ANALISIS
UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hubungan antara hukum dan perkembangan masyarakat yang
terdapat di barat atau negara-negara maju untuk kemudian dipakai di negara-negara
yang sedang berkembang, yang pada hakikatnya bersumber pada anggapan yang disamakan
dengan evolusi menuju kepada bentuk
kemajuan seperti yang dialami oleh bangsa-bangsa barat atau negara-negara maju,
sehingga negara-negara yang sedang berkembang memang ditakdirkan untuk menjadi
negara yang terbelakang sampai mereka memakai sistem hukum barat.
Berbeda halnya dengan teori Robert B Seidman yang intinya
menyatakan bahwa hukum suatu bangsa tidak dapat dialihkan begitu saja kepada
bangsa lain, turut memberi warna dalam upaya pembangunan hukum nasional Indonesia. Upaya secara sistematis untuk membangun suatu
sistem hukum nasional yang mengacu pada cita hukum pancasila dan jangan pernah
berfikir untuk mengoper begitu saja sistem hukum negara lain, sekalipun dirasa
lebih maju kedalam Hukum Nasional Indonesia, karena belum menjamin akan
terlaksana dengan baik. Dalam membangun
tata hukum nasional, kita tidak dapat begitu saja menggunakan dan menerapkan
ilmu hukum yang berkembang di negara lain, sekalipun telah memberikan hasil
yang bermutu tinggi, kenyataannya antropologis dan sosiologis di Indonesia
hingga kini masih memperlihatkan keberagaman kultural, yang sejalan dengan
kultur hukum yang beragam pula.
Untuk itu, dalam makalah ini penulis bermaksud
untuk menganalisis salah satu peraturan perundang-undangan yang dibentuk salah
satunya dengan menimbang bahwa bahwa Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi
nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana
diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dengan demikian lahirlah Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan (selanjutnya UU LLAJ). Namun dalam perkembangannya terdapat
beberapa kontroversi mengenai beberapa hal yang diatur didalamnya, seperti
kewajiabn menyalakan lampu utama pada siang hari, adanya salah tafsir bunyi
pasalnya, penggunaan sepeda motor sebagai angkutan umum, serta keinginan untuk
direvisinya UU LLAJ karena munculnya model transportasi publik online yang
perlu diatur.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari uraian dalam latar belakang sebagaimana dikemukakan
penulis, maka penulis bermaksud menganalisis
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan
a. Lalu Lintas
Lalu lintas di dalam UU LLAJ didefinisikan sebagi gerak kendaraan dan
orang di ruang lalu lintas jalan,
sedangkan yang dimaksud ruang lalu lintas jalan adalah prasarana yang
diperuntukan bagi gerak pindah kendaraan, orang, dan/atau barang yang berupa
jalan dan fasilitas pendukung.
b. Angkutan Jalan
Angkutan Jalan adalah kendaraan yang diperbolehkan untuk menggunakan
jalan, menurut “peraturan pemerintah nomor 44 tahun 1993 tentang kendaraan dan
pengemudi” disebutkan:
a. Sepeda motor
Adalah
kendaraan bermotor beroda 2 (dua), atau 3 (tiga) tanpa rumah-rumah baik dengan
atau tanpa kereta samping.
b. Mobil penumpang
Adalah
setiap kendaraan bermotor yang dilengkapi sebanyak-banyaknya 8 (delapan) tempat
duduk tidak termasuk tempat duduk pengemudi, bai denga maupun tanpa
perlengkapan pengangkutan bagasi.
c. Mobil bus
Adalah
setiap kendaran bermotor yang dilengkapi lebih dari 8 (delapan) tempat duduk
tidak termasuk tempat duduk pengemudi, baik dengan maup tanpa perlengkapan
pengangkutan bagasi.
d. Mobil barang
Adalah
setiap kendaraan bermotor selain dari yang termasuk dalam sepeda motor, mobil
penumpang dan mobil bus.
2.2. Teori Perubahan
Hukum Oleh Robert B Seidmen
Analisis
mengenai pengalihan hukum asing oleh suatu bangsa yang dapat digolongkan ke
dalam studi hukum dan masyarakat pernah dilakukan oleh Robert B. Seidman
mengenai negara-negara bekas jajahan Inggris di Afrika. Dengan melakukan penelitian
Seidman ingin memperoleh jawaban mengenai apakah yang akan terjadi bila peraturan-peraturan
hukum diambil alih dari negara-negara yang sudah maju dahulu.
Setelah
mengadakan penelitian mengenai hukum administrasi di Afrika bekas jajahan Inggris,
Robert B. Seidman menarik kesimpulan bahwa hukum suatu bangsa tidak dapat dialihkan
begitu saja kepada bangsa lain dan penemuannya ini dirumuskannya dalam sebuah dalil
yang berjudul “The Law of Nontransferability of Law” (Hukum mengenai tidak
dapat dialihkannya hukum).
Penelitian
itu didasarkan pada anggapan bahwa hukum administrasi di Afrika bekas jajahan
Inggris mengikuti hukum yang berlaku di Inggris, yaitu “The Common Law System”.
Hukum administrasi ini secara formal memenuhi persyaratan sebagai hukum yang bersifat
yuridis rasional tetapi hukum administrasi di Afrika bekas jajahan Inggris menghadapi
kenyataan yang berbeda. Hukum administrasi yang bersifat yuridis-rasional ini,
seharusnya didasarkan pada birkorasi yang instrumental dengan rumusan
perananperanan yang sesempit mungkin, untuk membatasi timbulnya pengaruh yang
subyektif.Ini berarti bahwa kebebasan para pejabat dalam memutuskan sesuatu
sangat dibatasi.
Ternyata
bahwa hukum yang demikian ini tidak mampu menangani keadaan di Afrika bekas
jajahan Inggris itu. Hukum yang diwarisi dari Inggris tidakcukup memberikan
peraturan-peraturan yang dibutuhkan guna mengendalikan para pejabat
pemerintahan di Afrika yang berada tersebar di pedalaman. Untuk mengatasi
keadaan yang demikan ini dibutuhkan pemerintahan yang sifatnya otoriter dan
dibutuhkan pelaksanaan hukum yang didasarkan inisiatif perorangan.
Dalam
kenyataannya menunjukkan bahwa peraturan-peraturan hukum administrasi yang
kurang memenuhi persyaratan itu, pada akhirnya jugadapat dipakai untuk
mengatur. Hal ini disebabkan karena peranan lembaga informal dari kelompok
pejabat kulit putih bangsa Inggris yang ditugaskan di Afrika. Lembaga informal
ini terbentuk karena suatu sistem penerimaan orang-orang yang memiliki
sifatsifat yang khas yang mengakibatkan terbentuknya seperangkat nilai-nilai
yang menjadi dasar pengikat di antara mereka. Yang memung-kinkan terbentuknya
nilai-nilai yang menjadi pengikat ini adalah karena pejabatpejabat bangsa
Inggris tersebut, semuanya adalah lulusan ‘public schools’ di Inggris yang
terkenaltelah berhasil menciptakan ‘English Gentleman’ yang memiliki
watak-watak yang kemudian dihayati sebagai etos lembaga informal itu, yaitu
nilai-nilai dan sikap-sikap paternalistik, otoriter, tidak korup, memiliki
semangat pengabdian yang tinggi pada tugas, sadar akan kewajiban, memiliki
inisiatif perseorangan, tahu bagaimana memerintah dan memberi
perintah-perintah, tetapi tinggi hati (sombong).
Nilai-nilai
dan sikap-sikap ilmiah yang mampu menggantikan peraturan-peraturan yang
terperinci yang dibutuhkan oleh masyarakat jajahan itu. Kekurangankekurangan di
bidang pengaturan hukum administrasi yang formal, telah diisi oleh ethos yang
dihayati oleh seluruh anggota – anggota lembaga informal yang terdiri dari
pejabatpejabat kolonial kulit putih Inggris. Tanpa dukungan ethos seperti itu,
hukum administrasi yang dijalankan di Afrika jajahan Inggris, tidak akan dapat
berjalan dengan lancar dan peristiwa demikian itu terbukti ketika Inggris
meninggalkan jajahannya di Afrika itu. Mulai saat itu kehidupan hukum di
tempat-tempat itu jauh merosot dibandingkan semasa masih dijajah oleh Inggris.
Kesimpulan
bahwa hukum suatu bangsa tidak dapat dialihkan begitu saja kepada bangsa lain
oleh Robert B. Seidman didasarkan pada analisis-analisis sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui bagaimana seseorang pemegang peran di dalam masyarakat akan
bertindak, harus ditinjau dalam hubungannya dengan fungsi-fungsi dari
faktor-faktor yang berhubungan dengan peran yang diharapkan (role expectation)
dari orang itu. Fungsi-fungsi itu adalah:
a. Peraturan-peraturan
hukum yang ditujukan kepada orang itu;
b. Sanksi-sanksi
peraturan hukum tersebut;
c. Aktivitas
lembaga penerap sanksi seperti: pengadilan, kejaksaan, kepolisian;
d. Seluruh
komplek kekuatan-kekuatan sosial, politik, ekonomi yang mempengaruhinya.
2. Bila
peraturan hukum tertentu sudah berhasil meng-gerakkan perilaku anggotaanggota
masya-rakat, maka keadaan itu merupakan sesuatu yang bersifat khas dalam
masyarakat terebut.
3. Penggunaan
peraturan-peraturan hukum sama, berikut sanksinya, harus ditempatkan dalam
konteks waktu dan tempat tertentu.
Oleh
karena itu penggunaan peraturan hukum tersebut untuk waktu dan tempat yang
berbeda dan juga dengan lembaga penerap sanksi yang berbeda serta kompleks
kekuatan sosial, politik, ekonomi, yang mempengaruhi pemegang peran yang
berbeda pula, tidak dapat diharapkan akan menimbulkan aktivitas pemegang peran
yang sama dengan yang terjadi di tempat asal dari peraturan-peraturan hukum
tersebut.
BAB III
ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU
LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
Pada dasarnya adaya pemahaman yang menolak
evolusioner tentang masyarakat yang terlalu sederhana dan mutlak, dikarenakan
atas dasar perkembangan masyarakat sebagai proses sosial adalah suatu peristiwa
kompleks. Namun demikian di pihak lain tidak dapat diabaikan kenyataannya, dinegara-negara
yang sedang berkembang seperti Indonesia, masyarakat modern merupakan tujuan
yang ingin dicapai. Dalam menghadapi keadaan tersebut diperlukan suatu kerangka
teori yang bisa dipakai untuk memahami perkembangan tersebut tanpa memastikan
jalan yang bagaimana yang harus dilalui. Penggunaan hukum secara demikian itu
makin memperkuat kedudukan negara, oleh karena konsepsi tersebut memberikan
kelulusan dan kesempatan yang besar kepada negara untuk mengambil
tindakan-tidakan yang dipandangnya perlu guna membawa masyarakat kepada
perubahan yang dikehendaki dan menuangkan kebijakan-kebijakan tersebut dalam
hukum.
Berbeda halnya dengan teori Robert B Seidman yang intinya
menyatakan bahwa hukum suatu bangsa tidak dapat dialihkan begitu saja kepada
bangsa lain, turut memberi warna dalam
upaya pembangunan hukum nasional Indonesia. Upaya secara sistematis untuk membangun suatu
sistem hukum nasional yang mengacu pada cita hukum pancasila dan jangan pernah
berfikir untuk mengoper begitu saja sistem hukum negara lain, sekalipun dirasa
lebih maju kedalam Hukum Nasional Indonesia, karena belum menjamin akan
terlaksana dengan baik. Dalam membangun tata hukum nasional, kita tidak dapat
begitu saja menggunakan dan menerapkan ilmu hukum yang berkembang di negara
lain, sekalipun telah memberikan hasil yang bermutu tinggi, kenyataannya
antropologis dan sosiologis di Indonesia hingga kini masih memperlihatkan
keberagaman kultural, yang sejalan dengan kultur hukum yang beragam pula.
Dapat dipahami bahwa efektif berlakunya hukum
sangat ditentukan oleh culture.
Bagaimana hukum itu dapat diterima oleh
masyarakat karena sejalan dengan nilai, budaya, sistem yang hidup dalam masyarakat.
Sering kita mendengar, melihat, menjumpai atau bahkan kita sendiri yang
mengalami anggota DPR dan DPRD melakukan kunjungan keluar negeri mempelajari
atau bahkan menjiblak aturan hukum negara lain, istilah populer saat ini copy paste, kalau sekedar mempelajari
hukum negara lain, menguak keefektifan berlakunya hukum negara lain dan bagaimana hukum itu bisa efektif di negara lain saya kira itu
hal yang wajar-wajar saja.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa hal tersebut
dibutuhkan dalam membentuk suatu hukum disuatu negara, terutama negara-negara
yang berkembang seperti halnya Indonesia, dikarenakan negara-negara berkembang
tirtinggal jauh dari negara-negara maju salah satu dalam segi hukum. Untuk itu
agar kita tidak tertinggal maka kita perlu mencontoh hukum-hukum yang telah ada
di negara-negara maju tetapi bukan berarti kita mengambil hukum tersebut lalu
diterapakan di negara kita begitu saja, tetapi kita hanya menjadikan contoh
model hukum tersebut untuk dibuatkan hukum yang sesuai dengan kultur dinegara kita.
Salah satu contohnya adalah UU LLAJ, yang merupakan UU yang lahir setalah kunjungan keluar negeri
untuk mempelajari aturan lalu lintas dan angkutan jalan. Salah satu pasal yang
menjadi kontroversi adalah pasal 107 ayat (2) dan Pasal 293 ayat (2) terkait Kewajiban
menyalakan lampu utama “pada siang hari” dianggap tidak bermanfaat dan justru merugikan karena
menghambat kegiatan masyarakat. Begitu pula pada siang hari lampu utama tidak
mudah diketahui pengemudi apakah sudah
menyala ataupun tidak. Bisa saja secara tiba-tiba lampu utama mengalami
kerusakan di perjalanan dan itu mungkin saja akan sulit terdeteksi oleh
pengemudi akibat sinar matahari lebih terang daripada lampu utama kendaraan
bermotor.
Disampig itu menyalakan lampu sepeda motor di
siang hari merupakan tindakan tidak ramah lingkungan dan merupakan bentuk
pemborosan. Hal ini juga menguntungkan pihak produsen lampu dan
turunan-turunannya dan sangat merugikan konsumen. Kemudian, kalau dikatakan
untuk keselamatan pengendaa agar jelas terlihat dari arah yang berlawanan,
mengapa tetap harus dinyalakan pada lajur kendaraan yang satu arah.
Hal ini sering menimbulkan permasalahan ketika
ada pihak-pihak yang ditilang karena tidak menyalakan lampu utama disiang hari,
misalanya tidak menyalakan lampu motor sementara lampu motor tidak menyala
karea putus yang dapat dibuktikan dengan saklar lampu pada posisi ON, atau
timbulnya perdebatan apabila pihak yang tidak terima ini ditilang diwaktu yang
mereka anggap bukan siang hari.
Namun, aturan kewajiban menyalakan lampu di sepanjang hari bukan hanya
diabsorpsi dalam hukum positif indonesia. Banyak negara di dunia yang mewajibkan
sepeda motor menyalakan lampu utama siang-malam dengan alasan keselamatan. Dan terbukti
bahwa menyalakan lampu kendaraan bermotor pada siang hari bisa menurunkan
angkan kecelakaan terkait masalah visibilitas.
Selain itu, Gustav Radbruch mengitrodusir tiga aspek tujuan dari hukum
yaitu kepastian, keadilan dan kemanfaaan, terkait dengan kepastian hukum, hukum
positif Indonesia melalui UU 12/2011 sebagaimana telah diubah dengan UU 15/2019
telah memua asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik berupa
“asas kejelasan rumusan” yang terdapat dalam pasal 5 huruff, serta Pasal 6 ayat
(1) hu mengatur mengenai “asas ketertiban dan kepastian hukum” sebagai asas
materi muatan.
Maksud dari asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan
perundang-undangan harus memenuhi teknis penyusun peraturan perundang-undangan,
sistematika, pilihan kata, ata istilah, serta bahasa hukum yang jelasa dan
mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbaga macam interpertasi dalam
pelaksanaannya. Sementara yang dimaksud “asas ketertiban dan kepastian hukum”
adalah bahwasetiap peraturan perundang-undangan harus dapat mewujudkan
ketertiban dalam masyaraka melalui jaminan kepastian hukum.
Kejelasan rumusan bertujuan menghindari ketaksaan norma. Sementara
ketaksaan norma potensial menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda.
Interpretasi yang berbeda jelas akan menyebabkan penerapan norma yang berbeda
pula. Kendati demikian,rummusan suatu norma harus disusun secara jelas dan
tegas untuk menghindarkan masyarakat dari kebingungan normatif sekaligus
menghindarkan penerapan norma yang berbeda oleh pelaksanaan hukum. Namun
sekiranya suatu norma dipandang masih memerlukan penjelasan, maka sebaikna
dituangkan pada bagian penjelasan.
Dalam konteks UU LLAJ, frasa “pada siang hari” bersifat ambigu.
Apalagi di dalam pasa a quo tidak
memuat penjelasan yang secara spesifik mengenai frasa tersebut oleh pembentk UU
sebagai tafsir resmi (autentik).
Ambiguitas frasa tersebut dapat diukur dari kebiasaan masyarakat
menginterpretasikan “sian hari” dimulai dari jam 11.00-14.00 WIB. Artinya, jika
maksud frasa siang hari mengikuti kebiasaan umum di masyarakat, maka tidak ada
kewajiban bagi pengendra motor menyalakan lampu utamanyadi luar jam tersebut.
Namun, secara yuridis aturan kewajibanmenalakan lampu tidak hanya pada
siang hari. Pasal 107 ayat (1) menegaskan “Pengemudi kendaran bermotor wajib
menyalakan lampu utama kendraan bermotor
yang digunakan di jalan pada malam hari dan pada kondisi tertentu.” Jika
ditafirkan secara sistematis, maka terdapat tiga waktu keadaan di manapengendara
motor wajib menyalakan lampu utama, yakni pada malam hari, pada kondisi
tertentu, dan pada siang hari.
Kendati demikian, maka kurang tepat jika makna “siang hari” dimulai
padasaat terbitnya matahari sampai terbenam dan makana “malam hari” adalah
waktu setelah matahari terbenam hingga matahari terbit. Sebba masih terdapat
suatu kondisi atau waktu diaman ada keharusan bagi pengendara motor untuk
menyalakan lamu utama selain di waktu siang-malam hari. Oleh karena itu,
dibutuhkan adana penafsiaran tunggal terhadap frasa “pada siang hari”, termasuk
frasa “pada malam hari”. Penafsiaran ini diperlukan untuk menghindarai
kebingungan normatif sekaligus memastikan tindak penegak hukum tidak
sewenang-wenang.
Selanjutnya salah tafsir pasal 106 UU LLAJ yang menjadi
kontroversi larangan rokok dan musik saat berkendara, hal ini ramai diperbincangkan
setela ada imbauan dari Polri hingga berbagai kalangan meminta klarifikasi atas
pelanggaran itu. Namun,
Polri sudah menegaskan kedua aktivitas tersebut dilarang dan tidak ada sanksi
bagi yang melakoninya. Upaya
ini dilakukan POLRI sebagai bagaian untuk meningkakan kesadaran masyarakat akan
keselmaan berlalu lintas.
Direktur keamaan dan
keselamatan Korlantas Polri, Brigjen
Chrysnanda mengatakan banyak kalangan menilai pengguna jalan akan tertib
dengan penegakan hukum hingga hukuman berat sebagi efek jera. Dia menilai issue
ini muncul karena kekeliruan menafsirkan pasal 106 ayat (1) UU LLAJ.
Berdasarkan penjabaran pasal yang isinya mengatur konsetrasi berlalu lintas
dianolgikan dengan kebiasaan para pengemudi. Sehingga terjadi kontroversial dan
mempertanyakan mengapa bisa demikan.
Bagi penulis sendiri
hal ini sebenrnya tidak perlu dipermasalahkan karena hal ini sebenarnya untuk
keselamatan kita sendiri, apalagi untuk pengguna sepeda motor, dimana sering
penulis dapatkan pengendara sepeda motor menggunakan eraphon untuk mendengarkan
musik saat berkendara ataupun sedang merokok, hal tersebut tentu dapat
membahayakan dirinya sendiri maupun pengguna jalan yang lain.
Selain itu, adanya pro dan
kontra terkait penggunaan sepeda motor sebagai moda transportasi angkutan umum
sejatinya bukan hal yang baru. Namun, hal tersebut kembali muncul ke
permukaan dengan adanya fenomena transportasi berbasis aplikasi online
(transportasi online). Transportasi online di Indonesia mulai booming sekitar
tahun 2015. Bisnis transportasi online sebenarnya sudah dimulai beberapa tahun
sebelum itu, seperti yang dilakukan oleh Gojek. Perusahaan ini sudah memulai
bisnis sejak tahun 2010. Pada saat memulai bisnisnya, Gojek melayani pesanan
via telepon dan short message service
(sms).
Pengaturan sepeda motor
sebagai moda transportasi di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Dalam Pasal 1 UU
LLAJ dijelaskan bahwa “Kendaraan bermotor umum adalah setiap
kendaraan yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan
dipungut bayaran”. Pasal 47 UU LLAJ mengelompokkan kendaraan menjadi 2
(dua) yaitu kendaraan bermotor dan kendaraan tidak bermotor. Terkait kendaraan
bermotor, jenisnya adalah sebagai berikut: 1). Sepeda motor; 2). Mobil
penumpang; 3). Mobil bus; 4). Mobilbarang; 5). Kendaraan khusus.
Lebih lanjut, kendaraan
bermotor tersebut mempunyai fungsi sebagai kendaraan motor umum perseorangan
dankendaraan bermotor umum. Dari kelima moda transportasi yang telah disebutkan
di atas, hanya mobil penumpang, mobil bus,dan mobil barang yang mempunyai
fungsisebagai kendaraan bermotor umum. Pasal 38 UU LLAJ menjelaskan bahwa
angkutan umum diselenggarakan
dalam upaya memenuhi kebutuhan angkutan yang selamat, aman, nyaman, dan
terjangkau.Kemudian, untuk angkutan umum dan/atau barang hanya dapat dilakukan
dengan kendaraan bermotor umum. Dari penjelasan tersebut, maka sepeda motor
tidak termasuk sebagai angkutan umum karena bukan termasuk kendaraan bermotor
umum. Sehubungan dengan itu, UU LLAJjuga tidak mengatur secara tegas larangan
beroperasinya angkutan umum menggunakan sepeda motor. Pengaturan tersebut
mengakibatkan beberapa daerah membolehkan beroperasinya sepeda motor sebagai
angkutan umum sementara daerah lainnya melarang.
Selain UU LLAJ, perlu
dilihat pengaturan sepeda motor dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan (PP Angkutan Jalan) yang merupakan
peraturan turunan dari UU LLAJ. Pasal 1 PP Angkutan Jalan menjelaskan bahwa “Angkutan
adalah perpindahan orang dan/atau barang darisatu tempat ke tempat lain dengan
menggunakan kendaraan di ruang lalu lintas jalan”. Dalam Pasal 3 PP
Angkutan Jalan dijelaskan bahwa angkutan orang dan/ atau barang dapat
menggunakan kendaraan bermotor dan kendaraan tidak bermotor. Terkait kendaraan
bermotor, pengelompokannya sebagai berikut: 1). Sepeda motor; 2). Mobil
penumpang; 3).Mobil bus; 4). Mobil barang.
Jadi, dalam PP Angkutan
Jalan diakui keberadaan sepeda motor sebagai moda transportasi yang dapat
digunakan sebagai angkutan orang dan/atau barang. Dari pengaturan yang terdapat
dalam UU LLAJ dan PP Angkutan Jalan mengenai sepeda motor, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1.
Sepeda
motor masuk dalam jenis kendaraan bermotor, namun tidak dijelaskan fungsi dari
sepeda motor tersebut.
2.
Tidak
ada penjelasan mengenai kendaraan bermotor perseorangan.
3.
Tidak
menyebutkan secara tegas larangan beroperasinya angkutan umum menggunakan
sepeda motor.
4.
Sepeda
motor dapat digunakan sebagai angkutan orang dan/atau barang tetapi tidak boleh
memungut bayaran.
Untuk
penulis sendiri, terlepas dari manfaat yang dirasakan konsumen, keberadaan jasa
transfortasi berbasis aplikasi tetap akan menuai kontroversi, khususnya terkait
dasar hukum, sehingga adanya anggapan untuk merevisi UU LLAJ, untuk
mengakomodasi keberadaan jasa transportasi berbasis aplikasi mungkin bisa
menjadi solusi. Sebab adanya anggapan bahwa revisi UU LLAJ diharapkan dapat
menjadi payung hukum bagi jasa transportasi berbasis aplikasi, tidak hanya
mengatur transportasi aplikasi, tetapi juga standar pelayann minimal dalam
rangka melindungi konsumen dan keselamatan dalam berlalu lintas.
BAB IV
KESIMPULAN
Dalam membentuk suatu hukum disuatu negara,
terutama negara-negara yang berkembang, dikarenakan negara-negara
berkembang tertinggal jauh dari negara-negara maju salah satu dalam segi hukum.
Untuk itu agar kita tidak tertinggal maka kita perlu mencontoh hukum-hukum yang
telah ada di negara-negara maju tetapi bukan berarti kita mengambil hukum
tersebut lalu diterapakan di negara kita begitu saja, tetapi kita hanya
menjadikan contoh model hukum tersebut untuk dibuatkan hukum yang sesuai dengan
kultur dinegara kita. Seperti halnya UU LLAJ yang menimbulkan kontoversi
terutama terkait kewajiban menyalakan lampu utama pada siang hari, yang
dianggap tidak bermanfaat, meskipun banyak negara di dunia yang mewajibkannya
dan terbukti menurunkan angka kecelakaan. Selain itu adanya kontroversi lain
terkait salah penafsiran pasal 106 untuk larangan rokok dan musik saat
berkendara yang menurut penulis tidak perlu diperdebatkan karena hal itu baik
untuk keselamatan diri sendiri dan orang lain terutama pengguna sepeda motor,
serta penggunaan angkutan umum yang menjadi pro dan kontra
terutama saat ini dimana, aplikasi transpotasi online sedang diminati, sehingga
perlu adanya revisi UU LLAJ.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Bambang
Santoso, Relevansi Pemikiran Teori Robert B Seidman Tentang ‘The Law Of Non Transferability Of The Law’ Dengan
Upaya Pembangunan Hukum Nasional Indonesia, Diakses melalui: www.google.com. Pada hari Rabu, tanggal 22 April 2020.
M.Nurfaik,
Kontroversi Penggunaan Sepeda Motor
Sebagai Angkutan Umum, Diakses
melalui: www.google.com. Pada hari Rabu, tanggal 22 April 2020.
Diakses melalui: https://m.tibunnews.com/amp/nasional/2018/03/04/alah-tafsir-pasal-106-llaj-jadi-kotroversi-larangan-rokok-dan-musik-saat-berkendra. Pada hari Rabu, tanggal 22 April 2020.
Diakses melalui: https://m.detik.com/news/berita/d-4856541/lampu-sepeda-motor-wajib-nyala-di-siang-hari-digugat-ke-mk-ini-kata-polri. Pada hari Rabu, tanggal 22 April 2020.
Diakses melalui: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Angkutan-Jalan. Pada hari Rabu, tanggal 22 April 2020.
Diakses melalui: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Lalu-Lintas. Pada hari Rabu, tanggal 22 April 2020.
Diakses melalui: https://m.tibunnews.com/amp/nasional/2018/03/04/alah-tafsir-pasal-106-llaj-jadi-kotroversi-larangan-rokok-dan-musik-saat-berkendra. Pada hari Rabu, tanggal 22 April 2020.
M.Nurfaik, Kontroversi
Penggunaan Sepeda Motor Sebagai Angkutan Umum, Diakses melalui: www.google.com. Pada hari Rabu, tanggal 22 April 2020.