PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Penelitian
yang dilakukan oleh para ahli antropologi mengenai kebudayaan di Indonesia
sudah banyak. Tulisan-tulisan para ahli tersebut kebanyakan membahas
pembentukan keluarga beserta serangkaian upacara di sekitarnya, upacara-upacara
lingkaran hidup serta tradisi dan budaya secara komprehensif.
Secara
konseptual teoritik, upacara perkawinan merupakan bagian dari teori evolusi
pembentukan keluarga, yang didalamnya didapati ada tahapan didalam proses atau
evolusi pembentukan keluarga, yaitu dari promoskuitas sampai pada perkawinan
eksogami dan endogami. Di dalam kegiatan perkawinan pada serangkaian upacara
lingkaran hidup, dalam kaitannya dengan berbagai keyakinan yang menyelimuti
serangkaian upacara tersebut, ada teori asas religi yang terfokus pada sikap
dan upacara religi. Pada dasarnya, inti dari berbagai upacara tersebut adalah
dinyatakan dalam konsepsi orang jawa sebagai slametan, yang didalamnya
mengandung konsepsi ceremonial fund yang bervariasi menurut jenis dan
bentuknya.
Setiap
tradisi akan mengalami perubahan ketika harus berhubungan dengan dunia sosial
yang terus berubah. Untuk memahami hal ini maka ada konsepsi teoritik yang
dikemukakan oleh Suparlan, mengenai tahapan dari disorganisasi ke integrasi,
sedangkan Kleden menyatakan, Perubahan kebudayaan dapat dilihat dari jurusan
nilai melalui tahapan integrasi disintegrasi ke reintegrasi, dari sudut makna
maka dapat dilihat dari orientasi disorientasi ke reorientasi, dari sudut
interaksi maka dari sosialisasi disosialisasi ke resosialisasi, dan aspek kelembagaan maka
perubahan itu melalui organisasi disorganisasi ke reorganisasi. Selanjutnya,
perubahan juga dilihat dari konsep cultural change menurut Malinowski dan Zaniecky, mengenai
disorganisasi dan reorganisasi.
Namun
demikian, setiap perubahan menyisakan sesuatu yang langgeng. Dalam kerangka
ini, konsepsi Sorokin yang
menyatakan bahwa selalu ada elemen yang berlaku langgeng di setiap perubahan
atau continuity wthin change, juga dapat dijadikan sebagai kerangka untuk
memahami berbagai perubahan dan keajegan didalam kebudayaan dan kehidupan
manusia, termasuk mengenai perubahan didalam aktualisasi kebutuhan manusia.
Pada
dasarnya, manusia mempunyai tiga kebutuhan dasar dalam kehidupannya, yaitu
kebutuhan fisik, kebutuhan sosial, dan kebutuhan integratif. Salah satu kebutuhan manusia
tersebut ialah hasrat untuk reproduksi, memperoleh kenikmatan, kehangatan,
kasih sayang,
dan sebagainya melalui pranata perkawinan. Perkawinan tersebut terjadi manakala
kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) dan orang-orang yang terlibat
didalamnya mengikuti suatu persetujuan terhadap kedua orang tersebut untuk
menjadi pasangan suami istri. Dalam suatu perkawinan, peristiwa yang sangat
menentukan ialah meminang.
Dari
berbagai penelitian yang dilakukan oleh para ahli, dapat digambarkan beberapa
penelitian yang didalamnya mencangkup dan terfokus pada aspek atau dimensi pe
rkawinan dalam tradisi kebudayaan Jawa. Di antara para ahli ialah Geertz,
Hildred Greetz, Kodiran, Koentjaraningrat,
dan Hardjowirogo. Mereka menyatakan bahwa perkawinanyang didahului oleh
kegiatan meminang dilakukan oleh pihak laki-laki ke pada pihak perempuan.
Dengan demikian, inisiatif untuk mendatangi rumah keluarga perempuan ialah
laki-laki, bukan keluarga perempuan. Atau dengan pernyataan lain, peran kaum
laki-laki didalam proses awal terjadinya perkawinan adalah lebih dominan.
Namun
demikian, kiranya terdapat variasi lain didalam tradisi perkawinan ini, yaitu
tradisi meminang yang dilakukan oleh keluarga perempuan terhadap pihak keluarga
laki-laki, tradisi
perkawinan yang terjadi di wilayah Tuban, sebagian Lamongan dan Bojonegoro. Seperti
diketahui, penelitian yang telah diungkap di atas berlatar kebudayaan Jawa
bagian tengah sebab Clifford Geertz dan Hildred Greetz meneliti kebudayaan Jawa
di wilayah Pare Kediriatau Mojokutoyang settingnya ialah daerah Mataraman yang
lebih dekat kebudayaannya dengan wilayah kebudayaan Jawa pusat, dan Kodiran,
Koentjaraningrat, dan Hardjowirogo juga meneliti kebudayaan Jawa di wilayah centrum-nya Jawa Tengah,
khususnya Yogyakarta sehingga berkesimpulan seperti itu.
Di
wilayah kabupaten Tuban sebagai wilayah kebudayaan mancanegari peminangan di lakukan oleh keluarga
sehingga keluarga perempuan yang berhak menentukan siapa calon menantu yang
akan dipilihnya. Akibatnya, pihak keluarga perempuan berinisitif
melakukan pilihan, sedangkan keluarga laki-laki yang berhak menolak pinangan
tersebut.
Di dalam trsdisi perkawinan tersebut, posisi laki-laki
lebih tinggi disbanding perempuan. Tak jarang dijumpai banyak laki-laki yang
justru secara ekonomi bergantung kepada perempuan. Seorang perempuan dari
keluarga kaya relatif lebih mudah mencari jodoh ketimbang yang tak berpunya.
Demikian pula keluarga perempuan yang cantik jelita juga lebih mudah mencari
jodoh meski tidak kaya dibanding perempuan yang rupanya tidak cantik, apalagi
tidak kaya. Akan tetapi, meskipun tidak cantik jika memiliki harta banyak atau
anak orang kaya maka akan lebih mudah menem ukan jodohnya. Untuk itu, ada semacam
diskriminasi perlakuan terhadap keluarga tidak mampu. Dengan demikian, status
keluarga kaum perempuan turut serta berperan di dalam peroses perkawinan. Di
dalam wacana masyarakat pedesaan diungkap denga n pernyataan, larang bawang
murah Lombok (laki-laki mahal harganya, sedangkan perempuan murah harganya).
Inilah sebabnya, perempuan seringkali menolerir terhadap “kesalahan” laki-laki
sebagai akibat terhadap begitu pentingnya laki-laki di dalam kehidupan dan menjadi
kelompok yang dibutuhkan.
Disamping itu, di kalangan masyarakat pedesaan juga
terdapat semacam ketakutan jika anak perempuannya belum kawin. Fenomena di
pedesaan menggambarkan keluarga perempuan terburu-buru untuk mengawinkan
anaknya karena takut tidak laku tersebut. Di lapangan menunjukkan, banyak anak
perempuan yang belum cukup umur untuk menikah “terpaksa” dikawinkan karena
persoalan tersebut. Di kalangan mereka menjadi janda lebih baik dibandingkan
menjadi perawan tua. Tak ayal lagi posisi atau status perempuan menjadi lebih
rentan dibanding kaum laki-laki di dalam sebuah rumah tangga.
Namun demikian, terkait dengan perubahan sosial yang
terjadi, perubahan-perubahan pun tak akan dapat dielakkan sehingga corak dan
bentuk perkawinanpun mengalami perubahan. Di antara perubahan tersebut adalah
semakin longgarnya ikatan tradisi perkawinan. Banyak dijumpai, misalnya di
wilayah pedesaan, yang menggunakan pola baru di dalam proses perkawinan,
termasuk dalam hal peminangan. Hal ini diduga karena faktor eksternal semakin
terbukanya isolasi masyarakat desa sehingga perubahan merupakan suatu
keniscayaan.
Sehinggga makalah ini ini dimaksudkan untuk melihat
variasi tradisi dalam sistem perkawinan masyarakat jawa, keajegan, dan
perubahannya serta faktor-faktor yang terlihat di dalam proses perubahan dan
keajegan tersebut.
Meskipun demikian, penelitian di bidang antropologi
mengenai perkawinan sudah banyak dilakukan oleh berbagai ahli dalam mengungkap
pola-pola perkawinan pada masyarakat Jawa, pola perkawinan, teutama tradisi
keluarga perempuan meminang, belum disentuh secara maksimal sebab hasil
penelitian selama ini lebih banyak terfokus pada peminangan yang dilakukan oleh
keluarga kaum laki-laki kepada keluarga kaum perempuan, bukan peminangan yang
dilakukan keluarga perempuan kepada keluarga laki-laki.
I.2. Rumusan Masalah
I.2.1. Bagaimana Tradisi Peminangan Di Tuban, Jawa
Timur Sebagai Variasi Dari Tradisi Perkawinan Di Jawa Dan Analisis Perubahan
Kebudayaan?
I.2.2. Bagaimana Tinjauan Antropologi Melaui Metode
Pendekatan Sejarah Terkait Hokum Perempuan Melamar Laki-Laki ?
I.3. Tujuan
I.3.1. Dapat Memahami tradisi peminangan di Tuban, Jawa
Tengah, sebagai varian tradisi
perkawinan di Jawa yang berpola lain dan analisis perubahan kebudayaan .
I.3.2. Dapat Memahami Tinjauan
Antropologi Melaui Metode Pendekatan Sejarah Terkait Hukum Perempuan Melamar
Laki-Laki .
BAB II
KAJIAN
PUSTAKA
II.1.
Upacara Perkawinan di dalam Kebudayaan Jawa
Secara teoritik-konsepsional dalam
budaya Jawa dikenal konsep meminang, yaitu pi hak keluarga laki-laki meminang
terhadap perempuan. Dalam pengamatannya, Geertz menyatakan:
“Bagi kebanyakan orang, walaupun di
dalam banyak kasus anak laki-laki da n perempuan itu sudah sampai pada saling
tahap pengertian dalam hal ini, pola la ma mengenai lamaran resmi dari orang
tua pihak pria masih dilaksanakan, setidak-tidaknya dalam bentuk resminya.
Dalam lamaran itu, keluarga pihak laki-laki meng unjungi keluarga pihak perempuan
untuk saling tukar basa-basi formalism kosong y ang diperkerok, dan sudah
menjadi keahlian orang Jawa sejak dahulu. Ayah pihak l aki-laki mungkin membuka
percakapan itu dengan ucapan seperti “embun di pagi har i berarti hujan di
malam hari,” yang menyatakan bahwa soal yang ingin diperbinca ngkan ialah soal
yang “dingin” atau sederhana saja dan tidak perlu membangkitkan perasaan yang
bukan-bukan. Dengan perkataan dan gaya pemisahan yang sama, ia tiba pada pokok
persoalan dan menyatakan bahwa ia ingin menjadi besan tuan rumah d engan
mengawinkan anak laki-lakinya dengan anak perempuan tuan rumah, (kemudian tuan
menjawab) seperti bahwa anak perempuannya itu agak manja, walaupun sudah de
wasa, masih bertingkah laku seperti anak-anak dan ia sendiri merasa bahwa
puterinya jauh dari memenuhi syarat menjadi menantu tamunya, dan seterusnya.”
Berdasarkan tradisi Jawa, sebagaimana uraian Geertz tersebut, ternyata
perkawina n selalu didasarkan atas kesepakatan awal yang disebut sebagai
meminang atau lam aran, di mana pihak keluarga laki-laki meminang kepada pihak
keluarga perempuan. Meskipun kegiatan ini penuh basa-basi, tentunya mengenang
peran penting sebab k esepakatan untuk melakukan ikatan besanan ditentukan oleh
proses awal ini. Menurut Hildred Geertz, pola pinangan secara formal yang benar
menurut kejawen adalah terdiri atas tiga tahap. Pertama, semacam perundingan
penjajakan yang dil akukan seorang teman atau saudara si pemuda, dengan maksud
menghindari rasa malu apabila ditolak. Kedua, sekurang-kurangnya dengan suatu
jaminan yang serba basa -basi, kunjungan resmi pemuda tersebut ke rumah si
gadis yang disertai ayah atau anak saudaranya yang lain. Kunjungan ini
dinamakan nontoni, melihat-lihat, tuju annya untuk member kesempatan, baik
kepada si gadis maupun si pemuda untuk saling melihat dan barangkali yang lebih
penting member kesempatan bagi orang tua ked ua belah pihak untuk saling
menilai. Secara tradisional,
dan bahkan sekarangpun masih sering terjadi, calon mempelai itu belum saling
kenal maka saat inilah satu-satunya kesempatan bagi mereka untuk saling mengenal.
Ketiga, ialah pinangan resmi untuk menentukan kapan hari perkawinan
dilangsungkan.
II.2.
Upacara di dalam Tradisi Perkawinan
Di dalam tradisi Jawa, upacara yang
terkait dengan kehidupan dikonsepsikan oleh para ahli antropologi sebagai
upacara lingkaran hidup (rites of the life cycle) yang dikonsepsikan oleh prang
Jawa sebagai slametan, yaitu suatu upacara makan b ersama makanan yang telah
dibeiri doa sebelum dibagi-bagikan. Slametan tidak terpisahkan dari pandangan
alam pikiran partisipasi dan erat hubungannya dengan kepercayaan pada
unsur-unsur kekuatan sakti maupun makhluk-makhluk halus. Slametan ditujukan
agar tidak ada gangguan apa pun di dalam kehidupan manusia.
Setiap kegiatan upacara ritual atau
slametan adalah sebuah kegiatan yang melibat kan semua unsur masyarakat di
dalam lingkungan bertetangga. Partisipasi masyarakat di dalam upacara ritual
atau slametan menggambarkan adanya tindakan harmoni sosial, keteraturan sosial,
dan kerukunan sosial sebab semua anggota masyarakat dalam lingkaran bertetangga
tersebut dalam suasana yang sama dan juga menikmati makanan yang hampir sama
sehingga inilah suatu wujud dari konsepsi Jawa mengenai slamet, rukun, dan
harmoni.
Slametan adalah inti kehidupan orang
Jawa, slametan adalah wujud tidak hanya harmonisasi antara sesama makhluk hidup
(hidup), tetapi juga bermakna harmonisasi antara kekuatan natural dan
supranatural, antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara kekuatan kodrati dan
adikodrati, antara kekuatan manusia dan makhluk halus, dan lain sebagainya. Di
dalam hubungan antara kekuatan makrokosmos dan mikrokosmos, ada proses saling
mengisi. Sementara itu, kekuatan dunia sacral memberikan keselamatan atau
barokah bagi manusia sehingga terdapat sebuag ruang kosong di da lamnya, dan
manusia harus mengisi ruang kosong tersebut supaya selalu penuh. Ruang kosong
yang tidak terisi oleh berbagai upacara ritual akan menyebabkan terjad inya
bencana atau malapetaka.
Upacara perkawinan disebut
kepanggihan (pertemuan) dan selalu diselenggarakan di
rumah pengantin perempuan. Di sini, ada semacam
kewajiban bagi orang tua untuk menyelenggarakan sebuah pesta besar, terutama di
dalam tradisi perkawinan. Jika keluarga perempuan tidak mampu maka keluarga
calon mempelai laki-laki bisa membantu sesuai dengan kemampuannya. Dan kalau
penyelenggaraan upacara ditunda sampai beberapa bulan atau bagi yang beragama
Islam kuat bisa juga dilakukan di masjid.
Ketika terjadi upacara perkawinan,
pihak laki-laki harus memberikan kepada pihak perempuan, yaitu berupa peningset
dan seserahan. Peningset merupakan seperangkat pakaian lengkap dan sasrahan
biasanya berupa kerbau atau sapi yang akan disemb elih untuk kegiatan upacara.
Bisa saja sasrahan itu berupa uang dengan jumlah tertentu, meskipun tidak
senilai dengan sapi atau kerbau. Menurut konsepsi Jawa, anak perempuan pertama
yang dikawinkan disebut bubak atau membersihkan daerah per awan, sedangkan
untuk anak perempuan terakhir disebut punjung tumplek atau pengh ormatan yang
terakhir.
Slametan perkawinan diselenggarakan
pada malam hari menjelang upacara sebenarnya.
Di sini, pengantin laki-laki akan tetap disembunyikan dari pandangan pengantin
perempuan dan mereka tidak diperkenankan untuk saling memandang sampai upacara
sebenarnya dilakukan.
Sesudah slametan, pengantin
perempuan ditempatkan di sentong tengah, gadis perem puan didudukkan didepannya
selama kira-kira empat jam sampai tengah malam, pada saat bidadari turun dan
memasukinya, untuk tinggal di sana sampai lima hari sesu dah perkawinan. Itulah
yang menyebabkan pengantin kelihatan lebih cantik dari biasanya. Pada saat ini,
si ibu pengantin perempuan mencari kembang mayang atau bunga yang sedang mekar
yang terdiri dari batang pohon pisang, dan kumpulan bunga nya terbuat dari
dedaunan yang diberi lekuk-lekuk dan diberi daun kelapa muda. Keduanya
menggambarkan keperawanan dan kejejakaan mempelai. Kembang mayang dibuat untuk
masing-masing pengantin, dan jika pengantin laki-laki tersebut tidak jejaka
maka hanya dibuat sepasang, sedangkan jika pengantin perempuan tidak perawan
maka upacara kepanggihan tidak diperlukan lagi.
Upacara perkawinan yang sebenarnya
dilakukan pagi harinya, bisa dilakukan di rum ah, masjid, atau di KUA. Melalui
bimbingan naib atau pegawai pencatat nikah, pro sesi perkawinan tersebut
diselenggarakan. Si pengantin laki-laki diharuskan untuk membaca syahadat dan
setelah itu dibimbing untuk menerima pernikahan perempuan yang akan
dinikahinya. Prosesi ini berakhir setelah si pengantin laki-laki memb aca
ta’liq talaq atau perjanjian akan kesanggupan laki-laki untuk menghidupi kel
uarganya dan jika mengingkari maka si perempuan dapat menuntut cerai.
Pada kalangan santri, pernikahan
diselenggarakan dengan pola perkawinan islam, y aitu pengantin menghadap ke
pengantin naib dan disertai dengan kiayi, saksi, wali (biasanya orang tua
pengantin perempuan), dan juga kerabat pengantin laki-laki. Upacara diawali dengan bacaan khutbah
oleh seseorang (biasanya kiayi), setelah itu dilanjutkan dengan bacaan ijab dan
qabul yang diawali dengan naib dan kemudian dilanjutkan oleh pengantin
laki-laki dalam bahasa Arab. Jika naib sudah membaca halan maka segera
pengantin laki-laki menjawab qabiltu nikachaha dan seterus nya. Jika dianggap
telah sah maka kiayi memimpin doa dan diakhiri dengan penanda tanganan oleh
saksi di buku register perkawinan.
Di rumah pengantin perempuan
terdapat kegiatan yang disebut duwe gawe atau ewoh, dalam bahasa Jawa madya
disebut gadah damel. Di kala ini, pengantin pengantin p erempuan berdandan
layaknya seorang puteri, wajahnya dibuat berwarna kuning deng an bedak, bulu
matanya dilentikkan, bibirnya merah menyala, di dahinya diberi hi asan hitam
pekat, dan rambutnya diatur rapi. Demikian pula di dadanya, tergantun g
hiasan-hiasan emas atau perak, tangannya diberi gelang emas dan daun telingany
a diberi giwang yang berwarna keemasan. Sementara sang laki-laki, berpakaian
ala Eropa memakai jas, dasi, dan celana yang biasanya berwarna gelap, bersepatu
atau sandal sepatu atau bisa juga memakai pakaian adat. Upacara ini biasanya dipimpin
oleh dukun manten.
II.3.
Hubungan Suami-Istri: antara Hak dan Kewajiban
Suami-istri adalah konsep yang
diakibatkan oleh adanya proses pernikahan dan per kawinan antara dua jenis
kelamin, laki-laki dan perempuan. Kesepakatan mengenai tali perkawinan pada
dasarnya dilandasi oleh kenyataan bahwa kedua makhluk ini s aling memiliki
perbedaan baik yang bersifat natural maupun potensi. Oleh karena itu, selalu
ada konsepsi dikotomis ketika melihat relasi antara laki-laki dan pe rempuan di
dalam konteks kontruksi sosial, baik yang berasal dari paham keagamaa n,
sosial, maupun budaya.
Dalam pandangan Islam, dikotomi
antara laki-laki dan perempuan atau masalah lai nnya, sebagaimana pandangan
umum lainya. Ulama klasik rata-rata menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan
memang berbeda, bukan hanya dalam masalah antonomi, mel ainkan juga dalam
masalah lain. Namun demikia, di antara para pemikir Islam ada yang berpendapat
bahwa perbedaan itu sebenarnya dari penafsiran terhadap teks ag ama yang
seringkali bias gender.
Kontroversi ini sebenarnya berawal
dari penafsiran teks-teks ajaran islam yang secara maknawi memang menyajikan
perbedaan, terutama dalamkonteks fiqih. Kontroversi itu dating dari ayat
mengenai keunggulan laki-laki atas perempuan, terutama didalam persoalan
kepemimpinan. Misalnya, An-Nisa’ ayat 34 memberikan gambaran bahwa “laki-laki
bertanggung jawab terhadap (pemimpin) perempuan”, sesuai dengan kelebihan yang
diberikan Allah kepada sebagian mereka terhadap sebagian lainnya, dan juga
laki-laki menafkahkan harta bagi keluarganya.
Sebenarnya, harus diakiui bahwa
perubahan tentang peran dan posisi perempuan di masyarakat juga relatif telah
terjadi. Perubahan itu sekurang-kurangnya dipicu oleh perubahan sosial yang
terus berlangsung. Perubahan posisi dan peran perempuan di dalam keluarga
tentunya terkait dengan persoalan ekonomi rumah tangga dituntutan akan
kemandirian perempuan di tengah desakan untuk memperoleh nafkah bagi dirinya
sendiri.
II.4.
Perubahan Kebudayaan
Perubahan adalah inti kehidupan.
Tidak ada yang stagnan di dunia sehingga semuan ya terkena hokum perubahan baik
yang bergerak linier maupun yang sirkular. Perub ahan sosial menyangkut
perubahan kehidupan manusia yang terkait dengan lingkunga n kehidupannya yang
berupa fisik, alam, dan sosial.
Perubahan tradisi pada suatu
komunitas dapat dilihat dari perspektif perubahan ebudayaan. Secara teoritis, perubahan
kebudayaan mencakup lima hal pokok. Pertama, perubahan system nilai yang
prosesnya mulai dari penerimaan nilai baru dengan proses integrasi ke
disintegrasi untuk selanjutnya menuju reintegrasi. Kedua, perubahan system
makna dan system pengetahuan, yang berupa penerimaan suatu keran gka makna
(kerangka pengetahuan), penolakan, dan sikap penerimaan makna baru dengan
proses orientasi ke disorientasi ke reorientasi system kognitifnya. Ketiga,
perubahan system tingkah laku yang berproses dari penerimaan tingkah laku.
Keempat, perubahan system interaksi. Kelima, perubahan system kelembagaan.
Perubahan kebudayaan, dengan
demikian, dapat dilihat sebagai suatu keniscayaan yang melazimi di dalam
kehidupan manusia baik dilihat dari kerangka makna, tindakan, dan
organisasinya.
BAB III
PEMBAHASAN
III.1. Tradisi Peminangan Di Tuban,
Jawa Timur Sebagai Variasi Dari Tradisi Perkawinan Di Jawa dan Analisisis
Perubahan Kebudayaan
Tradisi
Peminangan Di Tuban, Jawa Timur Sebagai Variasi Dari Tradisi Perkawinan Di Jawa
Suatu kenyataan bahwa meskipun memiliki
kesamaan secara umum dengan budaya Jawa, ternyata terdapat variasi yang
mencolok terkait dengan budaya meminang di Kabupaten Tuban, desa Sumbang.
Dipilih karena sedang yang dalam proses transisi karena masuknya budaya
kota melalui berdirinya pabrik Semen Gresik di Tuban.
Desa ini menggambarkan dinamika perubahan dari tradisi perkawinan lama
ke yang baru, melalui mekanisme perubahan yang cukup berarti Jika biasanya
budaya Jawa meminang dari pihak laki-laki, lain halnya dengan Desa ini.
Sebaliknya, yang meminang adalah dari pihak perempuan. Di terima atau
ditolaknya bergantung pada si laki-laki. Di dalam realitas kehidupan, tak
jarang peminangannya ditolak dank au perempuan meminang lagi untuk kesekian kalinya.
Dominasi kaum laki-laki juga lebih
kentara di dalam dinamika kehidupan rumah tangga. Sementara kaum laki-laki
meminum tuwak dipinggiran jalan, sementara kaum perempuan bekerja keras mencari
nafkah untuk keluarganya. Tanggung jawab perempuan ternyata lebih besar
dibanding laki-laki. Namun demikian, kesadaran seperti ini sudah muncul. Ada
cemoohan yang dilontarkan oleh kaum perempuan ketika melihat kenyataan seperti
itu. Kesadaran itu didapati biasanya di tempat ngerumpi sesama perempuan. Dan
mereka melakukannya dengan cara berbisik-bisik.
Secara kategoris, pola peminangan
kaum perempuan terhadap kaum laki-laki dapat ditipologikan dengan beberapa hal,
yaitu peminangan perempuan sedesa, peminangan perempuan di luar desa,
peminangan perempuan di luar kecamatan, dan peminangan perempuan di luar
kabupaten. Peminangan tersebut memiliki substansial yang sama, dan meskipun
terdapat varian di dalam bentuk kualitasnya. Pola yang sama tersebut tidaklah
pada proaktivitas keluarga perempuan, sedangkan variasi bentuk kualitasnya
berkaitan dengan pengakomodasian tradisi local dari keluarga laki-laki.
Analisis Perubahan Kebudayaan
Sebagai sebuah penelitian yang
bersumber dari buku, kesimpulan yang akan ditarik tidak dapat digeneralisasikan
pada sasaran kajian yang lebih luas. Ia hanya menggambarkan mengenai apa dan
bagaimana hakikat sebuah fenomena berada di suatu lokus tertentu dalam
kaitannya dengan fenomena lain yang lebih luas dan kompleks. Ia hanya sebuah
lukisan mengenai fenomena, tanpa dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana
fenomena berkolerasi dengan fenomena lain.
Sebagai sebuah lukisan mengenai
kehidupan sebuah komunitas yang di dalamnya mengandung kompleksitas keajegan
dan perubahan, keberadaan fenomena tersebut tentunya mengandung keunikan dalam
pengertian yang relatif berbeda dengan fenomena dunia lain di sekitarnya.
Keunikan itu, sebagaimana hasil dari
penelitian ini adalah peminangan yang dilakukan oleh keluarga perempuan kepada
keluarga laki-laki. Sebenarnya, peminangan tersebut tidak memiliki ciri yang
benar-benar khas. Artinya, sebuah fenomena yang tidak ada kesamaan sedikitpun
dengan tradisi lain. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan konsepsi budaya Jawa
secara umum, ternyata variasi ini adalah sesuatu yang nyata ada. Secara khas
realitas. Budaya Jawa sebagaimana jelas menggambarkan adanya tindakan meminang
yang dilakukan oleh laki-laki kepada perempuan. Ini berarti kaum laki-lakilah
yang memilih, dan sebaliknya kaum perempuan yang dipilih. Posisi yang dipilih
dan memiliki kemampuan menolak dalam konteks ini ternyata lebih dominan
disbanding yang memilih. Akibatnya, posisi perempuanlah yang men entukan dan
posisi laki-laki ditentukan.
Ini sangat berbeda dengan peminangan
di kabupaten Tuban. Di sini, justru kaum la ki-lakilah yang menentukan, menolak
atau menerima. Akibatnya, posisi dominan jus tru berada di tangan laki-laki,
dan perempuan tidak dominan. Dominasi itu semakin jelas manakala dilakukan
crossing dengan tindakan kaum laki-laki baik di dalam maupun di luar rumah.
Perempuan bekerja lebih keras dan lebih bertanggung jawab terhadap kehidupan
keluarga disbanding dengan laki-laki. Sementara perempuan bekerja keras,
laki-laki justru menikmati hiburan, makan dan minum di pinggiran jalan atau
warung-warung. Sunggug, laki-laki ialah barang langka yang keberadaannya
meastilah dijaga sedemikian rupa. Begitu butuhnya perempuan terhadap laki-laki,
ia rela banting tulang untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Peminangan tidak hanya sekedar
persoalan perkawinan, tetapi juga sebuah gengsi sosial. Keluarga dengan status
sosial ekonomi tinggi akan bisa memamerkan kekayaannya melalui proses
peminangan ini. Banyaknya hadiah yang akan diberikan kepada calon menantu akan
menjadi ukuran seberapa besar tingkat sosial ekonomi keluarga perempuan. Inilah
sebabnya, orang seringkali berlomba untuk meminang dengan standar yang jauh
dari batas kemampuan ekonominya. Semakin berkualitas hadiah yang dibawanya,
semakin besar status sosial kedua belah pihak terangkat. Jadi, status sosial
bertali temali dengan peminangan yang dilakukan oleh keluarga perempuan. Di
tengah perubahan yang terus terjadi, ternyata budaya perempuan meminang masih
tetap bertahan. Inti tradisi ini tampaknya belum segera akan hilang, meskipun
sebenarnya meminang itu hanya sekadar penguatan terhadap hubungan antara
laki-laki dan perempuan (pacaran) yang terus terjadi dewasa ini. Meskipun masih
dijumpai hubungan perkawinan laki-laki dan perempuan yang dilakukan melalui
serangkaian pemaksaan, seiring dengan perubahan sosial yang terus berlangsung
meminang juga menjadi semakin simple, meski keberadaannya akan tetap dipertahankan.
Penelitian ini akan mengukuhkan
teori tentang keajegan di dalam perubahan (conti nuity within change),
sebagaimana digagas oleh Parsudi Suparlan, Zaniecky, dan Ignaz Kleden mengenai
tahapan perubahan budaya. Dari dimensi perubahan kognisi, terlihat masyarakat
di wilayah ini telah mengalami berbagai perubahan yang menyan gkut seperangkat
pengetahuannya mengenai variasi budaya lain, dan kebudayaannya bukanlah yang
tunggal terjadi dan ada atau dapat diterima di mana saja.
Dari dimensi perubahan perilaku,
tampak bahwa proses perubahan juga sedang terja di. Jika pada masa lalu
peminangan benar-benar menjadi kewajiban dan monopoli ke luarga perempuan maka
sekarang tidak lagi. Perubahan yang terjadi ialah pada “ke beranian” kaum
laki-laki untuk menanyakan terlebih dahulu, dengan resiko ditolak oleh pihak
keluarga perempuan. Kemudian jika telah ada kesepakatan, barulah dit
indaklanjuti dengan melamar yang dilakukan oleh pihak keluarga perempuan. Hal
ini merupakan bukti perubahan perilaku tersebut. Disamping itu juga ada
beberapa kasus mengenai perilaku keluarga laki-laki yang terlebih dahulu
melakukan peminangan. Gambaran-gambaran ini merupakan suatu kenyataan mengenai
adanya perubahan yang terus akan berlangsung.
Perubahan kognisi itu berkaitan
dengan perasaan banwa menjodohkan anak adalah ha k dan kewajiban orang tua.
Anak adalah objek yang dapat diperlakukan apa saja atau dijodohkan dengan siapa
saja. Orang tua telah memberikan ruang kemerdekaan ba gi anak untuk melakukan
apa yang cocok dan berguna bagi dirinya.
Perubahan tindakan itu bisa dipicu
oleh berbagai interaksi yang intensif dengan dunia luar akibat urbanisasi dan
juga faktor pendidikan. Semakin banyak anak yang berpendidikan semakin tinggi
maka akan muncul kemandirian untuk melakukan tind akan. Secara
konsepsional-teoritik, mereka menjadi semakin rasional atau dalam konsepsi
Weber disebut tindakan rasional bertujuan, yaitu tindakan yang didasari oleh
berbagai motif dan keinginan yang bersesuaian dengan tujuan hidup. Dengan demikian
keniscayaan bahwa perubahan akan terus berlangsung meskipun di antara berbagai
perubahan tersebut juga masih menyisakan ruang yang ajeg, yaitu tidak berubah.
Oleh karena itu, terdapat variasi
tradisi pada masyarakat Jawa yang juga sedang mengalami proses perubahan, dengan
tetap mempertahankan apa yang dianggap sebagai inti budaya dan mengubah hal-hal
yang menyertainya.
III.
Hukum Perempuan Melamar Laki-Laki Ditinjau Dari Aspek Sejarah
Tradisi perempuan melamar laki-laki
konon sudah terjadi turun temurun sejak masa pemerintahan Raden Panji
Puspokusumo, penguasa Lamongan pada 1640 - 1665. Panji Puspokusumo sendiri
tercatat sebagai keturunan ke-14 Prabu Hayam Wuruk, penguasa Majapahit. Dalam
kisahnya, Panji Puspokusumo memiliki dua anak kembar bernama Raden Panji Laras
dan Raden Panji Liris. Kedua pangeran rupawan itu memiliki hobi menyabung ayam.
Suatu hari, keduanya mengikuti
sabung ayam di daerah Wirosobo yang sekarang dikenal dengan Kertosono, Nganjuk.
Ketampanan Panji Laras dan Panji Liris ternyata membius dua putri kembar raja
Wirosobo, yakni Dewi Andansari dan Dewi Andanwangi. Kedua putri cantik itupun
langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Kendati dianggap melanggar norma
saat itu, Raja Wirosobo akhirnya melamar kedua putra kembar penguasa Lamongan
itu. Desakan dua putri kesayangan membuatnya berani melanggar norma.
Sejak saat itulah tradisi perempuan
melamar laki-laki mulai diberlakukan. Budaya itu kemudian dilestarikan sebagai
budaya leluhur yang masih terjaga hingga kini. Anwar (60), warga setempat tidak
tahu persis kebenaran sejarahnya, tetapi sudah turun temurun di lingkungannya
mengikuti budaya tersebut. Pria enam cucu ini juga menjalankan budaya yang
sudah melekat tersebut. "Sejarah itu mungkin ada benarnya, karena terbukti
seluruh keturunan mengikuti budaya warisan," katanya.
Kasus serupa juga sering terjadi di
kabupaten Tuban, salah satunya yang di beritakan oleh Merdeka.com - Pernikahan
Muji Syukur Rahmad (24) dan Qurrotu Ayun (20) berlangsung cukup sederhana.
Meski demikian, upacara pernikahan kedua mempelai tetap memegang tata cara adat
yang berlaku di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, tempat tinggalnya. Sesuai tradisi adat di Lamongan dan
beberapa daerah pesisir pantai utara, perempuan lah yang melamar laki-laki.
Budaya perempuan melamar laki-laki ini terbilang unik, karena tidak lazim
terjadi di daerah lain. "Hanya
terjadi di Lamongan, itupun hanya pesisir pantai saja dan beberapa wilayah di
Tuban. Tidak semua wilayah Lamongan," kata Lusianah keluarga Rahmad yang
tengah menerima kunjungan dari keluarga mempelai perempuan, Minggu (20/7). Pengantin perempuan yang pertama
menanyakan pada pihak pria. Bahkan beberapa ada yang membawa seserahan sepeda
motor untuk pengantin pria. "Tergantung kondisi ekonomi, kalau dari
keluarga biasa-bisa saja ya cukup pakaian dan cincin," katanya. Setelah pihak perempuan melamar,
kata Anwar, selanjutnya pihak laki-laki membalas kunjungan sambil memberikan
jawaban. Tidak jarang pihak perempuan akan mendesak melalui seorang utusan,
saat pihak laki-laki tidak juga membalas lamaran. Kedua belah pihak selanjutnya
menyepakati waktu pernikahan. Sabtu
(18/7) malam, keluarga Rahmad menerima kunjungan dari pengantin perempuan,
setelah resmi menikah di rumah mempelai perempuan. Istrinya, Ayun adalah warga satu
desa dengan Rahmad, namun berbeda dusun. Rahmad warga Dusun Cumpleng, sementara
Ayun warga Dusun Brengkok, Desa Brengkok, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan. Rahmad dan Ayun telah resmi
menikah, dan bagian dari tradisi mereka harus berkunjung ke kerabat terdekat.
Kedua mempelai mengantarkan sendiri makanan yang dibawa dari mempelai
perempuan, selain memperkenalkan diri sebagai anggota keluarga baru. "Kalau zaman dahulu memang
masih membawa 'jodhang' diangkut oleh empat orang, tetapi sekarang sudah
berubah. Barang bawaannya makanan diangkut pick up," kata Ayun.
Rahmad dan Ayun resmi menikah pada malam 27 Ramadan 1436 atau Rabu, 14 Juli 2015. Sementara lamaran sudah berlangsung sebelum Ramadan.
Rahmad dan Ayun resmi menikah pada malam 27 Ramadan 1436 atau Rabu, 14 Juli 2015. Sementara lamaran sudah berlangsung sebelum Ramadan.
Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan
mengenai apakah diperbolehkan wanita melamar pria? Sebelum membahas hal ini
perlu dipahami duduk perkaranya bahwa khitbah (melamar/meminang) adalah proses
pendahuluan sebelum menikah dan bukan merupakan rukun dari nikah. Khitbah
adalah pemberitahuan bahwa seseorang berminat pada orang lain untuk menikahinya.
Khitbah (melamar) juga merupakan permintaan resmi kepada seseorang untuk
bersedia dinikahi. Maka secara logika, terlepas bagaimana teknis caranya,
melamar atau meminang itu adalah tahapan yang pasti terjadi sebelum terjadinya
akad nikah. Bagaimana mungkin tiba-tiba dilakukan akad nikah jika sebelumnya
satu sama lain belum ada pembicaraan sebelumnya, dan tidak saling tahu. Namun
karena khitbah atau melamar itu bukan merupakan bagian dari rukun nikah maka
tidak mempengaruhi sah tidaknya pernikahan.
Sejauh yang saya ketahui, telah
menjadi kelaziman dalam berbagai hadits dan siroh (cerita sejarah) diceritakan
bahwa laki-laki-lah yang melamar dan bukannya wanita. Sebagian orang mengatakan
bahwa sesungguhnya tak ada perkataan yang jelas yang memerintahkan harus lelaki
yang melamar wanita. Demikian pula tak ada kalimat larangan yang jelas yang
melarang wanita melamar pria. Benarkah demikian ?
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa
yang dipinang itu wanita sehingga yang meminang adalah pria kepada wanita dan
bukan wanita kepada pria. Ayat Yang
Menyebutkan Pria Melamar Wanita, yakni : “Dan
tidak ada dosa bagi kamu meminang
wanita-wanita (yang suaminya telah meninggal dan masih dalam ‘iddah) itu dengan sindiran atau
kamu menyembunyikan (keinginan
mengawini mereka) dalam hatimu ”
(Q.S. Al-Baqarah [2] : 235)
Sedangkan Hadits-Hadits Yang Menyebutkan Pria Melamar
Wanita, Salah satu hadits yang paling populer mengenai meminang adalah hadits
berikut ini :
“Apabila datang laki-laki (untuk meminang) yang kamu
ridhoi agamanya dan akhlaknya. maka kawinkanlah dia, dan bila tidak kamu
lakukan akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang meluas”. (H.R.
Ahmad)
Dari Abu Hatim Al Muzani berkata;
Rasulullah s.a.w. bersabda: “Jika seseorang datang melamar (anak perempuan dan
kerabat) kalian, sedang kalian ridha pada agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah
dia. Jika tidak kalian lakukan, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan
kerusakan.” Para shahabat bertanya; “Meskipun dia tidak kaya.” Beliau bersabda:
“Jika seseorang datang melamar (anak perempuan) kalian, kalian ridha pada agama
dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia.” Beliau mengatakannya tiga kali. (H.R. No.
Tirmidzi 1005). Pada hadits di atas jelas diriwayatkan bahwa laki-lakilah yang
datang meminang dan bukannnya wanita yang datang meminang. Masih banyak sekali hadits2 lainnya yang
menceritakan kelaziman laki2 lah yang melamar wanita dan bukan wanita yang
melamar.
Khadijah r.ah.
Melamar Rasulullah s.a.w.?
Sebagian orang mengatakan salah pada jaman Nabi
Muhammad s.a.w masih hidup pun wanita dibolehkan melamar pria diantaranya pada
kisah Siti Khadijah r.ah istri pertama Rasulullah s.a.w. Baiklah kita kutipkan
catatan sejarah yang saya ambil dari Kitab Kelengkapan Tarikh Moenawar Kholil
mengenai peristiwa tersebut. Pada suatu hari Khadijah dengan terpaksa meminta
seorang budak perempuannya yang sangat dipercaya bernama Nafisah binti Munabih
untuk menemui Muhammad s.aw. dimana ia kemudian menyampaikan segala sesuatu
yang menjadi isi hati Khadijah terhadap beliau. Setelah menerima uraian
keinginan Khadijah, beliau s.a.w. hanya menjawab bahwa belum dapat mengambil
keputusan sebelum mendapat pertimbangan dan keputusan dari pamannya. Kemudian
pada suatu hari Nafisah menemui Abu Thalib untuk membicarakan persoalan itu dan
Abu Thalib seketika memberikan keputusan menyetujui untuk disampaikan kepada
Khadijah. Lalu pada hari yang lain Abu Thalib bersama anak kemenakannya
(Muhammad s.a.w.) pergi menemui pamannya Khadijah bernama Amr bin Al-Asad
karena ayah Khadijah saat itu telah wafat. Kedatangan Abu Thalib adalah untuk
memperbincangkan keinginan Khadijah terhadap pribadi Nabi. Oleh Amer bin
Al-Asad diterima dengan baik dan ia tidak keberatan dengan perjodohan antara
Khadijah dengan Muhammad, asalkan kedua belah pihak sama-sama cinta. Dan telah
terpandang di kalangan kota Mekah bahwa keduanya telah bertemu (sepadan)
kebangsawanannya. (Kelengkapan Tarikh Juz 1 Hal 104)
Dari uraian sejarah di atas dapat
kita tangkap bahwa kedatangan Nafisah binti Munabih mengutarakan keinginan
Khadijah bisa saja dianggap sebagai melamar / meminang Nabi Muhammad s.a.w.
(waktu itu belum menjadi Nabi). Namun secara adat dan kelaziman pria lah yang
melamar wanita. Oleh karena nya proses lamaran ini diperkuat lagi atau secara
resmi dilakukan oleh Abu Thalib kepada paman Khadijah bernama Amr bin Asad.
Maka inilah lamaran yang lebih resmi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara
resminya, tetap pihak Keluarga Nabi Muhammad s.a.w. lah yang datang melamar
Khadijah r.ah.
Ayah
Melamarkan Anak Perempuannya
Salah
satu kewajiban orang tua adalah mencarikan jodoh yang baik bagi anaknya,
terlebih lagi bagi anak perempuan. Maka dalam sejarah terdapat beberapa
peristiwa dimana Ayah melamar / meminta laki-laki yang sholeh untuk menikahi
anak perempuannya.
Dari Abdullah bin Umar r.a. bahwa Umar bin Khattab
r.a. ketika Hafshah (putrinya) menjanda dia berkata : “Aku datang kepada Utsman
bin Affan lalu aku tawarkan Hafshah kepadanya”, kemudian ia (Utsman) menemuiku
dan berkata : “Setelah saya pertimbangkan maka saat ini saya belum berkeinginan
untuk nikah” Lau aku (Umar) menemui Abu Bakar r.a. seraya berkata : “Jika
engkau mau, aku ingin mengawinkan engkau dengan Hafshah” Maka Abu Bakar hanya
diam saja tanpa menjawab sedikitpun. Maka aku (Umar) berdiam selama beberapa
malam, kemudian Rasulullah s.a.w. datang meminangnya, lalu aku nikahkan dia
(Hafshah) dengan beliau” (H.R. Bukhari Juz XI hal 80)
Kakak Melamarkan Saudara Perempuannya
Ummu Habibah binti Abu Sufyan berkata : “Wahai
Rasulullah kawinlah dengan saudara perempuanku putri Abu Sufyan. Beliau
bertanya : “Apakah kamu menyukai yang demikian itu?” Saya (Ummu Habibah)
menjawab : “Saya tidak asing lagi bagimu dan engkaulah yang paling kuinginkan
untuk menyertaiku dalam kebaikan saudara perempuanku” (H.R. Bukhari)
Wanita Menawarkan Dirinya Sendiri Untuk Dinikahi
Dari Tsabit bin Bunnani berkata : “Aku berada di sisi
Anas dan di sebelahnya ada ada perempuannya. Anas berkata : “Seorang wanita
datang kepada Rasulullah s.a.w. menawarkan dirinya seraya berkata : “Wahai
Rasulullah apakah engkau berhasrat kepadaku?” (dalam riwayat lain berkata :
Wahai Rasulullah aku datang hendak memberikan diriku kepadamu) Maka putri Anas
berkata : “Betapa sedikit rasa malunya idih..idih” Anas berkata :”Dia lebih
baik daripada engkau, dia menginginkan Nabi s.a.w. lalu menawarkan dirinya
kepada Beliau” (H.R. Bukhari).
Menjelaskan hadits di atas Ibnu
Hajar Asqolani berkata : ia (Bukhari) mengistimbath hukum dari hadit ini
mengenai sesuatu yang tidak khusus yaitu dibolehkannya wanita menawarkan diri
kepada laki-laki yang sholeh karena menyukai kesholehannya. (Fathul Bari Juz XI
hal 79)
Dari uraian di atas, kita dapat
mengambil kesimpulan bahwa secara kelaziman dan adat, laki-lakilah yang melamar
wanita. Namun memang benar tak ada dalil ayat maupun hadits yang nyata-nyata
melarang wanita melamar pria. Bahkan Umar bin Khattab r.a. pun menawarkan anak
perempuannya bernama Hafshah kepada sahabat lainnya. Maka memang benar baik
Rasulullah s.a.w. maupun para sahabat tidak menganggap tercela jika diri wanita
itu sendiri atau pihak keluarga wanita atau utusan pihak wanita melamar seorang
pria dengan catatan karena tertarik keshalehan pria tersebut.
Namun demikian, dikalangan wanita
sendiri pada masa kehidupan Rasulullah s.a.w. sebenarnya tetap merasa malu dan
merendahkan harga diri wanita jika wanita yang meminang laki-laki. Terbukti
dari celaan putri dari Anas bin Malik r.a. yang mengatakan “betapa sedikit rasa
malunya idih…idih..” ketika melihat ada wanita yang menawarkan dirinya pada
Rasulullah s.a.w. Maka perasaan gengsi dan harga diri wanita lah yang menjadikan
hal ini menjadi tabu. Namun hal ini juga tidak salah.
Maka kita mendapati bahwa oleh
karena Rasulullah s.a.w. dan sahabat Nabi baik Khulafa’ur Rasyidin maupun
sahabat lainnya, tabi’in dan ulama salaf lainnya pada umumnya melakukan pria
lah yang melamar wanita. Maka akan merupakan kebaikan jika kita niatkan pihak
pria lah yang melamar wanita karena kita mengikuti qudwah (teladan) ini. Namun
sekali lagi tidak ada halangan dan larangan wanita lah yang melamar pria
terutama jika si wanita mengharapkan keshalehan pria tsb. Wallahua’lam.
BAB IV
PENUTUP
IV.1.
Kesimpulan
Dari
uraian di muka dapat disimpulkan sebagai berikut:
·
Tradisi peminangan di Tuban, Jawa
Timur, ternyata memiliki perbedaan dengan tradisi peminangan yang dilakukan
oleh masyarakat Jawa pada umumnya. Bentuk variasi tradisi itu ialah peminangan
yang dilakukan oleh pihak keluarga perempuan kepada pihak keluarga laki-laki. Di
tengah perubahan sosial yang terus terjadi, dapat dilihat adanya feno mena yang
terus berlangsung (ajeg) dan ada fenomena yang berubah. Yang ajeg ialah pola
peminangan yang dilakukan oleh perempuan kepada laki-laki sedesa, luar desa,
dan luar kecamatan dengan bahan peminangan yang memiliki kekhasan dengan variasi
yang mengalami perubahan, sedangkan yang berubah lebih nyata ialah akomodas i
tradisi keluarga laki-laki yang akan dijodohkan dengan perempuan yang memiliki
tradisi berbeda. Sebagai akibat peminangan yang dilakukan oleh keluarga
perempuan, posisi perempuan lebih membutuhkan terhadap laki-laki sehingga
berakibat lebih lanjut, yaitu secara ekonomis tanggung jawab perempuan lebih
besar.
·
Menyangkut masalah hukum, peremuan
melamar laki-laki, maka kita mendapati bahwa oleh karena Rasulullah s.a.w. dan
sahabat Nabi baik Khulafa’ur Rasyidin maupun sahabat lainnya, tabi’in dan ulama
salaf lainnya pada umumnya melakukan pria lah yang melamar wanita. Maka akan
merupakan kebaikan jika kita niatkan pihak pria lah yang melamar wanita karena
kita mengikuti qudwah (teladan) ini. Namun sekali lagi tidak ada halangan dan
larangan wanita lah yang melamar pria terutama jika si wanita mengharapkan
keshalehan pria tsb. Wallahua’lam.
IV.2. Saran
Kiranya diperlukan suatu studi
mendalam untuk menjawab kebenaran pernyataan ini dan untuk mengkaji apakah
benar di dalam tradisi di mana kaum perempuan melakukan peminangan terhadap
kaum laki-laki menjadikan peran dan tanggung jawab kaum perempuan menjadi lebih
dominan. Hal ini menjadi penting terkait kajian tentang gender yang dia
sumsikan perlunya kesetaraan. Artinya, dugaan adanya peran subordinat yang
dialami oleh perempuan ini apakah memang nyata terkait dengan tradisi perempuan
membutuhkan laki-laki atau hanya faktor yang kebetulan saja. Untuk masalah
hokum perempuan melamar laki-laki itu sah-sah sja tergantung dari adat daerah
itu sender karena kembali kepada norma-norma yang ada di suatu daerah mana yang
dianggap logis atau tidak sehingga kami lebih menyetujui pluralisme hukum.
Diakses dari : https://www.scribd.com/doc/28851422/contoh-kajian-kasus-antropologi#. Pada hari
kamis tanggal 05 Oktober 2017.
Diakses dari : file:///E:/Semester%20VII/bhn/Muslimah%20Melamar%20Duluan,%20
Siapa%20Takut_.html Pada hari
kamis tanggal 05 Oktober 2017.
Diakses dari : file:///E:/Semester%20VII/bhn/Sejarah%20tradisi%20wanita%20melamar
%20pria%20di%20Lamongan%20_%20merdeka.com.html. Pada hari kamis tanggal 05 Oktober 2017.
Diakses dari : Diakses dari : file:///E:/Semester%20VII/bhn/Selimut%20Jagat_%20KETIKA
%20WANITA%20MELAMAR%20PRIA.html. Pada hari
kamis tanggal 05 Oktober 2017.
Diakses dari : file:///E:/Semester%20VII/bhn/BOLEHKAH%20WANITA%20MELAMAR
%20PRIA_%20_%20Setetes%20Hidayah.html. Pada hari kamis tanggal 05 Oktober 2017.