Sunday, 23 September 2018

UNDANG-UNDANG N0. 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN


RESUME PERANCANGAN PERUNDANG-UNDANGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG N0. 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN
A. PROLEGNAS
Program Legislasi Nasional yang selanjutnya disebut Prolegnas adalah instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. (Pasal 1 angka 9)
B. PROLEGDA
Program Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut Prolegda adalah instrumen perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. (Pasal 1 angka 10)
C. NASKAH AKADEMIK
Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. (Pasal 1 angka 11)
Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang- Undang dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik, yang tercantum dalam Lampiran I dari Undang-Undang No. 12 Tahun 2017 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Rancangan Undang-Undang, baik yang berasal dari DPR maupun Presiden serta yang diajukan DPD kepada DPR disusun berdasarkan Prolegnas.
D. Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD tidak harus disertai Naskah Akademik
Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR atau Presiden, serta dapat berasal dari DPD, harus disertai Naskah Akademik. Tetapi tidak berlaku bagi Rancangan Undang-Undang berdasarkan Pasal 43 ayat (3)  mengenai:
a.       Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b.      penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang; atau
c.       pencabutan Undang-Undang atau pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Namun disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur.
E. Penyusunan  Undang-Undang
Pengajuan RUU
1. Pengajuan RUU dari DPR
Rancangan Undang-Undang dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi atau DPD. Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi, yang akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan DPR. Rancangan Undang-Undang dari DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden. Kemudian Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas Rancangan Undang-Undang bersama DPR dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima.  Dimana Menteri akan mengoordinasikan persiapan pembahasan dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
2. Pengajuan RUU dari Presiden
Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya.  Dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang, menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian terkait membentuk panitia antar kementerian dan/atau antar non-kementerian.  Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Ketentuan lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Presiden.
Rancangan Undang-Undang dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR. Surat Presiden memuat penunjukan menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang bersama DPR. Kemudian DPR mulai membahas Rancangan Undang-Undang dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat Presiden diterima. Untuk keperluan pembahasan Rancangan Undang- Undang di DPR, menteri atau pimpinan lembaga pemrakarsa memperbanyak naskah Rancangan Undang-Undang tersebut dalam jumlah yang diperlukan.
Apabila dalam satu masa sidang DPR dan Presiden menyampaikan Rancangan Undang-Undang mengenai materi yang sama, yang dibahas adalah Rancangan Undang-Undang yang disampaikan oleh DPR dan Rancangan Undang-Undang yang disampaikan Presiden digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.
3. Pengajuan RUU dari DPD
Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh DPD adalah  Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan: otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, dan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Rancangan Undang-Undang dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan harus disertai Naskah Akademik. Usul Rancangan Undang-Undang akan disampaikan oleh pimpinan DPR kepada alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi untuk dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang. Alat kelengkapan dalam melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang dapat mengundang pimpinan alat kelengkapan DPD yang mempunyai tugas di bidang perancangan Undang-Undang untuk membahas usul Rancangan Undang-Undang. Sedangkan Alat kelengkapan dalam menyampaikan laporan tertulis mengenai hasil pengharmonisasian kepada pimpinan DPR untuk selanjutnya diumumkan dalam rapat paripurna.
Pembahasan Rancangan Undang-Undang
Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. Pembahasan Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan: otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, dan perimbangan keuangan pusat dan daerah, dilakukan dengan mengikutsertakan DPD.
Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan hanya pada pembicaraan tingkat I, yang diwakili oleh alat kelengkapan yang membidangi materi muatan Rancangan Undang-Undang yang dibahas. DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan terdiri atas:
1.      Pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus.
Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut:
a.       pengantar musyawarah;
b.      pembahasan daftar inventarisasi masalah; dan
c.       penyampaian pendapat mini.
Dalam pengantar musyawarah  DPR memberikan penjelasan dan Presiden menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang- Undang berasal dari DPR dan menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD berasal dari DPR.
Daftar inventarisasi masalah diajukan oleh Presiden jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR atau DPD jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden dengan mempertimbangkan usul dari DPD sepanjang terkait dengan kewenangan DPD. Presiden memberikan penjelasan dan fraksi memberikan pandangan jika Rancangan Undang- Undang berasal dari Presiden, serta fraksi dan DPD dapat menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD berasal dari Presiden.
Penyampaian pendapat mini disampaikan pada akhir pembicaraan tingkat I oleh fraksi dan DPD, jika Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan kewenangan DPD,  serta Presiden. Dalam hal DPD tidak menyampaikan  dan/atau tidak menyampaikan pendapat mini dalam pembicaraan tingkat I tetap dilaksanakan. Dalam pembicaraan tingkat I dapat diundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain jika materi Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga lain.
2.      Pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna
Pembicaraan tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna   dengan kegiatan:
a.       penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I;
b.      pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta
c.       oleh pimpinan rapat paripurna; dan
d.      penyampaian pendapat akhir Presiden yang dilakukan oleh menteri yang ditugasi.
Dalam hal persetujuan tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak. Apabila Rancangan Undang-Undang tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, Rancangan Undang-Undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu berdasarkan pasal 69 ayat (3).  Rancangan Undang-Undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPR dan Presiden, sedangkan yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPR dan Presiden yang diatur  lebih lanjut dengan Peraturan DPR.
Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang. Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang dilaksanakan melalui mekanisme khusus yang dikecualikan dari mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang, dengan tata cara sebagai berikut: Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang diajukan oleh DPR atau Presiden yang diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden, dan Pengambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut.
Pengesahan Rancangan Undang-Undang
Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Penyampaiannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
Rancangan Undang-Undang yang disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. Apabila tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama, tetap sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan berdasarkan Pasal 73 ayat (2).
Dalam hal sahnya Rancangan Undang-Undang, kalimat pengesahannya berbunyi: Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kalimat pengesahan harus dibubuhkan pada halaman terakhir Undang-Undang sebelum pengundangan naskah Undang-Undang ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Dalam setiap Undang-Undang harus dicantumkan batas waktu penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya sebagai pelaksanaan Undang- Undang tersebut. Penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya yang diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak atas perintah suatu Undang-Undang dikecualikan berdasarkan Pasal 73 ayat (2).
Pengundangan
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya berdasarkan Pasal 81 dalam: Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah dan Tambahan Lembaran Daerah atau Berita Daerah. Yang dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

No comments:

Post a Comment

  KETERKAITAN TEORI KEADILAN DENGAN PAJAK AIR TANAH Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pajak air tanah adalah pajak atas pengambila...