A. MEDIASI DALAM
SISTEM HUKUM INDONESIA
Pengertian
Mediasi
Mediasi
adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat
para pihak dengan dibantu oleh Mediator yang tidak memiliki
kewenangan memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses
mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau
konsensus. Sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah atau konsensus,
maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau
penyelesaian selama proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus
memperoleh persetujuan dari para pihak.
Mediasi Menurut
Hukum Positif : Peraturan Mahkamah Agung RI. No.2 Tahun 2003
Tentang Prosedur Mediasi di pengadilan, konsideranya adalah untuk mengurangi
penumpukan perkara, merupakan salah satu cara menyelesaikan perkara lebih cepat
dan murah, bersesuian dengan Pasal 130 HIR atau pasal P 153 RBg.
Mediasi
Di Luar Pengadilan
Landasan
yuridis bagi penyelenggaraan mediasi diluar pengadilan diatur dalam UU No.30
tahun 1999 dan PP No.54 tahun 2000. Undang-undang ini menekankan penyelesaian
sengketa diluar pengadilan dengan menempuh cara arbitrase atau alternatif
penyelesaian sengketa dan mengatur tentang luas lembaga penyedia jasa pelayanan
penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan.
Proses
pelaksanaan mediasi diluar pengadilan dalam UU No. 30 tahun 1999 diatur dalam
pasal 20 sampai 24.
Sedangkan
proses pelaksanaan mediasi dalam ketentuan pasal 20 PP 54 tahun 2000 dimulai
dengan pemilihan atau penunjukan mediator oleh para pihak pada lembaga penyedia
jasa. Atas dasar penunjukan, maka mediator secepat mungkin melakukan
mediasi untuk menyelesaikan sengketa secara damai.
Setelah
proses mediasi tercapai, maka kesepakatan tersebut dijadikan dalam bentuk
perjanjian tertulis di atas kertas bermaterai dan di tanda tangani oleh para
pihak dan mediator. Dalam jangka waktu 30 hari setelah penanda tanganan
kesepakatan, lembaran perjanjian tersebut tersebut diserahkan dan di daftarkan
kepada panitera pengadilan negeri.
Mediasi
Pada Lembaga Peradilan
Peraturan
Mahkamah agung RI No. 02 tahun 2003 menjadikan mediasi sebagai bagian dari
proses beracara pada pengadilan. Ia menjadi bagian integral dalam penyelesaian
sengketa di pengadilan. Mediasi pada pengadilan menguatkan upaya damai
sebagaimana yang tertuang dalam hukum acara pasal 130 HIR atau pasal 154 R.Bg.
hal ini ditegaskan dalam pasal 2 perma No. 02 tahun 2003, yaitu semua perkara
perdata yang diajukan kepada pengadian tingkat pertama harus terlebih dahulu di
selesaikan dengan upaya damai.
Ketentuan
pasal 2 perma mengharuskan hakim untuk menawarkan mediasi sebagai jalan
penyelesaian sengketa sebelum perkara diperiksa. Mediasi merupakan kewajiban
yang harus ditawarkan kepada pihak yang berperkara.
Pasal 3
perma dapat kita terjemahkan bahwa bagi pihak yang menolak mediasi tidak
membawa konsekuensi hukum apapun terhadap perkaranya, karena perkaranya
tersebut tetap akan dilanjutkan jika jalan mediasi gagal. Namun, pelanjutan
sidang perkara tetap akan dipertimbangkan persyaratan formal perkara yang telah
ditentukan dalam hukum acara.
Pada
sidang pertama atau sebelum mediasi dilakukan, hakim wajib memberikan
penjelasan kepada para pihak mengenai prosedur dan biaya mediasi. Kemudian para
pihak dapat memilih mediator yang telah disediakan oleh pengadilan, ataupun
dapat menunjuk mediator dari luar pengadilan. Bila para pihak memberikan kuasa
kepada kuasa hukumnya, maka kuasa hukumnya lah yang akan melakukan mediasi,
kuasa hukum akan bertindak untuk dan atas nama para pihak.
Dalam
pasal 4 perma No,02 tahun 2003 disebutkan bahwa dalam waktu paling lama 1 hari
kerja, para kuasa hukum mereka harus berunding untuk menentukan mediator .
penentuan mediator ini harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Setelah
semuanya tersepakati, maka hakim memerintahkan untuk segera melaksanakan proses
mediasi.
Mediasi
Dan Mediator
Mediasi,
yang didefinisikan oleh Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 02 Tahun 2003
sebagai penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan
dibantu oleh mediator , merupakan salah satu instrument efektif penyelesaian
sengketa non-litigasi yang memiliki banyak keuntungan. Keuntungan menggunakan
jalur mediasi antara lain adalah bahwa sengketa dapat diselesaikan dengan
prinsip win-win solution, waktu yang digunakan tidak berkepanjangan, biaya
lebih ringan, tetap terpeliharanya hubungan antara dua orang yang bersengketa
dan terhindarkannya persoalan mereka dari publikasi yang berlebihan. Pengakuan
akan keuntungan menggunakan jalur mediasi sebagai penyelesaian sengketa
non-litigasi ini dapat dilihat dalam konsideran diterbitkannya Perma No. 02
Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Mediasi
tidak hanya bermanfaat bagi para pihak yang bersengketa, melainkan juga
memberikan beberapa manfaat bagi dunia peradilan. Pertama, mediasi mengurangi
kemungkinan menumpuknya jumlah perkara yang diajukan ke pengadilan. Banyaknya
penyelesaian perkara melalui mediasi, dengan sendirinya, akan megurangi
penumpukan perkara di pengadilan. Kedua, sedikitnya jumlah perkara yang
diajukan ke pengadilan akan memudahkan pengawasan apabila terjadi kelambatan
atau kesengajaan untuk melambatkan pemeriksaan suatu perkara untuk suatu tujuan
tertentu yang tidak terpuji. Ketiga, sedikitnya jumlah perkara yang diajukan ke
pengadilan tersebut juga akan membuat pemeriksaan perkara di pengadilan
berjalan cepat.
Meski
banyak memiliki kelebihan dan keuntungan, mediasi sebagai alternative penyelesaian
sengketa di luar pengadilan tidaklah diatur secara memadai dalam
peraturan-perundangan Dalam UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Penyelesaian Sengketa, mediasi tidak dijelaskan secara berimbang dan
proporsional. Dalam Undang-undang ini, lembaga arbitrase diatur dan dijelaskan
secara detail dalam 80 (delapan puluh) pasal, sedangkan alternative
penyelesaian sengketa, termasuk mediasi di antaranya, hanya disebut dalam dua
pasal saja, yaitu pasal 1, butir (10) dan pasal 6 yang terdiri dari 9 ayat.
Selebihnya hanya diatur secara garis besar dalam Peraturan Mahkamah Agung RI
No. 02 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Dalam
Perma No. 2 tahun 2003, mediator adalah pihak ketiga yang menyelesaikan perkara
para pihak. Baik UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa maupun Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2003
Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan sama sekali tidak menyebutkan criteria
yang harus dipenuhi untuk menjadi mediator. Meski untuk garapan mediasi yang
sangat spesifik, yakni mediasi untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup,
kriteria mediator bisa dilihat dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 Tahun
2000. Dalam PP tersebut disebutkan bahwa untuk menjadi mediator lembaga
penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar
pengadilan maka seseorang harus memenuhi beberapa persyaratan pokok. Pertama,
dia harus cakap melakukan tindakan hokum. Kedua, berumur paling rendah 30 (tiga
puluh) tahun. Ketiga, memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif bidang
lingkungan hidup paling sedikit 5 (lima) tahun. Keempat, tidak ada keberatan
dari masyarakat (setelah diumumkan dalam jangka waktu satu bulan). Kelima,
memiliki keterampilan untuk melakukan perundingan atau penengahan. Keenam,
dengan merujuk pada Perma No. 02 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 11, memiliki
sertifikat mediator, yaitu dokumen yang menyatakan bahwa dia telah mengikuti
pelatihan atau pendidikan mediasi yang dikeluarkan oleh lembaga yang telah
diakreditasi oleh Mahkamah Agung.
Di
samping itu, seorang calon mediator juga harus memenuhi persyaratan tambahan,
yaitu disetujui oleh para pihak yang bersengketa, tidak memiliki hubungan
keluarga sedarah atau semenda sampai derajat kedua dengan salah satu pihak yang
bersengketa, tidak mempunyai hubungan kerja dengan salah satu pihak yang
bersengketa, tidak mempunyai kepentingan financial atau kepentingan lain
terhadap kesepakatan para pihak yang bersengketa dan tidak memiliki kepentingan
terhadap proses perundingan maupun hasilnya.
Meski
hanya secara spesifik mengatur kriteria mediator untuk sengketa lingkungan
hidup di luar pengadilan, kriteria mediator yang dikemukakan oleh PP No. 54
Tahun 2000 tersebut nampaknya sebagian dapat menjadi acuan bagi pengaturan
kriteria mediator dalam sengketa non lingkungan hidup, sementara sebagian yang
lain layak untuk dikritisi. Di antara yang layak untuk dikritisi adalah
persyaratan pokok bahwa seorang mediator harus memiliki pengalaman serta
menguasai secara aktif bidang spesifik yang disengketakan paling sedikit 5
(lima) tahun. Penentuan criteria tersebut tentu terlalu berlebihan karena peran
mediator bukanlah untuk mencari solusi atas persoalan yang disengketakan,
melainkan untuk memberdayakan pihak-pihak yang bersengketa guna mencari solusi
atas persoalan mereka sendiri. Solusi tentu bukanlah berasal dari mediator,
melainkan dari para pihak yang bersengketa itu sendiri. Karenanya, seorang
mediator tidak harus mengetahui, apalagi menguasai, secara detail bidang
persoalan yang disengketakan.
Persyaratan
pokok lainnya yang layak untuk dikritisi adalah penentuan umur minimal 30
(tigapuluh) tahun. Pertanyaan yang seringkali dimunculkan adalah mengapa
seorang mediator minimal harus 30 (tiga puluh) tahun? Mengapa, misalnya, bukan
25 (dua puluh lima) atau 20 (dua puluh) tahun? Maksud penentuan umur minimal
tersebut tentu tidak lain adalah bagaimana menampilkan seorang mediator yang
memiliki kematangan intelektual (intellectual maturity), kedewaan berpikir dan
keluasan wawasan.
Prosedur
Dan Tahap Mediasi
Meski
lebih fleksibel ketimbang penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi, mediasi
juga memiliki prosedur-prosedur baku. Prosedur mediasi, sebagaimana dinyatakan
oleh Perma No. 02 Tahun 2003 pasal 1 (item 8), adalah tahapan proses
pelaksanaan mediasi sebagaimana diatur dalam Perma tersebut. Prosedur mediasi
tersebut, sebagaimana disebutkan dalam pasal 7 Perma yang sama, harus diikuti
oleh mediator dan para pihak yang bersengketa.
Perma No. 02 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan membagi prosedur mediasi menjadi dua tahap, yaitu tahap pramediasi dan tahapan mediasi.
Perma No. 02 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan membagi prosedur mediasi menjadi dua tahap, yaitu tahap pramediasi dan tahapan mediasi.
Tahap
Pramediasi
Pasal 3
Perma No. 02 Tahun 2003 menyatakan bahwa pada hari sidang pertama di pengadilan
yang dihadiri oleh kedua belah pihak yang berperkara, hakim mewajibkan kedua
belah pihak tersebut untuk terlebih dahulu menempuh jalur mediasi dengan
menunda proses persidangan. Dalam hal ini hakim wajib memberikan penjelasan
kepada dua pihak tersebut mengenai prosedur mediasi.
Selanjutnya
pasal 4 Perma yang sama menyatakan bahwa paling lama satu hari kerja setelah
siding pertama, para pihak yang bersengketa wajib berunding guna memilih
mediator dari daftar mediator yang dimiliki oleh pengadilan atau mediator di
luar daftar pengadilan. Bila dalam waktu satu hari tersebut kedua belah pihak
belum dapat bersepakat tentang penggunaan mediator di dalam atau luar
pengadilan, mereka wajib memilih mediator dari daftar mediator yang disediakan
oleh pengadilan tingkat pertama. Bila dalam waktu satu hari kerja kedua belah
pihak belum dapat memilih mediator dari daftar yang disediakan oleh pengadilan,
ketua majlis berwenang untuk menunjuk seorang mediator dari daftar mediator
dengan penetapan. Dalam hal ini, hakim yang memeriksa suatu perkara —baik
sebagai ketua ataupun anggota majlis—dilarang untuk bertindak sebagai
mediator bagi pelaksanaan mediasi perkara tersebut.
Selanjutnya
dalam pasal 5 Perma yang sama mengatur bahwa proses mediasi yang menggunakan
mediator di luar daftar mediator yang dimiliki oleh pengadilan berlangsung
selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari kerja. Setelah jangka waktu tersebut,
para pihak yang bersengketa wajib menghadap kembali pada hakim pada sidang yang
ditentukan. Dalam hal pelaksanaan mediasi mereka mencapai kesepakatan, mereka
dapat meminta penetapan dengan suatu akta perdamaian. Bila kesepakatan tersebut
tidak dimintakan penetapannya dalamsebuah akta perdamaian maka pihak penggugat
wajib menyatakan pencabutan gugatannya.
Tahap
Mediasi
Pada
tahap mediasi, pasal 8 Perma tersebut menjelaskan bahwa dalam waktu paling lambat
tujuh hari kerja setelah pemilihan atau penunjukan mediator, para pihak wajib
menyerahkan fotocopy dokumen yang memuat duduk perkara, fotocopy surat-surat
yang diperlukan dan hal-hal lain yang terkait dengan sengketa kepada mediator. Pasal 9 menyatakan bahwa mediator wajib
menentukan jadwal pertemuan untuk penyelesaian proses mediasi. Dalam proses
mediasi termasuk para pihak dapat didampingi oleh kuasa hukumnya. Apabila
dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus. Yang dimaksud dengan kaukus, sebagaimana
dijelaskan oleh pasal 1 butir (4), adalah pertemuan antara mediator dengan
salah satu pihak dengan tanpa dihadiri oleh pihak lainnya.
Dalam
hal ini, mediator wajib mendorong para pihak yang bersengketa untuk menelusuri
dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang
terbaik bagi para pihak। Dalam proses mediasi ini, sebagaimana diatur dalam
pasal 10, seorang mediator--atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum--dapat
mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan
penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu para pihak dalam penyelesaian
perbedaan. Semua biaya jasa seorang ahli atau lebih ditanggung oleh para pihak
berdasarkan kesepakatan.
Proses
mediasi ini, sebagaimana diatur oleh pasal 9 ayat (5), berlangsung paling lama
dua puluh dua hari kerja sejak pemilihan atau penetapan penunjukan mediator,
dengan atau tanpa adanya kesepakatan antara kedua belah pihak di akhir proses
mediasi.
Pasal
11 menyatakan bahwa dalam hal mediasi menghasilkan suatu kesepakatan, para
pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang
dicapai tersebut dengan ditandatangani oleh para pihak. Kesepakatan yang
dirumuskan oleh kedua belah pihak tersebut wajib memuat klausul pencabutan
perkara atau pernyataan bahwa perkara telah selesai. Sebelum para pihak
menandatangani kesepakatan, mediator wajib memeriksa materi kesepakatan untuk
menghindari adanya kesepakatan yang bertentangan dengan hukum.
Setelah
proses mediasi selesai para pihak wajib menghadap kembali pada hakim pada hari
sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan telah dicapainya kesepakatan.
Atas pemberitahuan akan adanya kesepakatan tersebut, hakim dapat mengukuhkan
kesepakatan sebagai suatu akta perdamaian.
Pasal
12 menyatakan bahwa dalam hal mediasi tidak dapat menghasilkan suatu
kesepakatan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, yaitu 22 (dua puluh dua)
hari kerja sejak pemilihan atau penetapan penunjukan, mediator wajib menyatakan
secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal untuk mencapai kesepakatan dan
memberitahukan kegagalan proses mediasi tersebut kepada hakim.
Segera
setelah menerima pemberitahuan akan gagalnya proses mediasi tersebut, hakim
melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan Hukum Acara yang berlaku.
Dalam hal ini, pasal 13 menyatakan bahwa jika para pihak gagal mencapai
kesepakatan, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak
dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara yang
bersangkutan atau perkara lainnya. Fotocopy dokumen dan notulen atau
catatan-catatan yang ditulis oleh mediator wajib dimusnahkan. Mediator juga
tidak dapat diminta menjadi saksi dalam proses persidangan perkara yang
bersangkutan.
Lembaga
Mediasi Di Indonesia
1. Lembaga
Mediasi Non-Pengadilan
Lembaga mediasi non-pengadilan adalah lembaga mediasi
yang memberikan pelayanan kepada masyarakat untuk menyelesaikan sengketa.
biasanya lembaga ini berbentuk badan hukum yayasan.
2. Pusat
Mediasi Nasional
Pusat mediasi nasional didirikan sebagai badan
penyelesaian alternatif masalah ditujukan untuk menyelesaikan masalah ekonomi
dan bisnis.
3. Indonesian
Institute For Conflict Transformation (IICT)
IICT merupakan lembaga yang memfokuskan kegiatannya
pada mediasi dalam bidang transformasi dan manajemen konflik.
4. Badan
Arbitrase Nasional (BANI)
BANI didirikan untuk memberikan pelayanan penyelesaian
sengketa perdagangan, industri dan keuangan secara adil dan cepat, baik
bersifat nasional maupun internasional.
5. Badan
Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI)
BAPMI menyelesaikan sengketa atau beda pendapat yang
berhubingan dengan kegitan di pasar modal indonesia dan mengenai hak yang
menurut hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku sepenuhnya dikuasai
sepenuhnya oleh para pihak.
6. Badan
Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
BASYARNAS merupakan perubahan dari Badan Arbitrase
Muamalah Indonesia (BAMUI) yang merupakan salah satu wujud arbitrase islam yang
pertama kali didirikan di indonesia.
7. Lembaga
Mediasi Pada Bank Indonesia
Mediasi perbankan adalah mediasi yang diselenggarakan
oleh lembaga mediasi independent yang dibentuk oleh asosiasi perbankan.
8. Lembaga
Mediasi Pada Perguruan Tinggi
Di beberapa perguruan tinggi di indonesia memiliki
lembaga mediasi tersendiri untuk menyelesaikan konflik yang terjadi didalam
perguruan tinggi tersebut.
B. POTENSI PENGEMBANGAN MEDIASI
Permasalahan-permasalahan
yang menyangkut sengketa di bidang pertanahan dapat dikatakan tidak pernah
surut bahkan bisa jadi tidak akan pernah surut mengingat begitu pesatnya
tingkat pertumbuhan penduduk sedangkan tanah yang telah disediakan Tuhan ini tidak mengembang yang konon justru
menciut dikarenakan mencairnya es dikutub sebagai buntut dari pemanasan global.
Hal demikian sangat berdampak bagi masyarakat luas serta mendatangkan berbagai
permasalahan dalam kehidupan manusia baik secara ekonomi, sosial, dan
lingkungan.
Tanah sebagai
hak ekonomi setiap orang, rawan memunculkan konflik dan sengketa. Coser mencoba
memberikan batasan dari konflik, yang dimaksud dengan konflik menurutnya adalah
sebagai berikut : “ Conflicts involve stuggles between two or more people over
values, or competition for status, power, or scace resources” (Coser dikutip
oleh Moore, 1996). Jika konflik itu telah nyata (manifest), maka hal itu
disebut sengketa (Moore,1996: 17). pada hakikatnya timbulnya sengketa dibidang
pertanahan ini ada tidak lain karena adanya konflik kepentingan (conflict of
interest) di bidang pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh
konkret antara perorangan dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum;
badan hukum dengan badan hukum dan lain sebagainya.
Pada umumnya
permasalahan-permasalahan ini timbul karena adanya beberapa faktor yang sangat
bervariasi, antara lain:
1.
Meningkatnya
kebutuhan masyarakat atas tanah untuk keperluan membangun;
2.
Harga tanah yang
meningkat dengan cepat;
3.
Kondisi
masyarakat yang semakin sadar dan peduli akan kepentingan/haknya;
4.
Belum rapihnya
system pembukuan pendaftaran tanah ditubuh Badan Pertanahan Nasional;
5.
Dll.
Penyelesaian
terhadap kasus-kasus terkait dengan adanya sengketa tersebut pada umumnya
ditempuh melalui jalur pengadilan yang memaksa para pihak yang terlibat dalam
konflik untuk mengeluarkan biaya, sebab semakin lama proses penyelesaian
sengketa tersebut, maka semakin membengkaklah biaya yang harus dikeluarkan.
Tidak tertutup kemungkinan pula dengan berlarut-larutnya proses ini sangat
potensial menimbulkan efek domino terutama pada penurunan produktifitas kerja
atau usaha hal ini karena para pihak yang bersengketa harus meluangkan waktu secara
khusus serta tenaga dan pikiran terhadap sengketa.
Kenyataan-kenyataan
di atas telah membuat gerah banyak pemerhati hukum terkhusus para ahli dibidang
hukum pertanahan. Telah banyak solusi hukum yang coba ditawarkan guna
memperoleh penyelesaian yang terbaik, baik melalui proses ligitasi (melalui
jalur Pengadilan) ataupun melalui jalur penyelesaian diluar pengadilan (non
Ligitasi) yang dapat berupa penyelesaian sengketa alternatif semisal negosiasi,
konsiliasi, mediasi, dan lain-lain.
Mediasi sebagai salah
satu cara yang ditawarkan guna penyelesaian konfik pertanahan nampaknya kembali
memperoleh perhatian. Pilihan penyelesaian konflik melalui proses ini dinilai
memiliki banyak kelebihan bila dibandingkan dengan jalan litigasi yang sangat
tidak menarik dilihat dari segi waktu, biaya, dan pikiran/tenaga. Mediasi
memberikan keleluasaan kepada para pihak yang terlibat konflik untuk merumuskan
suatu kesepakatan bersama tanpa tekanan ataupun paksaan, atau yang biasa
dikenal dengan istilah win-win solution,
meski dalam prakteknya tidak semua permasalahan yang timbul dapat serta
merta diselesaikan melalui mekanisme mediasi. Dengan demikian tulisan ini lebih
lanjut akan mencoba mengupas bagaimana peluang mediasi dalam rangka
penyelesaian sengketa pertanahan.
Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Pertanahan Di
Indonesia
Dalam pergaulan
sosial masyarakat Indonesia, penyelesaian sengketa melalui mekanisme musyawarah
sebenarnya telah lama hidup dan berkembang di dalam masyarakat kita, hanya saja
Goodpaster (1995:1) mengemukakan bahwa pertimbangan penyelesaian sengketa dalam
masyarakat tradisional melalui musyawarah lebih ditekankan untuk menjaga
keharmonisan kelompok dan kadang-kadang mengabaikan kepentingan dari
pihak-pihak yang bersengketa.
Keberadaan
mediasi sebagai salah satu bentuk mekanisme penyelesaian sengketa alternatif
(alternative dispute resolution/ADR) sudah barang tentu bukan lagi menjadi
suatu hal yang asing lagi tentunya mengingat hal diatas tersebut. Menurut
Susanti Adi Nugroho, mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah di mana
pihak ketiga yang tidak memihak bekerja sama dengan para pihak yang bersengketa
membantu memperoleh kesepakatan memuaskan.
Mediasi sebagai
jalan menemukan suatu permasalahan yang lebih mengarah pada win-win solution.
Adapun menurut Bevan (1992: 3-4) upaya untuk pencapaiannya ditentukan oleh
beberapa faktor, diantaranya:
1.
proses
pendekatan yang objektif terhadap sumber sengketa lebih dapat diterima oleh
pihak-pihak dan memberikan hasil yang saling menguntungkan, dengan catatan,
bahwa pendekatan itu harus menitikberatkan pada kepentingan yang menjadi sumber
konflik dan bukan pada posisi atau kedudukan para pihak (Rahmadi, 1998: 34).
Apabila kepentingan yang menjadi fokusnya, pihak-pihak akan lebih terbuka untuk
berbagai kepentingan. Sebaliknya, para pihak akan lebih menutup diri karena hal
itu menyangkut harga diri mereka.
2.
kemampuan yang
seimbang dalam proses negosiasi atau musyawarah. Perbedaan kemampuan
tawar-menawar akan menyebabkan adanya penekanan oleh pihak yang satu terhadap
yang lainnya.
Dalam bidang
pertanahan di Indonesia, belum ada suatu peraturan yang mengatur secara
eksplisit memberikan dasar hukum bagi penerapan penyelesaian sengketa
alternatif dalam penyelesaian sengketa pertanahan. Meski demikian hal ini tidak
lantas kemudian digunakan sebagai dalih untuk meminggirkan mediasi dalam setiap
sengketa yang muncul, hal ini didasarkan bahwa dalam setiap sengketa perdata
yang diajukan di pengadilan, hakim selalu mengusulkan untuk penyelesaian secara
damai oleh para pihak (Pasal 130 HIR), dan juga dengan mengingat telah adanya
Perpres No. 10 tahun 2006 diatas.
Meski demikian,
pelaksanaan penyelesaian sengketa alternative sangatlah bergantung pada faktor
sosial budaya masyarakat. Tentunya akan berbeda penerapannya untuk masing-masing
daerah serta dampak yang timbul terhadap penggunaan cara tersebut.
Secara garis
besar proses penyelesaian sengketa melalui mediasi dapat dibagi menjadi dua
model besar yang sering digunakan, yakni yang pertama mediasi yang menjadi
bagian dari proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan yang berdasarkan
pada Perma Nomor 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Kemudian
yang kedua adalah mediasi yang dilakukan oleh pihak BPN Sesuai dengan Pasal 345
Peraturan Kepala Badan Pertanahan RI Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Badan Pertanahan Nasional (Peraturan Kepala BPN No 3 Tahun 2006)
serta Petunjuk tekhnis No. 05/JUKNIS/D.V/2007 Tentang Mekanisme Pelaksanaan
Mediasi (Juknis Mediasi). Namun demikian diluar dari kedua model besar
sebelumnya, penyelesaian sengketa pertanahan dengan cara-cara mediasi juga
sering dilakukan dengan meminta bantuan-bantuan dari para ahli dibidang
pertanahan seperti Advokat, Konsulatan pertanahan atau profesi lain seperti
pemuka adat dan lain-lain yang dianggap dapat membantu para pihak yang terlibat
dalam konflik untuk menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi. Dalam
tulisan kali ini penulis tidak akan membahas lebih detail mengenai penyelesaian
sengketa didalam pengadilan dan akan diangkat pada tulisan selanjutnya namun
penulis hanya akan mengangkat mengenai bagaimana penyelesaian sengketa
pertanahan yang diselesaikan melalui jalan diluar pengadilan.
Sumber Materi :
Diakses dari : http://said-iqbal.blogspot.co.id/2011/05/mediasi-dalam-hukum-nasional.html pada hari sabtu tanggal 4 November 2017.
Diakses dari : http://gallenksonk.blogspot.co.id/2011/06/potensi-penerapan-mediasi-sebagai-salah.html pada hari
sabtu tanggal 4 November 2017.
No comments:
Post a Comment