Sunday, 23 September 2018

Teori Kontrol Sosial

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kriminologi sebagai ilmu sosial terus mengalami perkembangan dan peningkatan. Perkembangan dan peningkatan ini disebabkan pola kehidupan sosial masyarakat yang terus mengalami perubahan-perubahan dan berbeda antara tempat yang satu dengan yang lainnya serta berbeda pula dari suatu waktu atau jaman tertentu dengan waktu atau jaman yang lain sehingga studi terhadap masalah kejahatan dan penyimpangan juga mengalami perkembangan dan peningkatan dalam melihat, memahami, dan mengkaji permasalahan-permasalahan sosial yang ada di masyarakat dan substansi di dalamnya.
Maraknya aksi-aksi kejahatan akhir-akhir ini menjadi suatu perhatian khusus bagi masyarakat. Berbagai macam faktor yang dapat menjadi penyebab sesesorang melakukan aksi kejahatan tersebut. Faktor penyebab kejahatan tidak hanya berkaitan dengan faktor individu saja namun ada beberapa faktor lainnya yang turut serta mendukung sesesorang untuk berbuat jahat, yaitu antara lain faktor lingkungan, psikologi, biologi bahkan faktor sosial turut mempengaruhi seseorang melakukan kejahatan.
Sangat diperlukan pengetahuan tentang faktor yang menyebabkan tindak kejahatan. Pemahaman tentang faktor-faktor yang menjadi penyebab kejahatan atau pelanggaran akan memudahkan pada saat kita berupaya melakukan pengendalian terhadap kejahatan. Banyak teori yang mennjelaskan tentang faktor penyebab seseorang melakukan tindak kejahatan. Salah satu teori dalam Kriminologi yang menjelaskan tentang faktor penyebab kejahatan adalah Teori Kontrol Sosial yang berangkat dari suatu asumsi atau anggapan bahwa individu di masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama kemungkinannya dalam berbuat bai  atau jahat.
Maka dalam makalah ini akan membahas mengenai Teori Kontrol Sosial yang merupakan teori yang berusaha mencari jawaban mengapa seseorang melakukan kejahatan.

1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Apa yang dimaksud Teori Kontrol Sosial dalam Kriminologi?
1.2.2. Bagaimana penerapan Teori Kontrol Sosial dalam sebuah Kasus?

1.3. Tujuan
1.3.1. Dapat mengetahui yang dimaksud Teori Kontrol Sosial dalam Kriminologi?
1.3.2. Dapat mengetahui Bagaimana penerapan Teori Kontrol Sosial dalam sebuah Kasus?




BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Teori Kontrol Sosial
Teori kontrol yang bersifat sosiologis dikemukakan oleh Travis Hirschi (1969). Hirschi mengatakan bahwa Kejahatan itu normal dan hanya dapat dicegah dengan mencegah munculnya kesempatan guna melakukannya. Filosofinya itu, bagaimana untuk cara mencegahnya? Ya kesempatan untuk melakukannya yang dihilangkan. Bagaimana cara menghilangkan kesempatannya? Maka efektifkan lingkungan, buat orang terikat pada lingkungannya. Maka teori dari Hirschi kemudian dikenal dengan “sosial warms theory” (teori ikatan sosial). Jadi kalau orang terikat dalam kehidupan sosial maka cendrrung untuk tidak melakukan penyimpangan.
Travis Hirchi sebagai pelopor teori ini, mengatakan bahwa “Perilaku kriminal merupakan kegagalan kelompok–kelompok sosial seperti keluarga, sekolah, kawan sebaya untuk mengikatkan atau terikat dengan individu”, Artinya “individu dilihat tidak sebagai orang yang secara intrinsik patuh pada hukum, namun menganut segi pandangan antitesis dimana orang harus belajar untuk tidak melakukan tindak pidana”. argumentasi ini, didasarkan pada bahwa kita semua dilahirkan dengan kecenderungan alami untuk melanggar aturan hukum. Dalam hal ini kontrol sosial, memandang delinkuen sebagai “konsekuensi logis dari kegagalan seseorang untuk mengembangkan larangan-larangan ke dalam terhadap perilaku melanggar hukum”. Manusia dalam teori kontrol sosial dipandang sebagai mahluk yang memiliki moral murni, oleh karena itu, manusia memiliki kebebasan untuk melakukan sesuatu.
Albert J. Reiss Jr membedakan dua macam kontrol, yaitu personal control dan social control. Personal control adalah kemampuan seseorang untuk menahan diri agar tidak mencapai kebutuhannya dengan cara melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat. Sedangkan social control adalah kemampuan kelompok sosial atau lembaga-lembaga di masyarakat melaksanakan norma –norma atau peraturan-peraturan menjadi efektif. Pada tahun 2957, Jackson Toby memperkenalkan pengertian “comitment” individu sebagai kekuatan yang sangat menentukan dalam membentuk sikap kontrol sosial. Kemudian, Scot Briar dan Irvine Piliavian menyatakan bahwa peningkatan komitmen individu dan adaptasi/penyesuaian diri memegang peranan dalam mengurangi penyimpangan.
Kejahatan atau delinkuen dilakukan oleh keluarga, karena keluarga merupakan tempat terjadinya pembentukan kepribadian, internalisasi, orang belajar baik dan buruk dari keluarga. Apabila internal dan eksternal kontrol lemah, alternatif untuk mencapai tujuan terbatas, maka terjadilah delinkuen, hal ini merupakan sesuatu yang jarang terjadi. Menurut F. Ivan Nye manusia diberi kendali supaya tidak melakukan pelanggaran, karena itu proses sosialisasi yang adequat (memadai) akan mengurangi terjadinya delinkuensi. Sebab, di sinilah dilakukan proses pendidikan terhadap seseorang yang diajari untuk melakukan pengekangan keinginan (impulse).Di samping itu, faktor internal dan eksternal kontrol harus kuat, juga dengan ketaatan terhadap hukum (law-abiding).
Asumsi teori kontrol dikemukakan F.Ivan Nye terdiri dari :
1.  Harus ada kontrol internal maupun eksternal ;
2.  Manusia diberikan kaidah-kaidah supaya tidak melakukan pelanggaran;
3.  Pentingnya proses sosialisasi bahwa ada sosialisasi adequat (memadai), akan mengurangi terjadinya delinkuen, karena di situlah
4.  Dilakukan proses pendidikan terhadap seseorang; dan
5.  Diharapkan remaja menaati hukum (law abiding).
Menurut F. Ivan Nye terdapat empat tipe kontrol sosial, yaitu :
1.  Direct control imposedfrom without by means of restriction and punisment (kontrol langsung yang diberikan tanpa mempergunakan alat pembatas dan hukum);
2.  Internalized control exercised from within through conscience(kontrol internalisasi yang dilakukan dari dalam diri secara sadar);
3.  Indirect control related to affectional identification with parent and other non-criminal persons (kontrol tidak langsung yang berhubungan dengan pengenalan [identifikasi] yang berpengaruh dengan orangtua dan orang-orang yang bukan pelaku kriminal lainnya);
4.  Availability of alternative to goal and values (ketersediaan sarana-sarana dan nilai-nilai alternatif untuk mencapai tujuan).
Dalam teori kontrol sosial, ada elemen yang harus diperhatikan :
1.  Attachment (kasih sayang)
Attachment adalah kemampuan manusia untuk melibatkan dirinya terhadap orang lain, jika attachment sudah terbentuk, maka orang tersebut akan peka terhadap pikiran, perasaan, dan kehendak orang lain. Berbeda dengan psikopat, kalau psikopat lahir dari pribadi yang cacat, yang disebabkan karena keturunan dari biologis atau sosialisasi. Attachment, dibagi menjadi dua bentuk :
a.       Attachment total : suatu keadaan di mana seseorang individu melepaskan rasa ego yang terdapat dalam dirinya dan diganti dengan rasa kebersamaan. Rasa kebersamaan inilah yang mendorong seseorang untuk menaati peraturan, larena melanggar peraturan berarti menyakiti perasaan orang lain. Tujuan akhir dari attachment ini adalah, akan mencegah hasrat seseorang untuk melakukan deviasi.
b.      Attachment Partial ; suatu hubungan antara seorang individu dengan individu lainnya, di mana hubungan tersebut tidak didasarkan kepada peleburan ego yang lain, akan tetapi karena hadirnya orang lain yang sedang mengawasi perilaku individu. Dengan kata lain, attachment ini, hanya akan menimbulkan kepatuhan pada individu, bila sedang diawasi perilakunya oleh orang lain.
Bagaimana kita attach dengan orang lain, dengan keluarga, family dll. Attachment itu adalah kedekatan, bagaimana kita merasa bahwa diri kita penting bagi orang lain, kita diharapkan oleh banyak orang. Idealisme dengan ketidakinginan untuk mengecewakan orang-orang dekat.  Biasanya attach itu landasannya adalah empati, rasa sayang (saying kepada anak dan istri). Jadi attach itu mencegah kita untuk melakukan penyimpangan. Dalam kehidupan sosial attachment itu penting, bagaimana kita membuat diri kita kemudian merasa dibutuhkan oleh lingkungan tempat tinggal kita. Kita bisa membanyangkan lingkungan seperti apa yang membuat kita attach dengan lingkungan disekitar kita. Yang jelas bukan lingkungan tempat tinggal kita dimana kita datang pagi, datang malam, pagi2 sudah hilang lagi. Itu tidak akan ada attachment.
2. Commitment
adalah lingkungan dimana kita bisa membuat kita berkomitmen. Coba bayangkan kalau kita sayang, dekat terhadap seseorang kalau kemudian kita intens berhubungan dengan seseorang pasti kemudian akan tumbuh komitmen. Bagaimana ciri2 orang yang komit? Orang yang komit adalah orang yang merasa kehilangan apabila dia dipisahkan dari orang yang menyayanginya. Jadi kalau kita merasa, alah kalau putus dengan istri saya besok saya bisa cari lagi (itu tidak punya komitmen), orang yang punya komitmen “saya tidak bisa membayangkan jika hidup saya pisah dengan pacar saya”, “saya tidak bisa apa yang terjadi dengan diri saya jika saya berpisah dengan anak-anak saya” itu adalah komitmen. Kita apabila ingin menguji komitmen sebagai anggota polisi gampang, bayangkan kalau dipecat. Apa yang akan terjadi? Semakin tidak banyak alternative yang dimiliki maka semakin tinggi komitmennya, tapi apabila berfikir “alah dipecat dari polisi gak papa, saya ini kan jadi polisi Cuma hobi saja” itu orang yang lemah komitmennya.
Dalam lingkungan/ dalam kehidupan sosial juga begitu, orang yang komitmen pada lingkungannya baik adalah orang yang tidak bisa membayangkan kalau tetangga-tetangganya tidak suka dengan dia, kalau tetangga-tetangganya sudah mulai cuek sama dia karena dia dianggap bukan lagi orang yang terhormat, itu adalah orang yang komitmennya tinggi dalam kehidupan sosial. Jadi komitmen itu bisa diukur dari seberapa banyak kehilangan-kehilangan sosial yang akan kita alami apabila kita dipisahkan dari lingkungan. Sama dengan di organisasi polri, apabila rekan-rekan ingin menguji seberapa banyak komitmen rekan-rekan terhadap organisasi polri maka bayangkan seberapa banyak kerugian-kerugian yang akan rekan-rekan alami kalau rekan-rekan dikeluarkan dari polri. Kalau brimob tidak diragukan komitmennya, biasanya harga mati bagi brimob, karena rata-rata anggota brimob komitmennya terbentuk dan dibentuk. Situasi pekerjaan itu membuat komitmen menjadi tinggi soliditas, kepaduan, saling tergantungan dari anggota membuat komitmen kemudian menjadi tinggi sehingga pada saat dia merasa akan keluar dari komunitas itu dia akan merasa begitu banyak kehilangan yang dia alami secara psikologis dan sosial.
3. Involvement
Kalau kita sudah punya komitmen, biasanya kita akan juga mempunyai keterlibatan (involment). Jadi orang-orang yang punya involvement sudah pasti dia punya attachment dan komitmen makanya dia mau involve, kalau dia tidak involve dia bakal stress. Coba bayangkan sebagai anggota polisi yang menjadi polisi hanya sekedar hobi saja, dia dilibatkan atau tidak dalam kegiatan pasti dia santai-santai saja, begitu membaca sprin dan tidka ada namanya langsung berucap “Alhamdulillah”. Berbeda dengan yang komitmennya bagus, begitu membaca sprin dan tidak ada namanya ya dia pasti akan stress. “Ada apa ini? Kok pimpinan tidak memasukkan nama saya ini kenapa?”, dia akan bingung. Jadi kalau orang yang komitmen dan attachmentnya tinggi biasanya kemauan untuk keterlibatan dalam sebuah kegiatan biasanya juga tinggi. Jadi orang yang mau kerumah tetangga, orang yang datang saat diundang arisan, yasinan, itu adalah orang yang pasti mempunyai komitmen baik terhadap lingkungannya. Kalau orang yang komitmennya tidak baik terus diundang “siapa sih bapak ini, sering banget sih ngadain acara”, itu komitmen dan involvementnya rendah. Menurut Hirschi semakin banyak keterlibatan orang dalam lingkungan itu akan semakin baik kemampuan mencegah dari lingkungan untuk membuat dia tidak melakukan penyimpangan.
Kenapa demikian? Karena involve itu membuat kita dikenal (lingkungan itu akan kenal dengan kita). Begitu mau mampir ketempat yang dia lihat, kita sudah mulai mikir “wah nanti ada tetangga yang melihat mobil saya” akhirnya gak jadi. Tapi kalo kita involvenya rendah, begitu papas an dengan tetangga juga tidak kenal, begitu sudah didalam masuk “bapak kan yang dijalan itu”, “iya saya tetangga bapak”, “wah ketemu tetangga disini”. “Kalu begitu kita sama-sama kompak ajalah dan sama-sama tau sajalah pak”. Tapi bayangkan kalau involvenya tinggi, jadi rekan-rekan kalau kita mau mencegah penyimpangan buatlah involvement kita tinggi dalam kehidupan sosial. Semakin banyak kita dikenal orang semakin banyak lingkungan dimana kita terlibat dalam kegiatan, itu akan mempunyai kemampuan yang membuat kita mempertimbangkan ulang setiap akan mengambil keputusan yang tidak disukai banyak orang, pasti menjadi bahan pertimbangan. Orang yang stress itu adalah orang yang pada saat mengalami kesalahan dan dia tahu, semua orang tahu. Makanya kalau penjahat tidak dikenal orang, ditangkap 10 kalipun santai saja dia (tidak ada yang kenal dirinya). Makanya pelaku kejahatan paling senang melakukan kejahatan diluar negeri (kampungnya) karena begitu ditangkap tidak ada yang kenal disana, dia masuk penjara pun keluarganya tidak tahu. Jadi dia terbebas dari komitmen dan sanksi-sanksi sosial yang muncul dimana kelompok dia tinggal, Itu nyaman buat dia. Karena yang paling tidak nyaman bagi kita itu adalah sanksi yang muncul dari lingkungan, itu jauh lebih tegas dan mengena daripada sanksi pidana.
4. Belief
Apabila kita sudah attach, komit dan involve dengan lingkungan maka akan muncul juga apa yang disebut sebagai keyakinan terhadap nilai, norma. Kita validitas terhadap nilai itu kuat, apabila kita menyimpang kita akan terkena sanksi.
Kemudian Hirschi diluar konsep ikatan sosial mengatakan kejahatan dapat dicegah dengan mengatur perilaku tersebut melalui prinsip rewards and punishment, jadi attachment dan lain-lain tadi merupakan bagian dari reward. Tapi juga disitu tersedia sejumlah punishment kalau orang melakukan penyimpangan. Kan enak kalau kita berprestasi dan melakukan kebaikan semua orang tahu dan menghargai pasti nyaman bagi kita, dan baik pula bagi ktia apabila kita melakukan penyimpangan semua orang juga tahu, sehingga kemudian perilaku itu adalah perilaku yang akan kita kita hindari. Coba bayangkan kalau kita melakukan penyimpangan kemudian ketahuan tapi tidak ada efek apapun dari lingkungan tempat tinggal kita pasti fine-fine saja buat kita (gak masalah). Jadi menjadi orang yang paling baik itu kalau ingin menghindari penyimpangan adalah jangan menjadi orang yang nothing to loose, orang yang seperti ini adalah orang yang tidak pernah mempertimbangkan apapun lagi dalam hidupnya (gak ada rugi dan tidak ada yang dikhawatirkan). Jadi kalau kita punya anak jangan sampai anak kita berada pada posisi nothing to loose (mau melakukan apapun dia, dia tidak akan mengalami kerugian apapun) kalau bisa pastikan bahwa keluarga kita adalah orang yang akan mengalami dampak yang luar biasa kalau dia melakukan penyimpangan dan itu akan membuat dia tidak berani melakukan penyimpangan.
Teori kontrol sosial pada dasarnnya berusaha menjelaskan kenakalan remaja dan bukan kejahatan oleh orang dewasa, namun disini saya menghubungkan antara perilaku menyimpang pada waktu kecil atau remaja membawa dampak pada anak sampai tumbuh menjadi dewasa dan akan melakukan kejahatan, pengaruh bawaan dari masa lalu atau remaja membuat seorang menjadi serakah, berkurangnya pendekatan keluarga atau pembentukan pada masa anak-anak, kurangnya pembentukan kepribadian dari keluarga maupun lingkungan sekolah akan berpengaruh pada waktu seseorang itu menempati posisi tertentu dalam jabatannya nanti. Perilaku pada masa kanak-kanak akan berpengaruh besar dalam karirnya dan akan menjadi kebiasaan.
Kriminologi masa lalu beranjak dari pemahaman yang dangkal mengenai kejahatan, padahal kejahatan tak hanya bisa ditilik dari segi fenomenalnya saja, melainkan merupakan aspek yang tidak terpisah dari konteks politik, ekonomi dan sosial masyarakatnya, termasuk dinamika sejarah kondisi – kondisi yang melandasinya (yakni struktur – struktur sosial yang ditentukan secara historis). Kejahatan sebagai suatu gejala adalah selalu kejahatan dalam masyarakat (crime in society), dan merupakan bagian dari keseluruhan proses – proses sosial produk sejarah dan senantiasa terkait pada proses – proses ekonomi yang begitu mempengaruhi hubungan antar manusia. Pemahaman kejahatan pada masa lampau seringkali kehilangan makna oleh karena meninggalkan konsep total masyarakat (the total concept of society).
Jika berbagai elemen kontrol sosial tidak lagi berfungsi, maka akan muncul situasi sebagai berikut, yang kita khawatirkan mekanisme kontrol ini adalah kunci dari tinggi rendahnya crime rate/ angka kejahatan/ dari banyak tidaknya insiden kriminal.
1.      Fasilitasi kejahatan adalah kesempatan/ peluang orang untuk melakukan kejahatan itu meningkat dan ada dimana-mana. Makanya CCTV itu menjadi penting karena CCTV itu adalah mekanisme kontrol yang bisa membuat orang kemudian berfikir ulang untuk melakukan penyimpangan. Kemudian pada saat elemen kontrol itu tidak bekerja, dukungan sosial untuk melakukan kejahatan menjadi meningkat, ini yang berbahaya. Orang tidak lagi dihujat, melakukan penyimpangan, orang tidak lagi dicela melakukan penyimpangan, orang tidak lagi dicaci maki karena penyimpangan, malah tetangga sebelah mengikutkan kalau mekanisme kontrol tidak bekerja, makanya mekanisme kontrol itu menjadi penting. Kemudian dari sisi penegak hukum resiko orang itu tertangkap dan ketahuan itu menjadi turun karena tidak ada orang yang perduli dengan perilaku menyimpang. Jadi awareness orang terhadap perilaku menyimpang itu menjadi hilang, sifat polisional dari semua orang kemudian menjadi rendah. Ada orang masuk ke suatu kampung, orang biasa saja. Tapi coba kalau polisionalnya tinggi, jadi kalau orang masuk “tuh orang mau kemana ya, disitukan tidak ada jalan”, mulai berfikir, sehingga begitu ada tetangga yang kemalingan pun kemudian tetangga yang lain cepat tahu. Tapi ada lingkungan yang bagitu ada orang yang sudah kerampokan, korbannya meninggal dan ketahuannya karena tercium bau korban, maka celakalah lingkungan seperti itu. Seperti kasus di Australia (mati dirumah) itu karena mekanisme kontrol lingkungannya rendah.  Orang tidak terlalu perduli dengan lingkungan disekitarnya, jadi masalah justru karena ada aroma (bau).
2.      Penentuan kejahatan. Pada saat kontrol sosial itu rendah, maka orang akan melihat melanggar hukum itu jauh lebih menarik daripada taat hukum. Jadi pelanggaran itu adalah sesuatu yang attraktif. Kita lihat pada peristiwa 1998, pada saat mekanisme kontrol tidak bekerja, pada saat mekanisme kontrol di Indonesia sedang mengalami down saat itu orang yang tidak ikut menjarah adalah orang yang rugi. Maka orang-orang yang baik-baik sekalipun ikut-ikutan karena melanggar hukum atraktif saat itu (orang tidak ada yang mengawasi dan tidak mungkin ditangkap dan ditahan), jadi sesuatu yang nyata-nyata salah kemudian menjadi atraktif/ menarik untuk dilakukan. Kemudian pada saat mekanisme kontrol ini tidak bekerja yang mungkin terjadi adalah orang cenderung memiliki jenis kejahatan tertentu karena terkait dengan faham utilitarianistik (sesuatu yang bermanfaat itu cenderung lebih dikejar). Begitu polisi lalu lintas tidak ada, orang jarang ditilang disitu, begitu dia buru-buru “ah ini kan lampu lalu lintasnya merah, tapi lagi sepi, udahlah trabas aja”. Jadi orang cenderung mengejar apa yang penting bagi dirinya pada saat itu. Cenderung prioritas-prioritas terhadap kebutuhan diri itu menjadi pengemuka mengalahkan pertimbangan-pertimbangan lain. Coba kalau kita lihat di Jakarta ini semua orang pandai akrobat kalau naik sepeda motor, begitu orang sudah mepet masih dia berbelok badannya pun ikut berbelok-belok juga untuk menghindari kendaraan, sangat pandai sekali. Jadi berlalu lintas itu bukannya prinsipnya bergantian tapi prinsipnya berebut, siapa yang lebih pandai berakrobat dialah yang menang. Sehingga kita yang membawa kendaraan dengan sabar biasanya harus sering-sering periksa jantung kalau di Jakarta ini (jangan-jangan juga bermasalah jantung kita ini karena setiap hari kita spot jantung).
Sumber-sumber konformitas (siapa saja sih yang membuat kita menjadi taat, yang membuat kita menjadi tidak berani melanggar hukum, siapa sajan yang membuat kita tidak berani untuk mengikuti naluri kita untuk berperilaku menyimpang) :
1. Keluarga.
Keluarga merupakan institusi dalam kehidupan sosial yang berdampak luar biasa dalam pembentukan perilaku orang (baik pembentukan karakter maupun bagaimana orang memilih perilaku). Kalau bicara karakter, keluarga itu adalah peletak dasar tentang sifat/ karakter diri kita. Makanya pada saat kita ditanamkan nilai-nilai didalam keluarga maka karakter yang kita tahu didalam keluarga itu adalah karakter yang amat sulit berubah, maka secara konsep itu yang disebut sebagai basic personality struckture (struktur kepribadian dasar itu dibentuk didalam keluarga). Kita boleh saja dididik dipendidikan Kepolisian (dibasis, ikut dikjur) tapi yang namanya basic personality struckture itu akan muncul dan mewarnai bagaimana kita menjadi polisi. Kalau dasarnya murah hati, jabatan apapun tetap murah hati. Kalau kepribadiannya sok, dibawakan senjata apapun dia cenderung sok. Maka dipolisi ini menempatkan personil itu harus membaca karakter, jadi rekan-rekan apabila nanti menjadi wakapolres atau kabag sumda di dalmas (tim negosiator itu) pilih orang jangan karena umurnya (tua), jangan karena jenis kelaminnya tapi pilihlah orang karena karakternya. Ditengah orientasi kita menempatkan negosiator sejauh ini adalah persepsi bahwa pihak lain akan menghargai, maka kita tempatkan perempuan (seperti ibu saya), kita tempatkan yang lebih tua (maka kalau dia lebih tua pendemo itu berfikir ini seperti bapak saya), persepsi kita tentang bagaimana orang lain mempersepsikan tentang kita. Itu cara kita memilih petugas negosiator. Sehingga kita cenderung mengabaikan kemampuan dan karakter dari negosiatornya sendiri. Nah ini cara memilih yang harus agak hati-hati, tidak salah kita membaca persepsi dari demonstran terhadap negosiator itu tapi jangan lupa juga karakter yang kita taruh didepan itu adalah karakter yang memang terpilih dan memiliki sejumlah kemampuan dan sejumlah bentuk-bentuk personality yang memang kompatibel dengan situasi yang dihadapi. Tua sih tua tapi personelnya gampang membentak ya percuma juga, perempuan sih perempuan tapi kalau ngomong pedes itu malah memprovokasi. Jadi harus ada keseimbangan persepsi dari para demonstran dengan kemampuan karakter yang akan kita kedepankan itu.
2. Sekolah
Sekolah menularkan sejumlah nilai, nilai yang paling ditanamkan disekolah adalah :
·         Independence (Kemandirian), disiplin (kalau dirumah pipis saja minta dianterin, pakai sepatu dipakaiin, begitu disekolah gurunya langsung ngomong “eh sepatunya dipakai sendiri ya jangan minta pakaiin mamanya?”.
·         Achievement. Disekolah anak diajarkan prestasi, dirumah anak itu apapun yang dia lakukan selalu orang tua mengatakan “bagus, pintar”, tapi disekolah pintar itu ada ukurannya (ada pencapaian tertentu sehingga orang menjadi pintar). Kalau di TK dikasih bintang, kalau tulisannya bagus bintangnya 5, kalau jelek bintangnya 1 itu sudah menunjukkan bahwa sesuatu yang dianggap bagus itu ada takaran2nya dan itu ditanamlan disekolah.
·          Spesifiksitas. Sesuatu itu spesifik, kalau anak jelek dalam pelajaran biologi ya treatmentnya di biologi saja, dimarahi gurunya ya di biologi. Begitu di pelajaran bahasa Indonesia dia tidak akan dimarahi lagi. Tapi kalau dirumah begitu mecahkan gelas dari pagi-sore-besok lagi masih dimarahin juga. Tidak semua hal diberlakukan sama.
Dirumah nenek, cucunya itu tidak pernah salah, begitu kita mau ngomelin anak sedikit “kamu ini kan itu anak kecil, jangan dia kan masih kecil”, terus kapan terbentukkan kalau masih kecil sudah tidak boleh dipertajam/ diasah (malah disafe). Makanya kalau anak itu jangan terlalu sering disuruh minap dirumah neneknya. Karena nenek itu (orang tua kita) boleh dia keras sama kita pada saat kita kecil bahkan kita dipukul, tapi begitu dengan cucunya dia paling lemah. Tidak akan bisa membentuk anak kita sama dengan nenek (orang tua) membentuk diri kita. Jadi jangan berhadap “papa saya ini kan hebat, saya bisa kayak gini karena papa saya, jadi gak papalah anak saya tinggal sama papa”, oh jangan harap. Yang muncul lain nanti karakternya.
3. Rekan bermain, rekan kerja dan lingkungan tempat tinggal (peer group)
Itu adalah orang-orang dekat dalam aktivitas kita sehari-hari, itu adalah sumber-sumber konformitas. Kita bisa rasakan begitu melihat semua turun dari flat, kita yang masih pakai sarungan pun buru-buru pakai PDH. Gak tau apa yang terjadi pokoknya begitu semua turun cepat-cepat pakai celana juga. artinya peer group itu kemudian membuat kita menjadi konformitas. Tempat bermain ini agak bahaya juga, biasanya anak sering mengalami apa yang disebut dissonance kognitif (apa yang dipelajari dirumah, apa yang dipelajari disekolah itu tidak sesuai dengan apa yang dia temukan diantara teman-teman bermain). Anak diajarkan santun dan baik tapi begitu ketemu teman-temannya langsung ngomong “bego” dan itu masih mending, yang celaka lagi apabila bagian tubuh yang disebut-sebut. Dirumah dia tidak pernah diajarkan tentang organ tubuh (jenis kelamin, alat kelamin) begitu ketemu teman-temannya langsung teriak menyebut kea lat kelamin laki-laki, menyebutkan kea lat kelamin perempuan. Dia pulang langsung bertanya kepada orang tua “ma itu artinya apa sih ma?”, Mamanya bingung juga menjelaskannya, dan langsung menjawab “itu tongkat nak. Besoknya pulang lagi kerumah, mamanya lagi nyuci piring “mah di itu ngomong ini lagi, apa artinya ma?”, “oh itu piring” Mama menjawab. Besoknya ketemu Pak Haji bawa tongkat eh si anak teriak-teriak pak haji bawa alat kelamin “…”. Rupanya pak haji tanya “anak siapa kamu?”, anak menjawab “anak Ibu … sedang mencuci alat kelamin …”. Jadi itu yang disebut dissonance kognitif. Peran orang tua adalah menetralisir dan harus dijelaskan dengan cara bijak. Di Indonesia peran-peran ketimuran masih membatasi gender.
4. Ras
Pada negara yang multiras biasanya kita akan berperilaku cenderung berperilaku sebagaimana ras kita diharapkan berperilaku. Orang Asia kalau di Amerika pasti tidak mau masuk bar-bar dimana orang kulit hitam ada disitu. Orang kulit hitam di Amerika tidak akan masuk bar dimana orang kulit putih yang ada disitu dan sebaliknya. Artinya perilaku-perilaku itu dijaga berdasarkan rasnya. Kalau orang Asia terutama ras timur (China, Jepang, Melayu) di Amerika selalu diledek karena makan nasi, jadi makan nasi itu jelek sekali bagi orang-orang di Amerika. Makan nasi itu selalu dikaitkan dengan kelambaan berfikir, malas dan kebodohan. Makanya kalau orang-orang Amerika begitu melihat orang Asia agak-agak plongok “wah itu pasti makan nasi, susahlah hidupnya”. Jadi strereotype orang di Asia bagi orang-orang di eropa dan amerika adalah karena makan nasi. Mereka aneh melihat kita makan, makan nasinya banyak tapi lauknya hanya sepotong kecil, kalau mereka kan malah lauknya yang banyak dan roti hanya untuk karbohidrat itu sedikit sekali. Karena bagi mereka nasi itu karbohidratnya adalah karbohidrat yang buruk. Kenapa? Karbohidratnya banyak tapi cepat habis energinya (kalorinya), cepat kenyang tapi di realeasenya cepat (time realeasenya tinggi). Jadi orang yang makan nasi itu adalah orang yang cepat lapar, beda dengan orang yang makan protein (time realeasenya lambat) begitu kita kenyang orang tidak gampang makan lagi. Dan hal tersebut berhubungan dengan ras.
5. Peran gender
Beda gender dengan sexuality (jenis kelamin). Perempuan melekat dalam dirinya dua konsep yaitu sexuality (sebagai female) dan gender. Kalau sexuality itu adalah sifat perempuan yang tidak bisa dirubah karena bersifat kodrati (melahirkan, menstruasi) sedangkan gender seperti masak didapur (apakah kalau memang perempuan itu harus masak didapur, mengasuh anak) jadi gender itu adalah peran-peran yang melekat pada perempuan karena kultur. Tapi kalau peran-peran perempuan yang melekat secara biologis itu sexuality. Ada salah satu suku di daerah pasifik yang justru menjadi kepala keluarga adalah perempuan (mencari nafkah, mempertahankan serangan dari suku lain, mereka aktif, agresif), laki-laki tugasnya hanyalah mengasuh anaknya, mengurus urusan-urusan domestik. Jadi artinya laki-laki sebagai kepala keluarga dalam konsep gender itu perlu digugat (hegemoni terhadap pria bahwa pria itu adalah kepala keluarga) bukan sesuatu yang sejatinya harus laki-laki.
6. Lembaga keagamaan
Sumber konformitas yang paling utama adalah lembaga keagamaan, apapun yang kita lakukan itu justru yang paling takut adalah karena agama, terbanyak dalam diri kita. Makanya ada lagu bayangkan kalau surga dan neraka itu tidak ada, apa yang akan terjadi kalau surga dan neraka itu tidak ada, akankah kita tetap menjadi orang baik-baik. Surga dan neraka adalah reward and punishment yang disediakan secara spesifik buat kita. Sebenarnya itu merupakan gagasan para sufi namun dijadikan lagu. Orang sufi itu berfikir apakah kita taat terdahap Tuhan itu karena kita mencintaiNya atau karena kita takut kepada nerakanya dan kemudian ingin mendapatkan surganya. Coba kita perhatikan banyak dari doa kita itu isinya “ya Allah ampunilah dosaku, masukkanlah aku kedalam surga”. Tapi orang sufi mengatakan “ya Allah aku tidak pantas untuk berada di surgaMu, tapi aku juga tidak kuat berada di dalam nerakaMu. Kan Tuhan bingung jadinya ini “ini lu mau masuk neraka apa mau masuk surga”. Jadi itu adalah orang yang berharap “ya surga dikit-dikit tidak papalah daripada ditempatkan dineraka”. Jadi ada kaitannya dengan teori kontrol dalam cara berfikir reward and punishment.
7. Lembaga kontrol sosial
·         Kepolisian
·         Lembaga peradilan dan penghukuman
·         Asosiasi pemberi sanksi
·         Lembaga kontrol tidak resmi (satuan pengamanan, private security services, bodyguard, debt collector, lembaga adat)
Namun Kelemahan Teoritik, Box (1981): Teori kontrol tidak dapat menjelaskan perilaku kolektif atau kejahatan serius & sadis, … hanya terbatas pada primary deviance yakni ketika:
1.      Seseorang hanya terkadang saja melakukan perbuatan menyimpang
2.      Tidak memerlukan kelompok atau sofistikasi
3.      Pelakunya tidak memiliki citra diri sebagai deviant
4.      Tidak secara mendasar dilihat sbg deviant oleh negara

2.2. Penerapan Kontrol Sosial
Orang pada saat berada pada strain (kondisi strain yang sedemikian hebat) secara teoritis dia akan melakukan penyimpangan (kejahatan). Faktanya hampir semua anggota masyarakat sebenarnya berada pada posisi strain. Jadi pada waktu kita beruntung sekalipun, tetap kita akan mengalami strain dari kelompok dimana kita berada atau peer dimana kita tinggal. Katakanlah orang yang tidak berada pada posisi yang tidak beruntung itu adalah orang yang punya pekerjaan tetap, punya status sosial yang jelas, tapi bukan berarti strain tidak terjadi, strain tetap akan ada (akan muncul dari peer group, teman-teman dan kelompok), karena ternyata didalam setiap strata dalam kehidupan sosial itu ada strata lagi didalamnya. Kalau kita bicara tentang kelas atas, kelas atas itu tidak homogen, tapi didalam kelas atas itu terdapat kelas-kelas lain. Jadi ada upper higher class, upper middle class dan upper lower class. Artinya orang yang berada didalam strata ataspun dengan sendirinya mereka kemudian terkelompok lagi ke dalam strata-strata tertentu. Orang-orang yang berada pada posisi yang beruntung (pada strata atas tadi) tetap mengalami strain karena mereka berhadapan dengan orang-orang yang walaupun berasal dari strata yang sama tapi juga berasal dari sub strata yang berbeda. Contoh misalkan Alumni Akademi Kepolisian didalam kelas STIK-PTIK satu angkatan sama-sama berpangkat IPTU (itukan kondisinya sama dan dalam strata sama) tapi ternyata didalam kelas satu angkatan tersebut yang berpangkat sama itu terjadi lagi kelas-kelas yang lain (ternyata ada kelompok-kelompok lagi). Ada kelompok yang lebih beruntung dari yang lain, itu adalah sumber strain bagi yang lain. Artinya tidak ada orang yang berada pada posisi yang tidak mengalami strain di dalam hidupnya.
Secara teoritis kalau posisinya demikian maka kita dapat menduga bahwa banyak orang mencari makna kejahatan, karena asumsinya orang yang mengalami strain adalah orang yang paling mudah untuk terjebak pada perilaku menyimpang. Tapi fakta lain menunjukkan hanya sedikit orang yang kemudian melakukan kejahatan atau penyimpangan dari sekian banyak orang yang mengalami strain. Berapa jumlah masyarakat miskin atau kelompok kelas bawah di Indonesia?
Menurut data statistik sekitar 30 juta orang. Tapi faktanya yang menjadi penjahat tidak sampai 30 juta. Dari populasi di Indonesia rata-rata pelaku kejahatan itu kisaran 1-5% yang melakukan kejahatan. Kenapa kemudian tidak terjadi situasi dimana banyak orang miskin tapi tidak banyak melakukan kejahatan? Jawabannya ada pada control theory. Jadi control theory berasumsi semua orang berada pada posisi memiliki kecenderungan untuk melakukan kejahatan (siapapun itu). Jadi tidak ada orang yang tidak mempunyai potensi melakukan penyimpangan atau kejahatan, semua orang berada pada posisi yang sama. Tapi faktanya tidak semua orang yang melakukan kejahatan bahkan hanya sebagian kecil saja, kenapa demikian? Karena ada mekanisme kontrol yang bekerja dan membatasi perilaku orang (mengendalikan perilaku orang untuk tetap berada kelompok perilaku konformitas).
Oleh karena itu teori kontrol berasumsi bahwa kalau kita ingin menjelaskan kejahatan maka penjelasan itu dapat kita cari dari perilaku yang tidak jahat, kalau kita ingin mengendalikan kejahatan jangan mengutak-atik kejahatannya, tapi carilah penjelasannya kenapa orang bisa taat hukum, ada apa dan apa yang terjadi disana. Karena asumsinya perilaku menyimpang itu adalah perilaku yang alamiah (natural). Perilaku tidak menyimpang atau perilaku yang konformitas adalah perilaku yang tidak alamiah. Kejahatanlah yang akan dipaksa oleh aturan. Coba kita perhatikan begitu ada jalan lurus dan mulus, tidak ada orang yang akan memperlambat laju kendaraannya, semua akan memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi (hal itu merupakan alamiah).
Untuk memaksa orang agar tidak memacu kendaraannya kemudian dibuat tanggul (polisi tidur/ pita kejut) sehingga kemudian orang terpaksa memperlambat kendaraannya. Kita seolah-olah melihat mereka pelan itu alamiah, naum sebenarnya tidak mereka itu terpaksa untuk memperlambat kendaraannya. Seperti halnya di dalam kelas mahasiswa STIK-PTIK kalau kelas ini dibiarkan dan tidak ada aturan yang mengatakan harus menggunakan PDH, maka sudah pasti semua mahasiswa pakaiannya akan berbeda-beda. Jadi berpakaian PDH pada hari ini dan jam ini bukan perilaku alamiah. Ini adalah perilaku yang dikontrol sehingga kemudian taat semua. Jadi dalam penjelasan kontrol teori kalau ingin menjelaskan kenapa ada yang menyimpang, cari penjelasannya kenapa yang lain bisa taat hukum, ada mekanisme apa yang bekerja. Artinya kalau mekanisme itu bisa kita temukan kenapa orang lain itu taat hukum, kita dapat dengan mudah mengatakan orang yang tidak taat hukum ada mekanisme yang tidak bekerja pada dirinya.
Mekanisme tersebut bermacam-macam dan beragam, instrument yang ada dalam kehidupan sosial juga bermacam-macam. Jadi apabila mahasiswa STIK-PTIK diberikan kebebasan berpakaian dan tidak ada aturan berpakain dalam perkualiahan, mungkin saja sepatu dan bajunya akan bermacam-macam dan yang pasti sikap egoismenya akan keluar (pasti mencari yang bermerek serta ada kecenderungan untuk tidak menggunakan pakaian yang tidak bagus) pasti itu pilihannya dan itu alamiah. Kalau sampai kemudian menggunakan baju seragam, itu tidak alamiah. Ini perlu penjelasan kenapa sampai mereka menggunakan baju seragam. Penjelasannya “oh ternyata ini PUD di STIK-PTIK yang mengatakan selama perkuliahan mahasiswa wajib menggunakan pakaian PDH dengan segala kelengkapannya, apabila itu tidak digunakan maka akan ada sanksi yang dikemudian diberlakukan, sanksi itulah yang kemudian memaksa (kekhawatiran terhadap sanksi) sehingga kemudian perilaku taat itu muncul.
2.2.1. Teori Kontrol Sosial Menjelaskan Perilaku Kriminal
Teori control social merupakan suatu teori tentang penyimpangan yang disebabkan oleh kekosongan control atau pengendalian social. Teori ini dibangun atas pandangan yang mana pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan untuk tidak patuh pada hukum serta memiliki pula dorongan untuk melawan hukum. Oleh sebab itu didalam teori ini menilai bahwa perilaku menyimpang merupakan konsekuensi logis dari kegagalan dari seseorang untuk menaati hukum yang ada.
Teori kontrol sosial membahas isu-isu tentang bagaimana masyarakat memelihara atau menambahkan kontrol sosial dan cara memperoleh konformitas atau kegagalan meraihnya dalam bentuk penyimpangan (Efrank E. Hagan, 2013: 236).
Travis HIrchi yang merupakan pelopor dari teori ini mengatakan bahwa “Perilaku criminal merupakan kegagalan kelompok-kelompok social konvensional seperti; keluarga, sekolah, kawan sebaya untuk mengikat atau terikat dengan individu”. (Yesmil Anwar Adang, 2013:102).
Dalam perkembangan teori control social yang dipelopori oleh Travis HIrchi, maka ada satu ahli yang mengembangkan atas teori ini, ia mengajukan beberapa posisi teoritisnya, yaitu;
·         Bahwa berbagai bentuk pengingkaran terhadap aturan-aturan sosial adalah akibat dari kegagalan mensosialisasikan individu warga masyarakat untuk bertindak conform terhadap aturan atau tata tertib yang ada;
·         Penyimpangan dan bahkan kriminalitas atau prilaku kriminal, merupakan bukti kegagalan kelompok-kelompok sosial konvensional untuk mengikat individu agar tetap conform, seperti: keluarga, sekolah atau institusi pendidikan dan kelompok-kelompok dominan lainnya;
·         Setiap individu seharusnya belajar untuk conform dan tidak melakukan tindakan menyimpang atau kriminal;
·         Kontrol internal lebih berpengaruh daripada kontrol eksternal. (J. Dwi Nurwanto & Bagong Suyanto, 2010:116).
Studi Kasus.
Dalam menyikapi teori control social ini, tentu banyak sekali peristiwa-peristiwa yang terjadi disekitar kita terkait dengan teori ini. Berikut merupakan satu contoh akibat dari control social yang kurang;
Kasus wanita dibunuh pacarnya juga terjadi di Kampung Garedog RT1/5 Desa Rancabuaya Kecamatan Jambe, Kabupaten Tangerang. Mayat Izzun Nahdiiyah (24), Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah itu ditemukan di Jalan Ciangir, Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang, Sabtu (7/4/2012).
Pelakunya adalah kekasihnya Muhammad Soleh alias Oleng (33). Soleh tega menggorok Izzun hanya lantaran kecewa laptop yang dipinjamnya ditagih. Lebih tragis Izzun juga diperkosa secara bergiliran sebelum dibunuh. (http://www.merdeka.com/peristiwa/pembunuhan-sadis-dalam-pacaran-bukti-kontrol-sosial-kurang.html).
2.2.2. Perbedaan Pandangan Makro Sosiologi Dan Mikro Sosiologi Dalam Melihat Perilaku Kriminal
Terkait dengan aliran sosiologi dalam menyikapi tentang kriminal. Aliran ini merupakan pegembangan dari ajaran Enrico Ferri, ia mengatakan bahwa ”Setiap kejahatan adalah hasil daru unsur-unsur yang terdapat dalam individu, masyarakat dan keadaan fisik” (Yesmil Anwar Adang, 2013:55). Dan ada dua pendekatan yaitu; makro dan mikro dalam melihat perilaku kriminal pula.
Pendekatan mikro sosiologi berfokus kepada sistem informal. Sedangkan sosiologi makro dalam melihat perlaku kejahatan menjelajahi sistem formal. Eksplorasi sistem formal yang dilakukan oleh sosiologi makro dalam hal ini adalah melihat struktur masyarakat yang lebih luas. struktur masyarakat, faktor ekonomi, komposisi etnis dan pola lain yang mencirikan sebuah kelompok (Mueller, Laufer dan Grekul, 2009: 159). Sedangkan dalam menjelaskan pendekatan makro, Pendekatan makro salah satunya teori disorganisasi sosial menjelaskan bentuk daerah kejahatan tinggi yang disebabkan oleh industrialisasi yang pesat, peningkatan imigrasi dan urbanisasi (Mueller, Laufer dan Grekul, 2009: 159). Teori ini juga dekat posisinya dengan teori penyimpangan budaya karena ia menjelaskan bagaimana perbedaan budaya suatu kelompok dan juga lingkungannya berontribusi menghasilkan konfilk yang pada akhirnya berimplikasi pada peningkatan kerja kontrol sosial yang lebih kuat (Mueller, Laufer dan Grekul, 2009: 160).
Studi Kasus
Pada koteks Maraknya peredaran dan penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar dan mahasiswa khususnya di Jakarta relevan dengan pendekatan sosiologi makro. Teori disorganisasi sosial yang tergolong ke dalam pendekatan makro menjelaskan bentuk daerah kejahatan tinggi yang disebabkan oleh industrialisasi yang pesat, peningkatan imigrasi dan urbanisasi (Mueller, Laufer dan Grekul, 2009: 159). Kenaikan angka penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar dan mahasiswa di Jakarta diakibatkan oleh pembangunan kota Jakarta yang melibatkan imigrasi tanpa memperhatikan kekuatan regulasi sosial. Teori ini didasarkan kepada gagasan kontrol sosial dan bagaimana kurang bekerjanya kontrol tersebut baik formal maupun informal akan berkontribusi kepada kenakalan dan kejahatan (Mueller, Laufer dan Grekul, 2009: 159).
2.2.3. Teori Kontrol Sosial Mempengaruhi Perkembangan Teori Yang Terkait Dengan Perilaku Kriminal
Teori control social juga merupakan suatu teori kelanjutan dari beberapa teori yang menjelaskan tentang perilaku criminal, dimana dalam membahas control social kita perlu tahu yentang menenali Delinquency lalu dilanjutkan dengan teori control social dan teori labeling. Purwandari menyatakan bahwa teman sebagai salah satu objek lekat anak yang dapat mempengaruhi perilaku, dalam hal ini adalah penyalahgunaan napza, yang tergolong bentuk delinquency (2007). Oleh sebab itu kita dapat menyimpukan bahwa Deliquency merupakan perilaku yang menentang norma dan nilai atau bisa disebut sebagai kenakalan.
 Pada dasarnya, teori kontrol sosial itu merupakan teori yang berusaha mencari jawaban mengapa seseorang melakukan kejahatan. Disini terlihat berbeda dengan teori yang lainnya, dimana teori kontrol tidak lagi mempertanyakan mengapa orang melakukan kejahatan tetapi berorientasi kepada pertanyaan mengapa tidak semua orang melanggar hukum atau mengapa orang taat kepada hukum. Dan apabila ditinjau dari akibatnya, Pemunculan teori kontrol sosial ini disebabkan tiga ragam perkembangan dalam kriminologi. Pertama, adanya reaksi terhadap orientasi labeling dan konflik yang kembali menyelidiki tingkah laku kriminal. “kriminologi baru” atau “new criminology” dan hendak kembali kepada subjek semula, yaitu penjahat (criminal). Kedua, munculnya studi tentang ‘criminal justice” dimana sebagai suatu ilmu baru telah mempengaruhi kriminologi menjadi lebih pragmatis dan berorientasi pada sistem. Ketiga, teori kontrol sosial telah dikaitkan dengan suatu teknik penelitian baru, khususnya bagi tingkah laku anak/remaja, yakni selfreport survey. (Yesmil Anwar Adang, 2013102-103).
Studi Kasus
Penyalahgunaan Narkoba. Dimana hal ini terjadi merupakan akibat dari lingkungan dan pergaulan sekitarnya. Individu dalam suatu lingkungan akan melihat dan juga menerapkan apa yang dilihatnya. Apabila buruk maka individu itu akan mejadi buruk perilakunya, dan sebaliknya apabila baik, maka akan baik juga perilakunya.






















BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
·         Pada dasarnya, teori kontrol sosial itu merupakan teori yang berusaha mencari jawaban mengapa seseorang melakukan kejahatan. Disini terlihat berbeda dengan teori yang lainnya, dimana teori kontrol tidak lagi mempertanyakan mengapa orang melakukan kejahatan tetapi berorientasi kepada pertanyaan mengapa tidak semua orang melanggar hukum atau mengapa orang taat kepada hukum. Dalam teori ini, Hierschi telah memberikan gambaran mengenai empat elemen keterikatan yang saling berkaitan, yaitu : kasih sayang, tanggung jawab, keterlibatan dan keyakinan.
·         Perhatian dari orang tua kepada anak sangat diperlukan dan dapat memberikan pengaruh positif serta menumbuhkan kasih sayang dan rasa hormat anak kepada orang tuanya. Selain itu, teman juga turut bepengaruh terhadap individu untuk mengontrol perbuatannya. Tanggung jawab seseorang terhadap reputasi maupun masa depan memberikan pertimbangan kepada seseorang untuk tidak melakukan kejahatan atau pelanggaran. Adanya Keterlibatan seseorang yang menyebabkan kesibukan dalam kegiatan yang positfi atau tidak menyimpang juga turut berkontribusi mengurangi keinginan seseorang untuk berbuat jahat. Adanya keyakinan seseorang bahwa hukum dan peraturan masyarakat pada umumnya benar secara moral dan harus ditaati merupakan salah satu elemen dalam mengontrol perilaku seseorang.

3.2. Saran
Selain keluarga dan lingkungan, Polri juga dapat berperan memberikan kontribusinya dengan kegiatan PKS maupun Saka Bhayangkara serta penyuluhan oleh fungsi Binmas dalam pencegahan terjadinya tindak kejahatan maupun pelanggaran lebih dimaksimalkan lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Diakses dari : http://teorikontrolsosialrosyalina.blogspot.co.id/2016/03/teori-kontrol-sosial.html. Pada hari sabtu tanggal 21 Oktober 2017.
Diakses dari : http://kilometer25.blogspot.co.id/2012/11/kriminologi-teori-kontrol-sosial.html. Pada hari sabtu tanggal 21 Oktober 2017.
Diakses dari : http://tribratanews.polri.go.id/?p=96342. Pada hari sabtu tanggal 21 Oktober 2017.
Diakses dari : http://handreasstik66.blogspot.co.id/2015/07/teori-kontrol-kriminologi_13.html. Pada hari sabtu tanggal 21 Oktober 2017.

No comments:

Post a Comment

  KETERKAITAN TEORI KEADILAN DENGAN PAJAK AIR TANAH Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pajak air tanah adalah pajak atas pengambila...