Aliran-Aliran
Dalam Filsafat Hukum
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hukum
sebagai sebuah produk dialektika evolusioner masyarakat niscaya harus terus
berkembang dalam lingkungan zaman dan waktu, hukum yang dulu dianggap sebagai
suatu keniscayaan, lambat laun mulai ditinggalkan dan digantikan perannya oleh
hukum yang lebih relavan bagi zaman dan waktu tertentu. Namun, kajian yang
sangat menarik dalam ranah perkembangan ilmu hukum adalah; dalam perkembangan
ikmu hukum dari masa ke masa tidak terjadi suatu loncatan revolusioner sebagaimana
yang terjadi dalam ilmu eksak, hukum sebagai ilmu berkembang secara kumulatif
dan evolusi dimana perkembangan ilmu hukum tidak dapat di prediksi secara
matematis, namun harus dengan pendekatan filosofis yang juga menyangkut akan
keyakinan (faith) suatu individu/masyarakat terhadap hukum tersebut. Dalam
tulisan sederhana ini penulis akan mencoba mendeskripsikan evolusi dari
paradigma hukum yang marak berkembang dan dipakai sebagai acuan/patokan bagi
masyarakat dunia dalam berhukum.
Dimulai
dari paradigm hukum yang bersumber dari kodrat manusia sebagai makhluk
ciptaan-Nya (the nature of law), hukum sebagaimana yang ditafsirkan sebagai
kaidah resmi Negara (positivism/doctrinal), kajian hukum yang memakai metode
penalaran hukum yang menggabungkan ilmu hukum dengan anasir-anasir kekuasaan
dan pranata sosiologis masyarakat (socio legal/non-doctrinal) dan sampai kepada
teori hukum yang lahir pada periode post-modern dengan gerakan kritik ediologis
dan semangat deskontruksi hukum yang membawa angin perubahan bagi pilar-pilar
hukum didunia (critical legal studies).
Pemikiran
hukum ini berkembang dalam bentuk berbagai mahzanb yang mempunyai ciri dan
saling berdialektika dalam memecahkan problem hukum yang dihadapi pada waktu
dan tempat yang berbeda, dalam uraian selanjutnya akan diuraikan berbagai
mahzab atau aliran yang berkembang dalam filsafat hukum.
1.2.
Rumusan Masalah
Apa saja Mahzab atau Aliran-Aliran dalam
Pemikiran Filsafat Hukum?
1.3.
Tujuan Penulisan
Dapat Mengetahui macam-macam mahzab atau aliran-aliran
dalam pemikiran filsafat hukum.
PEMBAHASAN
Dalam
pembicaraan hakekat hukum yang menjadi kajian filsafat hukum, dikenal beberapa
aliran atau madzhab tentang hukum, antara lain: (1) Alaliran hukum alam, (2)
Aliran hukum positif, (3) Aliran realism hukum, dan (4) Aliran Critical Legal
Stduies
A.
Aliran
Hukum Alam
Aliran
ini disebut juga dengan aliran hukum kodrat atau Natural Law Theory , menurut aliran ini hukum dipandang sebagai
suatu keharusan alamiah (nomos), baik
semesta alam, maupun hidup manusia. Hukum itu berlaku universal dan bersifat
abadi. Pemikiran hukum alam dikembangakan oleh beberapa pakar yang ada pada
zaman Yunani dan Romawi.
Diantara
aliran hukum alam ada aliran Stoa yang
diwakili oleh Zeno (320-250 SM), yang mempunyai ajaran sebagai berikut :
1. Alam
ini diperintah oleh pikiran yang rasional.
2.
Kerasionalan alam dicerminkan oleh
seluruh manusia yang dengan kekuatan penalarannya memungkinkan menciptakan
suatu natural life yang didasarkan
pada reasonable living
3.
Hukum alam dapat di identikan
dengan moralitas tertinggi.
4.
Basis hukum adalah aturan Tuhan dan
keadaan manusiawi.
5.
Penalaran manusia dimaksudkan agar
ia dapat membedakan yang benar dari yang salah dan hukum didasarkan pada
konsep-konsep manusia tentang hak dan kewajiban.
Hukum alam dibedakan dalam dua golongan :
1. Aliran
hukum alam irasional
2. Aliran
hukum alam rasional
Menurut aliaran hukum
alam irasional bahwa hukum itu berlaku universal dan bersifat abadi dengan
mengesampingkan aspek ratio manusia. Tokoh aliran ini antara lain Thomas
Aquinas.
Menurut aliran hukum
alam rasional bahwa hukum itu berlaku universal dan bersifat abadi dengan
menekankan terhadap ratio manusia. Tokoh aliran ini antara lain Hugo Degrot.
Teori hukum alam (hukum
kodrat melingkupi pendekatan terhadap hukum yang melihat bahwa keberadaan hukum
yang ada adalah perwujudan atau merupakan fenomena tatanan hukum yang lebih
tinggi yang seharusnya ditaati. Dengan demikian pendekatan dari teori hukum
kodrat ada yang berpijak dari pandangan teologis dan sekuler.
1. Pandangan
teologis (berdasarkan ke-Tuhan-an)
Teori hukum kodrat yang dipenuhi
oleh pandangan atau yang ada, diciptakan dan diatur oleh yang maha kuasa yaitu
tuhan yang juga telah meletakan prinsip-prinsip abadi untuk mengatuur
perjalanannya alam semesta. Kitab suci menjadi sumber dari pandangan semacam
ini. Semua hukum yang diciptakan oleh manusia karena itu harus sesuai dengan
hukum Tuhan seperti yang digariskan
dalam kitab suci (mengesampingkan aspek ratio manusia).
2. Pandangan
sekuler (berdasarkan ratio)
Pandangan ini didasari keyakinan
bahwa manusia (kemampuan akal budinya) dan dunianya (masyarakat) menjadi sumber
bagi tatanan moral yang ada. Tatanan moral yang ada menjadi manifestasi tatanan
moral dalam diri dan masyarakat manusia. Keutamaan moral tidak ada dalam sabda
Tuhan yang tertulis dalam kitab suci tetapi dalam hati kehidupan sehari-hari
manusia. Hukum itu berlaku secara universal dan bersifat abadi dengan
menekankan pada aspek ratio manusia. Aliran hukum alam yang rational disebut
pula aliran hukum alam yang modern.
Ada
yang mengatakan bahwa hukum alam pada dasarnya bukanlah sesuatu aturan jenis
hukum, melainkan merupakan kumpulan ide atau gagasan yang keluar dari pendapat
para ahli hukum, kemudian diberikan sebuah label yang bernama hukum alam.
Menurut pandangan Satjipto Rrahardjo, bahwa istilah hukum alam ini didatangkan
dalam berbagai arti oleh berbagai kalangan dan pada masa yang berbeda-beda
pula. Dengan demikian hakikat hukum alam merupakan hukum yang berlaku universal
dan abadi. Sebab menurut Friedmann, sejarah hukum alam adalah sejarah umat
manusia dalam usahanya untuk menemukan apa yang disebut absolut justice (keadilan yang mutlak) disamping kegagalan manusia
dalam mencari keadilan. Pengertian hukum alam berubah-ubah sesuai dengan
perubahan pola piker masyarakat dan keadaan politik dijaman itu.
Penulis
tidak mungkin membahas secara khusus keseluruhan pendapat para tokoh dan pakar
hukum dalam makalah ini, olehnya itu penulis akan mengelompokkan tokoh dan pakar
itu menurut zamannya, dan bagi pembaca yang ingin mendalami persoalan hukum
alam ini secara khusus, dapat mencarinya pada literatur-literatur lain yang
membahasnya secara lebih terinci:
a. Tokoh-tokoh
hukum alam Yunani, antara lain: Socrates, Plato, Aristoteles.
b. Tokoh-tokoh
hukum alam Romawi, antara lain: Cicero, Gaius.
c. Tokoh-tokoh
hukum alam abad pertengahan, antara lain: Augustine, Isidore, Thomas Aquinas,
William of Occam.
d. Tokoh-tokoh
hukum alam diabad keenam belas hingga kedelapaan belas antara lain :Jhon Locke,
Montesquieu, Rousseau.
e. Tokoh-tokoh
Idealisme Transendental, antara lain: Kant, Hegel.
f. Tokoh-tokoh
kebangkitan kembali hukum alam, antara lain adalah: Kholer, Stammler, Leon
Duguit, Geny, Dabin, Le Fur, Rommen, Maritain, Renard, Gustaw, Radhbuch, Del
Vecchio, Fuller, Recasens Sinches.
B.
Aliran
Hukum Positif (Positivisme)
Istilah
Positivisme berasal dari kata “ponere”
yang berati meletakan, kemudian menjadi bentuk pasif “pusitus-a-um” yang berate diletakan. Dengan demikian, positivism
menujukan pada sebuah sikap atau pemikiran yang meletakan pandangan dan
pendekatannya pada sesuatu. Umumnya positivism bersifat empiris.
Positivime
hukum (aliran hukum positif) memandang perlu memisahkan secara tegas antara
hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum, antara das sein dan das sollen). Dalam kacamata positivism tiada hukum lain kecuali
pemerintah penguasa (law is command of
the lawgivers). Bahkan, bagian dari aliran hukum positif yang dikenal
dengan nama legisme, berpendapat lebih tegas, bahwa hukum itu identik dengan
undang-undang.
Positivisme
hukum melihat bahwa yang terutama dalam melihat hukum adalah fakta bahwa hukum
diciptakan dan diberlakukan oleh orang-orang tertentu didalam masyarakat yang
mempunyai kewenangan untuk membuat hukum. Sumber dan validitas atas norma hukum
bersumber pada kewenangan tersebut.
Menurut
aliran ini, hukum adalah norma-norma yang diciptakan atau bersumber dari
kewenangan yang formal atau informal dari lembaga yang berwenang untuk itu atau
lembaga pemerintahan yang tertinggi dalam sebuah komunitas.
Aliran
ini berpandangan hukum identik dengan undang-undang, yaitu aturan yang
beralaku. Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang. Menurut aliran ini
hukum itu merupakan perintah penguasa dan kehendak dari Negara. Sumber
pemikirannya adalah logika, yaitu suatu cara berpikir manusia yang didasarkan
pada teori-teori kemungkinan (kearah kebenaran).
Dalam
aliran hukum positif ini penulis akan memberikan definisi dari beberapa tokoh
yang menganut aliran positif ini, salah satu diantaranya yaitu :
1. Aliran
Hukum Positif Analitis: John Austin (1790-1859)
Hukum adalah perintah dari penguasa
Negara. Hakikat hukum sendiri, menurut Austin, terletak pada unsur “perintah”
itu. Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap, logis, dan tertutup.
Dalam bukunya The Province of
Jurisprudence obliges a person or person… “A law is a commandans are said to
proceed from superiors, and to bind or oblige inferiors.”
Austin pertama-tama membedakan
hukum dalam dua jenis : (1) hukum dari Tuhan untuk manusia (the divine laws),
dan (2) hukum yang dibuat oleh manusia. Mengenai hukum yang dibuat oleh manusia
ini dapat dibedakan lagi dalam: (1) hukum yang sebenarnya, dan (2) hukum yang
tidak sebenarnya. Hukum dalam arti yang sebenarnya ini (disebut juga hukum
positif) meliputi hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum yang disusun oleh
manusia secara individu untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya.
Hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum
yang tidak dibuat oleh penguasa, sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai
hukum, seperti ketentuan dari suatu organisasi olahraga. Hukum yang sebenarnya
memiliki empat unsur, yaitu: (1) perintah (commandan), (2) sanksi (sanction),
(3) kewajiban (duty), dan (4) kedaulatan (sovereighnty).
2. Menurut
L. A Hart, ada lima pengertian dari hukum positif, yaitu:
1. Bahwa
undang-undang adalah perintah-perintah manusia.
2. Bahwa
tidak perlu ada hubungan antara hukum dengan moral atau hukum yang ada dan yang
seharusnya ada.
3. Bahwa
analisis (atau studi tentang arti) dari konsepsi tentang hukum: (a) layak
dilanjutkan, dan (b) harus dibedakan dari penelitian historis mengenai sebab
atau asal usul undang-undang dari penelitian sosiologis mengenai hubungan hukum
dengan gejala sosial lainnya dan kritik atau penghargaan hukum mengenai arti
moral, tuntutan social, serta fungsi-fungsinya.
4. Bahwa
sistem hukum adalah suatu sistem logis tertutup yang menghasilkan putusan hukum
yang tepat dengan cara-cara yang logis dari peraturan hukum yang telah ada
lebih dahulu tanpa mengingat tuntutan sosial, kebijaksanaan norma-norma moral.
5. Bahwa penilaian-penilaian moral tidak dapat
diberikan atau dipertahankan, seperti halnya dengan pertanyaan tentang fakta,
dengan alasan yang rasional, petunjuk, atau bukti (noncognitivisme dalam
etika).
3. Aliran
Hukum Murni: Hans Kelsen. Inti ajaran Hans Kelsen menurut Friedmann (1881-1973) adalah:
1. Tujuan
teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan, adalah untuk mengurangi kekacauan
dan kemajemukan menjadi kesatuan;
2. Teori
hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai hukum
yang seharusnya;
3. Hukum
adalah ilmu pengetahuan normative, bukan alam;
4. Teori
hukum sebagai teori tentang norma-norma hukum menata, mengubah isi dengan cara
yang khusus;
5. Teori
hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara
yang khusus;
6. Hubungan
antara teori hukum dan sistem yang khas dari hukum positif ialah hubungan apa
yang mungkin dengan hukum yang nyata.
Aliran ini dibedakan menjadi:
1.
Analitical
Jurisprudence;
2. Reine Rechtheer
(ajaran hukum murni).
Analitical
Jurisprudence adalah dalam filsafat hukum yang beranggapan bahwa hukum itu
merupakan perintah penguasa semata-mata. Tokohnya antara lain John Austin.
Aliran Ajaran Hukum
Murni adalah aliran yang beranggapan bahwa hukum itu harus dibersihkan dari
seluruh unsur-unsur non yuridis (maksudnya dibersihkan dari unsur-unsur etis
atau moral, sosiologis, ekonomis dan politis).
C.
Aliran
Realis (Realisme)
Realisme
secara etimologis berasal dari bahasa latin “res”
yang artinya benda atau sesuatu. Secara umum realisme dapat diartikan sebagai
upaya melihat segala sesuatu sebagaimana adanya tanpa idealisasi, spekulasi
atau idolisasi. Ia berupaya untuk menerima fakta-fakta apa adanya, betapapun
tidak menyenangkan.
Pandangan aliran realism dalam kontek hukum,
melihat bahwa hukum itu dipandang dan diterima sebagaimana apa adanya, tanpa
identitasi dan spekulasi atas hukum yang bekerja dan berlaku.
Aliran realism
hukum merupakan satu sub aliran (pecahan) dari aliran positivisme hukum yang
dipelopori antara lain oleh John Chipman. Roescoe Pound melalui pendapatnya
bahwa aliran hukum itu merupakan a tool
of social engineering dapat digolongkan kepada aliran ini.
Aliran realisme
hukum mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Realisme
bukanlah suatu aliran/madzhab. Realisme adalah suatu gerakan dalam cara
berpikir dan cara bekerja tentang hukum.
2. Realisme
adalah suatu konsepsi mengenai hukum yang berubah-ubah dan sebagai alat untuk
mencapai tujuan maupun hasilnya. Hal ini berarti bahwa keadaan sosial lebih
cepat mengalami perubahan dari pada hukum.
3. Realisme
mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara antara sollen dan sein untuk keperluan
suatu penyilidikan agar penyelidikan itu mempunyai tujuan maka hendaknya diperhatikan
adanya nilai-nilai dan observasi terhadap nilai-nilai itu haruslah seumum
mungkin dan tidak boleh dipengaruhi oleh kehendak observer
da tujuan kesusilaan.
4. Realisme
tidak mendasarkan pada konsep hukum tradisonal karena realisme bermaksud
melakukan apa yang dilakukan sebenarnya oleh pengadilan dan orang-orangnya.
Untuk itu dirumuskan definisi dalam peraturan yang merupakan ramalan umum
tentang apa yang akan dikerjakan oleh pengadilan. Berdasarkan keyakinan ini,
realisme menciptakan penggolongan perkara dan keadaan hukum yang lebih kecil
jumlahnyan dan jumlah pengglongan yang ada pada masa lampau.
5. Gerakan
realisme menekankan pada perkembangan setiap bagian hukum haruslah diperhatikan
dengan seksama mengenai akibatnya.
Menurut Karl Llwellyn,
salah satu seorang tokoh aliran ini, bahwa hukum harus diterima sebagai suatu
yang terus menerus berubah, hukum bukan suatu yang statis. Tujuan hukum harus
senantiasa dikaitkan dengan tujuan masyarakat dimana hukum itu berada.
Masyarakat selalu berproses yang terus menerus berubah secara kesinambungan.
Oleh karena itu perubahan hukumpun merupakan sesuatu yang esensial dan
diperlukan penekanan pada evaluasi hukum terhadap dampaknya pada masyarakat.
Dalam pandangan lain
menurut Oliver Wendell Holmes, salah satu tokoh aliran ini, hukum adalah apa
yang akan diputus oleh pengadilan. Jadi menurut Holmes hukum adalah perilaku
actual para hakim (patterns of behavior)
yang ditentukan oleh tiga factor :
1. Kaidah-kaidah
hukum yang konkretkan oleh hakim dengan metode interpretasi dan kontruksi;
2. Moral
hidup pribadi hakim
3. Kepentingan
sosial.
Dalam kajian aliran
realisme ada dua pandangan, yaitu pandangan pakar-pakar realisme Amerika
Serikat dan yang kedua pakar- pakar realisme Skandinadiva. Tokoh-tokoh realisme Amerika Serikat adalah :
1. Oliver
Wendell Holmes (1841-1935)
2. Jerome
Frank (1889-1957)
3. Benjamin
N. Cardoso (1870-1938)
4. Karl
Nickerson Llwllyn (1893-1962)
Tokoh-tokoh aliran realisme Skandinvia antara
lain: Lundstedt, Hagerstrom, Ilivecrona, dan Ross.
D.
Aliran Critical (posmodern) Legal Studies
Critical
(posmodern) Legal Studies hadir sekitar
tahun 1977 sebagai respon atas terjadinya pergulatan panjang di lingkungan ilmu
hukum khususnya adanya pertentangan antara teori positivisme hukum dan teori
realisme hukum di AS. Critical Legal
Studies menjadi pilihan epistimologis untuk menjawab tantangan
ditengah-tengah kedua paradigma hukum tersebut. Slogan paling terkenal dalam Critical legal Studies adalah hukum tak
bebas nilai, dan tak netral. Slogan seperti itu menjadi visi Critical Legal Studies karena dua
paradigma hukum yang bergulat pada saat itu, yakni teori positivisme hukum dan
teori realisme hukum tidak mampu menjawab tentang kebutuhan hukum dalam
menghadapi tuntutan kaum minoritas tertindas, menguatnya pluralisme, HAM,
anti-diskriminasi, dan kebebasan.
Bagi aliran hukum kritis ini bahwa hukum yang digunakan oleh hukum modern
sebagai wujud demokrasi dan pasar adalah bohong dan tak pernah ada. Hukum yang
bagi hukum modern sudah built in
dengan demokrasi das sollen-nya sama
halnya dengan hukum responsif, namun das
sein-nya pada pembentukan hukum formal dalam pencaturan politik senantiasa
melalui prosedur tarik menarik atau tawar menawar kepentingan pihak-pihak yang
tergabung dalam otoritas yang berwenang itu. Fokus sentral dari Critical Legal Studies adalah untuk
mendalami dan menganalisis keberadaan doktrin-doktrin hukum, pendidikan hukum,
dan praktek institusi hukum yang menopang dan mendukung sistem
hubungan-hubungan yang oppressive dan
tidak egaliter. Teori kritis untuk mengembangkan alternative radikal dan untuk
menjajaki peran hukum dalam menciptakan hubungan politik, ekonomi dan sosial
yang dapat dorongan terciptanya emansipasi kemanusiaan.
Sesungguhnya Critical Legal Studies
tetap mengakui pentingnya norma-norma hukum dalam proses baik pembentukan hukum
(in abstraco) maupun penyelesaian
sengketa (law inconcreto). Ini
berarti Critical Legal Studies
mengakui pentingnya penguasaan yang baik terhadap materi-materi hukum berupa
norma atau kaidah-kaidah hukum (disebut relasi internal) terlebih dahulu
sebelum mengaitkannya dengan realitas hubungan sosial, politik, ekonomi dan
budaya (relasi internal).
Ifdal Kasim menyebutkan bahwa banyak varian arus pemikiran paradigmatic dan
politis penganut Critical Legal Studies
di Amerika, jika disederhanakan diwakili oleh tiga arus pemikiran
berturut-turut:
1.
Arus pemikiran yang diwakili oleh Roberto M. Unger menekankan dua paradigma
yang saling bersaing dalam mengkritisi paradigm hukum liberal (liberal legalism paradigm) yakni
paradigm konflik dan paradigm consensus.
2.
Arus pemikiran yang diwakili oleh David Kaiyrs mewarisi tradisi hukum Marxis
atau tepatnya kritik Marxis] terhadap hukum liberal yang dipandang hanya melayani sistem kapitalisme.
3.
Arus pemikiran yang diwakili oleh Duncan Kennedy, menggunakan metode “eklitis”
yang membaurkan sekaligus prespektif strukturalis, fenomenologis dan
neo-marxis.
Meskipun
kelompok-kelompok Critical Legal Studies
berbeda orientasi politik dan metode ilmiah yang digunakan, tetapi mereka
memiliki kesamaan pemikiran dalam mengkritisi paradigm liberal legalisme dari
‘hukum modern” yang berwatak liberal. Inti pemikirannya adalah:
·
Menolak paham liberalism yang hanya berorientasi pada kepentingan kaum
kapiltalis (pemilik modal)
·
Hukum positif baik peraturan perundang undangan, maupun dalam penerapannya
merupakan produk politik, karena itu hukum tidak obyektif dan tidak pernah
netral dari kepentingan politik.
·
Doktrin Rule of Law dengan
prinsip equality before the law
hanyalah ilusi yang tidak pernah menjadi realitas dalam masyarakat, karena
sejatinya masyarakat modern berada dalam kesenjangan sosial, ekonomi, politik,
ada kaum miskin, minoritas, elit penguasa sehingga praktek menunjukkan bahwa
hukum menguntungkan para elit dan kapitalis.
·
Analisis-analisis paradigm legalisme liberal mengaburkan realitas dan lebih
mengutamakan prosedur formal, sehingga melahirkan keputusan keputusan yang
seolah-olah adil (keadilan procedural)
·
Tidak ada interpretasi atau penafsiran terhadap doktrin hukum tetapi
penafsiran paradigm legalisme liberal selalu bersifat subyektif dan kental
muatan politik.
Kritik terhadap
teori hukum sangat penting untuk mengkonstruksikan kembali teori hukum agar
lebih lengkap dan komprehensif. Pendek kata kritik terhadap teori hukum harus
mampu mendekonstruksikan teori hukum agar tetap relevan dalam “menangkap”
kebutuhan masyarakat terhadap hukum. Sehubungan dengan hal ini Cotterrell
memberikan gambaran tentang bagaimana seharusnya mengkritisi teori hukum,
yaitu:
·
Pertama; suatu teori tidak dapat
ditujukan untuk menghasilkan suatu konsep tunggal yang bersifat universal
mengenai peta hukum (map of law);
banyaknya yang dapat dihasilkan tergantung dari penyusunan peta hukum tersebut.
Harapannya adalah suatu saat dapat dibangun teori yang terintegrasi dengan
perluasan wawasan tentang perbedaan pandangan yang diakui dan sah.
·
Kedua; landasan kekuasaan yang berasal
dari teori hukum normatif melekat karakteristik kontroversial, di satu sisi
bersifat mistis dan di sisi lain berada di luar jangkauan hukum di mana para
ahli hukum pun tidak dapat memahaminya.
·
Ketiga; persoalan mengenai hukum sebagai
satu kesatuan yang sistemik dan terstruktur perlu direnungkan kembali. Bagi
para ahli hukum, doktrin hukum memerlukan sesuatu yang melembaga dan
terstruktur, dan seharusnya teori hukum normatif telah direncanakan dan dirasionalisasikan
untuk menemukan hal ini.
·
Keempat; mengenai penafsiran hukum.
Diperlukan pendalaman mengenai komunitas penafsiran, bagaimana mereka bekerja
dan bagaimana kekuasaan memberikan suatu
penafsiran yang mengikat sebagai hukum.
·
Kelima; selama penilaian mengenai
kesusilaan dipisahkan dari norma hukum, maka selama itu hubungan antara hukum
dan kesusialaan tetap tidak jelas. Hukum kontemporer yang digambarkan aliran
post-modernisme adalah ethically barren,
dan kesusilaan seperti itu diciptakan oleh hukum. Makna kesusilaan dalam hukum
saat ini tampak sangat bermasalah sehingga diperlukan klarifikasi tentang makna
senyatanya dalam konteks isu etika yang muncul dalam hubungan antara manusia
dan dalam kerangka kesusilaan yang tersedia untuk mengakomodasi kehidupan
masyarakat masa kini”.
Gambaran diatas
menunjukkan bahwa teori hukum tidak harus menjadi satu konsep yang baku dan
berlaku terus menerus untuk menjawab segala persoalan masyarakat. Kritik
terhadap teori hukum menunjukkan bahwa teori hukum tetap akan terus berkembang
sejalan dengan perkembangan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Oleh sebab itulah
keberadaan Critical Legal Studies dapat
dikatakan teori baru di bidang hukum sejalan dengan tumbuhnya pemikiran
postmodernisme di bidang filsafat yang melakukan kritik-kritik atas gambaran
dunia (world view), kritik
epistimologis dan ideologi-ideologi modern.
Kelebihan
critical legal studies terdiri dari berbagai macam pemikiran yang dikemukakan
oleh banyak ahli hukum. Pemikiran-pemikiran tersebut bervariasi dari pemikiran
yang bercirikan marxian ortodok sampai pada pemikiran post-modern. Ada beberapa
kesepahaman antara pemikiran-pemikiran tersebut, yaitu ketidakpercayaan
terhadap netralitas hukum, struktur sosial yang hierarkhis dan didominasi
ideologi kelompok tertentu, dan keinginan untuk merombak struktur sosial.
Kekritisan critical legal studies dalam memahami realitas sosial dan tata hukum
serta komitmen untuk mengembangkan teori hukum berdasarkan praksis sosial untuk
merombak struktur sosial yang hierarkhis adalah kelebihan utama critical legal
studies. Kekuatan ini diwujudkan dalam bentuk analitis kritis terhadap tata
hukum, nilai-nilai dan rasio-rasio hukum yang digunakan oleh para hakim yang
selama ini disebut netral dan benar secara obyektif.
Kelebihan lain
dari critical legal studies adalah perhatiannya yang sangat besar erhadap
pengakuan individu sebagai subyek kehendak utama dalam tatanan sosial.
Kelebihan ini seperti membangkitkan kembali pandangan eksistensialis Kant-ian
yang akhir-akhir tergerus oleh gelombang modern dan industri sehingga
menimbulkan keterasingan individu subyektif karena tersedot arus budaya massa
yang abstrak. Namun teori ini tidak terlepas dari berbagai kekurangan.
Sebagaimana pemikiran kritis, apabila tidak digunakan secara tepat dengan
mengingat tujuan dan batas penggunaan, kritisisme bisa berujung pada nihilisme.
Atau paling tidak terjebak pada lingkaran kritik tanpa ujung dalam tingkatan
wacana sehingga melupakan tugas praktis terhadap masyarakat.
Kelemahan lain
adalah dari sifat asli pemikiran kritis yang selalu dalam dirinya sendiri
melakukan dekonstruksi sehingga perubahan dan gejolak selalu terjadi. Padahal
realitas masyarakat selalu cenderung mempertahankan nilai-nilai dan tatanan
lama dan hanya mengijinkan perubahan yang tidak terasa. Akibatnya critical
legal studies sangat sulit menjadi mainstream pembangunan hukum. Tugas utama
critical legal studies adalah melancarkan kritik untuk perubahan yang dilakukan
oleh orang lain.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dalam kajian filsafat
hukum, dikenal beberapa aliran atau madzhab tentang hukum, antara lain:
1. Alaliran
hukum alam disebut juga dengan aliran hukum kodrat atau Natural
Law Theory , menurut aliran ini hukum dipandang sebagai suatu keharusan alamiah
(nomos), baik semesta alam, maupun hidup manusia.
2. Aliran
hukum positif, memandang perlu memisahkan secara tegas
antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum, antara das sein
dan das sollen). Dalam kacamata positivism tiada hukum lain kecuali pemerintah
penguasa (law is command of the lawgivers). Bahkan, bagian dari aliran hukum
positif yang dikenal dengan nama legisme, berpendapat lebih tegas, bahwa hukum
itu identik dengan undang-undang.
3. Aliran
realism hukum, diartikan sebagai upaya melihat segala
sesuatu sebagaimana adanya tanpa idealisasi, spekulasi atau idolisasi. Ia
berupaya untuk menerima fakta-fakta apa adanya, betapapun tidak menyenangkan.
4. Aliran
Critical Legal Stduies adalah untuk mendalami dan menganalisis
keberadaan doktrin-doktrin hukum, pendidikan hukum, dan praktek institusi
hukumyang menopang dan mendukung sistem hubungan-hubungan yang oppressive dan
tidak egaliter.
3.2.
Saran
Hukum
dapat diartikan macam-macam, demikian juga tujuan hukum. Setiap aliran
berangkat dari argumentasinya sendiri. Akhir-nya, pemahaman terhadap
aliran-aliran tersebut akan membuat wawasan kita makin kaya dan terbuka dalam
memandang hukum dan masalah-masalahnya. Dan penulis berharap semoga makalah ini
berguna bagi yang membacanya.
DAFTAR
PUSTAKA
Diakses
dari file:///C:/Users/USER/Downloads/Makalah%20Filsafat%20
Hukum%20(Aliran-Aliran%20(Madzhab)%20dalam%20Hukum%20Filsafat%20
Hukum%20Puspa%20Dwi%20Labarina%20_%20puspa%20dwi%20labarina%20-%20Academia.edu.html
. Pada hari Sabtu tanggal 14 Oktober
2017.
No comments:
Post a Comment