BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Di dalam sistem hukum
nasional demikian halnya dengan hukum tanah, maka harus sejalan dengan
kontitusi yang berlaku di negara kita yaitu Undang Undang Dasar 1945. Pasal 33
ayat (3) Undang-undang Dasar Tahun 1945, yang mengatakan bahwa :
“Bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya, yang penguasaannya ditugaskan kepada Negara
Republik Indonesia, harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.”
Adapun tata cara yang
dapat digunakan untuk memperoleh hak atas tanah tergantung pada status tanah
yang tersedia yaitu, Tanah Negara atau Tanah Hak. Jika tanah yang tersedia
berstatus Tanah Negara, tata cara yang harus digunakan untuk memperoleh tanah
tersebut adalah melalui permohonan hak. Dan jika yang tersedia berstatus Tanah
Hak (hak-hak primer), maka tata cara yang dapat digunakan untuk memperoleh
tanah tersebut di antaranya adalah melalui, pemindahan hak (jual-beli, hibah
tukar, menukar).
Setiap hak atas tanah
yang diperoleh melalui acara permohonan hak wajib didaftarkan di kantor
pertanahan BPN (dahulu Kantor Agraria) di setiap Kabupaten/Kotamadya.
Dalam pembangunan
jangka panjang kedua peranan tanah bagi pemenuhan berbagai keperluan akan
meningkat, baik sebagai tempat bermukim maupun untuk kegiatan usaha. Sehubungan
dengan itu akan meningkat pula kebutuhan akan dukungan berupa jaminan kepastian
hukum di bidang pertanahan. Pemberian jaminan kepastian hukum di bidang
pertanahan, yang pertama diperlukan adalah tersedianya perangkat hukum yang
tertulis, lengkap dan jelas yang dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan
jiwa dan isi ketentuan-ketentuannya.
Selain itu dalam
menghadapi kasus-kasus konkret diperlukan juga terselenggaranya pendaftaran
tanah untuk dengan mudah membuktikan haknya atas tanah yang dikuasainya, dan
bagi para pihak yang berkepentingan, seperti calon pembeli dan calon penjual,
untuk memperoleh keterangan yang diperlukan mengenai tanah yang menjadi objek
perbuatan hukum yang akan dilakukan, serta bagi Pemerintah untuk melaksanakan
kebijaksanaan pertanahan.
Guna menjamin kepastian
hukum di bidang penguasaan dan pemilikan tanah faktor kepastian letak dan batas
setiap bidang tanah tidak dapat diabaikan. Dari pengalaman masa lalu cukup
banyak sengketa tanah yang timbul sebagai akibat letak dan batas bidang-bidang
tanah tidak benar.
Karena itu masalah pengukuran dan pemetaan
serta penyediaan peta berskala besar untuk keperluan penyelenggaraan
pendaftaran tanah merupakan hal yang tidak boleh diabaikan dan merupakan bagian
yang penting yang perlu mendapat perhatian yang serius dan seksama, bukan hanya
dalam rangka pengumpulan data penguasaan tanah tetapi juga dalam pengajian data
pengusahaan/pemilikan tanah dan penyimpanan data tersebut.
Dalam Undang-undang
Pokok Agraria tidak pernah disebutkan sertipikat tanah, namun seperti yang
dijumpai dalam pasal 19 ayat (2) huruf c ada disebutkan “surat tanda bukti
hak”. Dalam pengertian sehari-hari surat tanda bukti hak ini sering ditafsirkan
sebagai sertipikat tanah.
Sehingga dengan
pengeluaran sertipikat ini, menandakan telah ada pendaftaran tanah yang
dilakukan. Hanya saja, dalam praktek, penerbitan sertipikat tanah masih dapat
dipertanyakan keefektifannya dalam memberikan kepastian dan perlindungan hukum,
apakah sertipikat benar-benar melindungi hak (subyek) atau tanahnya (obyek)
atau hanya bukti fisik sertipikatnya saja, karena sering terjadi ketika dibawa
ke pengadilan, dapat saja diakui secara formal sertipikatnya, tetapi tidak
melindungi subyek dan obyeknya. Peradilan Tata Usaha Negara dapat saja menolak
menyatakan untuk membatalkan sertipikat tanah, tetapi peradilan umum menyatakan
orang yang terdaftar namanya dalam sertipikat tidak berhak atas tanah yang
disengketakan.
Berbagai macam
permasalahan itu salah satunya adalah
tentang sertifikat ganda yang sampai saat ini belum ada penyelesaiannya di
tingkat BPN ataupun Pengadilan Tata Usaha Negara. Pemerintah dalam menjamin
kepastian hukum di bidang penguasaan dan
pemilikan tanah, menjadikan kepastian letak dan batas setiap bidang tanah
sebagai faktor dan prioritas utama yang tidak dapat diabaikan.
Tapi sayangnya,
permasalaha tentang sertifikat tanah masih tetap ada dan muncul lagi dengan
permasalahan berbeda. Sebidang tanah yang mempunyai sertifikat ganda muncul dan menjadi akar
pahit bagi hukum pertanahan yang ada di Indonesia. Untuk itulah berdasarkan
uraian diatas maka penulis berkeinginan untuk mendalami lagi apa itu sertifikat
tanah, bagaimana sampai timbul sertifikat ganda dan apa solusinya dari pihak
berwenang dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Bagaimana
sampai munculnya sertifikat ganda yang merupakan alat bukti sah kepemilikan tanah?
1.2.2. Bagaimana
perbedaan sertifikat tanah ganda dengan sertifikat tanahyang palsu ?
1.2.3. Bagaimana
kasus sertifikat ganda merupakan
penipuan terorganisir?
1.2.4. Bagaimana
penyelesaian yang dilakukan pihak berwenang menyelesaikan masalah sertifikat ganda?
1.3. Tujuan
1.3.1. Dapat
Mengetahui bagaimanakah sampai munculnya
sertifikat ganda yang merupakan alat bukti sah
kepemilikan tanah.
1.3.2. Dapat
mengetahui bagaimanakah perbedaan sertifikat tanah ganda dengan sertifikat
tanah yang palsu.
1.3.3. Dapat
mengetahui bagaimanakah kasus sertifikat ganda merupakan penipuan terorganisir.
1.3.4. Dapat
mengetahui bagaimanakah penyelesaian yang dilakukan pihak berwenang
menyelesaikan masalah sertifikat ganda.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1. Penyebab
Timbulnya Sengketa Tanah Dan Permasalahan Sertifikat Ganda
Tanah
sekarang sudah merambah kepada persoalan sosial yang kompleks dan memerlukan
pemecahan dengan pendekatan yang komprehensif. Perkembangan sifat dan substansi
kasus sengketa pertanahan tidak lagi hanya persoalan administrasi pertanahan
yang dapat diselesaikan melalui hukum administrasi, tapi kompleksitas tanah
tersebut sudah merambah kepada ranah politik, sosial, budaya dan terkait dengan
persoalan nasionalisme dan hak asasi manusia.
Tidak
sedikit korban yang jatuh karena mempersoalkan atau mempertahankan beberapa
persegi tanah saja. Dari tahun ke tahun, jumlah kasus di bidang pertanahan di
Indonesia terus meningkat. Dalam kurun dua tahun saja, jumlah kasus tanah yang
dilaporkan Badan PertanahanNasional (BPN) Republik Indonesia meningkat lima
ribu kasus.
Kurangnya
transparansi dalam hal penguasaan dan pemilikan tanah disebabkan oleh
terbatasnya data dan informasi penguasaan dan pemilikan tanah, serta kurang
transparannya informasi yang tersedia di masyarakat merupakan salah satu
penyebab timbulnya sengketa-sengketa tanah. Hal ini menyebabkan
terkonsentrasinya penguasasan dan pemilikan tanah dalam hal luasan di pedesaan
dan/atau jumlah bidang tanah di perkotaan, hanya pada sebagian kecil
masyarakat. Di sisi lain persertifikatan tanah tampaknya masih cenderung kepada
akses permintaan, yang jauh melampaui sisi penawaran, meskipun proyek-proyek
administrasi pertanahan seperti prona dan proyek adjukasi relatif berhasil
mencapai tujuannya.
Jika
dicermati, konflik pertanahan yang terjadi selama ini berdimensi luas, baik
konflik horizontal maupun konflik vertikal.
Konflik vertikal yang paling dominan yaitu antara masyarakat dengan
emerintah atau perusahaan milik negara dan perusahaan milik swasta. Misalnya
salah satu kasus yang paling menonjol adalah kasus yang paling sering terjadi
adalah permasalahan sertifikat ganda atau kepemilikan beberapa sertifikat pada
sebuah bidang tanah.
Penyebab
lainnya dari sengketa pertanahan adalah nilai ekonomis tanah yang cukup tinggi
dan tanah merupakan simbol eksistensi dan status sosial ditengah masyarakat
sehingga mengakibatkan timbulnya konflik pertanahan yang vertikal dan
horizontal itu.
Makna
dan nilai tanah yang demikian stategis dan istimewa mendorong setiap orang
untuk memiliki, menjaga dan merawat tanahnya dengan baik, bila perlu
mempertahankannya sekuat tenaga sampai titik darah penghabisan. Akar konflik
dan sengketa pertanahan yang bersifat multidimensional tidak bisa dilihat
sebagai persoalan hukum belaka, namun juga terkait variabel-variabel lain yang
non-hukum yang antara lain yaitu lemahnya regulasi sertifikasi tanah yang belum
mencapai 50%.
Tumpang
tindihnya pengeluaran suatu keputusan dari instansi-instansi yang berhubungan
langsung dengan pertanahan juga merupakan salah satu faktor timbulnya sengketa
pertanahan. Misalnya penerbitan SK untuk penambangan batu bara yang harus
dikeluarkan oleh beberapa instansi pemerintahan antara lain Departemen
Kehutanan, Departemen Pertambangan dan lain-lain yang berkaitan dengan SK
tersebut. Sengketa demi sengketa ini terjadi karena kurangnya koordinasi antara
instansi penyelenggara pembebasan tanah dan pihak lain yang terkait misalnya
kantor pertanahan setempat. Itu artinya inkonsistensi pemerintah dalam
mengeluarkan regulasi di bidang pertanahan serta lemahnya pengawasan saat
melaksanakan regulasi-regulasi tersebut.
Diawal
diberlakukannya UUPA, melalui Repelita III sebagaimana amanat GBHN, diberlakukanlah
reformasi penguasaan dan kepemilikan tanah. Langkah ini kemudian dikenal dengan
istilah landreform. Secara singkat, penyelenggaraan landreform di Indonesia
dimaksudkan untuk membebaskan petani dan rakyat jelata dari pengaruh
kolonialisme, imperialisme, feodalisme, dan kapitalisme. Program landreform
yang dijalankan pemerintah pada waktu itu meliputi beberapa hal, misalnya
pembatasan luas maksimum penguasaan tanah, redistribusi tanah dan lainnya.
Namun
dalam prakteknya landreform tidaklah berjalan mulus sesuai dengan harapan pemerintah. Salah satu faktor
penyebab tersendatnya landreform adalah keadilan yang diperjuangkan oleh
pemerintah bersama petani tidak dirasakan oleh pemilik tanah. Dan alhasil, akar-akar
permasalahan dari landreform sampai saat ini masih dirasakan oleh sebagian
masyarakat.
Ada
juga salah satu penyebab terjadinya sengketa dan sertifikat tanah yang sering
kali kita lupakan adalah, bencana alam yang menyebabkan surat-surat bukti hak
atas tanah hilang ataupun rusak. Pasca tragedi tsunami tahun 2006 lalu, di
Kanwil BPN Provinsi Aceh, sebanyak 20% dokumen hak atas tanah dan pendaftaran
hak atas tanah hilang serta rusak. Sedangkan di kota Banda Aceh kerusakan
mencapai 40%. Selain itu juga terdapat 15 ribu ton dokumen pertanahan Provinsi
NAD yang sedang distabilisasi di Muara Baru, Jakarta dengan menggunakan tempat
pendingin.
Keadaan
yang demikian mempersulit bagi Badan Pertanahan Nasional menerbitkan sertifikat
baru atas tanah di Provinsi Nangroe Aceh Darusalam, selain data-data yang
hilang, juga keadaan tanahnya yang telah berubah setelah bencana tsunami. Pengacara
kondang, Elza Syarief dalam bukunya yang berjudul “Menuntaskan Sengketa Tanah”
mengemukakan pendapat bahwa, secara umum sengketa tanah timbul akibat
faktor-faktor sebagai berikut:
1.
Peraturan yang belum
lengkap;
2.
Ketidaksesuaian
peraturan;
3.
Pejabat pertanahan yang
kurang tanggap terhadap kebutuhan dan jumlah tanah yang tersedia;
4.
Data yang kurang akurat
dan kurang lengkap;
5.
Data tanah yang keliru;
6.
Keterbatasn sumber daya
manusia yang bertugas menyelesaikan sengketa tanah;
7.
Transaksi tanah yang
keliru;
8.
Ulah pemohon hak atau
9.
Adanya penyelesaian
dari instansi lain sehingga terjadi tumpang tindih kewenangan.
Sedangkan
menurut Bernhard Limbong dalam bukunya “Konflik Pertanahan” mengemukakan dua
hal penting dalam sengketa pertanahan yaitu sengketa pertanahan secara umum dan
sengketa pertanahan secara khusus, sebagaimana terdapat dalam Keputusan BPN RI
nomor 34 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan Dan Penyelesaian Masalah
Pertanahan.
1.
Secara umum
a. Faktor
hukum
1)
Regulasi kurang memadai;
Regulasi
di bidang pertanahan belum seutuhnya mengacu pada nilai-nilai dasar Pancasila
dan filosofi Pasal 33 UUD 1945 tentang moral, keadilan, hak asasi, dan
kesejahteraan. Disisi lain penegakan hukum kerap kali berhenti pada mekanisme
formal dari aturan hukum dan mengabaikan nilai-nilai substansinya.
2) Tumpang tindih peradilan;
Saat
ini terdapat tiga lembaga peradilan yang dapat menangani suatu sengketa
pertanahan yaitu peradilan perdata, peradilan pidana, serta Peradilan Tata
Usaha Negara (PTUN). Dalam suatu
sengketa tertentu, salah satu pihak yang menang secara perdata belum
tentu menang secara pidana. Selain itu, sumber daya aparatur agrarian juga merupakan
hal yang memicu timbulnya sengketa.
3) Penyelesaian dan birokrasi
berbelit-belit
Penyelesaian
perkara lewat pengadilan di Indonesia melelahkan, biaya yang tinggi dan waktu
penyelesaian yang lama apalagi bila terjebak dengan mafia peradilan, maka
keadilan tidak berpihak pada yang benar. Hal ini tentunya tidak sesuai lagi
dengan prinsip peradilan kita yang sederhana, cepat, dan berbiaya murah, karena
kondisinya saat ini dalam berurusan dengan pengadilan tidaklah sederhana,
birokrasi pengadilan yang berbelit-belit dan lama serta biaya yang mahal.
4)
Tumpang tindih peraturan
UUPA
sebagai induk dari peraaturan sumber daya agrarian lainnya khususnya tanah,
namun dalam berjalan waktu dibuatlah peraturan perundang-undangan yang
berkaitan drngan sumber daya agrarian tetapi tidak menenmpatkan UUPA sebagai
undang-undang induknya, bahkan justru menempatkan UUPA sejajar dengan
undang-undang agrarian.
Struktur
hukum agrarian menjadi tumpang tindih. UUPA yang awalnya merupakan payung hukum
bagi kebijakan pertanahan di Indonesia, menjadi tidak berfungsi dan bahkan
secara substansial terdapat pertentangan dengan diterbitkannya
peraturan-peraturan perundangan sektoral.
b. Faktor
non hukum
1)
Tumpang tindih penggunaan tanah
Pertumbuhan
penduduk yang cepat mengakibatkan jumlah
penduduk bertambah, sedangkan produksi pangan berkurang akibat berubah
fungsinya tanah pertanian. Juga pemerintah yang terus-menerus menyelenggarakan
proyek pembangunan. Tidak dapat dihindarkan jika sebidang tanah yang sama
memiliki ataupun timbul kepentingaan yang berbeda. Itulah mengapa pertumbuhan
sengketa tanah yang terus menerus meningkat.
2)
Nilai ekonomis tanah yang tinggi
Sejak
masa orde baru, nilai ekonomis tanah semakin tinggi. Hal ni terkait dengan
politik peningkatan pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan pemerintah dengan menitikberatkan
pada pembangunan. Pemerintah orde baru menetapkan kebijakan berupa tanah
sebagai bagian dari sumber daya agraria tidak lagi menjadi sumber produksi atau
tanah tidak lagi untuk kemakmuran rakyat, melainkan tanah sebagai aset
pembangunan demi mengejar pertumbuhan ekonomi yang bahkan kebijakan itu sangat
merugikan rakyat.
Fungsi
sosial tanahpun dikesampingkan karena semuanya berorientasi pada bisnis.
Kebijakan pemerintah orde baru dapat menimbulkan sengketa penguasaan sumber
daya agrarian antara pemilik tanah dalam hal ini rakyat dengan para pemilik
modal yang difasilitasi pemerintah.
3)
Kesadaran masyarakat meningkat
Perkembangan
global serta peningkatan perkembangan ilmu pengetahuan & teknologi
berpengaruh pada peningkatan kesadaran masyarakat. Pola pikir masyarakat
terhadap penguasaan tanahpun ikut berubah. Terkait dengan tanah sebagai aset
pembangunan, maka muncul perubahan pola pikir masyarakat terhadap penguasaan
tanah, yaitu tidak lagi menempatkan tanah sebagai sumber produksi akan tetapi menjadikan
tanah sebagai sarana untuk investasi atau komoditas ekonomi.
Jika
sebelumnya pemberian ganti rugi dalam pengadaan tanah untuk pembangunan
kepentingan hanya diberikan “seadanya” bahkan diserahkan dengan sukarela dan
cuma-cuma, pelan-pelan berubah mengacuh pada NJOP (nilai jual objek pajak).
Belakangan masyarakat menuntut adanya penberian ganti rugi berdasarkan harga
pasar bahkan lebih dari pada itu dengan menuntut pemberian kompensasi berupa
pemukiman kembali yang lengkap dengan fasilitas yang kurang lebih sama dengan
tempat asal mereka yang dijadikan areal pembangunan.
4)
Tanah tetap, penduduk bertambah
Pertumbuhan
penduduk yang sangat cepat, baik lewat kelahiran maupun migrasi serta
urbanisasi, sementara luas lahan yang relatif tetap, menjadikan tanah sebagai
komoditas ekonomi yang nilainya sangat tinggi, sehingga setiap jengkal tanah
dipertahankan mati-matian.
5)
Kemiskinan
Kemiskinan
merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
berkaitan. Dalam memenuhi kebutuhan pertanahan, masyarakat miskin menghadapi
masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta
ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian.
Padahal
kehidupan rumah tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah
dan kemampuan mobilisasi anggota keluarganya untuk bekerja di atas tanah
pertanian. Oleh sebab itu, meningkatnya petani gurem mencerminkan kemiskinan di
perdesaan.
Masalah
tersebut bertambah buruk dengan struktur penguasaan lahan yang timpang karena
sebagian besar petani gurem tidak secara formal menguasai lahan sebagai hak
milik, dan kalaupun mereka memiliki tanah, perlindungan terhadap hak atas tanah
mereka tidak cukup kuat karena tanah tersebut seringkali tidak bersertifikat.
Secara
garis besar dapat ditarik beberapa hal yang menyebabkan timbulnya sengketa
pertanahan dan sertifikat ganda yaitu sebagai berikut:
1. Kurangnya
transparansi informasi mengenai kepemilikan tanah.
2. Nilai
tanah yang ekonomis dan tanah yang dijadikan masyarakat sebagai simbol
eksistensi sosial bermasyarakat, sehingga setiap orang menggunakan segala cara
untuk mempertahankannya.
3. Lemahnya
regulasi padahal sengketa pertanahan
bersifat multidimensional.
4. Tumpang
tindihnya keputusan-keputusan yang dikeluarkan lembaga- lembaga negara yang
berkepentingan mengenai kepemilikan hak atas tanah.
5. Tafsiran
dikalangan masyarakat yang salah mengartikan mana tanah adat atau memiliki hak
ulayat dan mana yang merupakan tanah bukan milik adat atau tanah negara.
6. Permasalahan
land reform yang sampai sekarang belum bisa terpecahkan.
7. Serta
adanya bencana alam yang menyebabkan rusaknya tanda bukti kepemilikan hak atas
tanah dan bergesernya tanah setelah bencana.
8. Dan
yang paling kompleks adalah tidak dimanfaatkannya peta pendaftaran tanah dan
sistem komputerisasi yang belum modern.
9. Bahkan
ketidakjujuran aparat desa dan pemohohon dalam hal ini pemilik lahan dalam
memberikan informasi kepada BPN merupakan faktor utama. Itulah beberapa hal
kecil penyebab timbulnya sengketa tanah dan sertifikat ganda yang tentunya masih banyak hal lainnya yang bisa menyebabkan terjadinya hal
itu.
Disisi
lain, terjadinya sertifikat-sertifikat ganda mengakibatkan cacat hukum seperti
sertifikat palsu dan sertifikat ganda dipengaruhi oleh faktor-faktor intern dan
ekstern. Faktor intern antara lain:
1. Tidak
dilaksanakannya Undang-Undang Pokok Agraria dan peraturan pelaksanaannya secara
konsekuen dan bertanggungjawab disamping masih adanya orang yang berbuat untuk
memperoleh keuntungan pribadi.
2. Kurang
berfungsinya aparat pengawas sehingga memberikan peluang kepada aparat
bawahannya untuk bertindak menyeleweng dalam arti tidak melaksanakan tugas dan
tanggung jawab sesuai sumpah jabatannya.
3. Ketidak
telitian pejabat Kantor Pertanahan dalam menerbitkan sertifikat tanah yaitu
dokumen-dokumen yang menjadi dasar bagi penerbitan sertifikat tidak diteliti
dengan seksama yang mungkin saja dokumen-dokumen tersebut belum memenuhi
persyaratan sebagaimana ditentukan oleh ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
Faktor
ekstern antara lain:
1. Masyarakat
masih kurang mengetahui undang-undang dan peraturan tentang pertanahan
khususnya tentang prosedur pembuatan sertifikat tanah.
2. Persediaan
tanah tidak seimbang dengan jumlah peminat yang memerlukan tanah.
3. Pembangunan
mengakibatkan kebutuhan akan tanah semakin meningkat sedangkan persediaan tanah
sangat terbatas sehingga mendorong peralihan fungsi tanah dari tanah pertanian
ke non pertanian, mengakibatkan harga tanah melonjak.
2.2. Perbedaan
Sertifikat Ganda Dengan Sertifikat Palsu
Kemungkinan
adanya sertifikat ganda karena memang ada niat yang disengaja oleh oknum
tertentu yang bertujuan untuk meraih keuntungan secara melawan hukum. Jika
kondisi normal saat ini tidak mungkin terjadi sertifikat ganda karena
pensertifikatan tanah sudah dengan komputerisasi sehingga apabila pada lokasi
dimaksud sudah terbit sertifikat maka tidak bisa lagi dimohonkan sertifikat
oleh siapapun dengan alas hak apapun.
Kejadian
sertifikat ganda biasanya terjadi dengan modus berupa pengakuan hilang oleh
pemilik. Kemudian si pemilik memohonkan sertifikat baru di Kantor Pertanahan.
Tetapi sebenarnya sertifikatnya tidak hilang, hanya dijaminkan untuk
mendapatkan pinjaman.
Setelah
terbit sertifikat baru maka si pemilik menjual atau menjaminkan lagi sertifikat
tersebut. Dengan demikian terjadilah sertifikat ganda pada lokasi yang sama.
Dengan catatan para pihak terlibat tidak saling mengetahui. Dalam proses
pengakuan hilang sebenarnya ada proses laporan ke kepolisian, sumpah di Kantor
Pertanahan dan pengumuman tentang hilangnya sertifikat di koran dengan jangka
waktu sebulan untuk menunggu jika ada keberatan dari pihak lain.
Tetapi
selalu ada celah karena tidak semua orang membaca koran tiap hari apalagi hanya
untuk melihat pengumuman sertifikat hilang. Berbeda pengertian antara
sertifikat palsu dengan sertifikat ganda, jika sertifikat ganda mengandung
pengertian bahwa kedua sertifikat tersebut sah dan merupakan produk Kantor
Pertanahan. Hanya saja ada kejadian yang di-setting sedemikian rupa oleh
pendekar berwatak jahat sehingga timbul dua sertifikat di lokasi yang sama.
Berbeda
halnya dengan sertifikat palsu adalah
sertifikat bukan merupakan produk badan pertanahan, bisa jadi dibuat di
percetakan yang semakin canggih yang bisa memalsukan dokumen dalam bentuk
apapun. Jika melihat kenyataan saat ini, jangankan sertifikat uangpun yang
memiliki tingkat kerumitan lebih tinggi bisa dipalsukan.
Sertifikat
palsu ini pasti ketahuan pada saat pengecekan sertifikat dilakukan di Kantor
Pertanahan. Karena sebenarnya sertifikat yang ada ditangan masyarakat adalah berupa
salinan yang aslinya berupa buku tanah yang disimpan di Kantor Pertanahan dalam
warkahnya. Di warkah ini tersimpan semua persyaratan dan history saat pengajuan
sertifikat berupa asli-asli dokumen permohonan.
Proses
pengecekan sertifikat tanah dilakukan dengan cara melihat dan membandingkan
sertifikat yang dimohonkan pengecekan dengan buku tanah, karena sertifikat dan
buku tanah sangat identik. Selain itu juga ada kode berupa nomor seri
sertifikat yang tertera di titik tertentu pada sertifikat dan buku tanah yang
akan ketahuan jika sertifikat dipasukan.
Oleh
karena itu diperlukan kehatian-hatian jika anda akan membeli tanah dan
bangunan, apalagi tanah ditawarkan dengan harga yang sangat murah. Jangan malah
senang ketika ditawarkan tanah dengan harga sangat tidak masuk akal dengan
iming-iming sudah sertifikat dan bisa diperlihatkan. Biasanya anda akan dipaksa
membayar sejumlah uang disertai ancaman halus akan dijual kepada orang lain
karena sudah ada orang lain yang berminat.
Sedikit
pemaksaan tanpa sadar anda akan kebawa nafsu melakukan pembayaran walau hanya
berupa tanda jadi atau uang muka, tanpa lebih dulu mengecek sertifikat. Karena
sudah terbayang mendapatkan harga murah dan untung berlipat yang didapatkan
jika dijual dengan harga normal. Jadinya jangankan untung besar yang ada anda
menjadi korban.
Untuk
perlindungan anda sebagai pembeli, selalu terapkan prinsip kehatian-hatian
dengan cara memastikan bahwa tidak ada pembayaran sebelum dilakukan pengecekan
sertifikat ke BPN.
2.3. Kasus
Sertifikat Ganda Merupakan Penipuan Terorganisir
Beberapa
waktu lalu diberitakan tentang kasus sertifikat ganda yang terjadi di wilayah
DKI. Jakarta, dan muara permasaalahan tersebut adalah konflik horisontal antara
pemilik tanah pertama sebagai pemilik yang shah dan pihak pengembang atau
pembeli ke tiga yang merasa surat tanah yang dimilikinya juga shah
(Merdeka.com, 16/07/2013). Sehingga, banyak kasus yang sampai ke tingkat kasasi
dan berakhir pada kekalahan salah satu pihak yang bersengketa padahal pemilik
tanah pertama tidak pernah merasa menjual tanah yang mereka miliki.
Karena
keputusan yang dirasa tidak adil tersebut, mengakibatkan masyarakat sebagai
korban tidak menerima keputusan tersebut dan menduduki tanah sengketa dengan
membawa bermacam-macam senjata melawan pihak jurusita dari pengadilan dan pihak
kepolisian yang biasanya korban yang tidak memiliki kuasa tersebut akan
terjerambab dalam kekalahan. Tidak hanya di wilayah Jakarta, di beberapa daerah
juga sering muncul kasus sertifikat ganda yang berakibat beberapa korban jiwa
dari kedua belah pihak. Sebenarnya, jika ditilik dari permasalah sertifikat
tanah, tentu saja berasal dari proses sewaktu melakukan pembelian.
Karena
biasanya, pihak yang melakukan transaksi menghadirkan saksi-saksi. Baik dari
masyarakat yang berbatasan tanah, selain itu juga musti diketahui pamong
setempat. Dalam prosesnya kedua belah pihak sudah menyiapkan surat perjanjian
jual beli tanah dilengkapi batas-batas, materai, kemiudian dibubuhi tanda
tangan serta stempel kepala desa / lurah. Bahkan harus dilengkapi dengan kwitansi
pembelian yang dilengkapi dengan materai.
Jika tidak berdasarkan pembelian biasanya
harus pula menunjukkan bukti berupa surat keterangan hibah maupun wakaf yang
diketahui pamong setempat. Setelah proses tersebut dilewati kemudian pihak
pembeli atau pemilik tanah yang baru akan mendapatkan surat keterangan tanah
dari desa yang menjelaskan bahwa tanah tersebut sudah berpindah tangan disertai
dengan batas-batas wilayah dan tanda tangan dari saksi yang memiliki batas
tanah yang bersangkutan. Jika surat keterangan tanah (SKT) atau disebut juga
surat keterangan atas hak kepemilikan tanah sudah diterbitkan, kemudian
diterbitkan Akta Tanah yang dikeluarkan oleh PPAT (Pegawai Pembuat Akta Tanah) sebagaimana
dijelaskan dalam PP No 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabatan
Pembuatan Akta Tanah menyebutkan bahwa di dalam pelaksanaan administrasi
pertanahan data pendaftaran tanah yang tercatat di Kantor Pertanahan harus
selalu sesuai dengan keadaan atau status sebenarnya mengenai bidang tanah yang
bersangkutan, baik yang menyangkut data fisik mengenai bidang tanah tersebut,
maupun mengenai hubungan hukum yang menyangkut bidang tanah itu, atau data
yuridisnya.
Dalam
hubungan pencatatan data yuridis ini, khususnya pencatatan perubahan data
yuridis yang sudah tercatat sebelumnya, peranan PPAT sangatlah penting. Menurut
ketentuan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah, peralihan dan pembebanan hak atas tanah hanya dapat didaftar apabila
dibuktikan dengan akta PPAT.
Oleh
karena itu, akta tanah sangat diperlukan sebagai bukti pemilikan tanah dan hak
serta kewajiban yang dibebankan kepada pimilik tanah berupa kewajiban pajak
atas tanah yang bersangkutan. Setelah akta tanah diperoleh, kemudian
mendaftarkan kembali ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) di wilayah kabupaten /
kota sebagai wilayah yang berhak mengeluarkan serivikat.
Di
mana jenis sertifikat ada beberapa macam seperti sertifikat hak atas tanah, ada
Sertifikat Hak Milik (SHM), Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB), Sertifikat Hak
Guna Usaha (SHGU) ataupun Sertifikat Hak atas Satuan Rumah Susun (SHSRS). Hal
ini berdasarkan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No.5/1960 menjamin hal itu
bahwa adalah hak dari setiap pemegang hak atas tanah untuk memperoleh
sertifikat (UUPA Pasal 4 ayat 1).
Dengan
memiliki sertifikat tanah tersebut maka pemiliknya dianggap berhak dan sah
mengakui bahwa tanah tersebut adalah tanah miliknya. Untuk mendapatkan
sertifikat tanah terlebih dahulu pihak yang mengaku memiliki tanah harus
melengkapi syarat-syarat tertentu, yang semestinya dipenuhi oleh orang yang
bersangkutan agar proses pembuatan serifikat tidak terkendala karena ada
pihak-pihak yang komplain atas tanah yang dimiliki.
Namun,
permasalahan di sini adalah kenapa sebidang tanah bisa memiliki dua kepemilikan
surat padahal sebidang tanah hanya bisa memiliki satu sertifikat saja yang
dikeluarkan oleh BPN? Sebagaimana paparan di atas, semestinya tidak ada lagi
kasus sertifikat ganda seperti yang terjadi di DKI. Jakarta dan daerah lainnya.
Karena, proses pembuatan sertifikat melalui proses yang rumit dan sangat ketat
jadi sulit sekali terjadinya sertifikat tanah ganda.
Sertifikat tanah ganda terjadi apabila
sertifikat tanah yang asli dipinjamkan kepada orang lain atau digadaikan kepada
lembaga keuangan tertentu kemudian pihak lembaga (leasing) justru membuat
copian (dipalsukan) sehingga terkesan sertifikat tersebut ganda. Akan tetapi jika ditelusuri asli dan tidaknya
dapat diketahui berdasarkan bentuk sertifikatnya yang cenderung berbeda dari
yang asli serta dari jenis tanda tangan yang dicantumkan merupakan tanda tangan
palsu.
Meski
tidak menutup kemungkinan akta tanah yang dibuat PPAT adalah akta tanah yang
palsu sehingga dengan bermodalkan uang yang cukup pihak-pihak yang menginginkan
sertifikat bisa dengan mudah mendapatkan sertifikatnya dengan mudah. Bahkan
saat ini banyak berkeliaran oknum-oknum pembajak yang sengaja menawarkan jasa
pembuatan sertifikat palsu dengan biaya yang bervareasi dan cara penawarannya
sekarang sudah merambah dunia internet yang sangat terbuka.
2.3.
Penyelesaian Sengketa Tanah Dan Sertifikat Ganda Oleh BPN
Dasar
pembentukan BPN adalah Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1988. Sebagai panduan
operasional BPN, pimpinan lembaga ini kemudian mengeluarkan SK No. 11/KBPN/1988
jo Keputusan Kepala BPN No. 1 Tahun 1989 tentang Organisasi Dan Tata Kerja BPN
Di Provinsi Dan Kabupaten/Kotamadya.
Secara
normatif, BPN adalah satu-satunya lembaga atau institusi di Indonesia yang
diberikan kewenangan untuk mengemban amanat dalam mengelolah bidang pertanahan,
sesuai dengan Perpres Nomor 10 tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional
yang menyatakan bahwa BPN melaksanakan tugas dibidang pertanahan secara
nasional regional dan sektoral. Bahkan melalui Proses yang sama, pemerintah
juga telah memperkuat peran dan posisi BPN dengan membentuk Deputi V yang
secara khusus mengkaji dan menyelesaikan sengketa dan konflik pertanahan.
Sesuai
peraturan Kepala BPN-RI No. 3 Tahun 2006 tentang organisasi dan tata kerja
BPN-RI, pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan merupakan
bidang Deputi V yang membawahi:
1.
Direktorat konflik
pertanahan
2.
Direktorat sengketa
pertanahan
3.
Direktorat perkara
pertanahan (Pasal 346 Peraturan Kepala BPN-RI No. 3 Tahun 2006)
Badan
Pertanahan Nasional selalu mengupayakan solusi penyelesaian sengketa pertanahan
dengan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dengan memperhatikan rasa
keadilan dan menghormati hak dan kewajiban masing-masing pihak. Langkah-langkah
penyelesaian sengketa yang mereka atau pihak BPN tempuh adalah musyawarah.
Begitu
juga dalam sengketa sertifikat ganda, BPN juga berwenang melakukan negosiasi,
mediasi dan fasilitasi terhadap pihak-pihak yang bersengketa dan menggagas
suatu kesepakatan di antara para pihak.
Kantor
wilayah BPN yaitu di Provinsi dan Kabupaten/Kotamadya, hanya bisa sampai pada
putusan penyelesaianmasalah, sedangkan tindak lanjut administrasi pertanahan
tetap dilakukan BPN.
Untuk
meminimalkan sengketa pertanahan dalam hal ini sertifikat ganda, maka dalam hal
ini peran yang dilakukan BPN sebagai pelayan masyarakat antara lain adalah:
1.
Menelaah dan mengelolah
data untuk menyelesaikan perkara di bidang pertanahan.
2.
Menampung
gugatan-gugatan, menyiapkan bahan memori jawaban, menyiapkan memori banding,
memori/kontra memori kasasi, Memori/kontra memori peninjauan kasasi atas
perkara yang diajukan melalui peradilan terhadap perorangan dan badan hukum
yang merugikan negara.
3.
Mengumpulkan data
masalah dan sengketa pertanahan.
4.
Menelaah dan menyiapkan
konsep keputusan mengenai Penyelesaian sengketa atas tanah.
5.
Menelaah dan menyiapkan
konsep keputusan pembatalan hak atas tanah yang cacat administrasi dan
berdasarkan kekuatan putusan peradilan.
6.
Mendokumentasi.
BPN
juga memiliki mekanisme tertentu dalam menangani dan menyelesaikan perkara atau
sengketa pertanahan dalam hal ini termasuk juga sengketa sertifikat ganda
yaitu:
1.
Sengketa tanah biasanya
diketahui oleh BPN dari pengaduan.
2.
Pengaduan
ditindaklanjuti dengan mengidentifikasikan masalah. Dipastikan apakah unsur
masalah merupakan kewenangan BPN atau tidak.
3.
Jika memang
kewenangannya, maka BPN meneliti masalah untuk membuktikan kebenaran pengaduan
serta menentukan apakah pengaduan beralasan untuk diproses lebih lanjut.
4.
Jika hasil penelitian
perlu ditindaklanjuti dengan pemeriksaan data fisik administrasi serta yuridis,
maka kepala kantor dapat mengambil langkah berupa pencegahan mutasi (status
quo).
5.
Jika permasalahan
bersifat strategis, maka diperlukan pembentukan beberapa unit kerja. Jika
bersifat politis, sosial, dan ekonomis maka tim melibatkan institusi berupa DPR
atau DPRD, departemen dalam negeri, pemerintah daerah terkait.
6.
Tim akan menyusun
laporan hasil penelitian untuk menjadi bahan rekomendasi penyelesaian masalah.
Dalam
prakteknya, penyelesaian terhadap sengketa pertanahan bukan hanya dilakukan
oleh Badan Pertanahan Nasional tetapi juga bisa diselesaikan oleh lembaga
Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Jika
diperadilan umum lebih menitikberatkan kepada hal-hal mengenai perdata dan
pidana dalam sengketa pertanahan, lain halnya dengan peradilan tata usaha
negara yang menyelesaikan sengketa pertanahan berkaitan dengan surat keputusan
yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional atau pejabat daerah lainnya
yang berkaitan dengan tanah.
Pada
saat ini, kebanyakan sengketa pertanahan dalam hal ini sertifikat ganda
diselesaikan melalui 3 (tiga) cara, yaitu:
2.3.1.
Penyelesaian secara langsung oleh pihak dengan musyawarah
Dasar
musyawarah untuk mufakat tersirat dalam pancasila sebagai dasar kehidupan
bermasyarakat Indonesia dan dalam UUD 1945. Musyawarah dilakukan diluar
pengadilan dengan atau tanpa mediator. Mediator biasanya dari pihak-pihak yang
memiliki pengaruh misalnya Kepala Desa/Lurah, ketua adat serta pastinya Badan
Pertanahan Nasional.
Dalam
penyelesaian sengketa pertanahan lewat musyawarah, satu syaratnya adalah bahwa
sengketa tersebut bukan berupa enentuan tentang kepemilikan atas tanah yang
dapat memberikan hak atau menghilangkan hak seseorang terhadap tanah sengketa,
dan diantara pihak bersengketa memiliki kekebaratan yang cukup erat serta masih
menganut hukum adat setempat.
2.3.2.
Melalui arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa
Arbitrase
adalah penyelesaian perkara leh seorang
atau beberapa arbiter (hakim) yang
diangkat berdasarkan kesepakatan/ persetujuan para pihak dan disepakati bahwa
putusan yang diambil bersifat mengikat dan final. Persyaratan utama yang harus
dilakukan untuk dapat mempergunakan arbitrase sebagai penyelesaian sengketa
adalah adanya kesepakatan yang dibuat dalam bentuk tertulis dan disetujui oleh
para pihak.
Jika
telah tertulis suatu klausula arbitrase dalam kontrak atau suatu perjanjian
arbitrase, dan pihak lain menghendaki menyelesaikan masalah hukumnya ke
pengadilan, maka proses pengadilan harus ditunda sampai proses arbitrase tersebut
diselesaikan dalam lembaga arbitrase. Dengan demikian pengadilan harus dan
wajib mengakui serta menghormati
wewenang dan fungsi arbiter.
3.3.2.
Penyelesaian sengketa melalui badan peradilan
Sesuai
dengan peraturan yang berlaku di Indonesia, pada umumnya penyelesaian sengketa
pertanahan yang terkait sengketa kepemilikan diserahkan ke peradilan umum,
terhadap sengketa keputusan Badan Pertanahan Nasional melalui Peradilan Tata
Usaha Negara dan sengketa menyangkut tanah wakaf diajukan ke Peradilan Agama.
Berdasarkan
penjelasan tentang spesifikasi dari lembaga penyelesaian sengketa baik lembaga
litigasi dan lembaga non litigasi, sampai saat ini
jelas
bahwa semua cara itu tidak dapat menyelesaikan masalah sengketa pertanahan
secara tuntas dalam waktu yang singkat, malah cenderung berlarut-larut.
Faktanya,
proses mediasi yang dilakukan BPN tidak mampu menyelesaikan sengketa pertanahan
yang ada saat ini untuk itulah mengapa BPN sangat sulit untuk mewujudkan
seluruh visi, misi dan program-program strategis yang diembannya. BPN mengalami
kendala dalam mengatasi sengketa pertanahan khususnya permasalahan sertifikat
ganda dikarenakan tumpangtindihnya peraturan atau regulasi yang ada.[1]
BAB
III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Dari
uraian tersebut di atas, bisa
ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Penyebab
terjadinya sertifikat ganda bisa dikarenakan adanya unsur kesengajaan,
ketidaksengajaan dan dikarenakan kesalahan administrasi. Timbulnya sertifikat
ganda juga disebabkan oleh kurangnya kedisiplinan dan ketertiban aparat
pemerintah yang terkait dengan bidang pertanahan dalam pelaksanaan tugasnya.
2. Kejadian
sertifikat ganda biasanya terjadi dengan modus berupa pengakuan hilang oleh
pemilik. Kemudian si pemilik memohonkan sertifikat baru di Kantor Pertanahan.
Tetapi sebenarnya sertifikatnya tidak hilang, hanya dijaminkan untuk
mendapatkan pinjaman. Sertifikat palsu ini pasti ketahuan pada saat pengecekan
sertifikat dilakukan di Kantor Pertanahan. Karena sebenarnya sertifikat yang
ada ditangan masyarakat adalah berupa salinan yang aslinya berupa buku tanah
yang disimpan di Kantor Pertanahan dalam warkahnya. Di warkah ini tersimpan
semua persyaratan dan history saat pengajuan sertifikat berupa asli-asli
dokumen permohonan.
3. Badan
Pertanahan Nasional bukanlah lembaga negara dibidang yudikatif, namun walaupun
demikian Badan Pertanahan Nasional mempunyai wewenang untuk menyelesaikan
setiap masalah pertanahan termasuk masalah sertifikat ganda. Wewenang ini hanya
sebatas wewenang administrasi saja yaitu pembatalan atau pencabutan suatu
sertifikat yang dikeluarkan oleh BPN itu sendiri. Badan Pertanahan Nasional
selalu mengupayakan solusi penyelesaian sengketa pertanahan dengan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan memperhatikan rasa keadilan dan
menghormati hak dan kewajiban masing-masing pihak adalah musyawarah.
Langkah-langkah penyelesaian sengketa yang mereka atau pihak BPN tempuh dalam
sengketa sertifikat ganda adalah negosiasi, mediasi dan fasilitasi.
3.2.
Saran
Saran yang bisa kami
sampaikan adalah hendaknya Pemerintah harus mengambil keputusan bahwa
satu-satunya lembaga yang mengurus administrasi pertanahan hanyalah Badan
Pertanahan Nasional dan lembaga lainnya hanya mengikuti petunjuk atau
aturan-aturan yang dikeluarkan oleh BPN.
Peta pendaftaran tanah
yang merupakan basis data pendaftaran tanah yang dimiliki BPN sebaiknya
dimanfaatkan secara benar sehingga tidak akan muncul lagi sebidang tanah yang
memiliki sertifikat ganda.
Apabila terjadi maka
akan diketahui dari peta pendaftaran tanah yang dimiliki oleh BPN. Zaman yang
modern ini seharusnya BPN juga sudah mengikuti perkembangan yang ada. Sistem
komputerisasi BPN juga seharusnya sudah yang paling modern sehingga dapat
menyimpan berbagai data yang dimiliki BPN.
bosen kalah kalah aja..?? silahkan coba registrasi di bolavita
ReplyDeletehanya dengan modal 50 ribu sudah bisa jadi jutawan
buktikan sendiri no Hoax... ^^ sabung ayam bali
info lbh lanjut:
WA: +628122222995
Cara Bermain Slot Fire 88 Ayo Daftar Sekarang Juga Dan Dapatkan Bonus Berlimpah !!!
ReplyDelete