BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Hak asasi Manusia adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugrah-NYA yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintah dan Setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia, sedangkan Hukum Humaniter
Internasional adalah semua ketentuan yang terdiri dari perjanjian yang
bermaksud untuk mengatasi segala masalah kemanusian yang timbul pada waktu
pertikaian bersenjata internasional maupun non-internasional.
Dimana Pelanggaran HAM adalah setiap
perbuatan seseorang atau sekelompok orang termasuk aparat negara yang secara
melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan mencabut HAM seseorang
atau sekelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan, atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian adil dan benar, berdasarkan
mekanisme hukum yang berlaku.
Sedangkan hukum humaniter internasional membatasi
atas dasar kemanusiaan, hak-hak dari pihak yang terlibat dalam pertikaian untuk
menggunakan beberapa senjata dan metode perang tertentu serta memberikan
perlindungan kepada orang yang menjadi korban maupun harta benda yang terkena
akibat pertikaian bersenjata.
Sehingga
pada dasarnya Hukum Humaniter Internasional dan HAM memiliki tujuan yang sama,
yaitu memberikan jaminan perlindungan terhadap manusia. Hanya saja, keduanya
memiliki perbedaan dan sisi waktu atau situasi penerapannya. Dimana Hukum Humaniter Internasional diterapkan
dalam situasi sengketa bersenjata yang bersifat internasional maupun
internasional.
Hal yang utama dalam hukum humniter
internasional yaitu hak korban mendapatkan pertolongan dan ganti rugi bila
terjadi pelanggaran sedangkan HAM yaitu perlindungan atas kehidupan, kesehatan,
dan martabat manusia. Namun, tujuan kuhusnya yaitu untuk memastikan
perlindungan bagi orang dalam keadaan tertentu bagi mereka yang jatuh ketangan
musuh. sedangkan HAM menentukan sejumlah aturan untuk mengharmoniskan
perkembangan individu dalam masyarakat.
Dapat ketahui bahwa perang berkaitan
dengan Hukum Humaniter yang mengatur sumber hukum perang dan prinsip-prinsip-prinsip
perang. Maka dari itu pada kesempatan ini saya akan membahas Mengenai kaitan
aantara Hukum Humaniter Internasioanal dengan HAM, yang akan diuraikan dalam
makalah ini.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Apakah
yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter?
1.2.2. Bagaimanakah
yang dimaksud dengan Kejahatan Perang ?
1.2.3. Bagaimanakah
Hubungan HAM Dengan Hukum Humaniter?
1.3. Tujuan
1.3.1. Dapat
mengetahui apa yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter
Internasional.
1.3.2. Dapat
mengetahui bagaimana yang dimaksud dengan kejahatan perang.
1.3.3. Dapat
mengetahui hubungan Ham dengan Hukum Humaniter.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Hak Asasi Manusia
dan Hukum Humaniter
2.1.2. Hak Asasi Manusia
Hak
asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-NYA yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi daan dilindungi oleh Negara, Hukum,
Pemerintah dan Setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.
Pelanggaran
HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau sekelompok orang termasuk aparat
negara yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan
mencabut HAM seseorang atau sekelompok orang yang dijamin oleh undang-undang
dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian
adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Dengan
demikian, persoalah HAM itu telah terintegrasi antara kebebasan-kebebasan, ha,
kewajiban dan tanggung jawab. Bukan berarti tidak ada batas melainkan ada batas
melalu undang-undang. Jadi semuanya tidak ada kesewenangan-wenagan untuk
melakukan pembatasan tetapi tetap dalam koridor hukum.
2.1.2. Hukum Humaniter
Hukum
Humaniter Internasional adalah semua ketentuan yang terdiri dari perjanjian
yang bermaksud untuk mengatasi segala masalah kemanusian yang timbul pada waktu
pertikaian bersenjata internasional maupun non-internasional. Hukum tersebut membatasi atas dasar
kemanusiaan, hak-hak dari pihak yang terlibat dalam pertikaian untuk
menggunakan beberapa senjata dan metode perang tertentu serta memberikan
perlindungan kepada orang yang menjadi korban maupun harta benda yang terkena
akibat pertikaian bersenjata. Dalam hukum humaniter internasional dikenal 3
asas utama yaitu asas kepentingan militer, asas perikemanusiaan dan asas
kesaktriaan.
Yang
merupakan elemen penting dan harus mendapat perhatian utama bagi mereka yang
terlibat dalam konflik bersenjata. Yang mana tujuan utamanya yaitu untuk
mengatur bagaimana agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan
prinsip-prinsip kemanusiaan. Dimana dalam hukum humaniter internasional dikenal
berbagai konflik bersenjata, yaitu Konflik Bersenjata Internasional, Konflik
Bersenjata yang tidak bersifat Internasional (Pasal III Konvensi Jenewa 1949), Konflik
Bersenjata Non-Internasional (Protokol Tambahan II).
Mengenai
konfik yang terjadi dalam suatu negara yang tidak memenuhi syarat seperti jenis
konflik yang telah disebutkan, maka tetap dapat disikapi dengan tetap mengacu aturan
hukum humaniter dan pendapat para ahli di bidang itu. Hukum hukmaniter mengenal
adaanya prinsip-prinsip dasar yang menjadi pedoman yang harus dihormati dan
dilaksanakan pada saat terjadi konflik bersenjata, baik yang sifatnya
internasional maupun yang bersifat non-internasional.
a. Prinsip
dasar pembatasan, adalah ketentuan yang berisikan tentang hak para pihak untuk
menentukan jenis persenjataan dan metode yang digunakan dalam konflik
bersenjata adalah tidak tak terbatas.
b. Prinsip
proporsional mengutamakan faktor keseimbangan, baik persenjataan yang digunakan
maupun jumlah personil yang dikerahkan.
c. Prinsip
pembedaan yaitu prinsip yang mengutamakan pembedaab antara sasaran yang
diperbolehkan dan yang bukan sasaran tembak atau serangan sesuai yang diatur
dalam konvensi.
Sumber-sumber
hukum humaniter juga mengacu pada pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional
: Perjanjian Internasioanal, Kebiasaan Internasioan, Prinsip hukum umum yang
diakui oleh bangsa beradab, Keputusan Pengadilan dan Ajaran serjana yang paling
terkemuka. Komperensi Perdamaian I di Den Haag menghasilkan tiga konvensi dan
tiga deklarasi pada tanggal 29 juli 1899.
Konvensi
yaitu tentang penyelesaain damai persengketaan internasional, tentang hukum dan
kebiasaan perang darat. Tentang adaptasi asas-asas konvensi jenewa tgl 22
agustus 1864 ttg hukum perang laut.
Sedangkan
tiga deklarasi yaitu melarang penggunaan peluru-pelurudum-dum, peluncuran
proyektil dan bahan-bahan peledak dari balon, selam jangka lima tahun yang
berakhir di tahun 1905, juga dilarang penggunaan proyektil yang menyebabkan
gas-gas cekik dan beacun juga dilarang.
Konvensi
III Den Haag 1907 tentang cara memulai perang, Konvesi IV Den Haag 1907, hanya
terdiri dari 9 Pasal, yang dilengkapi dengan lampiran yang hanya berlaku
apabila kedua pihak yng bertikai adalah pihak dalam konvensi, apabila salah
satu pihak bukan peserta konvensi, maka konvensi tidak berlaku.
Pasal
1 HR yang menentukan siapa saja yang termasuk bellegerents, pasal ini juga mengatur tentang syarat-syarat yang
harus dipenuhi oleh kelompok militia (milisi) dan korps sukarela, yang dapat
disebutkan kombatan, yaitu dipimpin oleh seseorang yang bertanggung jawab atas
bawahnya, memakai tanda/emblem yang dapat dilhat dari jauh, membawa senjata
secara terbuka, melaksanakan operasinya sesuai dengan hukum dan kebiasaan
perang. Hukum Jenewa, yang mengatur tentang perlindungan korban perang, terdiri
atas beberapa perjanjian pokok. Perjianjian tersebut adalah keempat konvensi Jenewa
1949.
Konvensi
Jenewa dimaksudkan untuk perbaikan keadaan Anggota Angkatan Perang yang luka
dan sakit di medan pertempuran dan korban karam, serta perlakuan terhadap
tawanan perang dan perlindungan organ-organ sipil diwaktu perang. Konvensi Jenewa
berlaku dalam keadaan :
a. Perang
yang diumumkan,
b. Pertikaian
bersenjata sekalipun keadaan perang tidak diakui ,
c. Dalam
hal pendudukan sebagian atau seluruhnya sekalipun penduduk tersebut tidak
menemui perlawanan.
Protokol
tambahn 1977, yang terdiri atas protokol I
dibuat, karena metode peperangan yang digunakan oleh negara-negara saat
terjadi konflik bersenjata, telah mengalami perkembangan demikian halnya
aturan-aturan tentang tata cara perang. Dimana juga melarang serangan yang
membabi buta dan reprisal terhadap penduduk sipil dan orang-orang sipil, obyek
vital untuk kelangsungan hidup penduduk sipil dan sebagainya.
Protokol
II menentukan hal-hal antar lain yaitu mengatur jaminan-jaminan fundamental
bagi semua orang dan menetapka bahwa harus mendapat perlindungan dan penghormatan.
Selain itu juga memuat ketentuan-ketentuan mengenai sengketa bersenjata
internasional, sengketa bersenjata non-internasional, maupun non-internasional
yang diinternasionalkan.
Commonarticles
merupakan Pasal-Pasal bersamaan yang terdapat didalam keempat konvensi jenewa
1949, yang mengatur hal-hal penting dibidang hukum humaniter. Persoalan yang
penting itu antara lain persoalan konflik bersenjata non-internasional yang
diatur dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949, persoalan penghormatan terhadap
konvensi, persoalan mengenai pengawasan, persoalan saksi dan lain sebagainya.
Berbicara
mengenai penduduk, tentu berkaitan dengan adanya perang atau konflik yang
bersenjata yang mendahuli hal tersebut. Sebenarnya tujuan militer dalam suatu sengketa
bersenjata yaitu ingin menghancurkan angkatan perang lawan dan/atau menduduki
wilayah lawan. Suatu wilayah sudah diduduki apabila wilayah tersebut dengan
nyata telah berada dalam kekuasaaan tentara lawan (pasal 42 HR).
Ketentuan
mengenai peraturan hukum penduduk terdapat dalam Hague Regulation 1907 section III Pasal 42-56 dan Geneva
Convention 1949 Buku IV. adapun pokok pokok yang diatur adalam kedua aturan ini
yaitu :
a. Pengertian
pendudukan militer,
b. Ketentuan
yang menbatasi kekeuasaan Occupant,
c. Status
dari penduduk di wilayah penduduk,
d. Hukum
yg berlaku di wilayah penduduk,
e. Status
pegawai negeri dan polisi di wilayah pendudduk,
f. Berakhirnay
penduduk.
Dari
kedua aturan, masing-masing mempunyai bagian yang menonjol dalam kandungan
isinya. Misalnya Hague Regulation sebegian besar yang diatur mengenai kekuasaan
Occupant dalam bidang ekonomi/keuangan. Sedangkan Geneva Conventiaon, sifatnya
menambah dan melemngkapi aturan pertama, juga menitikberatkan pada perlindungan
terahapan penduduk sipil.
Dimana
suatu aturan berlakuk efektif apabila dapat di implementasikan ditengah
masyarakat dan dibarengi dengan penegakan hukumannya oleh pihak penguasa. Aturan
mengenai mekanisme hukum humaniter inetrnasiaonal, dapat ditemukan pada
ketentuan-ketuantaun yang terdapat pada konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan
Protokol tambahan tahun 1977, serta aturan-aturan lain yang mengatur tentang
Mahkamam Kejahatan Perang baik yang bersifat ad hoc maupun yang permanen. Sebagaimana halnya dengan aturan hukum
lainnya, maka penghormatan terhadap hukum humaniter juga diwajibka ( Pasal 1
Konvensi Jenewa 1949).
2.2. Kejahat Perang
Dalam
sejarah perkembangan hukum pidana internasional, kejahatan perang bersama
dengan piracy adalah kejahatan internasinal
tertua di dunia. tuntutan internasional
perihal kejahatan perang pertama kali dilakukan terhadap Peter Von Hagenbach di Breisach, Jerman pada tahun 1474. Hagenbach
diadili di Australia oleh 28 Hakim dari persekutuan negara kerajaan suci Roma
dan dinyatakan bersalah atas pembunuhan, sumpah palsu, dan kejahatan lain yang
melawan hukum Tuhan dan manusia pada saat ia melakukan pendudukan militer.
Dalam persidangan internasional tersebut, kesatriaan Hagenbach dilucuti dan
dijatuhi hukuman mati.
Selama
Perang Dunia I berlangsung, banyak terjadi kejahatan perang antara lain yang
dilakukan oleh Jerman ketika menginvansi Belgia. Jerman melakukan deportasi
warga Belgia untuk dijadikan budak selama perang berlansung. Sebenarnya,
pembatasan terhadap konflik bersaenjata sudah diusahkan oleh perajurit terkenal
Cina yang bernama Sun Tzu pada abad ke-6 SM. Bangsa Yunani kuno
termasuk bangsa pertama yang memandang larangan-larangan dalam konflik
bersenjata sebagai hukum. Namun, keberadaan istilah kejahtan perang itu sendiri
terdapat dalam manu, kitap Hukum
Hindu, sekitar 200 tahun SM.
2.2.1. Pengertian Perang
Menurut
KBBI, perang sebagai permusuhan antara dua negara atau pertempuran antar dua
padukan. Sedangakan menurut G.P.H. Djatikoesomo, perang sebagai sengketa dengan
menggunakan kekerasan yang sering berbentuk kekuatan bersenjata. Sedangkan
menurut Carl Von Clausewitz, mengartikan perang sebagai politik dengan jalan
kekerasan.
2.2.2.
Hukum Perang atau Hukum Militer termasuk sumber hukum perang dan prinsip-
prinsip hukum perang
Berkaitan
dengan hal tersebut, hukum perang atau hukum bersenjata, kemudian dikenal
dengan istilah HHI atau biasa disebut hukum humaniter. Djtikoesomo memberi
definisi hukum perang sebagai aturan-aturan dari hukum bangsa-bangsa mengenai
perang. Sehingga dalam konfrensi Den Haag 1907 menghasilkan 13 konvensi dan
satu deklarasi, sedangkan konvensi jenewa yang disebut juga konvensi palang
merah.
Hal
yang utama dalam hukum humaniter yaitu adalah hak korban untuk mendapat
pertolongan dan ganti rugi bila terjadi perang. Dimana tujuan khususnya yaitu untuk memastikan perlindungan bagi
orang dalam situasi konflik bersenjata dalam keadaan tertentu bagi mereka yang
jatuh ketangan musuh. Hal ini secara tegas dinyatakan oleh Jakob Kellenberger,
presiden komite internasional palang merah dalam pertemuan tahunan ke-27
tentang permasalahan HHI.
HHI
membagi pertikaian bersenjata kedalam internasional
armed conflcts dan internal armed
conflict. Pertikaian bersenjata yang bersifat internasional adalah
pertikaian bersenjata yang melibatkan dua negara atau lebih, sedangkan
pertikaian bersenjata yang bersifat internal adalah kekerasan bersenjata yang berlarut-larut
antar pemerintah yang berkuasa dengan sekelompok pasukan bersenjata dalam
sebuah negara.
Asas
pembedaan penting lainnya dalam hukum humaniter adalah prinsip yang membedakan
penduduk suatu negara yang sedang berperang dalam dua golongan yaitu kombatan
dimana jika tertangkap dijadikan tawanan perang yang perlakuannya dibedakan
terhadap mata-mata, tentara bayaran, serta kombatan yang tidak sah dan penduduk
sipil
2.2.3. Definisi Kejahatan Perang dan
Pengaturannya dalam Instrumen Internasional
Istilah
kejahatan perang biasanya menunjukan pada tindakan-tindakan yang melanggar
hukum dan kebiasaan perang. Akan tetapi, tidak semua pelanggaran terhadap hukum
dan kebiasaan perang merupakan kejahatan perang.
Menurut
Arie Siswantu yang mengutip pendapat Dienstein yakni hanya perbuatan-perbuatan
tertentu saja yang dinyatakandalam aturan sebagai kejahatan perang. Steven R.
Ratner memberi pengertian kejahatan perang sebagai pelanggaran terhadap hukum-hukum
perang atau HHI yang mendatangkan tanggung jawab kriminal individual.
Pengertian
kejahatan perang dalam London Charter termuat dalam pasal 6 (b). Sementara
dalam Charte of the Internationaly Milatary Tribunal for the Far East, istilah
kejahatan perang tercantum dalam pasal 5 (b), yang keduanya di identikkan
dengan kejahatan terhadap hukum-hukum dan kebiasaan perang. Namun, dalam london
charter tidak didefinisikan secara limitif sehingga dimungkinkan adanya
pennafsiran.
Berbeda
dengan keduanya, Statuta ICTY tidak tercaantum istilah kejahatan perang secara
eksplit. Namun, dalam dua pasal masing-masing pasal 2 dan pasal 3 ICYT tentang
digunakan istilah pelanggaranberat terhadap konvensi-konvensi jenewa 1949 dan
pelanggaran hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan perang.
Sedangkan
dalam Statuta Roma secara eksplit dicantumkan dalam pasal 8. Selainitu, rumusan
kejahatan perang diatur secara jelas dan lengkap serta sistematis sehingga
sulit ditafsirkan selain apa yang tertulis. Berkaitan dengan hal tersebut, perbuatan-perbuatan
yang di kualifikasikansebagai kejahatan perang dibagi jadi empat kelompok :
a. Pelanggaran
berat terhadap konvensi jenewa berupa perbuatan yang ditujukan terhadap orang
dan /atau benda yang dilindungi konvensi.
b. Pelanggaran
serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan konflik bersenjata.
c. Pelanggaran
terhadap article 3 common to the four geneva conventions of 1949 dalam hal
noninternasional armed conflict.
d. Pelanggaran
serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan yang betlaku dalam noninternasional
armed conflict.
Dalam
konteks tersebut juga ada baik genoside, kejahatan terhadap kemanusian maupun
kejahatan perang, statuta menyediakan instrumen hukum yang represif atas
berbagai kejahatan paling serius terhadap masyarakat internasional
2.3. Hubungan Hak Asasi Manusia Dan Hukum Humaniter
Pada
hakekatnya hukum humaniter internasional dan HAM memiliki tujuan yang sama,
yaitu memberikan jaminan perlindungan terhadap manusia. Hanya saja, keduanya
memiliki perbedaan dari sisi waktu atau situasi penerapannya. Hukum humaniter
internasional diterapkan apabila terjadi sengketa bersenjata internasioanal
maupun non-internasionalatau perang saudar (civil war).
Hukum
humaniter internasional terdiri dari peraturan-peraturan tentang perlindungan
korban perang (Hukum Jenewa) dan peraturan-peraturan tentang alat dan tata
caraberperang (Hukum Den Haag). Sedangkan ketentuan-ketentuan HAM dimaksud
untuk menjamin hak dan kebebasan baik sipil, politik, ekonomi, sosial, maupun
budaya bagi setiap orang.
Dalam hukum HAM setiap orang harus dilindungi
dari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dari pemerintah. Hak-hak asasi
manusia tersebut terdapat baik dalam berbagai peraturan perundang-undangan
nasional maupun instrumen-instrumen internasional. Hukum humaniter berlaku pada
waktu sengketa bersenjata. Sedagkan HAM berlaku pada waktu damai.
Namun
inti sari hak-hak asasi atau hard-core
rights tetap berlaku sekalipun pada waktu sengketa bersenjata. Keduanya
saling melengkapi, juga ada keterpaduan dan keserasian kaida-kaidah yang
berasal dari instrumen-instrumen hukum humaniter internasional. Keduanya tidak
hanya mengaturhubungan antar pemerintah dengan rakyat tetapi juga mengatur
hubungan diantara negara dengan negara dengan menetapkan hak-hak dan kewajiban
mereka secara timbal balik.
Dengan
demikian, maka kedua bidang ini merupakan instrumen-instrumen hukum yang
memberikan perlindungan kepada orang perorangan. Instrumen-instrumen hukum yang
memberikan perlindungan kepada orang-orang ini dapat digolongkan kedalam empat
kelompok, yaitu :
a. Instrumen
hukum yang bertujuan melindungi orang perorangan sebagai anggota masyarakat.
Perlindungan ini meliputi segenap segi perilaku perorangan dan sosialnya .
perlindungan ini bersifat umum, kategori ini justru mencaku hak asasi
internasional.
b. Instrumen
yang bertujaun untuk melindungi orang perorang berkaitan dengan keadaannya
didalam masyarakat, sepertihukum internasional tentang perlindungan terhadap
kaum wanita dan hukum internasional berkaitan dengan perlindungan terhadap
anak.
c. Instrumen
hukum yang bertujuan melindungi orang perorangan dalam kaitannya dengan
fungsinya di dalam masyarakat, seperti hukum internasional tentang buruh.
d. Instrumen
hukum yang bertujuan melindungi orang perorangan dalam keadaan darurat, apabila
terjadi situasi yang luar biasa dan yang mengakibatkan ancaman adanya pelanggaran atas haknya yang biasanya dijamin
oleh hukum yang berlaku, seperti hukum internasional tentang pengungsi dan
hukum humaniter internasional (HHI) yang melindungi para korban dari akibat
sengketa bersenjata.
Pada
mulanya, tidak pernah ada perhatian mengenai hubungan antara HAM dan HHI. Oleh
karena itu tidaklah mengherankan jika pernyataan Universal tentang HAM
(Universal Declaration of Human Rights) 1948 tidak disinggung
tentang penghormatan HAM pada waktu sengketa bersenjata. Sebaliknya, dalam
konvensi-konvensi Jenewa 1949 tidak disinggung masalah HAM . Akan tetapi, tidak
berarti bahwa konvensi-konvensi jenewa dan HAM tidak memiliki kaitan sama
sekali. Antara keduanya terdapat hubungan keterkaitan, walaupun tidak secara
langsung.
Disatu
sisi ada kecenderungan untuk memandang ketentuan-ketentuan konvensi jenewa 1949
tidak hanya mengatur mengenai kewajiban bagi negara-negara peserta tetapi juga
mengatur tentang hak orang perorangan sebagai pihak yang dilindungi.
Keempat
konvensi Jenewa 1949 menegaskan bahwa penolakan hak-hak yang diberikan oleh
konvensi-konvensi ini tidak dapat dibenarkan. Apalagi, adanya pasal 3 ketentuan
yang bersamaan pada keempat konvensi jenewa 1949 yang mewajibkan setiap negara
peserta untuk menghormati peraturan-peraturan dasar kemanusiaan pada sengketa
bersenjata yang tidak bersifat internasional.
Dengan
demikian, maka pasal 3 ini mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga
negaranya, yang berarti mencakup bidang tradisional dari HAM. Di sisi lain,
tentang konvensi-konvensi tentang HAM terdapat pila berbagai ketentuan yang
penerapannya justru pada situasi perang.
Konvensi
eropa tahun 1950, misalnya dalam pasal 15, menentukan bahwa bila terjadi perang
atau bahaya umum lainnya yang mengancam stabilitas nasioanal, hak-hak yang
dijamin oleh konvensi ini tidak boleh dilanggar. Meskipun dalam keadaan
demikian, paling tidak ada 7 hak yang harus tetap dihormati karena merupakan
intisari dari konvensiini, yaitu hak atas keamanan.
Ketentuan
ini terdapat juga dalam kovenan PBB mengenai Hak Sipil dan Politik pasal 4 dan
konvensi HAM Amerika pasal 27. Selain itu terdapat puula hak-hak yang tak boleh
dikurangi (non derogable rights) baik
dalam keadaan damai maupun dalam dalam keadaan sengketa bersenjata.
Hak-hak
yang tak dapat dikurangi tersebut meliputi hak hidup, prinsip (perlakuan) non
diskriminasi, larangan penyiksaan (torture), larangan berlaku surutnya hukum
pidana yang ditetapkan dalam pasal 15 kovenan politik, hak untuk dipenjarakan
karena ketidakmampuan melaksanakan ketentuan perjanjian (kontrak), perbudakan (slevery), perhambatan (servitude), larangan penyimpanagn
berkaitan dengan penawanaan, pengakuan seseorang sebagai subyek hukum,
kebebasan berpendapat, keyakinan dan agama, larangan penyenderaan, laranagn
penjatuhan hukuman tanpa putusan yang diumumkan lebih dahulu oleh pengadilan
ynag lazim, larangan menjatuhkan hukuman mati dan melaksanakan eksekusi dalam
keadaan yang ditetapkan dalam pasal 3 (1) (d) yang bersamaan dengan konvensi
Jenewa.
Dalam
HHI pengaturan mengenai hak-hak yang tak dapat dikurangi ini antara lain
tercantum dalam ketentuan pasal 3 ketentuan yang bersamaan pada keempat
konvensi jenewa 1949. Pasal ini penting karena membebankan kewajiban kepada
“Pihak Peserta Agung” untuk tetap menjamin perlindungan kepada perorangan
dengan mengesampinkan staatus “belligerent”
menurut hukum atau sifat dari sengketa bersenjata yang terjadi itu.
Kesadaran
akan adanaya hubungan antara HAM dengan HHI baru disadari pada akhir tahun
1960-an. Kesadaran ini semakin meningkat dengan terjadinya berbagai sengketa
bersenjata seperti dalam perang kemerdekaan di Afrika di berbagai belahan dunia
lainnya yang menimbulkan masalah baik dari segi hukum humaniter maupun dari
segi HAM. Konferensi internasional mengenai HAM yang diselenggarakan oleh PBB
di Teheran tahun 1968 secara resmi menjalin hubungan HAM dan HHI.
Dalam
Resolusi XXIII tnggal 12 mei 1968 mengenai :penghormatan HAM pada waktu
pertikaian bersenjata”, meminta agar konvensi-konvensi tentang pertikaian
bersenjata diterapkan secara lebih sempurna dan supaya disepakati perjanjian
baru mengenai hal ini. Resolusi ini mendorong pbb untuk menangani pulai hukm
humaniter internasioanal.
Dalam
kepustakaan ada tiga aliran berkaitan dengan hubungan hukum humaniter
internanasional yaitu :
a. Aliran
integrasionis, berpendapat bahwa sistem hukum yang satu berasal dari yang lain.
Dalam kaitan, maka terdapat dua kemungkinan yaitu :
1)
HAM menjadi dasar bagi
HHI, dalam arti bahwa hukum humaniter merupakan cabang dari HAM. pendapat ini
antara lain dianut oleh Robertson yang menyatakan bahwa HAM merupakan hak dasar
bagi setiap orang, setiap waktu dan berlaku di segala tempat. Jadi, HAM merupakan genus dan Hukum humaniter merupakan
speciesnya, karena hanya berlaku untuk golongan tertentu saja dan dalam keadaan
tertentu pula.
2)
HHI merupakan dasra
dari HAM, dar arti bahwa HAM merupakan bagian dari hukum humaniter. Pendapat
ini didasarkan pada alasan bahwa hukum humaniter lahir lebih dahulu dari pada
HAM. Jadi, secar kronologis, HAM dikembangkan setelah HHI.
b. Aliran
seperatis, yang melihat HAM dan HHI sebagai sistem hukum yang sama sekali tidak
berkaitan kerena keduanya berbeda. Perbedaan kedua sistem tersebut terletak
pada :
1)
Obyek, HHI mengatur sengketa
bersenjata antara negara dengan kesatuan (entity)
lainnya. Sebaliknya, HAM mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga
negaranya didalam negara tersebut.
2)
Sifatnya, HHI bersifat manndotary-a political serta paremptory.
Sebaliknya, HAM bersifat declatory-political.
3)
Saat berlakunya, HHI
berlaku pada saat perang atau masa sengketa bersenjata, sedangkan HAM berlaku
pada saat damai.
Salah seorang
penganut teori ini adalah Marion Mushkat. Menurutnya secara umum dapat
dikatakan bahwa hukum humaniter itu berhubungan dengan akibat dari sengketa
bersenjata antara negara, sedangkan Ham berkaitan dengan pertentangan antara
pemerintah dengan individu didalam negara bersangkutan.
Hukum humaniter
mulai berlaku pada saat HAM suda tidak berlaku lagi, hukum humaniter melindungi
mereka yang tiadak manpu terus berperang atau mereka yang sama sekali tidak ada
dalam sengketa bersenjata karena fungsinya diambil oleh hukum humaniter tetapi
terbatas pada golongan tertentu saja. Sejalan dengan hal ini ia tidak stuju dengan
penggunaan istilah human rights i armed conflict.
c. Aliran
komplementaris, yang melihat hukum HAM dan HHI melaui proses yang bertahap,
berkembang sejajar dan saling melengkapi. Salah seorang dari penganut teori ini
adalah Cologeropoulus. Ia menentang pendapat aliran separatis yang dianggapnya
menentang kenyataan bahwa kedua sistem tersebut memiliki tujuan yang sama,
yakni perlindungan peribadi orang. HAM melindungi pribadi orang pada masa
damai, sedangkan hukum humaniter memberikan perlindungan pada masa perang atau
sengketa bersenjata. Aliran ini mengakui adanya perbedaan seperti yang
dikemukakan oleh aliran separatis, dan menambahkan beberapa perbedaan lain
yaitu :
1)
Dalam pelaksanaan
pendekatan dan penegakan yaitu hukum humaniter menggantungkan diri pada atau
menerapkan sistem negra pelindung (protecting
power). Sebaliknya, HAM sudah mempunyai aparat-mekanisme yang tetap, tetapi
ini hanya berlaku di negara-negara Eropa saj, yaitu diatur dalam konvensi Eropa
TENTANG ham.
2)
Dalam hal sifat
pencegahan yaitu HHI dalam kaitannya denganpencegahan menggunakan pendekatan
preventif dan korektif, sedangkan hukum HAM secara fundamental menggunakan
pendekatan korektif, yang diharapkan akan mempunyai efek preventif.
Adanya
hubungan antara kedua bidang hukum tersebut, juga dapat dilihat dari berbagai
kesamaan diantara keduanya. Adapun persamaan keduan bidang hukum tersebut
adalah sebagai berikut.
a. Sebagaimana
ketentuan-ketentuan instrumen-instrumen HAM, konvensi-konvensi jenewa 1949 dan
protokol-protokolnya membedakan kewajiban kepada negar peserta dan menjamin
hak-hak individual dari orang-orang yang dilindungi.
b. HHI
menentuka kelompok orang yang dilindungi seperti orang-orang yang cedera dan
tawanan perang, sedangkan HAM berlaku bagi semua orang tanpa memberikan status
khusus. Akan tetapi, dalam perkembangan terakhir HHI mengikuti pendekatan yang
sama dengan sistem HAM, dengan memperluas perlindungan HHI bagi semua warga
sipil.
c. Di
satu sisi landasan pengaturan HAM adalah hak-hak yang berkaitan dengan manusia
, yaitu kehidupan, kebebasan, keamanan, status sebagai subyek hukum,dan
sebagainya. Atas dasar tersebut dibuatlah peraturan-peraturan untuk menjamin
perkembangan manusia dalam segala segi. Di sisi lain HHI dimaksudkan untuk
membatasi kekerasan dan dengan tujuan ini, HHI memuat peraturan yang
menjaminhak-hak manusia yang sama, karena hak-hak tersebut dianggap merupakan
hak-hak minimal.
Intisari
dari hak-hak asasi manusia (hard-core
rights), atau dapat juga disebut sebagai hak-hak yang paling dasar, yang
akan dijelaskan pada bagian berikut menjamin perlindungan minimal yang mutlak
dihormati terhadap siapapun baik dimasa damai maupun di waktu perang. Hak-hak
ini merupakan bagian dari kedua sistem hukum tersebut. Hak-hak yang paling
dasar tersebut adalah.
a. Hak
untuk hidup yaitu hak ynang dijami oleh instrumen-instrumen HAM dan HHI
b. Larangan
penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi yaitu telah ditentukan dalam
pasal 7 kovenan tentang hak-hak sipil dan politi tahun 1966.
c. Laranga
perbudakan yaitu terdapat dalam pasal 8 kovenan mengenai hak-hak sipil dan
politik, serta dalam protokol tambahan II 1977 pasal 4 (2) (f).
d. Jaminan peradilan yaitu dalam HAM, diakui
sebagai hak-hak yang sangat penting, agar HAM lainnya dapat diterapkan secara
efektif.
Bersatunya
hukum humaniter dan HAM ini juga terlihat dalam tata cara kerja badan-badan
ynang bertanggung jawab melaksanakan monotoring dan pelaksanaan hukum
internasional. Dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
a. Dapat
dicatat bahwa akhir-akhir ini dewan keamanan dalam revolusinya sering menyebut
hukum humaniter untuk mendukung revolusi tersebut.
b. Salah
satu badan yang khusus memperhatikan HAM , yaiti commission on human rights, tidak lagi ragu-ragu untuk menggunakan
hukum humaniter untuk mendukung rekomendasinya.
c. Special rapporteur untuk
masalah kuwait
Selain
dari persamaan-persamaan tersebuat, kedua bidang hukum ini juga memiliki
perbedaan-perbedaan. Adapun perbedaan-perbedaan tersebut adalah sebagai
berikut:
a. HHI
yng mulanya dikenal sebagai hukum perang dianggap sebgai hukum yang tertua
dalam sitem hukum publik internasional, dan peraturan-peraturannnya memberikan
warna pada hubungan internasional yang pertama
dijalin. Sebaliknya HAM merupakan bagian dari hukum publik internasional
yang masih muda.
b. Ham
dibuat untuk berlaku pada masa damai. Sebaliknya, HHI dibentuk untuk berlaku
khusus pada waktu sengketa bersenjata.
c. Ketentuan-ketentuan
HAM dimaksud untuk menjamin penghormatan hak dan kebebasab setiap orang agar
terlindung dari penyalahgunaan kekuasaan dari instansi pemerintah sehingga
mereka dapat mengembangkan dirinya sepenuhnya dalam masyarakat. Sedangkan HHI
sebagai sistem hukum darurat yang bertujuan memberikan perlindungan dari
ancaman dan bahaya ya g timbul sebagai akibat dari sengketa bersenjata atau
pada keadaan kekerasaan lainnya yang disebabkan oleh manusia.
d. Sejalan
dengan hal tersebut, Ham dijamin dalam dua sistem hukum dengan lingkup
penerapan yang berbeda yaitu di tingkat universal dan ragional. Sebaliknya,
ketentuan-ketentuan HHI termuat dalam perjanjian-perjanjian yang berlaku di
tingkat internasional tanpa ada instrumen-instrumen hukum ragional.
e. Pada
tingkat internasional tujuan utama dari hukum HAM adalah menghukukm semua jenis
pelanggaran. Sebaliknya, HHI lebih diarahkan kepada perlindungan dan
kesetiakawanan terhadap para korban.
f. Dalam
HHI, sekalipun mendapat manfaat dari perlindungan hukum, individu tidak
diberikan hak perorangan bahkan tidak mungkin untuk secara langsung mengajukan
klaim atas pelanggaran yang terjadi. Sebaliknya, HAM memberikan hak dan jaminan
langsung kepada setiap orang untuk dapat mengajukan tuntutan dipengadilan
apabila terjadi pelanggaran.
g. Mekanisme
pelaksanaan HHI melibatkan negara peserta, negara pelindung dan ICRC.
Sebaliknya, mekanisme pelaksanaan HAM melibatkan lembaga-lembaga nasional, seperti
badan promosi dan penyelidikan, serta instansi pengadilan setiap negara maupun
individu itu sendiri.
h. Hak
yang diberikan oleh HHI bersifat inalienable,
artinya tidak dapat ditolak oleh orang yang ditujukan sebagai penerima.
Sedangkan dalam HAM setiap orang boleh menggunakan hak dan jaminan yang
diberikan kepadanya sesuai dengan pendapat dan kepentingannya sendiri.
i.
Dalam HAM individu
menjadi subyek hukum ynag bersifat aktif, sedangkan dalam HHI individu lebih
dianggap sebagai obyek perlindungan hukum.
BAB
III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dalam
sejarah perkembangan hukum pidana internasional, kejahatan perang bersama
dengan piracy adalah kejahatan internasinal tertua di dunia. tuntutan internasional perihal kejahatan perang
pertama kali dilakukan terhadap Peter Von Hagenbach di Breisach, Jerman pada
tahun 1474.
Hagenbach
diadili di Australia oleh 28 Hakim dari persekutuan negara kerajaan suci Roma
dan dinyatakan bersalah atas pembunuhan, sumpah palsu, dan kejahatan lain yang
melawan hukum Tuhan dan manusia pada saat ia melakukan pendudukan militer.
Dalam persidangan internasional tersebut, kesatriaan Hagenbach dilucuti dan
dijatuhi hukuman mati.
Dimana
Hak asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugrah-NYA yang wajib dihormati, dijunjung tinggi daan dilindungi oleh Negara,
Hukum, Pemerintah dan Setiap orang demi kehormatanserta perlindungan harkat dan
martabat manusia, sedangkan Hukum Humaniter Internasional adalah semua
ketentuan yang terdiri dari perjanjian yang bermaksud untuk mengatasi segala
masalah kemanusian yang timbul pada waktu pertikaian bersenjata internasional
maupun non-internasional.
Hukum
humaniter berlaku pada waktu sengketa bersenjata. Sedagkan HAM berlaku pada
waktu damai. Namun intisri hak-hak asasi atau hard-core rights tetap berlaku
sekalipun pada waktu sengketa bersenjata. Keduanya saling melengkapi, juga ada
keterpaduan dan keserasian kaida-kaidah yang berasal dari instrumen-instrumen
hukum humaniter internasional. Keduanya tidak hanya mengaturhubungan antar
pemerintah dengan rakyat tetapi juga mengatur hubungan diantara negara dengan
negara dengan menetapkan hak-hak dan kewajiban mereka secara timbal balik.
Kesadaran
akan adananya hubungan antara HAM dengan HHI baru disadari pada akhir tahun
1960-an. Kesadaran ini semakin meningkat dengan terjadinya berbagai sengketa
bersenjata seperti dalam perang kemerdekaan di Afrika di berbagai belahan dunia
lainnya yang menimbulkan masalah baik dari segi hukum humaniter maupun dari
segi HAM. Konferensi internasional mengenai HAM yang diselenggarakan oleh PBB
di Teheran tahun 1968 secara resmi menjalin hubungan HAM dan HHI.
3.2. Saran
Dalam
perang memang sangat berkaitan erat dengan kekerasan, namun perlu setiap orang
maupun negara harus tahu bahwa dalam peperanga ada batasan-batas yang harus di
patuhi dan dihormati oleh setiap negara yang ingin berperang.
Terutama
yang termasuk sebagai anggota peserta konvensi maka hendaknya dan seharusnya
menaati hal tersebuat, agar tidak hilangnya HAM yang dimiliki setia orang
perorangan yang juga menjadi bagian yang dilindungi dari hukum humaniter.
Sehingga
pada zaman ini, semoga kejahatan perang tidak terjadi meskipun, pada
kenyataanya banyak terjadi konflik bersejanta yang masih melanggar hal
tersebut, jadi semoga piha-pihak yang terkait akan hal itu hendaknya mengatasih
dan mengawasih hal tersebut tidak terjadi atau setidaknya meminimalisirnya.