BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kriminologi
sebagai ilmu sosial terus mengalami perkembangan dan peningkatan. Perkembangan
dan peningkatan ini disebabkan pola kehidupan sosial masyarakat yang terus
mengalami perubahan-perubahan dan berbeda antara tempat yang satu dengan yang
lainnya serta berbeda pula dari suatu waktu atau jaman tertentu dengan waktu
atau jaman yang lain sehingga studi terhadap masalah kejahatan dan penyimpangan
juga mengalami perkembangan dan peningkatan dalam melihat, memahami, dan
mengkaji permasalahan-permasalahan sosial yang ada di masyarakat dan substansi
di dalamnya.
Maraknya
aksi-aksi kejahatan akhir-akhir ini menjadi suatu perhatian khusus bagi
masyarakat. Berbagai macam faktor yang dapat menjadi penyebab sesesorang
melakukan aksi kejahatan tersebut. Faktor penyebab kejahatan tidak hanya
berkaitan dengan faktor individu saja namun ada beberapa faktor lainnya yang
turut serta mendukung sesesorang untuk berbuat jahat, yaitu antara lain faktor
lingkungan, psikologi, biologi bahkan faktor sosial turut mempengaruhi
seseorang melakukan kejahatan.
Sangat
diperlukan pengetahuan tentang faktor yang menyebabkan tindak kejahatan.
Pemahaman tentang faktor-faktor yang menjadi penyebab kejahatan atau
pelanggaran akan memudahkan pada saat kita berupaya melakukan pengendalian
terhadap kejahatan. Banyak teori yang mennjelaskan tentang faktor penyebab
seseorang melakukan tindak kejahatan. Salah satu teori dalam Kriminologi yang
menjelaskan tentang faktor penyebab kejahatan adalah Teori Kontrol Sosial yang
berangkat dari suatu asumsi atau anggapan bahwa individu di masyarakat
mempunyai kecenderungan yang sama kemungkinannya dalam berbuat bai atau jahat.
Maka
dalam makalah ini akan membahas mengenai Teori Kontrol Sosial yang merupakan teori
yang berusaha mencari jawaban mengapa seseorang melakukan kejahatan.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Apa yang
dimaksud Teori Kontrol Sosial dalam Kriminologi?
1.2.2. Bagaimana
penerapan Teori Kontrol Sosial dalam sebuah Kasus?
1.3. Tujuan
1.3.1. Dapat
mengetahui yang dimaksud Teori Kontrol Sosial dalam Kriminologi?
1.3.2. Dapat
mengetahui Bagaimana penerapan Teori Kontrol Sosial dalam sebuah Kasus?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Teori Kontrol Sosial
Teori kontrol yang
bersifat sosiologis dikemukakan oleh Travis Hirschi (1969). Hirschi mengatakan
bahwa Kejahatan itu normal dan hanya dapat dicegah dengan mencegah munculnya
kesempatan guna melakukannya. Filosofinya itu, bagaimana untuk cara
mencegahnya? Ya kesempatan untuk melakukannya yang dihilangkan. Bagaimana cara
menghilangkan kesempatannya? Maka efektifkan lingkungan, buat orang terikat
pada lingkungannya. Maka teori dari Hirschi kemudian dikenal dengan “sosial
warms theory” (teori ikatan sosial). Jadi kalau orang terikat dalam kehidupan
sosial maka cendrrung untuk tidak melakukan penyimpangan.
Travis Hirchi sebagai
pelopor teori ini, mengatakan bahwa “Perilaku kriminal merupakan kegagalan
kelompok–kelompok sosial seperti keluarga, sekolah, kawan sebaya untuk
mengikatkan atau terikat dengan individu”, Artinya “individu dilihat tidak
sebagai orang yang secara intrinsik patuh pada hukum, namun menganut segi
pandangan antitesis dimana orang harus belajar untuk tidak melakukan tindak
pidana”. argumentasi ini, didasarkan pada bahwa kita semua dilahirkan dengan
kecenderungan alami untuk melanggar aturan hukum. Dalam hal ini kontrol sosial,
memandang delinkuen sebagai “konsekuensi logis dari kegagalan seseorang untuk
mengembangkan larangan-larangan ke dalam terhadap perilaku melanggar hukum”. Manusia dalam teori
kontrol sosial dipandang sebagai mahluk yang memiliki moral murni, oleh karena
itu, manusia memiliki kebebasan untuk melakukan sesuatu.
Albert J. Reiss Jr membedakan dua macam kontrol, yaitu personal control dan
social control. Personal control adalah kemampuan seseorang untuk menahan diri
agar tidak mencapai kebutuhannya dengan cara melanggar norma-norma yang berlaku
di masyarakat. Sedangkan social control adalah kemampuan kelompok sosial atau
lembaga-lembaga di masyarakat melaksanakan norma –norma atau
peraturan-peraturan menjadi efektif. Pada tahun 2957, Jackson Toby memperkenalkan
pengertian “comitment” individu sebagai kekuatan yang sangat
menentukan dalam membentuk sikap kontrol sosial. Kemudian, Scot Briar dan
Irvine Piliavian menyatakan bahwa peningkatan komitmen individu dan
adaptasi/penyesuaian diri memegang peranan dalam mengurangi penyimpangan.
Kejahatan atau delinkuen dilakukan oleh keluarga, karena keluarga merupakan
tempat terjadinya pembentukan kepribadian, internalisasi, orang belajar baik
dan buruk dari keluarga. Apabila internal dan eksternal kontrol lemah, alternatif
untuk mencapai tujuan terbatas, maka terjadilah delinkuen, hal ini merupakan
sesuatu yang jarang terjadi. Menurut F. Ivan Nye manusia diberi kendali supaya
tidak melakukan pelanggaran, karena itu proses sosialisasi yang adequat
(memadai) akan mengurangi terjadinya delinkuensi. Sebab, di sinilah dilakukan
proses pendidikan terhadap seseorang yang diajari untuk melakukan pengekangan
keinginan (impulse).Di samping itu, faktor internal dan eksternal
kontrol harus kuat, juga dengan ketaatan terhadap hukum (law-abiding).
Asumsi teori kontrol
dikemukakan F.Ivan Nye terdiri dari :
1. Harus
ada kontrol internal maupun eksternal ;
2. Manusia
diberikan kaidah-kaidah supaya tidak melakukan pelanggaran;
3. Pentingnya
proses sosialisasi bahwa ada sosialisasi adequat (memadai), akan mengurangi
terjadinya delinkuen, karena di situlah
4. Dilakukan
proses pendidikan terhadap seseorang; dan
5. Diharapkan
remaja menaati hukum (law abiding).
Menurut F. Ivan Nye
terdapat empat tipe kontrol sosial, yaitu :
1. Direct control imposedfrom without by means of restriction
and punisment (kontrol langsung yang diberikan tanpa mempergunakan
alat pembatas dan hukum);
2. Internalized control exercised from within through
conscience(kontrol internalisasi yang dilakukan dari dalam diri secara
sadar);
3. Indirect control related to affectional identification
with parent and other non-criminal persons (kontrol tidak langsung
yang berhubungan dengan pengenalan [identifikasi] yang berpengaruh dengan
orangtua dan orang-orang yang bukan pelaku kriminal lainnya);
4. Availability
of alternative to goal and values (ketersediaan sarana-sarana dan
nilai-nilai alternatif untuk mencapai tujuan).
Dalam teori kontrol
sosial, ada elemen yang harus diperhatikan :
1. Attachment (kasih
sayang)
Attachment adalah kemampuan manusia untuk melibatkan dirinya terhadap orang
lain, jika attachment sudah terbentuk, maka orang tersebut akan peka terhadap
pikiran, perasaan, dan kehendak orang lain. Berbeda dengan psikopat, kalau
psikopat lahir dari pribadi yang cacat, yang disebabkan karena keturunan dari
biologis atau sosialisasi. Attachment, dibagi menjadi dua bentuk :
a.
Attachment total : suatu keadaan di mana seseorang individu melepaskan rasa ego yang
terdapat dalam dirinya dan diganti dengan rasa kebersamaan. Rasa kebersamaan
inilah yang mendorong seseorang untuk menaati peraturan, larena melanggar
peraturan berarti menyakiti perasaan orang lain. Tujuan akhir dari attachment
ini adalah, akan mencegah hasrat seseorang untuk melakukan deviasi.
b.
Attachment Partial ; suatu hubungan antara seorang individu dengan individu lainnya, di mana
hubungan tersebut tidak didasarkan kepada peleburan ego yang lain, akan tetapi
karena hadirnya orang lain yang sedang mengawasi perilaku individu. Dengan kata
lain, attachment ini, hanya akan menimbulkan kepatuhan pada individu, bila
sedang diawasi perilakunya oleh orang lain.
Bagaimana kita attach dengan orang lain, dengan
keluarga, family dll. Attachment itu adalah kedekatan, bagaimana kita merasa
bahwa diri kita penting bagi orang lain, kita diharapkan oleh banyak orang.
Idealisme dengan ketidakinginan untuk mengecewakan orang-orang dekat. Biasanya attach itu landasannya adalah
empati, rasa sayang (saying kepada anak dan istri). Jadi attach itu mencegah
kita untuk melakukan penyimpangan. Dalam kehidupan sosial attachment itu
penting, bagaimana kita membuat diri kita kemudian merasa dibutuhkan oleh
lingkungan tempat tinggal kita. Kita bisa membanyangkan lingkungan seperti apa
yang membuat kita attach dengan lingkungan disekitar kita. Yang jelas bukan
lingkungan tempat tinggal kita dimana kita datang pagi, datang malam, pagi2
sudah hilang lagi. Itu tidak akan ada attachment.
2. Commitment
adalah lingkungan dimana kita bisa membuat kita
berkomitmen. Coba bayangkan kalau kita sayang, dekat terhadap seseorang kalau
kemudian kita intens berhubungan dengan seseorang pasti kemudian akan tumbuh
komitmen. Bagaimana ciri2 orang yang komit? Orang yang komit adalah orang yang
merasa kehilangan apabila dia dipisahkan dari orang yang menyayanginya. Jadi
kalau kita merasa, alah kalau putus dengan istri saya besok saya bisa cari lagi
(itu tidak punya komitmen), orang yang punya komitmen “saya tidak bisa membayangkan
jika hidup saya pisah dengan pacar saya”, “saya tidak bisa apa yang terjadi
dengan diri saya jika saya berpisah dengan anak-anak saya” itu adalah komitmen.
Kita apabila ingin menguji komitmen sebagai anggota polisi gampang, bayangkan
kalau dipecat. Apa yang akan terjadi? Semakin tidak banyak alternative yang
dimiliki maka semakin tinggi komitmennya, tapi apabila berfikir “alah dipecat
dari polisi gak papa, saya ini kan jadi polisi Cuma hobi saja” itu orang yang
lemah komitmennya.
Dalam lingkungan/ dalam kehidupan sosial juga begitu,
orang yang komitmen pada lingkungannya baik adalah orang yang tidak bisa
membayangkan kalau tetangga-tetangganya tidak suka dengan dia, kalau
tetangga-tetangganya sudah mulai cuek sama dia karena dia dianggap bukan lagi orang
yang terhormat, itu adalah orang yang komitmennya tinggi dalam kehidupan
sosial. Jadi komitmen itu bisa diukur dari seberapa banyak
kehilangan-kehilangan sosial yang akan kita alami apabila kita dipisahkan dari
lingkungan. Sama dengan di organisasi polri, apabila rekan-rekan ingin menguji
seberapa banyak komitmen rekan-rekan terhadap organisasi polri maka bayangkan
seberapa banyak kerugian-kerugian yang akan rekan-rekan alami kalau rekan-rekan
dikeluarkan dari polri. Kalau brimob tidak diragukan komitmennya, biasanya
harga mati bagi brimob, karena rata-rata anggota brimob komitmennya terbentuk
dan dibentuk. Situasi pekerjaan itu membuat komitmen menjadi tinggi soliditas,
kepaduan, saling tergantungan dari anggota membuat komitmen kemudian menjadi
tinggi sehingga pada saat dia merasa akan keluar dari komunitas itu dia akan
merasa begitu banyak kehilangan yang dia alami secara psikologis dan sosial.
3. Involvement
Kalau kita sudah punya komitmen, biasanya kita akan
juga mempunyai keterlibatan (involment). Jadi orang-orang yang punya
involvement sudah pasti dia punya attachment dan komitmen makanya dia mau
involve, kalau dia tidak involve dia bakal stress. Coba bayangkan sebagai
anggota polisi yang menjadi polisi hanya sekedar hobi saja, dia dilibatkan atau
tidak dalam kegiatan pasti dia santai-santai saja, begitu membaca sprin dan
tidka ada namanya langsung berucap “Alhamdulillah”. Berbeda dengan yang
komitmennya bagus, begitu membaca sprin dan tidak ada namanya ya dia pasti akan
stress. “Ada apa ini? Kok pimpinan tidak memasukkan nama saya ini kenapa?”, dia
akan bingung. Jadi kalau orang yang komitmen dan attachmentnya tinggi biasanya
kemauan untuk keterlibatan dalam sebuah kegiatan biasanya juga tinggi. Jadi
orang yang mau kerumah tetangga, orang yang datang saat diundang arisan,
yasinan, itu adalah orang yang pasti mempunyai komitmen baik terhadap
lingkungannya. Kalau orang yang komitmennya tidak baik terus diundang “siapa
sih bapak ini, sering banget sih ngadain acara”, itu komitmen dan
involvementnya rendah. Menurut Hirschi semakin banyak keterlibatan orang dalam
lingkungan itu akan semakin baik kemampuan mencegah dari lingkungan untuk
membuat dia tidak melakukan penyimpangan.
Kenapa demikian? Karena involve itu membuat kita
dikenal (lingkungan itu akan kenal dengan kita). Begitu mau mampir ketempat
yang dia lihat, kita sudah mulai mikir “wah nanti ada tetangga yang melihat
mobil saya” akhirnya gak jadi. Tapi kalo kita involvenya rendah, begitu papas
an dengan tetangga juga tidak kenal, begitu sudah didalam masuk “bapak kan yang
dijalan itu”, “iya saya tetangga bapak”, “wah ketemu tetangga disini”. “Kalu
begitu kita sama-sama kompak ajalah dan sama-sama tau sajalah pak”. Tapi
bayangkan kalau involvenya tinggi, jadi rekan-rekan kalau kita mau mencegah
penyimpangan buatlah involvement kita tinggi dalam kehidupan sosial. Semakin
banyak kita dikenal orang semakin banyak lingkungan dimana kita terlibat dalam
kegiatan, itu akan mempunyai kemampuan yang membuat kita mempertimbangkan ulang
setiap akan mengambil keputusan yang tidak disukai banyak orang, pasti menjadi
bahan pertimbangan. Orang yang stress itu adalah orang yang pada saat mengalami
kesalahan dan dia tahu, semua orang tahu. Makanya kalau penjahat tidak dikenal
orang, ditangkap 10 kalipun santai saja dia (tidak ada yang kenal dirinya).
Makanya pelaku kejahatan paling senang melakukan kejahatan diluar negeri
(kampungnya) karena begitu ditangkap tidak ada yang kenal disana, dia masuk
penjara pun keluarganya tidak tahu. Jadi dia terbebas dari komitmen dan sanksi-sanksi
sosial yang muncul dimana kelompok dia tinggal, Itu nyaman buat dia. Karena
yang paling tidak nyaman bagi kita itu adalah sanksi yang muncul dari
lingkungan, itu jauh lebih tegas dan mengena daripada sanksi pidana.
4. Belief
Apabila kita sudah attach, komit dan involve dengan
lingkungan maka akan muncul juga apa yang disebut sebagai keyakinan terhadap
nilai, norma. Kita validitas terhadap nilai itu kuat, apabila kita menyimpang
kita akan terkena sanksi.
Kemudian Hirschi diluar konsep ikatan sosial mengatakan
kejahatan dapat dicegah dengan mengatur perilaku tersebut melalui prinsip
rewards and punishment, jadi attachment dan lain-lain tadi merupakan bagian
dari reward. Tapi juga disitu tersedia sejumlah punishment kalau orang
melakukan penyimpangan. Kan enak kalau kita berprestasi dan melakukan kebaikan
semua orang tahu dan menghargai pasti nyaman bagi kita, dan baik pula bagi ktia
apabila kita melakukan penyimpangan semua orang juga tahu, sehingga kemudian
perilaku itu adalah perilaku yang akan kita kita hindari. Coba bayangkan kalau
kita melakukan penyimpangan kemudian ketahuan tapi tidak ada efek apapun dari
lingkungan tempat tinggal kita pasti fine-fine saja buat kita (gak masalah).
Jadi menjadi orang yang paling baik itu kalau ingin menghindari penyimpangan
adalah jangan menjadi orang yang nothing to loose, orang yang seperti ini
adalah orang yang tidak pernah mempertimbangkan apapun lagi dalam hidupnya (gak
ada rugi dan tidak ada yang dikhawatirkan). Jadi kalau kita punya anak jangan
sampai anak kita berada pada posisi nothing to loose (mau melakukan apapun dia,
dia tidak akan mengalami kerugian apapun) kalau bisa pastikan bahwa keluarga
kita adalah orang yang akan mengalami dampak yang luar biasa kalau dia
melakukan penyimpangan dan itu akan membuat dia tidak berani melakukan
penyimpangan.
Teori kontrol sosial pada dasarnnya berusaha menjelaskan kenakalan remaja
dan bukan kejahatan oleh orang dewasa, namun disini saya menghubungkan antara
perilaku menyimpang pada waktu kecil atau remaja membawa dampak pada anak
sampai tumbuh menjadi dewasa dan akan melakukan kejahatan, pengaruh bawaan dari
masa lalu atau remaja membuat seorang menjadi serakah, berkurangnya pendekatan
keluarga atau pembentukan pada masa anak-anak, kurangnya pembentukan
kepribadian dari keluarga maupun lingkungan sekolah akan berpengaruh pada waktu
seseorang itu menempati posisi tertentu dalam jabatannya nanti. Perilaku pada
masa kanak-kanak akan berpengaruh besar dalam karirnya dan akan menjadi
kebiasaan.
Kriminologi masa lalu beranjak dari pemahaman yang
dangkal mengenai kejahatan, padahal kejahatan tak hanya bisa ditilik dari segi
fenomenalnya saja, melainkan merupakan aspek yang tidak terpisah dari konteks
politik, ekonomi dan sosial masyarakatnya, termasuk dinamika sejarah kondisi –
kondisi yang melandasinya (yakni struktur – struktur sosial yang ditentukan
secara historis). Kejahatan sebagai suatu gejala adalah selalu kejahatan dalam
masyarakat (crime in society), dan merupakan bagian dari
keseluruhan proses – proses sosial produk sejarah dan senantiasa terkait pada
proses – proses ekonomi yang begitu mempengaruhi hubungan antar manusia.
Pemahaman kejahatan pada masa lampau seringkali kehilangan makna oleh karena
meninggalkan konsep total masyarakat (the total concept of society).
Jika berbagai elemen kontrol sosial tidak lagi
berfungsi, maka akan muncul situasi sebagai berikut, yang kita khawatirkan mekanisme kontrol ini adalah
kunci dari tinggi rendahnya crime rate/ angka kejahatan/ dari banyak tidaknya
insiden kriminal.
1.
Fasilitasi
kejahatan adalah kesempatan/ peluang orang untuk melakukan kejahatan itu
meningkat dan ada dimana-mana. Makanya CCTV itu menjadi penting karena CCTV itu
adalah mekanisme kontrol yang bisa membuat orang kemudian berfikir ulang untuk
melakukan penyimpangan. Kemudian pada saat elemen kontrol itu tidak bekerja,
dukungan sosial untuk melakukan kejahatan menjadi meningkat, ini yang
berbahaya. Orang tidak lagi dihujat, melakukan penyimpangan, orang tidak lagi
dicela melakukan penyimpangan, orang tidak lagi dicaci maki karena
penyimpangan, malah tetangga sebelah mengikutkan kalau mekanisme kontrol tidak
bekerja, makanya mekanisme kontrol itu menjadi penting. Kemudian dari sisi
penegak hukum resiko orang itu tertangkap dan ketahuan itu menjadi turun karena
tidak ada orang yang perduli dengan perilaku menyimpang. Jadi awareness orang
terhadap perilaku menyimpang itu menjadi hilang, sifat polisional dari semua
orang kemudian menjadi rendah. Ada orang masuk ke suatu kampung, orang biasa
saja. Tapi coba kalau polisionalnya tinggi, jadi kalau orang masuk “tuh orang
mau kemana ya, disitukan tidak ada jalan”, mulai berfikir, sehingga begitu ada
tetangga yang kemalingan pun kemudian tetangga yang lain cepat tahu. Tapi ada
lingkungan yang bagitu ada orang yang sudah kerampokan, korbannya meninggal dan
ketahuannya karena tercium bau korban, maka celakalah lingkungan seperti itu.
Seperti kasus di Australia (mati dirumah) itu karena mekanisme kontrol
lingkungannya rendah. Orang tidak
terlalu perduli dengan lingkungan disekitarnya, jadi masalah justru karena ada
aroma (bau).
2.
Penentuan
kejahatan. Pada saat kontrol sosial itu rendah, maka orang akan melihat
melanggar hukum itu jauh lebih menarik daripada taat hukum. Jadi pelanggaran
itu adalah sesuatu yang attraktif. Kita lihat pada peristiwa 1998, pada saat
mekanisme kontrol tidak bekerja, pada saat mekanisme kontrol di Indonesia
sedang mengalami down saat itu orang yang tidak ikut menjarah adalah orang yang
rugi. Maka orang-orang yang baik-baik sekalipun ikut-ikutan karena melanggar
hukum atraktif saat itu (orang tidak ada yang mengawasi dan tidak mungkin
ditangkap dan ditahan), jadi sesuatu yang nyata-nyata salah kemudian menjadi
atraktif/ menarik untuk dilakukan. Kemudian pada saat mekanisme kontrol ini
tidak bekerja yang mungkin terjadi adalah orang cenderung memiliki jenis
kejahatan tertentu karena terkait dengan faham utilitarianistik (sesuatu yang
bermanfaat itu cenderung lebih dikejar). Begitu polisi lalu lintas tidak ada,
orang jarang ditilang disitu, begitu dia buru-buru “ah ini kan lampu lalu
lintasnya merah, tapi lagi sepi, udahlah trabas aja”. Jadi orang cenderung
mengejar apa yang penting bagi dirinya pada saat itu. Cenderung
prioritas-prioritas terhadap kebutuhan diri itu menjadi pengemuka mengalahkan
pertimbangan-pertimbangan lain. Coba kalau kita lihat di Jakarta ini semua
orang pandai akrobat kalau naik sepeda motor, begitu orang sudah mepet masih
dia berbelok badannya pun ikut berbelok-belok juga untuk menghindari kendaraan,
sangat pandai sekali. Jadi berlalu lintas itu bukannya prinsipnya bergantian
tapi prinsipnya berebut, siapa yang lebih pandai berakrobat dialah yang menang.
Sehingga kita yang membawa kendaraan dengan sabar biasanya harus sering-sering
periksa jantung kalau di Jakarta ini (jangan-jangan juga bermasalah jantung
kita ini karena setiap hari kita spot jantung).
Sumber-sumber konformitas (siapa saja sih yang membuat
kita menjadi taat, yang membuat kita menjadi tidak berani melanggar hukum,
siapa sajan yang membuat kita tidak berani untuk mengikuti naluri kita untuk
berperilaku menyimpang) :
1. Keluarga.
Keluarga merupakan institusi dalam kehidupan sosial
yang berdampak luar biasa dalam pembentukan perilaku orang (baik pembentukan
karakter maupun bagaimana orang memilih perilaku). Kalau bicara karakter,
keluarga itu adalah peletak dasar tentang sifat/ karakter diri kita. Makanya
pada saat kita ditanamkan nilai-nilai didalam keluarga maka karakter yang kita
tahu didalam keluarga itu adalah karakter yang amat sulit berubah, maka secara
konsep itu yang disebut sebagai basic personality struckture (struktur
kepribadian dasar itu dibentuk didalam keluarga). Kita boleh saja dididik
dipendidikan Kepolisian (dibasis, ikut dikjur) tapi yang namanya basic
personality struckture itu akan muncul dan mewarnai bagaimana kita menjadi
polisi. Kalau dasarnya murah hati, jabatan apapun tetap murah hati. Kalau
kepribadiannya sok, dibawakan senjata apapun dia cenderung sok. Maka dipolisi
ini menempatkan personil itu harus membaca karakter, jadi rekan-rekan apabila
nanti menjadi wakapolres atau kabag sumda di dalmas (tim negosiator itu) pilih
orang jangan karena umurnya (tua), jangan karena jenis kelaminnya tapi pilihlah
orang karena karakternya. Ditengah orientasi kita menempatkan negosiator sejauh
ini adalah persepsi bahwa pihak lain akan menghargai, maka kita tempatkan
perempuan (seperti ibu saya), kita tempatkan yang lebih tua (maka kalau dia
lebih tua pendemo itu berfikir ini seperti bapak saya), persepsi kita tentang
bagaimana orang lain mempersepsikan tentang kita. Itu cara kita memilih petugas
negosiator. Sehingga kita cenderung mengabaikan kemampuan dan karakter dari
negosiatornya sendiri. Nah ini cara memilih yang harus agak hati-hati, tidak
salah kita membaca persepsi dari demonstran terhadap negosiator itu tapi jangan
lupa juga karakter yang kita taruh didepan itu adalah karakter yang memang
terpilih dan memiliki sejumlah kemampuan dan sejumlah bentuk-bentuk personality
yang memang kompatibel dengan situasi yang dihadapi. Tua sih tua tapi
personelnya gampang membentak ya percuma juga, perempuan sih perempuan tapi
kalau ngomong pedes itu malah memprovokasi. Jadi harus ada keseimbangan
persepsi dari para demonstran dengan kemampuan karakter yang akan kita
kedepankan itu.
2. Sekolah
Sekolah menularkan sejumlah nilai, nilai yang paling
ditanamkan disekolah adalah :
·
Independence
(Kemandirian), disiplin (kalau dirumah pipis saja minta dianterin, pakai sepatu
dipakaiin, begitu disekolah gurunya langsung ngomong “eh sepatunya dipakai
sendiri ya jangan minta pakaiin mamanya?”.
·
Achievement.
Disekolah anak diajarkan prestasi, dirumah anak itu apapun yang dia lakukan
selalu orang tua mengatakan “bagus, pintar”, tapi disekolah pintar itu ada
ukurannya (ada pencapaian tertentu sehingga orang menjadi pintar). Kalau di TK
dikasih bintang, kalau tulisannya bagus bintangnya 5, kalau jelek bintangnya 1
itu sudah menunjukkan bahwa sesuatu yang dianggap bagus itu ada takaran2nya dan
itu ditanamlan disekolah.
·
Spesifiksitas. Sesuatu itu spesifik, kalau
anak jelek dalam pelajaran biologi ya treatmentnya di biologi saja, dimarahi
gurunya ya di biologi. Begitu di pelajaran bahasa Indonesia dia tidak akan
dimarahi lagi. Tapi kalau dirumah begitu mecahkan gelas dari pagi-sore-besok
lagi masih dimarahin juga. Tidak semua hal diberlakukan sama.
Dirumah nenek, cucunya itu tidak pernah salah, begitu
kita mau ngomelin anak sedikit “kamu ini kan itu anak kecil, jangan dia kan
masih kecil”, terus kapan terbentukkan kalau masih kecil sudah tidak boleh
dipertajam/ diasah (malah disafe). Makanya kalau anak itu jangan terlalu sering
disuruh minap dirumah neneknya. Karena nenek itu (orang tua kita) boleh dia
keras sama kita pada saat kita kecil bahkan kita dipukul, tapi begitu dengan
cucunya dia paling lemah. Tidak akan bisa membentuk anak kita sama dengan nenek
(orang tua) membentuk diri kita. Jadi jangan berhadap “papa saya ini kan hebat,
saya bisa kayak gini karena papa saya, jadi gak papalah anak saya tinggal sama
papa”, oh jangan harap. Yang muncul lain nanti karakternya.
3. Rekan bermain, rekan kerja dan lingkungan tempat tinggal (peer group)
Itu adalah orang-orang dekat dalam aktivitas kita
sehari-hari, itu adalah sumber-sumber konformitas. Kita bisa rasakan begitu
melihat semua turun dari flat, kita yang masih pakai sarungan pun buru-buru
pakai PDH. Gak tau apa yang terjadi pokoknya begitu semua turun cepat-cepat
pakai celana juga. artinya peer group itu kemudian membuat kita menjadi
konformitas. Tempat bermain ini agak bahaya juga, biasanya anak sering
mengalami apa yang disebut dissonance kognitif (apa yang dipelajari dirumah,
apa yang dipelajari disekolah itu tidak sesuai dengan apa yang dia temukan
diantara teman-teman bermain). Anak diajarkan santun dan baik tapi begitu
ketemu teman-temannya langsung ngomong “bego” dan itu masih mending, yang celaka
lagi apabila bagian tubuh yang disebut-sebut. Dirumah dia tidak pernah
diajarkan tentang organ tubuh (jenis kelamin, alat kelamin) begitu ketemu
teman-temannya langsung teriak menyebut kea lat kelamin laki-laki, menyebutkan
kea lat kelamin perempuan. Dia pulang langsung bertanya kepada orang tua “ma
itu artinya apa sih ma?”, Mamanya bingung juga menjelaskannya, dan langsung
menjawab “itu tongkat nak. Besoknya pulang lagi kerumah, mamanya lagi nyuci
piring “mah di itu ngomong ini lagi, apa artinya ma?”, “oh itu piring” Mama
menjawab. Besoknya ketemu Pak Haji bawa tongkat eh si anak teriak-teriak pak
haji bawa alat kelamin “…”. Rupanya pak haji tanya “anak siapa kamu?”, anak
menjawab “anak Ibu … sedang mencuci alat kelamin …”. Jadi itu yang disebut
dissonance kognitif. Peran orang tua adalah menetralisir dan harus dijelaskan
dengan cara bijak. Di Indonesia peran-peran ketimuran masih membatasi gender.
4. Ras
Pada negara yang multiras biasanya kita akan
berperilaku cenderung berperilaku sebagaimana ras kita diharapkan berperilaku.
Orang Asia kalau di Amerika pasti tidak mau masuk bar-bar dimana orang kulit
hitam ada disitu. Orang kulit hitam di Amerika tidak akan masuk bar dimana
orang kulit putih yang ada disitu dan sebaliknya. Artinya perilaku-perilaku itu
dijaga berdasarkan rasnya. Kalau orang Asia terutama ras timur (China, Jepang,
Melayu) di Amerika selalu diledek karena makan nasi, jadi makan nasi itu jelek
sekali bagi orang-orang di Amerika. Makan nasi itu selalu dikaitkan dengan
kelambaan berfikir, malas dan kebodohan. Makanya kalau orang-orang Amerika
begitu melihat orang Asia agak-agak plongok “wah itu pasti makan nasi, susahlah
hidupnya”. Jadi strereotype orang di Asia bagi orang-orang di eropa dan amerika
adalah karena makan nasi. Mereka aneh melihat kita makan, makan nasinya banyak
tapi lauknya hanya sepotong kecil, kalau mereka kan malah lauknya yang banyak
dan roti hanya untuk karbohidrat itu sedikit sekali. Karena bagi mereka nasi
itu karbohidratnya adalah karbohidrat yang buruk. Kenapa? Karbohidratnya banyak
tapi cepat habis energinya (kalorinya), cepat kenyang tapi di realeasenya cepat
(time realeasenya tinggi). Jadi orang yang makan nasi itu adalah orang yang
cepat lapar, beda dengan orang yang makan protein (time realeasenya lambat)
begitu kita kenyang orang tidak gampang makan lagi. Dan hal tersebut
berhubungan dengan ras.
5. Peran gender
Beda gender dengan sexuality (jenis kelamin).
Perempuan melekat dalam dirinya dua konsep yaitu sexuality (sebagai female) dan
gender. Kalau sexuality itu adalah sifat perempuan yang tidak bisa dirubah
karena bersifat kodrati (melahirkan, menstruasi) sedangkan gender seperti masak
didapur (apakah kalau memang perempuan itu harus masak didapur, mengasuh anak)
jadi gender itu adalah peran-peran yang melekat pada perempuan karena kultur.
Tapi kalau peran-peran perempuan yang melekat secara biologis itu sexuality.
Ada salah satu suku di daerah pasifik yang justru menjadi kepala keluarga
adalah perempuan (mencari nafkah, mempertahankan serangan dari suku lain, mereka
aktif, agresif), laki-laki tugasnya hanyalah mengasuh anaknya, mengurus
urusan-urusan domestik. Jadi artinya laki-laki sebagai kepala keluarga dalam
konsep gender itu perlu digugat (hegemoni terhadap pria bahwa pria itu adalah
kepala keluarga) bukan sesuatu yang sejatinya harus laki-laki.
6. Lembaga keagamaan
Sumber konformitas yang paling utama adalah lembaga
keagamaan, apapun yang kita lakukan itu justru yang paling takut adalah karena
agama, terbanyak dalam diri kita. Makanya ada lagu bayangkan kalau surga dan
neraka itu tidak ada, apa yang akan terjadi kalau surga dan neraka itu tidak
ada, akankah kita tetap menjadi orang baik-baik. Surga dan neraka adalah reward
and punishment yang disediakan secara spesifik buat kita. Sebenarnya itu
merupakan gagasan para sufi namun dijadikan lagu. Orang sufi itu berfikir
apakah kita taat terdahap Tuhan itu karena kita mencintaiNya atau karena kita
takut kepada nerakanya dan kemudian ingin mendapatkan surganya. Coba kita
perhatikan banyak dari doa kita itu isinya “ya Allah ampunilah dosaku,
masukkanlah aku kedalam surga”. Tapi orang sufi mengatakan “ya Allah aku tidak
pantas untuk berada di surgaMu, tapi aku juga tidak kuat berada di dalam
nerakaMu. Kan Tuhan bingung jadinya ini “ini lu mau masuk neraka apa mau masuk
surga”. Jadi itu adalah orang yang berharap “ya surga dikit-dikit tidak papalah
daripada ditempatkan dineraka”. Jadi ada kaitannya dengan teori kontrol dalam
cara berfikir reward and punishment.
7. Lembaga kontrol sosial
·
Kepolisian
·
Lembaga
peradilan dan penghukuman
·
Asosiasi pemberi
sanksi
·
Lembaga kontrol
tidak resmi (satuan pengamanan, private security services, bodyguard, debt
collector, lembaga adat)
Namun Kelemahan Teoritik, Box (1981): Teori kontrol
tidak dapat menjelaskan perilaku kolektif atau kejahatan serius & sadis, …
hanya terbatas pada primary deviance yakni ketika:
1.
Seseorang hanya
terkadang saja melakukan perbuatan menyimpang
2.
Tidak memerlukan
kelompok atau sofistikasi
3.
Pelakunya tidak
memiliki citra diri sebagai deviant
4.
Tidak secara
mendasar dilihat sbg deviant oleh negara
2.2. Penerapan Kontrol Sosial
Orang
pada saat berada pada strain (kondisi strain yang sedemikian hebat) secara
teoritis dia akan melakukan penyimpangan (kejahatan). Faktanya hampir semua anggota
masyarakat sebenarnya berada pada posisi strain. Jadi pada waktu kita beruntung
sekalipun, tetap kita akan mengalami strain dari kelompok dimana kita berada
atau peer dimana kita tinggal. Katakanlah orang yang tidak berada pada posisi
yang tidak beruntung itu adalah orang yang punya pekerjaan tetap, punya status
sosial yang jelas, tapi bukan berarti strain tidak terjadi, strain tetap akan
ada (akan muncul dari peer group, teman-teman dan kelompok), karena ternyata
didalam setiap strata dalam kehidupan sosial itu ada strata lagi didalamnya.
Kalau kita bicara tentang kelas atas, kelas atas itu tidak homogen, tapi
didalam kelas atas itu terdapat kelas-kelas lain. Jadi ada upper higher class,
upper middle class dan upper lower class. Artinya orang yang berada didalam
strata ataspun dengan sendirinya mereka kemudian terkelompok lagi ke dalam
strata-strata tertentu. Orang-orang yang berada pada posisi yang beruntung
(pada strata atas tadi) tetap mengalami strain karena mereka berhadapan dengan
orang-orang yang walaupun berasal dari strata yang sama tapi juga berasal dari
sub strata yang berbeda. Contoh misalkan Alumni Akademi Kepolisian didalam
kelas STIK-PTIK satu angkatan sama-sama berpangkat IPTU (itukan kondisinya sama
dan dalam strata sama) tapi ternyata didalam kelas satu angkatan tersebut yang
berpangkat sama itu terjadi lagi kelas-kelas yang lain (ternyata ada
kelompok-kelompok lagi). Ada kelompok yang lebih beruntung dari yang lain, itu
adalah sumber strain bagi yang lain. Artinya tidak ada orang yang berada pada
posisi yang tidak mengalami strain di dalam hidupnya.
Secara
teoritis kalau posisinya demikian maka kita dapat menduga bahwa banyak orang
mencari makna kejahatan, karena asumsinya orang yang mengalami strain adalah
orang yang paling mudah untuk terjebak pada perilaku menyimpang. Tapi fakta
lain menunjukkan hanya sedikit orang yang kemudian melakukan kejahatan atau
penyimpangan dari sekian banyak orang yang mengalami strain. Berapa jumlah
masyarakat miskin atau kelompok kelas bawah di Indonesia?
Menurut
data statistik sekitar 30 juta orang. Tapi faktanya yang menjadi penjahat tidak
sampai 30 juta. Dari populasi di Indonesia rata-rata pelaku kejahatan itu
kisaran 1-5% yang melakukan kejahatan. Kenapa kemudian tidak terjadi situasi
dimana banyak orang miskin tapi tidak banyak melakukan kejahatan? Jawabannya
ada pada control theory. Jadi control theory berasumsi semua orang berada pada
posisi memiliki kecenderungan untuk melakukan kejahatan (siapapun itu). Jadi
tidak ada orang yang tidak mempunyai potensi melakukan penyimpangan atau
kejahatan, semua orang berada pada posisi yang sama. Tapi faktanya tidak semua
orang yang melakukan kejahatan bahkan hanya sebagian kecil saja, kenapa
demikian? Karena ada mekanisme kontrol yang bekerja dan membatasi perilaku
orang (mengendalikan perilaku orang untuk tetap berada kelompok perilaku
konformitas).
Oleh
karena itu teori kontrol berasumsi bahwa kalau kita ingin menjelaskan kejahatan
maka penjelasan itu dapat kita cari dari perilaku yang tidak jahat, kalau kita ingin
mengendalikan kejahatan jangan mengutak-atik kejahatannya, tapi carilah
penjelasannya kenapa orang bisa taat hukum, ada apa dan apa yang terjadi
disana. Karena asumsinya perilaku menyimpang itu adalah perilaku yang alamiah
(natural). Perilaku tidak menyimpang atau perilaku yang konformitas adalah
perilaku yang tidak alamiah. Kejahatanlah yang akan dipaksa oleh aturan. Coba
kita perhatikan begitu ada jalan lurus dan mulus, tidak ada orang yang akan
memperlambat laju kendaraannya, semua akan memacu kendaraannya dengan kecepatan
tinggi (hal itu merupakan alamiah).
Untuk
memaksa orang agar tidak memacu kendaraannya kemudian dibuat tanggul (polisi
tidur/ pita kejut) sehingga kemudian orang terpaksa memperlambat kendaraannya.
Kita seolah-olah melihat mereka pelan itu alamiah, naum sebenarnya tidak mereka
itu terpaksa untuk memperlambat kendaraannya. Seperti halnya di dalam kelas
mahasiswa STIK-PTIK kalau kelas ini dibiarkan dan tidak ada aturan yang
mengatakan harus menggunakan PDH, maka sudah pasti semua mahasiswa pakaiannya
akan berbeda-beda. Jadi berpakaian PDH pada hari ini dan jam ini bukan perilaku
alamiah. Ini adalah perilaku yang dikontrol sehingga kemudian taat semua. Jadi
dalam penjelasan kontrol teori kalau ingin menjelaskan kenapa ada yang menyimpang,
cari penjelasannya kenapa yang lain bisa taat hukum, ada mekanisme apa yang
bekerja. Artinya kalau mekanisme itu bisa kita temukan kenapa orang lain itu
taat hukum, kita dapat dengan mudah mengatakan orang yang tidak taat hukum ada
mekanisme yang tidak bekerja pada dirinya.
Mekanisme
tersebut bermacam-macam dan beragam, instrument yang ada dalam kehidupan sosial
juga bermacam-macam. Jadi apabila mahasiswa STIK-PTIK diberikan kebebasan
berpakaian dan tidak ada aturan berpakain dalam perkualiahan, mungkin saja
sepatu dan bajunya akan bermacam-macam dan yang pasti sikap egoismenya akan
keluar (pasti mencari yang bermerek serta ada kecenderungan untuk tidak
menggunakan pakaian yang tidak bagus) pasti itu pilihannya dan itu alamiah.
Kalau sampai kemudian menggunakan baju seragam, itu tidak alamiah. Ini perlu
penjelasan kenapa sampai mereka menggunakan baju seragam. Penjelasannya “oh
ternyata ini PUD di STIK-PTIK yang mengatakan selama perkuliahan mahasiswa
wajib menggunakan pakaian PDH dengan segala kelengkapannya, apabila itu tidak
digunakan maka akan ada sanksi yang dikemudian diberlakukan, sanksi itulah yang
kemudian memaksa (kekhawatiran terhadap sanksi) sehingga kemudian perilaku taat
itu muncul.
2.2.1. Teori Kontrol Sosial Menjelaskan Perilaku
Kriminal
Teori
control social merupakan suatu teori tentang penyimpangan yang disebabkan oleh
kekosongan control atau pengendalian social. Teori ini dibangun atas pandangan
yang mana pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan untuk tidak patuh pada
hukum serta memiliki pula dorongan untuk melawan hukum. Oleh sebab itu didalam
teori ini menilai bahwa perilaku menyimpang merupakan konsekuensi logis dari
kegagalan dari seseorang untuk menaati hukum yang ada.
Teori
kontrol sosial membahas isu-isu tentang bagaimana masyarakat memelihara atau
menambahkan kontrol sosial dan cara memperoleh konformitas atau kegagalan
meraihnya dalam bentuk penyimpangan (Efrank E. Hagan, 2013: 236).
Travis
HIrchi yang merupakan pelopor dari teori ini mengatakan bahwa “Perilaku
criminal merupakan kegagalan kelompok-kelompok social konvensional seperti;
keluarga, sekolah, kawan sebaya untuk mengikat atau terikat dengan individu”.
(Yesmil Anwar Adang, 2013:102).
Dalam
perkembangan teori control social yang dipelopori oleh Travis HIrchi, maka ada
satu ahli yang mengembangkan atas teori ini, ia mengajukan beberapa posisi
teoritisnya, yaitu;
·
Bahwa berbagai
bentuk pengingkaran terhadap aturan-aturan sosial adalah akibat dari kegagalan
mensosialisasikan individu warga masyarakat untuk bertindak conform terhadap
aturan atau tata tertib yang ada;
·
Penyimpangan dan
bahkan kriminalitas atau prilaku kriminal, merupakan bukti kegagalan
kelompok-kelompok sosial konvensional untuk mengikat individu agar tetap
conform, seperti: keluarga, sekolah atau institusi pendidikan dan
kelompok-kelompok dominan lainnya;
·
Setiap individu
seharusnya belajar untuk conform dan tidak melakukan tindakan menyimpang atau
kriminal;
·
Kontrol internal
lebih berpengaruh daripada kontrol eksternal. (J. Dwi Nurwanto & Bagong
Suyanto, 2010:116).
Studi
Kasus.
Dalam menyikapi
teori control social ini, tentu banyak sekali peristiwa-peristiwa yang terjadi
disekitar kita terkait dengan teori ini. Berikut merupakan satu contoh akibat
dari control social yang kurang;
Kasus wanita
dibunuh pacarnya juga terjadi di Kampung Garedog RT1/5 Desa Rancabuaya
Kecamatan Jambe, Kabupaten Tangerang. Mayat Izzun Nahdiiyah (24), Mahasiswi UIN
Syarif Hidayatullah itu ditemukan di Jalan Ciangir, Kecamatan Legok, Kabupaten
Tangerang, Sabtu (7/4/2012).
Pelakunya adalah
kekasihnya Muhammad Soleh alias Oleng (33). Soleh tega menggorok Izzun hanya
lantaran kecewa laptop yang dipinjamnya ditagih. Lebih tragis Izzun juga
diperkosa secara bergiliran sebelum dibunuh. (http://www.merdeka.com/peristiwa/pembunuhan-sadis-dalam-pacaran-bukti-kontrol-sosial-kurang.html).
2.2.2. Perbedaan Pandangan Makro Sosiologi Dan Mikro
Sosiologi Dalam Melihat Perilaku Kriminal
Terkait
dengan aliran sosiologi dalam menyikapi tentang kriminal. Aliran ini merupakan
pegembangan dari ajaran Enrico Ferri, ia mengatakan bahwa ”Setiap kejahatan
adalah hasil daru unsur-unsur yang terdapat dalam individu, masyarakat dan
keadaan fisik” (Yesmil Anwar Adang, 2013:55). Dan ada dua pendekatan yaitu;
makro dan mikro dalam melihat perilaku kriminal pula.
Pendekatan
mikro sosiologi berfokus kepada sistem informal. Sedangkan sosiologi makro
dalam melihat perlaku kejahatan menjelajahi sistem formal. Eksplorasi sistem
formal yang dilakukan oleh sosiologi makro dalam hal ini adalah melihat
struktur masyarakat yang lebih luas. struktur masyarakat, faktor ekonomi,
komposisi etnis dan pola lain yang mencirikan sebuah kelompok (Mueller, Laufer
dan Grekul, 2009: 159). Sedangkan dalam menjelaskan pendekatan makro,
Pendekatan makro salah satunya teori disorganisasi sosial menjelaskan bentuk
daerah kejahatan tinggi yang disebabkan oleh industrialisasi yang pesat,
peningkatan imigrasi dan urbanisasi (Mueller, Laufer dan Grekul, 2009: 159).
Teori ini juga dekat posisinya dengan teori penyimpangan budaya karena ia
menjelaskan bagaimana perbedaan budaya suatu kelompok dan juga lingkungannya
berontribusi menghasilkan konfilk yang pada akhirnya berimplikasi pada peningkatan
kerja kontrol sosial yang lebih kuat (Mueller, Laufer dan Grekul, 2009: 160).
Studi Kasus
Pada koteks
Maraknya peredaran dan penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar dan mahasiswa
khususnya di Jakarta relevan dengan pendekatan sosiologi makro. Teori
disorganisasi sosial yang tergolong ke dalam pendekatan makro menjelaskan
bentuk daerah kejahatan tinggi yang disebabkan oleh industrialisasi yang pesat,
peningkatan imigrasi dan urbanisasi (Mueller, Laufer dan Grekul, 2009: 159).
Kenaikan angka penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar dan mahasiswa di
Jakarta diakibatkan oleh pembangunan kota Jakarta yang melibatkan imigrasi
tanpa memperhatikan kekuatan regulasi sosial. Teori ini didasarkan kepada
gagasan kontrol sosial dan bagaimana kurang bekerjanya kontrol tersebut baik
formal maupun informal akan berkontribusi kepada kenakalan dan kejahatan
(Mueller, Laufer dan Grekul, 2009: 159).
2.2.3. Teori Kontrol Sosial Mempengaruhi Perkembangan
Teori Yang Terkait Dengan Perilaku Kriminal
Teori
control social juga merupakan suatu teori kelanjutan dari beberapa teori yang
menjelaskan tentang perilaku criminal, dimana dalam membahas control social
kita perlu tahu yentang menenali Delinquency lalu dilanjutkan dengan teori
control social dan teori labeling. Purwandari menyatakan bahwa teman sebagai
salah satu objek lekat anak yang dapat mempengaruhi perilaku, dalam hal ini
adalah penyalahgunaan napza, yang tergolong bentuk delinquency (2007). Oleh
sebab itu kita dapat menyimpukan bahwa Deliquency merupakan perilaku yang
menentang norma dan nilai atau bisa disebut sebagai kenakalan.
Pada dasarnya, teori kontrol sosial itu
merupakan teori yang berusaha mencari jawaban mengapa seseorang melakukan
kejahatan. Disini terlihat berbeda dengan teori yang lainnya, dimana teori
kontrol tidak lagi mempertanyakan mengapa orang melakukan kejahatan tetapi
berorientasi kepada pertanyaan mengapa tidak semua orang melanggar hukum atau
mengapa orang taat kepada hukum. Dan apabila ditinjau dari akibatnya,
Pemunculan teori kontrol sosial ini disebabkan tiga ragam perkembangan dalam
kriminologi. Pertama, adanya reaksi terhadap orientasi labeling dan konflik
yang kembali menyelidiki tingkah laku kriminal. “kriminologi baru” atau “new
criminology” dan hendak kembali kepada subjek semula, yaitu penjahat
(criminal). Kedua, munculnya studi tentang ‘criminal justice” dimana sebagai
suatu ilmu baru telah mempengaruhi kriminologi menjadi lebih pragmatis dan
berorientasi pada sistem. Ketiga, teori kontrol sosial telah dikaitkan dengan
suatu teknik penelitian baru, khususnya bagi tingkah laku anak/remaja, yakni
selfreport survey. (Yesmil Anwar Adang, 2013102-103).
Studi Kasus
Penyalahgunaan
Narkoba. Dimana hal ini terjadi merupakan akibat dari lingkungan dan pergaulan
sekitarnya. Individu dalam suatu lingkungan akan melihat dan juga menerapkan
apa yang dilihatnya. Apabila buruk maka individu itu akan mejadi buruk
perilakunya, dan sebaliknya apabila baik, maka akan baik juga perilakunya.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
·
Pada dasarnya,
teori kontrol sosial itu merupakan teori yang berusaha mencari jawaban mengapa
seseorang melakukan kejahatan. Disini terlihat berbeda dengan teori yang
lainnya, dimana teori kontrol tidak lagi mempertanyakan mengapa orang melakukan
kejahatan tetapi berorientasi kepada pertanyaan mengapa tidak semua orang
melanggar hukum atau mengapa orang taat kepada hukum. Dalam teori ini, Hierschi
telah memberikan gambaran mengenai empat elemen keterikatan yang saling
berkaitan, yaitu : kasih sayang, tanggung jawab, keterlibatan dan keyakinan.
·
Perhatian dari
orang tua kepada anak sangat diperlukan dan dapat memberikan pengaruh positif
serta menumbuhkan kasih sayang dan rasa hormat anak kepada orang tuanya. Selain
itu, teman juga turut bepengaruh terhadap individu untuk mengontrol
perbuatannya. Tanggung jawab seseorang terhadap reputasi maupun masa depan
memberikan pertimbangan kepada seseorang untuk tidak melakukan kejahatan atau
pelanggaran. Adanya Keterlibatan seseorang yang menyebabkan kesibukan dalam
kegiatan yang positfi atau tidak menyimpang juga turut berkontribusi mengurangi
keinginan seseorang untuk berbuat jahat. Adanya keyakinan seseorang bahwa hukum
dan peraturan masyarakat pada umumnya benar secara moral dan harus ditaati
merupakan salah satu elemen dalam mengontrol perilaku seseorang.
3.2. Saran
Selain
keluarga dan lingkungan, Polri juga dapat berperan memberikan kontribusinya
dengan kegiatan PKS maupun Saka Bhayangkara serta penyuluhan oleh fungsi Binmas
dalam pencegahan terjadinya tindak kejahatan maupun pelanggaran lebih
dimaksimalkan lagi.
DAFTAR
PUSTAKA
Diakses dari : http://teorikontrolsosialrosyalina.blogspot.co.id/2016/03/teori-kontrol-sosial.html. Pada hari
sabtu tanggal 21 Oktober 2017.
Diakses dari : http://kilometer25.blogspot.co.id/2012/11/kriminologi-teori-kontrol-sosial.html. Pada hari
sabtu tanggal 21 Oktober 2017.
Diakses dari : http://handreasstik66.blogspot.co.id/2015/07/teori-kontrol-kriminologi_13.html. Pada hari sabtu tanggal
21 Oktober 2017.
No comments:
Post a Comment