Saturday, 24 June 2023

 

KETERKAITAN TEORI KEADILAN DENGAN PAJAK AIR TANAH

Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pajak air tanah adalah pajak atas pengambilan dan/ atau pemanfaatan air tanah oleh orang pribadi maupun badan yang semata-mata menggunakan air tanah untuk kegiatan usaha. Sedangkan teori kedailan John Rawls, mengemukakan bahwa Struktur dasar masyarakat yang adil dapat dicapai dengan mengadakan reorganisasi atau penataan kembali susunan dasar masyarakat. Dalam hal ini setiap individu harus dalam keadaan “posisi asli” (original position). Original posisition adalah suatu keadaan awal di mana manusia digambarkan kembali pada sifat-sifat alaminya. Sifat asli manusia adalah mementingkan diri sendiri, egois, moralis. Bertitik tolak dari posisi asli, orang akan sampai pada suatu persetujuan bersama untuk mewujudkan prinsip-prinsip keadilan. Syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai posisi asli tersebut adalah “kerudung ketidaktahuan” (veil of ignorance). Supaya tercapai situasi yang menempatkan para anggota kegiatan struktur dasar masyarakat dalam kedudukan yang sama, maka mereka harus meninggalkan semua pengetahuan partikular mereka. Dalam situasi demikian tidak seorangpun mengerti keduudkannya, dan tidak tahu keuntungan dalam pemberian kekayaan dan kompensasi alamiah. Mereka juga tidak tahu yang akan terjadi terhadap dirinya maupun terhadap orang lain, keadaan semacam ini disebut “kerudung ketidaktahuan” (veil of ignorance).

Munculnya Undang-Undang PDRD Nomor 28 Tahun 2009 tentang penambahan dan pelimpahan jenis pajak dan retribusi daerah menjadi peluang bagi pemerintah daerah untuk dapat memaksimalkan pendapatan daerahnya. Pajak air tanah adalah salah satu pajak yang baru dilimpahkan dari pusat ke kabupaten/kota. Di kota makasasr 85% Badan Usaha sektor perhotelan dan jasa boga yang menggunakan sumber air tanah belum berkontribusi terhadap pelestarian lingkungan. Oleh karena itu, penggalian potensi serta informasi mengenai pajak air tanah di Kota Makassar menjadi salah satu faktor dalam meningkatkan penerimaan pajak daerah. Untuk itu, dalam  tulisan ini saya akan keterkaitan teori keadilan John Rawls dengan pajak air  tanah.

Pada peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 2 Tahun 2018 Tenang Pajak Daerah dalam Pasal 4 terdapat beberapa jenis pajak salah satunya adalah pajak air tanah. Pajak air tanah dalam Pasal 39, dipungut atas pengambilan dan pemanfaatan air tanah, kecuali objek air tanah yang pengambila dan/atau pemanfaatan untuk keperluaan rumah tangga, pengairan pertanian dan perikanan rakyat, serta peribadatan. Selanjutnya dalam Pasal 40, subjek pajak air tanah adalah orang pribad atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau  pemanfaatan air tanah, begitupun wajib pajaknya.

Pada Pasal 41, dasar pengenaan pajak air tanah adalah nilai prolehan air tanah yang dinyatakan dalam rupiah ang dihitung dengan mempertimbangkan sebagian atau seluruh faktor-faktor berikut:

a.       Jeni sumber air

b.      Lokasi sumber air

c.       Tujuan pengambilan dan/atau pemanfatan air

d.      Volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan

e.       Kualitas air, dan

f.        Tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan danatau pemanfaatan air

Yang ditetapkan perauran walikota dengan brpedoman pada nilai perolehan air tanah yang ditetapkan gubernur.

Kemudian pada pasal 42, tarif pajak air tanah ditetapkan sebesar 20%, sedangkan besaran pokok pajak air tanah yang terutang dihitung dengan cara mengaitkan tarif sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 dengan dsaar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 (berdasarkan Pasal 43).

Apabila ditautkan dengan teori kedilan menurut John Rawls, berdasarkan prinsip-prinsip keadilan yang dikemukakannya, khususnya pada Prinsip keduanya, yang terdiri dari dua bagian yaitu : a). Prinsip Perbedaan” (The Difference Principle). Dan b). “Prinsip persamaan yang Adil atas Kesempatan” (The Principle of Fair Equality of Opportunity).

a)      Prinsip Perbedaan (The Deffrence Principle) mengandung arti bahwa perbedaan sosial dan ekonomi harus diukur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Istilah “perbedaan sosial ekonomi” menunjuk pada ketidaksamaan dalam prospek seseorang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan, dan wewenang. Sedangkan istilah “yang paling kurang beruntung” menunjuk

b)      Prinsip Persamaan yang Adil atas Kesempatan (The Principle of Fair Equality of Opportunity) atau mengandung arti bahwa ketidaksamaan sosial ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga membuka jembatan dan kedudukan sosial bagi semua yang ada di bawah kondisi persamaan kesempatan. Orang-orang dengan ketrampilan, kompetensi, dan motivasi, yang sama dapat menikmati kesempatan yang sama pula.

Menurut saya, prinsip ini sejalan dengan Pasal 39 ayat (3) yang memberikan pengecualian bahwa objek air tanah yang pengambilan dan/atau pemanfaatan untuk keperluaan rumah tangga, pengairan pertanian dan perikanan rakyat, serta peribadatan. Selain itu, menurut John Rawls keadilan dan kebutuhan dasar dimana fungsi struktur masyarakat adalah untuk membagi-bagikan hal-hal utama yang ingin diperoleh setiap orang (primary goods). Primary goods ini merupakan kebutuhan dasar manusia, yang diinginkan oleh setiap manusia normal dalam mencapai kebutuhan yang layak, hak-hak, kebebasan, pendapatan, dan kesehatan.

Untuk itu, pemungutan pajak air tanah sepantasnya diterapkan terhadap pelaku usaha perhotelan, restoran, rumah kos dan lainnya. Namun, sangat penting menjaga kualitas lingkungan, khususnya daya dukung kualitas ketersedian air, jangan sampai kondisi air tanah rusak akibat tidak adanya upaya pelestarian dan konservasi yang baik, maka penting adanya produk perda pungutan pajak air tanah di kota makassar. Hal ini karena hampir semua perusahaan industri jasa perhotelan, rumah makan, dan lainnya memanfaatkan sumber air tanah, tanpa melakukan upaya pelestarian ketersedian daya dukung air. Sehingga aturan yang mengatur pungutan pajak air tanah dikota makassar jika ditaukan dnegan teori keadilan John Rawls sudah terdapat prinsip keadilan didalamnya.


 

ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hubungan  antara hukum dan perkembangan masyarakat yang terdapat di barat atau negara-negara maju untuk kemudian dipakai di negara-negara yang sedang berkembang, yang pada  hakikatnya bersumber pada anggapan yang disamakan dengan evolusi menuju  kepada bentuk kemajuan seperti yang dialami oleh bangsa-bangsa barat atau negara-negara maju, sehingga negara-negara yang sedang berkembang memang ditakdirkan untuk menjadi negara yang terbelakang sampai mereka memakai sistem hukum barat.

Berbeda halnya dengan teori Robert B Seidman yang intinya menyatakan bahwa hukum suatu bangsa tidak dapat dialihkan begitu saja kepada bangsa lain, turut memberi warna dalam  upaya pembangunan hukum nasional Indonesia.  Upaya secara sistematis untuk membangun suatu sistem hukum nasional yang mengacu pada cita hukum pancasila dan jangan pernah berfikir untuk mengoper begitu saja sistem hukum negara lain, sekalipun dirasa lebih maju kedalam Hukum Nasional Indonesia, karena belum menjamin akan terlaksana dengan baik. Dalam  membangun tata hukum nasional, kita tidak dapat begitu saja menggunakan dan menerapkan ilmu hukum yang berkembang di negara lain, sekalipun telah memberikan hasil yang bermutu tinggi, kenyataannya antropologis dan sosiologis di Indonesia hingga kini masih memperlihatkan keberagaman kultural, yang sejalan dengan kultur hukum yang beragam pula.

Untuk itu, dalam makalah ini penulis bermaksud untuk menganalisis salah satu peraturan perundang-undangan yang dibentuk salah satunya dengan menimbang bahwa bahwa Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian lahirlah Undang-Undang  Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (selanjutnya UU LLAJ). Namun dalam perkembangannya terdapat beberapa kontroversi mengenai beberapa hal yang diatur didalamnya, seperti kewajiabn menyalakan lampu utama pada siang hari, adanya salah tafsir bunyi pasalnya, penggunaan sepeda motor sebagai angkutan umum, serta keinginan untuk direvisinya UU LLAJ karena munculnya model transportasi publik online yang perlu diatur.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari uraian dalam  latar belakang sebagaimana dikemukakan penulis, maka penulis bermaksud  menganalisis Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

a.      Lalu Lintas[1]

Lalu lintas di dalam UU LLAJ didefinisikan sebagi gerak kendaraan dan orang di  ruang lalu lintas jalan, sedangkan yang dimaksud ruang lalu lintas jalan adalah prasarana yang diperuntukan bagi gerak pindah kendaraan, orang, dan/atau barang yang berupa jalan dan fasilitas pendukung.

b.      Angkutan Jalan[2]

Angkutan Jalan adalah kendaraan yang diperbolehkan untuk menggunakan jalan, menurut “peraturan pemerintah nomor 44 tahun 1993 tentang kendaraan dan pengemudi” disebutkan:

a.       Sepeda motor

Adalah kendaraan bermotor beroda 2 (dua), atau 3 (tiga) tanpa rumah-rumah baik dengan atau tanpa kereta samping.

b.      Mobil penumpang

Adalah setiap kendaraan bermotor yang dilengkapi sebanyak-banyaknya 8 (delapan) tempat duduk tidak termasuk tempat duduk pengemudi, bai denga maupun tanpa perlengkapan pengangkutan bagasi.

c.       Mobil bus

Adalah setiap kendaran bermotor yang dilengkapi lebih dari 8 (delapan) tempat duduk tidak termasuk tempat duduk pengemudi, baik dengan maup tanpa perlengkapan pengangkutan bagasi.

d.      Mobil barang

Adalah setiap kendaraan bermotor selain dari yang termasuk dalam sepeda motor, mobil penumpang dan mobil bus.

2.2. Teori Perubahan Hukum Oleh Robert B Seidmen[3]

Analisis mengenai pengalihan hukum asing oleh suatu bangsa yang dapat digolongkan ke dalam studi hukum dan masyarakat pernah dilakukan oleh Robert B. Seidman mengenai negara-negara bekas jajahan Inggris di Afrika. Dengan melakukan penelitian Seidman ingin memperoleh jawaban mengenai apakah yang akan terjadi bila peraturan-peraturan hukum diambil alih dari negara-negara yang sudah maju dahulu.

Setelah mengadakan penelitian mengenai hukum administrasi di Afrika bekas jajahan Inggris, Robert B. Seidman menarik kesimpulan bahwa hukum suatu bangsa tidak dapat dialihkan begitu saja kepada bangsa lain dan penemuannya ini dirumuskannya dalam sebuah dalil yang berjudul “The Law of Nontransferability of Law” (Hukum mengenai tidak dapat dialihkannya hukum).

Penelitian itu didasarkan pada anggapan bahwa hukum administrasi di Afrika bekas jajahan Inggris mengikuti hukum yang berlaku di Inggris, yaitu “The Common Law System”. Hukum administrasi ini secara formal memenuhi persyaratan sebagai hukum yang bersifat yuridis rasional tetapi hukum administrasi di Afrika bekas jajahan Inggris menghadapi kenyataan yang berbeda. Hukum administrasi yang bersifat yuridis-rasional ini, seharusnya didasarkan pada birkorasi yang instrumental dengan rumusan perananperanan yang sesempit mungkin, untuk membatasi timbulnya pengaruh yang subyektif.Ini berarti bahwa kebebasan para pejabat dalam memutuskan sesuatu sangat dibatasi.

Ternyata bahwa hukum yang demikian ini tidak mampu menangani keadaan di Afrika bekas jajahan Inggris itu. Hukum yang diwarisi dari Inggris tidakcukup memberikan peraturan-peraturan yang dibutuhkan guna mengendalikan para pejabat pemerintahan di Afrika yang berada tersebar di pedalaman. Untuk mengatasi keadaan yang demikan ini dibutuhkan pemerintahan yang sifatnya otoriter dan dibutuhkan pelaksanaan hukum yang didasarkan inisiatif perorangan.

Dalam kenyataannya menunjukkan bahwa peraturan-peraturan hukum administrasi yang kurang memenuhi persyaratan itu, pada akhirnya jugadapat dipakai untuk mengatur. Hal ini disebabkan karena peranan lembaga informal dari kelompok pejabat kulit putih bangsa Inggris yang ditugaskan di Afrika. Lembaga informal ini terbentuk karena suatu sistem penerimaan orang-orang yang memiliki sifatsifat yang khas yang mengakibatkan terbentuknya seperangkat nilai-nilai yang menjadi dasar pengikat di antara mereka. Yang memung-kinkan terbentuknya nilai-nilai yang menjadi pengikat ini adalah karena pejabatpejabat bangsa Inggris tersebut, semuanya adalah lulusan ‘public schools’ di Inggris yang terkenaltelah berhasil menciptakan ‘English Gentleman’ yang memiliki watak-watak yang kemudian dihayati sebagai etos lembaga informal itu, yaitu nilai-nilai dan sikap-sikap paternalistik, otoriter, tidak korup, memiliki semangat pengabdian yang tinggi pada tugas, sadar akan kewajiban, memiliki inisiatif perseorangan, tahu bagaimana memerintah dan memberi perintah-perintah, tetapi tinggi hati (sombong).

Nilai-nilai dan sikap-sikap ilmiah yang mampu menggantikan peraturan-peraturan yang terperinci yang dibutuhkan oleh masyarakat jajahan itu. Kekurangankekurangan di bidang pengaturan hukum administrasi yang formal, telah diisi oleh ethos yang dihayati oleh seluruh anggota – anggota lembaga informal yang terdiri dari pejabatpejabat kolonial kulit putih Inggris. Tanpa dukungan ethos seperti itu, hukum administrasi yang dijalankan di Afrika jajahan Inggris, tidak akan dapat berjalan dengan lancar dan peristiwa demikian itu terbukti ketika Inggris meninggalkan jajahannya di Afrika itu. Mulai saat itu kehidupan hukum di tempat-tempat itu jauh merosot dibandingkan semasa masih dijajah oleh Inggris.

Kesimpulan bahwa hukum suatu bangsa tidak dapat dialihkan begitu saja kepada bangsa lain oleh Robert B. Seidman didasarkan pada analisis-analisis sebagai berikut:

1.      Untuk mengetahui bagaimana seseorang pemegang peran di dalam masyarakat akan bertindak, harus ditinjau dalam hubungannya dengan fungsi-fungsi dari faktor-faktor yang berhubungan dengan peran yang diharapkan (role expectation) dari orang itu. Fungsi-fungsi itu adalah:

a.       Peraturan-peraturan hukum yang ditujukan kepada orang itu;

b.      Sanksi-sanksi peraturan hukum tersebut;

c.       Aktivitas lembaga penerap sanksi seperti: pengadilan, kejaksaan, kepolisian;

d.      Seluruh komplek kekuatan-kekuatan sosial, politik, ekonomi yang mempengaruhinya.

2.      Bila peraturan hukum tertentu sudah berhasil meng-gerakkan perilaku anggotaanggota masya-rakat, maka keadaan itu merupakan sesuatu yang bersifat khas dalam masyarakat terebut.

3.      Penggunaan peraturan-peraturan hukum sama, berikut sanksinya, harus ditempatkan dalam konteks waktu dan tempat tertentu.

Oleh karena itu penggunaan peraturan hukum tersebut untuk waktu dan tempat yang berbeda dan juga dengan lembaga penerap sanksi yang berbeda serta kompleks kekuatan sosial, politik, ekonomi, yang mempengaruhi pemegang peran yang berbeda pula, tidak dapat diharapkan akan menimbulkan aktivitas pemegang peran yang sama dengan yang terjadi di tempat asal dari peraturan-peraturan hukum tersebut.

BAB III

ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN

 

Pada dasarnya adaya pemahaman yang menolak evolusioner tentang masyarakat yang terlalu sederhana dan mutlak, dikarenakan atas dasar perkembangan masyarakat sebagai proses sosial adalah suatu peristiwa kompleks. Namun demikian di pihak lain tidak dapat diabaikan kenyataannya, dinegara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, masyarakat modern merupakan tujuan yang ingin dicapai. Dalam menghadapi keadaan tersebut diperlukan suatu kerangka teori yang bisa dipakai untuk memahami perkembangan tersebut tanpa memastikan jalan yang bagaimana yang harus dilalui. Penggunaan hukum secara demikian itu makin memperkuat kedudukan negara, oleh karena konsepsi tersebut memberikan kelulusan dan kesempatan yang besar kepada negara untuk mengambil tindakan-tidakan yang dipandangnya perlu guna membawa masyarakat kepada perubahan yang dikehendaki dan menuangkan kebijakan-kebijakan tersebut dalam hukum.

Berbeda halnya dengan teori Robert B Seidman yang intinya menyatakan bahwa hukum suatu bangsa tidak dapat dialihkan begitu saja kepada bangsa lain, turut memberi warna dalam  upaya pembangunan hukum nasional Indonesia.  Upaya secara sistematis untuk membangun suatu sistem hukum nasional yang mengacu pada cita hukum pancasila dan jangan pernah berfikir untuk mengoper begitu saja sistem hukum negara lain, sekalipun dirasa lebih maju kedalam Hukum Nasional Indonesia, karena belum menjamin akan terlaksana dengan baik. Dalam membangun tata hukum nasional, kita tidak dapat begitu saja menggunakan dan menerapkan ilmu hukum yang berkembang di negara lain, sekalipun telah memberikan hasil yang bermutu tinggi, kenyataannya antropologis dan sosiologis di Indonesia hingga kini masih memperlihatkan keberagaman kultural, yang sejalan dengan kultur hukum yang beragam pula.

Dapat dipahami bahwa efektif berlakunya hukum sangat ditentukan oleh culture. Bagaimana hukum  itu dapat diterima oleh masyarakat karena sejalan dengan nilai, budaya, sistem yang hidup dalam masyarakat. Sering kita mendengar, melihat, menjumpai atau bahkan kita sendiri yang mengalami anggota DPR dan DPRD melakukan kunjungan keluar negeri mempelajari atau bahkan menjiblak aturan hukum negara lain, istilah populer saat ini copy paste, kalau sekedar mempelajari hukum negara lain, menguak keefektifan berlakunya hukum   negara lain dan bagaimana hukum  itu bisa efektif di negara lain saya kira itu hal yang wajar-wajar saja.

Tidak bisa kita pungkiri bahwa hal tersebut dibutuhkan dalam membentuk suatu hukum disuatu negara, terutama negara-negara yang berkembang seperti halnya Indonesia, dikarenakan negara-negara berkembang tirtinggal jauh dari negara-negara maju salah satu dalam segi hukum. Untuk itu agar kita tidak tertinggal maka kita perlu mencontoh hukum-hukum yang telah ada di negara-negara maju tetapi bukan berarti kita mengambil hukum tersebut lalu diterapakan di negara kita begitu saja, tetapi kita hanya menjadikan contoh model hukum tersebut untuk dibuatkan hukum yang sesuai dengan kultur dinegara kita.

Salah satu contohnya adalah UU LLAJ,  yang merupakan  UU yang lahir setalah kunjungan keluar negeri untuk mempelajari aturan lalu lintas dan angkutan jalan. Salah satu pasal yang menjadi kontroversi adalah pasal 107 ayat (2) dan Pasal 293 ayat (2) terkait Kewajiban menyalakan lampu utama “pada siang hari” dianggap  tidak bermanfaat dan justru merugikan karena menghambat kegiatan masyarakat. Begitu pula pada siang hari lampu utama tidak mudah diketahui  pengemudi apakah sudah menyala ataupun tidak. Bisa saja secara tiba-tiba lampu utama mengalami kerusakan di perjalanan dan itu mungkin saja akan sulit terdeteksi oleh pengemudi akibat sinar matahari lebih terang daripada lampu utama kendaraan bermotor.

Disampig itu menyalakan lampu sepeda motor di siang hari merupakan tindakan tidak ramah lingkungan dan merupakan bentuk pemborosan. Hal ini juga menguntungkan pihak produsen lampu dan turunan-turunannya dan sangat merugikan konsumen. Kemudian, kalau dikatakan untuk keselamatan pengendaa agar jelas terlihat dari arah yang berlawanan, mengapa tetap harus dinyalakan pada lajur kendaraan yang satu arah.

Hal ini sering menimbulkan permasalahan ketika ada pihak-pihak yang ditilang karena tidak menyalakan lampu utama disiang hari, misalanya tidak menyalakan lampu motor sementara lampu motor tidak menyala karea putus yang dapat dibuktikan dengan saklar lampu pada posisi ON, atau timbulnya perdebatan apabila pihak yang tidak terima ini ditilang diwaktu yang mereka anggap bukan siang hari.

Namun, aturan kewajiban menyalakan lampu di sepanjang hari bukan hanya diabsorpsi dalam hukum positif indonesia. Banyak negara di dunia yang mewajibkan sepeda motor menyalakan lampu utama siang-malam dengan alasan keselamatan. Dan terbukti bahwa menyalakan lampu kendaraan bermotor pada siang hari bisa menurunkan angkan kecelakaan terkait masalah visibilitas.

Selain itu, Gustav Radbruch[4] mengitrodusir tiga aspek tujuan dari hukum yaitu kepastian, keadilan dan kemanfaaan, terkait dengan kepastian hukum, hukum positif Indonesia melalui UU 12/2011 sebagaimana telah diubah dengan UU 15/2019 telah memua asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik berupa “asas kejelasan rumusan” yang terdapat dalam pasal 5 huruff, serta Pasal 6 ayat (1) hu mengatur mengenai “asas ketertiban dan kepastian hukum” sebagai asas materi muatan.

Maksud dari asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi teknis penyusun peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata, ata istilah, serta bahasa hukum yang jelasa dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbaga macam interpertasi dalam pelaksanaannya. Sementara yang dimaksud “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwasetiap peraturan perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyaraka melalui jaminan kepastian hukum.

Kejelasan rumusan bertujuan menghindari ketaksaan norma. Sementara ketaksaan norma potensial menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda. Interpretasi yang berbeda jelas akan menyebabkan penerapan norma yang berbeda pula. Kendati demikian,rummusan suatu norma harus disusun secara jelas dan tegas untuk menghindarkan masyarakat dari kebingungan normatif sekaligus menghindarkan penerapan norma yang berbeda oleh pelaksanaan hukum. Namun sekiranya suatu norma dipandang masih memerlukan penjelasan, maka sebaikna dituangkan pada bagian penjelasan.

Dalam konteks UU LLAJ, frasa “pada siang hari” bersifat ambigu. Apalagi di dalam pasa a quo tidak memuat penjelasan yang secara spesifik mengenai frasa tersebut oleh pembentk UU sebagai tafsir resmi (autentik). Ambiguitas frasa tersebut dapat diukur dari kebiasaan masyarakat menginterpretasikan “sian hari” dimulai dari jam 11.00-14.00 WIB. Artinya, jika maksud frasa siang hari mengikuti kebiasaan umum di masyarakat, maka tidak ada kewajiban bagi pengendra motor menyalakan lampu utamanyadi luar jam tersebut.

Namun, secara yuridis aturan kewajibanmenalakan lampu tidak hanya pada siang hari. Pasal 107 ayat (1) menegaskan “Pengemudi kendaran bermotor wajib menyalakan lampu  utama kendraan bermotor yang digunakan di jalan pada malam hari dan pada kondisi tertentu.” Jika ditafirkan secara sistematis, maka terdapat tiga waktu keadaan di manapengendara motor wajib menyalakan lampu utama, yakni pada malam hari, pada kondisi tertentu, dan pada siang hari.

Kendati demikian, maka kurang tepat jika makna “siang hari” dimulai padasaat terbitnya matahari sampai terbenam dan makana “malam hari” adalah waktu setelah matahari terbenam hingga matahari terbit. Sebba masih terdapat suatu kondisi atau waktu diaman ada keharusan bagi pengendara motor untuk menyalakan lamu utama selain di waktu siang-malam hari. Oleh karena itu, dibutuhkan adana penafsiaran tunggal terhadap frasa “pada siang hari”, termasuk frasa “pada malam hari”. Penafsiaran ini diperlukan untuk menghindarai kebingungan normatif sekaligus memastikan tindak penegak hukum tidak sewenang-wenang.

Selanjutnya salah tafsir pasal 106 UU LLAJ yang menjadi kontroversi larangan rokok dan musik saat berkendara,[5] hal ini ramai diperbincangkan setela ada imbauan dari Polri hingga berbagai kalangan meminta klarifikasi atas pelanggaran itu. Namun, Polri sudah menegaskan kedua aktivitas tersebut dilarang dan tidak ada sanksi bagi yang melakoninya. Upaya ini dilakukan POLRI sebagai bagaian untuk meningkakan kesadaran masyarakat akan keselmaan berlalu lintas.

Direktur keamaan dan keselamatan Korlantas Polri, Brigjen Chrysnanda mengatakan banyak kalangan menilai pengguna jalan akan tertib dengan penegakan hukum hingga hukuman berat sebagi efek jera. Dia menilai issue ini muncul karena kekeliruan menafsirkan pasal 106 ayat (1) UU LLAJ. Berdasarkan penjabaran pasal yang isinya mengatur konsetrasi berlalu lintas dianolgikan dengan kebiasaan para pengemudi. Sehingga terjadi kontroversial dan mempertanyakan mengapa bisa demikan.

Bagi penulis sendiri hal ini sebenrnya tidak perlu dipermasalahkan karena hal ini sebenarnya untuk keselamatan kita sendiri, apalagi untuk pengguna sepeda motor, dimana sering penulis dapatkan pengendara sepeda motor menggunakan eraphon untuk mendengarkan musik saat berkendara ataupun sedang merokok, hal tersebut tentu dapat membahayakan dirinya sendiri maupun pengguna jalan yang lain.

 Selain itu, adanya pro dan kontra terkait penggunaan sepeda motor sebagai moda transportasi angkutan umum sejatinya bukan hal yang baru.[6] Namun, hal tersebut kembali muncul ke permukaan dengan adanya fenomena transportasi berbasis aplikasi online (transportasi online). Transportasi online di Indonesia mulai booming sekitar tahun 2015. Bisnis transportasi online sebenarnya sudah dimulai beberapa tahun sebelum itu, seperti yang dilakukan oleh Gojek. Perusahaan ini sudah memulai bisnis sejak tahun 2010. Pada saat memulai bisnisnya, Gojek melayani pesanan via telepon dan short message service (sms).

Pengaturan sepeda motor sebagai moda transportasi di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Dalam Pasal 1 UU LLAJ dijelaskan bahwa “Kendaraan bermotor umum adalah setiap kendaraan yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran”. Pasal 47 UU LLAJ mengelompokkan kendaraan menjadi 2 (dua) yaitu kendaraan bermotor dan kendaraan tidak bermotor. Terkait kendaraan bermotor, jenisnya adalah sebagai berikut: 1). Sepeda motor; 2). Mobil penumpang; 3). Mobil bus; 4). Mobilbarang; 5). Kendaraan khusus.

Lebih lanjut, kendaraan bermotor tersebut mempunyai fungsi sebagai kendaraan motor umum perseorangan dankendaraan bermotor umum. Dari kelima moda transportasi yang telah disebutkan di atas, hanya mobil penumpang, mobil bus,dan mobil barang yang mempunyai fungsisebagai kendaraan bermotor umum. Pasal 38 UU LLAJ menjelaskan bahwa angkutan umum diselenggarakan dalam upaya memenuhi kebutuhan angkutan yang selamat, aman, nyaman, dan terjangkau.Kemudian, untuk angkutan umum dan/atau barang hanya dapat dilakukan dengan kendaraan bermotor umum. Dari penjelasan tersebut, maka sepeda motor tidak termasuk sebagai angkutan umum karena bukan termasuk kendaraan bermotor umum. Sehubungan dengan itu, UU LLAJjuga tidak mengatur secara tegas larangan beroperasinya angkutan umum menggunakan sepeda motor. Pengaturan tersebut mengakibatkan beberapa daerah membolehkan beroperasinya sepeda motor sebagai angkutan umum sementara daerah lainnya melarang.

Selain UU LLAJ, perlu dilihat pengaturan sepeda motor dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan (PP Angkutan Jalan) yang merupakan peraturan turunan dari UU LLAJ. Pasal 1 PP Angkutan Jalan menjelaskan bahwa “Angkutan adalah perpindahan orang dan/atau barang darisatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan di ruang lalu lintas jalan”. Dalam Pasal 3 PP Angkutan Jalan dijelaskan bahwa angkutan orang dan/ atau barang dapat menggunakan kendaraan bermotor dan kendaraan tidak bermotor. Terkait kendaraan bermotor, pengelompokannya sebagai berikut: 1). Sepeda motor; 2). Mobil penumpang; 3).Mobil bus; 4). Mobil barang.

Jadi, dalam PP Angkutan Jalan diakui keberadaan sepeda motor sebagai moda transportasi yang dapat digunakan sebagai angkutan orang dan/atau barang. Dari pengaturan yang terdapat dalam UU LLAJ dan PP Angkutan Jalan mengenai sepeda motor, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1.      Sepeda motor masuk dalam jenis kendaraan bermotor, namun tidak dijelaskan fungsi dari sepeda motor tersebut.

2.      Tidak ada penjelasan mengenai kendaraan bermotor perseorangan.

3.      Tidak menyebutkan secara tegas larangan beroperasinya angkutan umum menggunakan sepeda motor.

4.      Sepeda motor dapat digunakan sebagai angkutan orang dan/atau barang tetapi tidak boleh memungut bayaran.

 

Untuk penulis sendiri, terlepas dari manfaat yang dirasakan konsumen, keberadaan jasa transfortasi berbasis aplikasi tetap akan menuai kontroversi, khususnya terkait dasar hukum, sehingga adanya anggapan untuk merevisi UU LLAJ, untuk mengakomodasi keberadaan jasa transportasi berbasis aplikasi mungkin bisa menjadi solusi. Sebab adanya anggapan bahwa revisi UU LLAJ diharapkan dapat menjadi payung hukum bagi jasa transportasi berbasis aplikasi, tidak hanya mengatur transportasi aplikasi, tetapi juga standar pelayann minimal dalam rangka melindungi konsumen dan keselamatan dalam berlalu lintas.

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV

KESIMPULAN

Dalam membentuk suatu hukum disuatu negara, terutama negara-negara yang berkembang, dikarenakan negara-negara berkembang tertinggal jauh dari negara-negara maju salah satu dalam segi hukum. Untuk itu agar kita tidak tertinggal maka kita perlu mencontoh hukum-hukum yang telah ada di negara-negara maju tetapi bukan berarti kita mengambil hukum tersebut lalu diterapakan di negara kita begitu saja, tetapi kita hanya menjadikan contoh model hukum tersebut untuk dibuatkan hukum yang sesuai dengan kultur dinegara kita. Seperti halnya UU LLAJ yang menimbulkan kontoversi terutama terkait kewajiban menyalakan lampu utama pada siang hari, yang dianggap tidak bermanfaat, meskipun banyak negara di dunia yang mewajibkannya dan terbukti menurunkan angka kecelakaan. Selain itu adanya kontroversi lain terkait salah penafsiran pasal 106 untuk larangan rokok dan musik saat berkendara yang menurut penulis tidak perlu diperdebatkan karena hal itu baik untuk keselamatan diri sendiri dan orang lain terutama pengguna sepeda motor, serta penggunaan angkutan umum yang menjadi pro dan kontra terutama saat ini dimana, aplikasi transpotasi online sedang diminati, sehingga perlu adanya revisi UU LLAJ.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Bambang Santoso, Relevansi Pemikiran Teori Robert B Seidman Tentang ‘The Law Of Non Transferability Of The Law’ Dengan Upaya Pembangunan Hukum Nasional Indonesia, Diakses melalui: www.google.com. Pada hari Rabu, tanggal 22 April 2020.

M.Nurfaik, Kontroversi Penggunaan Sepeda Motor Sebagai Angkutan Umum, Diakses melalui: www.google.com. Pada hari Rabu, tanggal 22 April 2020.

Diakses melalui: https://m.tibunnews.com/amp/nasional/2018/03/04/alah-tafsir-pasal-106-llaj-jadi-kotroversi-larangan-rokok-dan-musik-saat-berkendra. Pada hari Rabu, tanggal 22 April 2020.

Diakses melalui: https://m.detik.com/news/berita/d-4856541/lampu-sepeda-motor-wajib-nyala-di-siang-hari-digugat-ke-mk-ini-kata-polri. Pada hari Rabu, tanggal 22 April 2020.

Diakses melalui: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Angkutan-Jalan. Pada hari Rabu, tanggal 22 April 2020.

Diakses melalui: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Lalu-Lintas. Pada hari Rabu, tanggal 22 April 2020.

 

 



[1] Diakses melalui: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Lalu-Lintas. Pada hari Rabu, tanggal 22 April 2020.

[2] Diakses melalui: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Angkutan-Jalan. Pada hari Rabu, tanggal 22 April 2020.

[3] Bambang Santoso, Relevansi Pemikiran Teori Robert B Seidman Tentang ‘The Law Of Non Transferability Of The Law’ Dengan Upaya Pembangunan Hukum Nasional Indonesia, Diakses melalui: www.google.com. Pada hari Rabu, tanggal 22 April 2020

[5] Diakses melalui: https://m.tibunnews.com/amp/nasional/2018/03/04/alah-tafsir-pasal-106-llaj-jadi-kotroversi-larangan-rokok-dan-musik-saat-berkendra. Pada hari Rabu, tanggal 22 April 2020.

[6] M.Nurfaik, Kontroversi Penggunaan Sepeda Motor Sebagai Angkutan Umum, Diakses melalui: www.google.com. Pada hari Rabu, tanggal 22 April 2020.


  KETERKAITAN TEORI KEADILAN DENGAN PAJAK AIR TANAH Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pajak air tanah adalah pajak atas pengambila...