatkan pada kepentingan yang menjadi sumber konflik dan bukan pada posisi atau kedudukan para pihak (Rahmadi, 1998: 34). Apabila kepentingan yang menjadi fokusnya, pihak-pihak akan lebih terbuka untuk berbagai kepentingan. Sebaliknya, para pihak akan lebih menutup diri karena hal itu menyangkut harga diri mereka.
2.      kemampuan yang seimbang dalam proses negosiasi atau musyawarah. Perbedaan kemampuan tawar-menawar akan menyebabkan adanya penekanan oleh pihak yang satu terhadap yang lainnya.
Dalam bidang pertanahan di Indonesia, belum ada suatu peraturan yang mengatur secara eksplisit memberikan dasar hukum bagi penerapan penyelesaian sengketa alternatif dalam penyelesaian sengketa pertanahan. Meski demikian hal ini tidak lantas kemudian digunakan sebagai dalih untuk meminggirkan mediasi dalam setiap sengketa yang muncul, hal ini didasarkan bahwa dalam setiap sengketa perdata yang diajukan di pengadilan, hakim selalu mengusulkan untuk penyelesaian secara damai oleh para pihak (Pasal 130 HIR), dan juga dengan mengingat telah adanya Perpres No. 10 tahun 2006 diatas.
Meski demikian, pelaksanaan penyelesaian sengketa alternative sangatlah bergantung pada faktor sosial budaya masyarakat. Tentunya akan berbeda penerapannya untuk masing-masing daerah serta dampak yang timbul terhadap penggunaan cara tersebut.
Secara garis besar proses penyelesaian sengketa melalui mediasi dapat dibagi menjadi dua model besar yang sering digunakan, yakni yang pertama mediasi yang menjadi bagian dari proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang berdasarkan pada Perma Nomor 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Kemudian yang kedua adalah mediasi yang dilakukan oleh pihak BPN Sesuai dengan Pasal 345 Peraturan Kepala Badan Pertanahan RI Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pertanahan Nasional (Peraturan Kepala BPN No 3 Tahun 2006) serta Petunjuk tekhnis No. 05/JUKNIS/D.V/2007 Tentang Mekanisme Pelaksanaan Mediasi (Juknis Mediasi). Namun demikian diluar dari kedua model besar sebelumnya, penyelesaian sengketa pertanahan dengan cara-cara mediasi juga sering dilakukan dengan meminta bantuan-bantuan dari para ahli dibidang pertanahan seperti Advokat, Konsulatan pertanahan atau profesi lain seperti pemuka adat dan lain-lain yang dianggap dapat membantu para pihak yang terlibat dalam konflik untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi. Dalam tulisan kali ini penulis tidak akan membahas lebih detail mengenai penyelesaian sengketa didalam pengadilan dan akan diangkat pada tulisan selanjutnya namun penulis hanya akan mengangkat mengenai bagaimana penyelesaian sengketa pertanahan yang diselesaikan melalui jalan diluar pengadilan.

Sumber Materi :
Diakses dari : http://said-iqbal.blogspot.co.id/2011/05/mediasi-dalam-hukum-nasional.html pada hari sabtu tanggal 4 November 2017.
Diakses dari : http://gallenksonk.blogspot.co.id/2011/06/potensi-penerapan-mediasi-sebagai-salah.html  pada hari sabtu tanggal 4 November 2017.

No comments:

Post a Comment

  KETERKAITAN TEORI KEADILAN DENGAN PAJAK AIR TANAH Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pajak air tanah adalah pajak atas pengambila...