Thursday, 21 December 2017

Hubungan Hak Asai Manusi Dan Hukum Humaniter

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Hak asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-NYA yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintah dan Setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia, sedangkan Hukum Humaniter Internasional adalah semua ketentuan yang terdiri dari perjanjian yang bermaksud untuk mengatasi segala masalah kemanusian yang timbul pada waktu pertikaian bersenjata internasional maupun non-internasional.
Dimana Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau sekelompok orang termasuk aparat negara yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan mencabut HAM seseorang atau sekelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Sedangkan hukum humaniter internasional membatasi atas dasar kemanusiaan, hak-hak dari pihak yang terlibat dalam pertikaian untuk menggunakan beberapa senjata dan metode perang tertentu serta memberikan perlindungan kepada orang yang menjadi korban maupun harta benda yang terkena akibat pertikaian bersenjata.
 Sehingga pada dasarnya Hukum Humaniter Internasional dan HAM memiliki tujuan yang sama, yaitu memberikan jaminan perlindungan terhadap manusia. Hanya saja, keduanya memiliki perbedaan dan sisi waktu atau situasi penerapannya. Dimana  Hukum Humaniter Internasional diterapkan dalam situasi sengketa bersenjata yang bersifat internasional maupun internasional.
Hal yang utama dalam hukum humniter internasional yaitu hak korban mendapatkan pertolongan dan ganti rugi bila terjadi pelanggaran sedangkan HAM yaitu perlindungan atas kehidupan, kesehatan, dan martabat manusia. Namun, tujuan kuhusnya yaitu untuk memastikan perlindungan bagi orang dalam keadaan tertentu bagi mereka yang jatuh ketangan musuh. sedangkan HAM menentukan sejumlah aturan untuk mengharmoniskan perkembangan individu dalam masyarakat.


Dapat ketahui bahwa perang berkaitan dengan Hukum Humaniter yang mengatur sumber hukum perang dan prinsip-prinsip-prinsip perang. Maka dari itu pada kesempatan ini saya akan membahas Mengenai kaitan aantara Hukum Humaniter Internasioanal dengan HAM, yang akan diuraikan dalam makalah ini.

1.2. Rumusan Masalah
1.2.1.      Apakah yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter?
1.2.2.      Bagaimanakah yang dimaksud dengan Kejahatan Perang ?
1.2.3.      Bagaimanakah Hubungan HAM Dengan Hukum Humaniter?

1.3. Tujuan
1.3.1.      Dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional.
1.3.2.      Dapat mengetahui bagaimana yang dimaksud dengan kejahatan perang.
1.3.3.      Dapat mengetahui hubungan Ham dengan Hukum Humaniter.












BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter
       2.1.2. Hak Asasi Manusia
Hak asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-NYA yang wajib dihormati, dijunjung tinggi daan dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintah dan Setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau sekelompok orang termasuk aparat negara yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan mencabut HAM seseorang atau sekelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Dengan demikian, persoalah HAM itu telah terintegrasi antara kebebasan-kebebasan, ha, kewajiban dan tanggung jawab. Bukan berarti tidak ada batas melainkan ada batas melalu undang-undang. Jadi semuanya tidak ada kesewenangan-wenagan untuk melakukan pembatasan tetapi tetap dalam koridor hukum.
      2.1.2. Hukum Humaniter
Hukum Humaniter Internasional adalah semua ketentuan yang terdiri dari perjanjian yang bermaksud untuk mengatasi segala masalah kemanusian yang timbul pada waktu pertikaian bersenjata internasional maupun non-internasional. Hukum tersebut membatasi atas dasar kemanusiaan, hak-hak dari pihak yang terlibat dalam pertikaian untuk menggunakan beberapa senjata dan metode perang tertentu serta memberikan perlindungan kepada orang yang menjadi korban maupun harta benda yang terkena akibat pertikaian bersenjata. Dalam hukum humaniter internasional dikenal 3 asas utama yaitu asas kepentingan militer, asas perikemanusiaan dan asas kesaktriaan.
Yang merupakan elemen penting dan harus mendapat perhatian utama bagi mereka yang terlibat dalam konflik bersenjata. Yang mana tujuan utamanya yaitu untuk mengatur bagaimana agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Dimana dalam hukum humaniter internasional dikenal berbagai konflik bersenjata, yaitu Konflik Bersenjata Internasional, Konflik Bersenjata yang tidak bersifat Internasional (Pasal III Konvensi Jenewa 1949), Konflik Bersenjata Non-Internasional (Protokol Tambahan II).
Mengenai konfik yang terjadi dalam suatu negara yang tidak memenuhi syarat seperti jenis konflik yang telah disebutkan, maka tetap dapat disikapi dengan tetap mengacu aturan hukum humaniter dan pendapat para ahli di bidang itu. Hukum hukmaniter mengenal adaanya prinsip-prinsip dasar yang menjadi pedoman yang harus dihormati dan dilaksanakan pada saat terjadi konflik bersenjata, baik yang sifatnya internasional maupun yang bersifat non-internasional.
a.    Prinsip dasar pembatasan, adalah ketentuan yang berisikan tentang hak para pihak untuk menentukan jenis persenjataan dan metode yang digunakan dalam konflik bersenjata adalah tidak tak terbatas.
b.    Prinsip proporsional mengutamakan faktor keseimbangan, baik persenjataan yang digunakan maupun jumlah personil yang dikerahkan.
c.    Prinsip pembedaan yaitu prinsip yang mengutamakan pembedaab antara sasaran yang diperbolehkan dan yang bukan sasaran tembak atau serangan sesuai yang diatur dalam konvensi.
Sumber-sumber hukum humaniter juga mengacu pada pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional : Perjanjian Internasioanal, Kebiasaan Internasioan, Prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa beradab, Keputusan Pengadilan dan Ajaran serjana yang paling terkemuka. Komperensi Perdamaian I di Den Haag menghasilkan tiga konvensi dan tiga deklarasi pada tanggal 29 juli 1899.
Konvensi yaitu tentang penyelesaain damai persengketaan internasional, tentang hukum dan kebiasaan perang darat. Tentang adaptasi asas-asas konvensi jenewa tgl 22 agustus 1864 ttg hukum perang laut.
Sedangkan tiga deklarasi yaitu melarang penggunaan peluru-pelurudum-dum, peluncuran proyektil dan bahan-bahan peledak dari balon, selam jangka lima tahun yang berakhir di tahun 1905, juga dilarang penggunaan proyektil yang menyebabkan gas-gas cekik dan beacun juga dilarang.
Konvensi III Den Haag 1907 tentang cara memulai perang, Konvesi IV Den Haag 1907, hanya terdiri dari 9 Pasal, yang dilengkapi dengan lampiran yang hanya berlaku apabila kedua pihak yng bertikai adalah pihak dalam konvensi, apabila salah satu pihak bukan peserta konvensi, maka konvensi tidak berlaku.
Pasal 1 HR yang menentukan siapa saja yang termasuk bellegerents, pasal ini juga mengatur tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kelompok militia (milisi) dan korps sukarela, yang dapat disebutkan kombatan, yaitu dipimpin oleh seseorang yang bertanggung jawab atas bawahnya, memakai tanda/emblem yang dapat dilhat dari jauh, membawa senjata secara terbuka, melaksanakan operasinya sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang. Hukum Jenewa, yang mengatur tentang perlindungan korban perang, terdiri atas beberapa perjanjian pokok. Perjianjian tersebut adalah keempat konvensi Jenewa 1949.
Konvensi Jenewa dimaksudkan untuk perbaikan keadaan Anggota Angkatan Perang yang luka dan sakit di medan pertempuran dan korban karam, serta perlakuan terhadap tawanan perang dan perlindungan organ-organ sipil diwaktu perang. Konvensi Jenewa berlaku dalam keadaan :
a.    Perang yang diumumkan,
b.    Pertikaian bersenjata sekalipun keadaan perang tidak diakui ,
c.    Dalam hal pendudukan sebagian atau seluruhnya sekalipun penduduk tersebut tidak menemui perlawanan.
Protokol tambahn 1977, yang terdiri atas protokol I  dibuat, karena metode peperangan yang digunakan oleh negara-negara saat terjadi konflik bersenjata, telah mengalami perkembangan demikian halnya aturan-aturan tentang tata cara perang. Dimana juga melarang serangan yang membabi buta dan reprisal terhadap penduduk sipil dan orang-orang sipil, obyek vital untuk kelangsungan hidup penduduk sipil dan sebagainya.
Protokol II menentukan hal-hal antar lain yaitu mengatur jaminan-jaminan fundamental bagi semua orang dan menetapka bahwa harus mendapat perlindungan dan penghormatan. Selain itu juga memuat ketentuan-ketentuan mengenai sengketa bersenjata internasional, sengketa bersenjata non-internasional, maupun non-internasional yang diinternasionalkan.
Commonarticles merupakan Pasal-Pasal bersamaan yang terdapat didalam keempat konvensi jenewa 1949, yang mengatur hal-hal penting dibidang hukum humaniter. Persoalan yang penting itu antara lain persoalan konflik bersenjata non-internasional yang diatur dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949, persoalan penghormatan terhadap konvensi, persoalan mengenai pengawasan, persoalan saksi dan lain sebagainya.
Berbicara mengenai penduduk, tentu berkaitan dengan adanya perang atau konflik yang bersenjata yang mendahuli hal tersebut. Sebenarnya tujuan militer dalam suatu sengketa bersenjata yaitu ingin menghancurkan angkatan perang lawan dan/atau menduduki wilayah lawan. Suatu wilayah sudah diduduki apabila wilayah tersebut dengan nyata telah berada dalam kekuasaaan tentara lawan (pasal 42 HR).
Ketentuan mengenai peraturan hukum penduduk terdapat dalam Hague Regulation 1907 section III Pasal 42-56 dan Geneva Convention 1949 Buku IV. adapun pokok pokok yang diatur adalam kedua aturan ini yaitu :
a.    Pengertian pendudukan militer,
b.    Ketentuan yang menbatasi kekeuasaan Occupant,
c.    Status dari penduduk di wilayah penduduk,
d.   Hukum yg berlaku di wilayah penduduk,
e.    Status pegawai negeri dan polisi di wilayah pendudduk,
f.     Berakhirnay penduduk.
Dari kedua aturan, masing-masing mempunyai bagian yang menonjol dalam kandungan isinya. Misalnya Hague Regulation sebegian besar yang diatur mengenai kekuasaan Occupant dalam bidang ekonomi/keuangan. Sedangkan Geneva Conventiaon, sifatnya menambah dan melemngkapi aturan pertama, juga menitikberatkan pada perlindungan terahapan penduduk sipil.
Dimana suatu aturan berlakuk efektif apabila dapat di implementasikan ditengah masyarakat dan dibarengi dengan penegakan hukumannya oleh pihak penguasa. Aturan mengenai mekanisme hukum humaniter inetrnasiaonal, dapat ditemukan pada ketentuan-ketuantaun yang terdapat pada konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan Protokol tambahan tahun 1977, serta aturan-aturan lain yang mengatur tentang Mahkamam Kejahatan Perang baik yang bersifat ad hoc maupun yang permanen. Sebagaimana halnya dengan aturan hukum lainnya, maka penghormatan terhadap hukum humaniter juga diwajibka ( Pasal 1 Konvensi Jenewa 1949).
2.2. Kejahat Perang
Dalam sejarah perkembangan hukum pidana internasional, kejahatan perang bersama dengan piracy adalah kejahatan internasinal tertua di dunia. tuntutan  internasional perihal kejahatan perang pertama kali dilakukan terhadap Peter Von Hagenbach di Breisach, Jerman pada tahun 1474. Hagenbach diadili di Australia oleh 28 Hakim dari persekutuan negara kerajaan suci Roma dan dinyatakan bersalah atas pembunuhan, sumpah palsu, dan kejahatan lain yang melawan hukum Tuhan dan manusia pada saat ia melakukan pendudukan militer. Dalam persidangan internasional tersebut, kesatriaan Hagenbach dilucuti dan dijatuhi hukuman mati.
Selama Perang Dunia I berlangsung, banyak terjadi kejahatan perang antara lain yang dilakukan oleh Jerman ketika menginvansi Belgia. Jerman melakukan deportasi warga Belgia untuk dijadikan budak selama perang berlansung. Sebenarnya, pembatasan terhadap konflik bersaenjata sudah diusahkan oleh perajurit terkenal Cina yang bernama Sun Tzu  pada abad ke-6 SM. Bangsa Yunani kuno termasuk bangsa pertama yang memandang larangan-larangan dalam konflik bersenjata sebagai hukum. Namun, keberadaan istilah kejahtan perang itu sendiri terdapat dalam manu, kitap Hukum Hindu, sekitar 200 tahun SM.
      2.2.1. Pengertian Perang
Menurut KBBI, perang sebagai permusuhan antara dua negara atau pertempuran antar dua padukan. Sedangakan menurut G.P.H. Djatikoesomo, perang sebagai sengketa dengan menggunakan kekerasan yang sering berbentuk kekuatan bersenjata. Sedangkan menurut Carl Von Clausewitz, mengartikan perang sebagai politik dengan jalan kekerasan.
2.2.2. Hukum Perang atau Hukum Militer termasuk sumber hukum perang dan prinsip- prinsip hukum perang
Berkaitan dengan hal tersebut, hukum perang atau hukum bersenjata, kemudian dikenal dengan istilah HHI atau biasa disebut hukum humaniter. Djtikoesomo memberi definisi hukum perang sebagai aturan-aturan dari hukum bangsa-bangsa mengenai perang. Sehingga dalam konfrensi Den Haag 1907 menghasilkan 13 konvensi dan satu deklarasi, sedangkan konvensi jenewa yang disebut juga konvensi palang merah.
Hal yang utama dalam hukum humaniter yaitu adalah hak korban untuk mendapat pertolongan dan ganti rugi bila terjadi perang. Dimana tujuan khususnya  yaitu untuk memastikan perlindungan bagi orang dalam situasi konflik bersenjata dalam keadaan tertentu bagi mereka yang jatuh ketangan musuh. Hal ini secara tegas dinyatakan oleh Jakob Kellenberger, presiden komite internasional palang merah dalam pertemuan tahunan ke-27 tentang permasalahan HHI.
HHI membagi pertikaian bersenjata kedalam internasional armed conflcts dan internal armed conflict. Pertikaian bersenjata yang bersifat internasional adalah pertikaian bersenjata yang melibatkan dua negara atau lebih, sedangkan pertikaian bersenjata yang bersifat internal adalah kekerasan bersenjata yang berlarut-larut antar pemerintah yang berkuasa dengan sekelompok pasukan bersenjata dalam sebuah negara.
Asas pembedaan penting lainnya dalam hukum humaniter adalah prinsip yang membedakan penduduk suatu negara yang sedang berperang dalam dua golongan yaitu kombatan dimana jika tertangkap dijadikan tawanan perang yang perlakuannya dibedakan terhadap mata-mata, tentara bayaran, serta kombatan yang tidak sah dan penduduk sipil
      2.2.3. Definisi Kejahatan Perang dan Pengaturannya dalam Instrumen   Internasional
Istilah kejahatan perang biasanya menunjukan pada tindakan-tindakan yang melanggar hukum dan kebiasaan perang. Akan tetapi, tidak semua pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang merupakan kejahatan perang.
Menurut Arie Siswantu yang mengutip pendapat Dienstein yakni hanya perbuatan-perbuatan tertentu saja yang dinyatakandalam aturan sebagai kejahatan perang. Steven R. Ratner memberi pengertian kejahatan perang sebagai pelanggaran terhadap hukum-hukum perang atau HHI yang mendatangkan tanggung jawab kriminal individual.
Pengertian kejahatan perang dalam London Charter termuat dalam pasal 6 (b). Sementara dalam Charte of the Internationaly Milatary Tribunal for the Far East, istilah kejahatan perang tercantum dalam pasal 5 (b), yang keduanya di identikkan dengan kejahatan terhadap hukum-hukum dan kebiasaan perang. Namun, dalam london charter tidak didefinisikan secara limitif sehingga dimungkinkan adanya pennafsiran.
Berbeda dengan keduanya, Statuta ICTY tidak tercaantum istilah kejahatan perang secara eksplit. Namun, dalam dua pasal masing-masing pasal 2 dan pasal 3 ICYT tentang digunakan istilah pelanggaranberat terhadap konvensi-konvensi jenewa 1949 dan pelanggaran hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan perang.
Sedangkan dalam Statuta Roma secara eksplit dicantumkan dalam pasal 8. Selainitu, rumusan kejahatan perang diatur secara jelas dan lengkap serta sistematis sehingga sulit ditafsirkan selain apa yang tertulis. Berkaitan dengan hal tersebut, perbuatan-perbuatan yang di kualifikasikansebagai kejahatan perang dibagi jadi empat kelompok :
a.    Pelanggaran berat terhadap konvensi jenewa berupa perbuatan yang ditujukan terhadap orang dan /atau benda yang dilindungi konvensi.
b.    Pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan konflik bersenjata.
c.    Pelanggaran terhadap article 3 common to the four geneva conventions of 1949 dalam hal noninternasional armed conflict.
d.   Pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan yang betlaku dalam noninternasional armed conflict.
Dalam konteks tersebut juga ada baik genoside, kejahatan terhadap kemanusian maupun kejahatan perang, statuta menyediakan instrumen hukum yang represif atas berbagai kejahatan paling serius terhadap masyarakat internasional

2.3. Hubungan Hak Asasi Manusia Dan Hukum Humaniter
Pada hakekatnya hukum humaniter internasional dan HAM memiliki tujuan yang sama, yaitu memberikan jaminan perlindungan terhadap manusia. Hanya saja, keduanya memiliki perbedaan dari sisi waktu atau situasi penerapannya. Hukum humaniter internasional diterapkan apabila terjadi sengketa bersenjata internasioanal maupun non-internasionalatau perang saudar (civil war).
Hukum humaniter internasional terdiri dari peraturan-peraturan tentang perlindungan korban perang (Hukum Jenewa) dan peraturan-peraturan tentang alat dan tata caraberperang (Hukum Den Haag). Sedangkan ketentuan-ketentuan HAM dimaksud untuk menjamin hak dan kebebasan baik sipil, politik, ekonomi, sosial, maupun budaya bagi setiap orang.
 Dalam hukum HAM setiap orang harus dilindungi dari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dari pemerintah. Hak-hak asasi manusia tersebut terdapat baik dalam berbagai peraturan perundang-undangan nasional maupun instrumen-instrumen internasional. Hukum humaniter berlaku pada waktu sengketa bersenjata. Sedagkan HAM berlaku pada waktu damai.
Namun inti sari hak-hak asasi atau hard-core rights tetap berlaku sekalipun pada waktu sengketa bersenjata. Keduanya saling melengkapi, juga ada keterpaduan dan keserasian kaida-kaidah yang berasal dari instrumen-instrumen hukum humaniter internasional. Keduanya tidak hanya mengaturhubungan antar pemerintah dengan rakyat tetapi juga mengatur hubungan diantara negara dengan negara dengan menetapkan hak-hak dan kewajiban mereka secara timbal balik.
Dengan demikian, maka kedua bidang ini merupakan instrumen-instrumen hukum yang memberikan perlindungan kepada orang perorangan. Instrumen-instrumen hukum yang memberikan perlindungan kepada orang-orang ini dapat digolongkan kedalam empat kelompok, yaitu :
a.    Instrumen hukum yang bertujuan melindungi orang perorangan sebagai anggota masyarakat. Perlindungan ini meliputi segenap segi perilaku perorangan dan sosialnya . perlindungan ini bersifat umum, kategori ini justru mencaku hak asasi internasional.

b.    Instrumen yang bertujaun untuk melindungi orang perorang berkaitan dengan keadaannya didalam masyarakat, sepertihukum internasional tentang perlindungan terhadap kaum wanita dan hukum internasional berkaitan dengan perlindungan terhadap anak.
c.    Instrumen hukum yang bertujuan melindungi orang perorangan dalam kaitannya dengan fungsinya di dalam masyarakat, seperti hukum internasional tentang buruh.
d.   Instrumen hukum yang bertujuan melindungi orang perorangan dalam keadaan darurat, apabila terjadi situasi yang luar biasa dan yang mengakibatkan ancaman adanya  pelanggaran atas haknya yang biasanya dijamin oleh hukum yang berlaku, seperti hukum internasional tentang pengungsi dan hukum humaniter internasional (HHI) yang melindungi para korban dari akibat sengketa bersenjata.
Pada mulanya, tidak pernah ada perhatian mengenai hubungan antara HAM dan HHI. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika pernyataan Universal tentang HAM  (Universal Declaration of Human Rights) 1948 tidak disinggung tentang penghormatan HAM pada waktu sengketa bersenjata. Sebaliknya, dalam konvensi-konvensi Jenewa 1949 tidak disinggung masalah HAM . Akan tetapi, tidak berarti bahwa konvensi-konvensi jenewa dan HAM tidak memiliki kaitan sama sekali. Antara keduanya terdapat hubungan keterkaitan, walaupun tidak secara langsung.
Disatu sisi ada kecenderungan untuk memandang ketentuan-ketentuan konvensi jenewa 1949 tidak hanya mengatur mengenai kewajiban bagi negara-negara peserta tetapi juga mengatur tentang hak orang perorangan sebagai pihak yang dilindungi.
Keempat konvensi Jenewa 1949 menegaskan bahwa penolakan hak-hak yang diberikan oleh konvensi-konvensi ini tidak dapat dibenarkan. Apalagi, adanya pasal 3 ketentuan yang bersamaan pada keempat konvensi jenewa 1949 yang mewajibkan setiap negara peserta untuk menghormati peraturan-peraturan dasar kemanusiaan pada sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional.
Dengan demikian, maka pasal 3 ini mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negaranya, yang berarti mencakup bidang tradisional dari HAM. Di sisi lain, tentang konvensi-konvensi tentang HAM terdapat pila berbagai ketentuan yang penerapannya justru pada situasi perang.
Konvensi eropa tahun 1950, misalnya dalam pasal 15, menentukan bahwa bila terjadi perang atau bahaya umum lainnya yang mengancam stabilitas nasioanal, hak-hak yang dijamin oleh konvensi ini tidak boleh dilanggar. Meskipun dalam keadaan demikian, paling tidak ada 7 hak yang harus tetap dihormati karena merupakan intisari dari konvensiini, yaitu hak atas keamanan.
Ketentuan ini terdapat juga dalam kovenan PBB mengenai Hak Sipil dan Politik pasal 4 dan konvensi HAM Amerika pasal 27. Selain itu terdapat puula hak-hak yang tak boleh dikurangi (non derogable rights) baik dalam keadaan damai maupun dalam dalam keadaan sengketa bersenjata.
Hak-hak yang tak dapat dikurangi tersebut meliputi hak hidup, prinsip (perlakuan) non diskriminasi, larangan penyiksaan (torture), larangan berlaku surutnya hukum pidana yang ditetapkan dalam pasal 15 kovenan politik, hak untuk dipenjarakan karena ketidakmampuan melaksanakan ketentuan perjanjian (kontrak), perbudakan (slevery), perhambatan (servitude), larangan penyimpanagn berkaitan dengan penawanaan, pengakuan seseorang sebagai subyek hukum, kebebasan berpendapat, keyakinan dan agama, larangan penyenderaan, laranagn penjatuhan hukuman tanpa putusan yang diumumkan lebih dahulu oleh pengadilan ynag lazim, larangan menjatuhkan hukuman mati dan melaksanakan eksekusi dalam keadaan yang ditetapkan dalam pasal 3 (1) (d) yang bersamaan dengan konvensi Jenewa.
Dalam HHI pengaturan mengenai hak-hak yang tak dapat dikurangi ini antara lain tercantum dalam ketentuan pasal 3 ketentuan yang bersamaan pada keempat konvensi jenewa 1949. Pasal ini penting karena membebankan kewajiban kepada “Pihak Peserta Agung” untuk tetap menjamin perlindungan kepada perorangan dengan mengesampinkan staatus “belligerent” menurut hukum atau sifat dari sengketa bersenjata yang terjadi itu.
Kesadaran akan adanaya hubungan antara HAM dengan HHI baru disadari pada akhir tahun 1960-an. Kesadaran ini semakin meningkat dengan terjadinya berbagai sengketa bersenjata seperti dalam perang kemerdekaan di Afrika di berbagai belahan dunia lainnya yang menimbulkan masalah baik dari segi hukum humaniter maupun dari segi HAM. Konferensi internasional mengenai HAM yang diselenggarakan oleh PBB di Teheran tahun 1968 secara resmi menjalin hubungan HAM dan HHI.

Dalam Resolusi XXIII tnggal 12 mei 1968 mengenai :penghormatan HAM pada waktu pertikaian bersenjata”, meminta agar konvensi-konvensi tentang pertikaian bersenjata diterapkan secara lebih sempurna dan supaya disepakati perjanjian baru mengenai hal ini. Resolusi ini mendorong pbb untuk menangani pulai hukm humaniter internasioanal.
Dalam kepustakaan ada tiga aliran berkaitan dengan hubungan hukum humaniter internanasional yaitu :
a.    Aliran integrasionis, berpendapat bahwa sistem hukum yang satu berasal dari yang lain. Dalam kaitan, maka terdapat dua kemungkinan yaitu :
1)        HAM menjadi dasar bagi HHI, dalam arti bahwa hukum humaniter merupakan cabang dari HAM. pendapat ini antara lain dianut oleh Robertson yang menyatakan bahwa HAM merupakan hak dasar bagi setiap orang, setiap waktu dan berlaku di segala tempat. Jadi, HAM  merupakan genus dan Hukum humaniter merupakan speciesnya, karena hanya berlaku untuk golongan tertentu saja dan dalam keadaan tertentu pula.
2)        HHI merupakan dasra dari HAM, dar arti bahwa HAM merupakan bagian dari hukum humaniter. Pendapat ini didasarkan pada alasan bahwa hukum humaniter lahir lebih dahulu dari pada HAM. Jadi, secar kronologis, HAM dikembangkan setelah HHI.
b.      Aliran seperatis, yang melihat HAM dan HHI sebagai sistem hukum yang sama sekali tidak berkaitan kerena keduanya berbeda. Perbedaan kedua sistem tersebut terletak pada :
1)        Obyek, HHI mengatur sengketa bersenjata antara negara dengan kesatuan (entity) lainnya. Sebaliknya, HAM mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negaranya didalam negara tersebut.
2)        Sifatnya, HHI bersifat manndotary-a political serta paremptory. Sebaliknya, HAM bersifat declatory-political.
3)        Saat berlakunya, HHI berlaku pada saat perang atau masa sengketa bersenjata, sedangkan HAM berlaku pada saat damai.
Salah seorang penganut teori ini adalah Marion Mushkat. Menurutnya secara umum dapat dikatakan bahwa hukum humaniter itu berhubungan dengan akibat dari sengketa bersenjata antara negara, sedangkan Ham berkaitan dengan pertentangan antara pemerintah dengan individu didalam negara bersangkutan.

Hukum humaniter mulai berlaku pada saat HAM suda tidak berlaku lagi, hukum humaniter melindungi mereka yang tiadak manpu terus berperang atau mereka yang sama sekali tidak ada dalam sengketa bersenjata karena fungsinya diambil oleh hukum humaniter tetapi terbatas pada golongan tertentu saja. Sejalan dengan hal ini ia tidak stuju dengan penggunaan istilah  human rights i armed conflict.
c.    Aliran komplementaris, yang melihat hukum HAM dan HHI melaui proses yang bertahap, berkembang sejajar dan saling melengkapi. Salah seorang dari penganut teori ini adalah Cologeropoulus. Ia menentang pendapat aliran separatis yang dianggapnya menentang kenyataan bahwa kedua sistem tersebut memiliki tujuan yang sama, yakni perlindungan peribadi orang. HAM melindungi pribadi orang pada masa damai, sedangkan hukum humaniter memberikan perlindungan pada masa perang atau sengketa bersenjata. Aliran ini mengakui adanya perbedaan seperti yang dikemukakan oleh aliran separatis, dan menambahkan beberapa perbedaan lain yaitu :
1)        Dalam pelaksanaan pendekatan dan penegakan yaitu hukum humaniter menggantungkan diri pada atau menerapkan sistem negra pelindung (protecting power). Sebaliknya, HAM sudah mempunyai aparat-mekanisme yang tetap, tetapi ini hanya berlaku di negara-negara Eropa saj, yaitu diatur dalam konvensi Eropa TENTANG ham.
2)        Dalam hal sifat pencegahan yaitu HHI dalam kaitannya denganpencegahan menggunakan pendekatan preventif dan korektif, sedangkan hukum HAM secara fundamental menggunakan pendekatan korektif, yang diharapkan akan mempunyai efek preventif.
Adanya hubungan antara kedua bidang hukum tersebut, juga dapat dilihat dari berbagai kesamaan diantara keduanya. Adapun persamaan keduan bidang hukum tersebut adalah sebagai berikut.
a.       Sebagaimana ketentuan-ketentuan instrumen-instrumen HAM, konvensi-konvensi jenewa 1949 dan protokol-protokolnya membedakan kewajiban kepada negar peserta dan menjamin hak-hak individual dari orang-orang yang dilindungi.
b.      HHI menentuka kelompok orang yang dilindungi seperti orang-orang yang cedera dan tawanan perang, sedangkan HAM berlaku bagi semua orang tanpa memberikan status khusus. Akan tetapi, dalam perkembangan terakhir HHI mengikuti pendekatan yang sama dengan sistem HAM, dengan memperluas perlindungan HHI bagi semua warga sipil.
c.       Di satu sisi landasan pengaturan HAM adalah hak-hak yang berkaitan dengan manusia , yaitu kehidupan, kebebasan, keamanan, status sebagai subyek hukum,dan sebagainya. Atas dasar tersebut dibuatlah peraturan-peraturan untuk menjamin perkembangan manusia dalam segala segi. Di sisi lain HHI dimaksudkan untuk membatasi kekerasan dan dengan tujuan ini, HHI memuat peraturan yang menjaminhak-hak manusia yang sama, karena hak-hak tersebut dianggap merupakan hak-hak minimal.
Intisari dari hak-hak asasi manusia (hard-core rights), atau dapat juga disebut sebagai hak-hak yang paling dasar, yang akan dijelaskan pada bagian berikut menjamin perlindungan minimal yang mutlak dihormati terhadap siapapun baik dimasa damai maupun di waktu perang. Hak-hak ini merupakan bagian dari kedua sistem hukum tersebut. Hak-hak yang paling dasar tersebut adalah.
a.       Hak untuk hidup yaitu hak ynang dijami oleh instrumen-instrumen HAM dan HHI
b.      Larangan penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi yaitu telah ditentukan dalam pasal 7 kovenan tentang hak-hak sipil dan politi tahun 1966.
c.       Laranga perbudakan yaitu terdapat dalam pasal 8 kovenan mengenai hak-hak sipil dan politik, serta dalam protokol tambahan II 1977 pasal 4 (2) (f).
d.       Jaminan peradilan yaitu dalam HAM, diakui sebagai hak-hak yang sangat penting, agar HAM lainnya dapat diterapkan secara efektif.
Bersatunya hukum humaniter dan HAM ini juga terlihat dalam tata cara kerja badan-badan ynang bertanggung jawab melaksanakan monotoring dan pelaksanaan hukum internasional. Dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
a.       Dapat dicatat bahwa akhir-akhir ini dewan keamanan dalam revolusinya sering menyebut hukum humaniter untuk mendukung revolusi tersebut.
b.      Salah satu badan yang khusus memperhatikan HAM , yaiti commission on human rights, tidak lagi ragu-ragu untuk menggunakan hukum humaniter untuk mendukung rekomendasinya.
c.       Special rapporteur untuk masalah kuwait
Selain dari persamaan-persamaan tersebuat, kedua bidang hukum ini juga memiliki perbedaan-perbedaan. Adapun perbedaan-perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
a.       HHI yng mulanya dikenal sebagai hukum perang dianggap sebgai hukum yang tertua dalam sitem hukum publik internasional, dan peraturan-peraturannnya memberikan warna pada hubungan internasional yang pertama  dijalin. Sebaliknya HAM merupakan bagian dari hukum publik internasional yang masih muda.
b.      Ham dibuat untuk berlaku pada masa damai. Sebaliknya, HHI dibentuk untuk berlaku khusus pada waktu sengketa bersenjata.
c.       Ketentuan-ketentuan HAM dimaksud untuk menjamin penghormatan hak dan kebebasab setiap orang agar terlindung dari penyalahgunaan kekuasaan dari instansi pemerintah sehingga mereka dapat mengembangkan dirinya sepenuhnya dalam masyarakat. Sedangkan HHI sebagai sistem hukum darurat yang bertujuan memberikan perlindungan dari ancaman dan bahaya ya g timbul sebagai akibat dari sengketa bersenjata atau pada keadaan kekerasaan lainnya yang disebabkan oleh manusia.
d.      Sejalan dengan hal tersebut, Ham dijamin dalam dua sistem hukum dengan lingkup penerapan yang berbeda yaitu di tingkat universal dan ragional. Sebaliknya, ketentuan-ketentuan HHI termuat dalam perjanjian-perjanjian yang berlaku di tingkat internasional tanpa ada instrumen-instrumen hukum ragional.
e.       Pada tingkat internasional tujuan utama dari hukum HAM adalah menghukukm semua jenis pelanggaran. Sebaliknya, HHI lebih diarahkan kepada perlindungan dan kesetiakawanan terhadap para korban.
f.       Dalam HHI, sekalipun mendapat manfaat dari perlindungan hukum, individu tidak diberikan hak perorangan bahkan tidak mungkin untuk secara langsung mengajukan klaim atas pelanggaran yang terjadi. Sebaliknya, HAM memberikan hak dan jaminan langsung kepada setiap orang untuk dapat mengajukan tuntutan dipengadilan apabila terjadi pelanggaran.
g.      Mekanisme pelaksanaan HHI melibatkan negara peserta, negara pelindung dan ICRC. Sebaliknya, mekanisme pelaksanaan HAM melibatkan lembaga-lembaga nasional, seperti badan promosi dan penyelidikan, serta instansi pengadilan setiap negara maupun individu itu sendiri.
h.      Hak yang diberikan oleh HHI bersifat inalienable, artinya tidak dapat ditolak oleh orang yang ditujukan sebagai penerima. Sedangkan dalam HAM setiap orang boleh menggunakan hak dan jaminan yang diberikan kepadanya sesuai dengan pendapat dan kepentingannya sendiri.
i.        Dalam HAM individu menjadi subyek hukum ynag bersifat aktif, sedangkan dalam HHI individu lebih dianggap sebagai obyek perlindungan hukum.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dalam sejarah perkembangan hukum pidana internasional, kejahatan perang bersama dengan piracy adalah kejahatan internasinal tertua di dunia. tuntutan  internasional perihal kejahatan perang pertama kali dilakukan terhadap Peter Von Hagenbach di Breisach, Jerman pada tahun 1474.
Hagenbach diadili di Australia oleh 28 Hakim dari persekutuan negara kerajaan suci Roma dan dinyatakan bersalah atas pembunuhan, sumpah palsu, dan kejahatan lain yang melawan hukum Tuhan dan manusia pada saat ia melakukan pendudukan militer. Dalam persidangan internasional tersebut, kesatriaan Hagenbach dilucuti dan dijatuhi hukuman mati.
Dimana Hak asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-NYA yang wajib dihormati, dijunjung tinggi daan dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintah dan Setiap orang demi kehormatanserta perlindungan harkat dan martabat manusia, sedangkan Hukum Humaniter Internasional adalah semua ketentuan yang terdiri dari perjanjian yang bermaksud untuk mengatasi segala masalah kemanusian yang timbul pada waktu pertikaian bersenjata internasional maupun non-internasional.
Hukum humaniter berlaku pada waktu sengketa bersenjata. Sedagkan HAM berlaku pada waktu damai. Namun intisri hak-hak asasi atau hard-core rights tetap berlaku sekalipun pada waktu sengketa bersenjata. Keduanya saling melengkapi, juga ada keterpaduan dan keserasian kaida-kaidah yang berasal dari instrumen-instrumen hukum humaniter internasional. Keduanya tidak hanya mengaturhubungan antar pemerintah dengan rakyat tetapi juga mengatur hubungan diantara negara dengan negara dengan menetapkan hak-hak dan kewajiban mereka secara timbal balik.
Kesadaran akan adananya hubungan antara HAM dengan HHI baru disadari pada akhir tahun 1960-an. Kesadaran ini semakin meningkat dengan terjadinya berbagai sengketa bersenjata seperti dalam perang kemerdekaan di Afrika di berbagai belahan dunia lainnya yang menimbulkan masalah baik dari segi hukum humaniter maupun dari segi HAM. Konferensi internasional mengenai HAM yang diselenggarakan oleh PBB di Teheran tahun 1968 secara resmi menjalin hubungan HAM dan HHI.
3.2. Saran
Dalam perang memang sangat berkaitan erat dengan kekerasan, namun perlu setiap orang maupun negara harus tahu bahwa dalam peperanga ada batasan-batas yang harus di patuhi dan dihormati oleh setiap negara yang ingin berperang.
Terutama yang termasuk sebagai anggota peserta konvensi maka hendaknya dan seharusnya menaati hal tersebuat, agar tidak hilangnya HAM yang dimiliki setia orang perorangan yang juga menjadi bagian yang dilindungi dari hukum humaniter.
Sehingga pada zaman ini, semoga kejahatan perang tidak terjadi meskipun, pada kenyataanya banyak terjadi konflik bersejanta yang masih melanggar hal tersebut, jadi semoga piha-pihak yang terkait akan hal itu hendaknya mengatasih dan mengawasih hal tersebut tidak terjadi atau setidaknya meminimalisirnya.












  KETERKAITAN TEORI KEADILAN DENGAN PAJAK AIR TANAH Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pajak air tanah adalah pajak atas pengambila...