RESUME
PERANCANGAN PERUNDANG-UNDANGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG N0. 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN
A.
PROLEGNAS
Program Legislasi Nasional yang selanjutnya disebut
Prolegnas adalah instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang
disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. (Pasal 1 angka 9)
B. PROLEGDA
Program Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut
Prolegda adalah instrumen perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah
Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang disusun secara terencana,
terpadu, dan sistematis. (Pasal 1 angka 10)
C. NASKAH
AKADEMIK
Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau
pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah
tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi
terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. (Pasal 1 angka 11)
Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang- Undang
dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik, yang tercantum dalam
Lampiran I dari Undang-Undang No. 12 Tahun 2017 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan dan Rancangan
Undang-Undang, baik yang berasal dari DPR maupun Presiden serta yang diajukan
DPD kepada DPR disusun berdasarkan Prolegnas.
D.
Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD tidak harus
disertai Naskah Akademik
Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR atau
Presiden, serta dapat berasal dari DPD, harus disertai Naskah Akademik. Tetapi
tidak berlaku bagi Rancangan Undang-Undang berdasarkan Pasal 43 ayat (3) mengenai:
a.
Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara;
b.
penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang; atau
c.
pencabutan
Undang-Undang atau pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Namun disertai dengan keterangan yang memuat pokok
pikiran dan materi muatan yang diatur.
E. Penyusunan
Undang-Undang
Pengajuan RUU
1. Pengajuan RUU dari DPR
Rancangan Undang-Undang dari DPR diajukan oleh anggota
DPR, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPR yang khusus menangani
bidang legislasi atau DPD. Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan
konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR dikoordinasikan oleh
alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi, yang akan diatur
lebih lanjut dengan Peraturan DPR. Rancangan Undang-Undang dari DPR disampaikan dengan
surat pimpinan DPR kepada Presiden. Kemudian Presiden menugasi menteri yang
mewakili untuk membahas Rancangan Undang-Undang bersama DPR dalam jangka waktu
paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima. Dimana Menteri akan mengoordinasikan
persiapan pembahasan dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang hukum.
2. Pengajuan RUU dari Presiden
Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden
disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian sesuai
dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. Dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang,
menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian terkait membentuk
panitia antar kementerian dan/atau antar non-kementerian. Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan
konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden dikoordinasikan
oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Ketentuan lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Presiden.
Rancangan Undang-Undang dari Presiden diajukan dengan
surat Presiden kepada pimpinan DPR. Surat Presiden memuat penunjukan menteri
yang ditugasi mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan Rancangan
Undang-Undang bersama DPR. Kemudian DPR mulai membahas Rancangan Undang-Undang
dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat
Presiden diterima. Untuk keperluan pembahasan Rancangan Undang- Undang di DPR,
menteri atau pimpinan lembaga pemrakarsa memperbanyak naskah Rancangan
Undang-Undang tersebut dalam jumlah yang diperlukan.
Apabila dalam satu masa sidang DPR dan Presiden
menyampaikan Rancangan Undang-Undang mengenai materi yang sama, yang dibahas
adalah Rancangan Undang-Undang yang disampaikan oleh DPR dan Rancangan
Undang-Undang yang disampaikan Presiden digunakan sebagai bahan untuk
dipersandingkan.
3. Pengajuan RUU dari DPD
Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh DPD
adalah Rancangan Undang-Undang yang
berkaitan dengan: otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, dan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Rancangan Undang-Undang dari DPD disampaikan secara
tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan harus disertai Naskah
Akademik. Usul Rancangan Undang-Undang akan disampaikan oleh pimpinan DPR kepada
alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi untuk dilakukan pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang. Alat kelengkapan
dalam melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
Rancangan Undang-Undang dapat mengundang pimpinan alat kelengkapan DPD yang mempunyai
tugas di bidang perancangan Undang-Undang untuk membahas usul Rancangan
Undang-Undang. Sedangkan Alat kelengkapan dalam menyampaikan laporan tertulis
mengenai hasil pengharmonisasian kepada pimpinan DPR untuk selanjutnya diumumkan
dalam rapat paripurna.
Pembahasan Rancangan Undang-Undang
Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan oleh DPR
bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. Pembahasan Rancangan
Undang-Undang yang berkaitan dengan: otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, dan perimbangan keuangan
pusat dan daerah, dilakukan dengan mengikutsertakan DPD.
Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan
Undang-Undang dilakukan hanya pada pembicaraan tingkat I, yang diwakili oleh
alat kelengkapan yang membidangi materi muatan
Rancangan Undang-Undang yang dibahas. DPD memberikan pertimbangan kepada DPR
atas Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan
Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2
(dua) tingkat pembicaraan terdiri atas:
1.
Pembicaraan
tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi,
rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus.
Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan kegiatan
sebagai berikut:
a.
pengantar
musyawarah;
b.
pembahasan
daftar inventarisasi masalah; dan
c.
penyampaian
pendapat mini.
Dalam pengantar musyawarah DPR memberikan penjelasan dan Presiden
menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang- Undang berasal dari DPR dan menyampaikan
pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD
berasal dari DPR.
Daftar inventarisasi masalah diajukan oleh Presiden
jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR atau DPD jika Rancangan
Undang-Undang berasal dari Presiden dengan mempertimbangkan usul dari DPD
sepanjang terkait dengan kewenangan DPD. Presiden memberikan penjelasan dan
fraksi memberikan pandangan jika Rancangan Undang- Undang berasal dari
Presiden, serta fraksi dan DPD dapat menyampaikan pandangan jika Rancangan
Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD berasal dari Presiden.
Penyampaian pendapat mini disampaikan pada akhir pembicaraan
tingkat I oleh fraksi dan DPD, jika Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan
kewenangan DPD, serta Presiden. Dalam
hal DPD tidak menyampaikan dan/atau
tidak menyampaikan pendapat mini dalam pembicaraan tingkat I tetap
dilaksanakan. Dalam pembicaraan tingkat I dapat diundang pimpinan lembaga
negara atau lembaga lain jika materi Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan
lembaga negara atau lembaga lain.
2.
Pembicaraan
tingkat II dalam rapat paripurna
Pembicaraan tingkat II merupakan pengambilan keputusan
dalam rapat paripurna dengan kegiatan:
a.
penyampaian
laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil
pembicaraan tingkat I;
b.
pernyataan
persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang
diminta
c.
oleh pimpinan
rapat paripurna; dan
d.
penyampaian
pendapat akhir Presiden yang dilakukan oleh menteri yang ditugasi.
Dalam hal persetujuan tidak dapat dicapai secara
musyawarah untuk mufakat, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara
terbanyak. Apabila Rancangan Undang-Undang tidak mendapat persetujuan bersama
antara DPR dan Presiden, Rancangan Undang-Undang tersebut tidak boleh diajukan
lagi dalam persidangan DPR masa itu berdasarkan pasal 69 ayat (3). Rancangan Undang-Undang dapat ditarik kembali
sebelum dibahas bersama oleh DPR dan Presiden, sedangkan yang sedang dibahas
hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPR dan Presiden
yang diatur lebih lanjut dengan
Peraturan DPR.
Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang dilaksanakan melalui mekanisme
yang sama dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang. Pembahasan Rancangan
Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang
dilaksanakan melalui mekanisme khusus yang dikecualikan dari mekanisme pembahasan
Rancangan Undang-Undang, dengan tata cara sebagai berikut: Rancangan
Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang diajukan
oleh DPR atau Presiden yang diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak
memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang
diajukan oleh Presiden, dan Pengambilan keputusan persetujuan terhadap
Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan dilaksanakan dalam Rapat Paripurna
DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan
atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut.
Pengesahan Rancangan Undang-Undang
Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama
oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan
menjadi Undang-Undang. Penyampaiannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama
7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
Rancangan Undang-Undang yang disahkan oleh Presiden
dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama oleh
DPR dan Presiden. Apabila tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut
disetujui bersama, tetap sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan
berdasarkan Pasal 73 ayat (2).
Dalam hal sahnya Rancangan Undang-Undang, kalimat pengesahannya
berbunyi: Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat
(5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kalimat
pengesahan harus dibubuhkan pada halaman terakhir Undang-Undang sebelum
pengundangan naskah Undang-Undang ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Dalam setiap Undang-Undang harus dicantumkan batas
waktu penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya sebagai pelaksanaan
Undang- Undang tersebut. Penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya
yang diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak atas perintah suatu
Undang-Undang dikecualikan berdasarkan Pasal 73 ayat (2).
Pengundangan
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan
Perundang-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya berdasarkan Pasal 81
dalam: Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik
Indonesia, Lembaran Daerah dan Tambahan Lembaran Daerah atau Berita Daerah.
Yang dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum.
No comments:
Post a Comment