Sunday, 1 December 2019

Teori Hukum Menurut Charles Sampford (The Disorder Of Law)


Teori Hukum Menurut Charles Sampford (The Disorder Of Law)

Charles Sampford memandang hukum tidaklah merupakan bangunan yang penuh dengan keteraturan yang logis rasional melainkan sebaliknya, suatu yang bersifat melee (cair,fluid). Dari tiga karakteristik hukum menurut Sampford, dapat diringkas bahwa ketika sampford menggunakan istilah sosial malee dan legal melee, maka istilah melee diartikan sebagai keadaan yang cair (fluid), sehingga tidak mempunyai format atau struktur yang pasti dan tidak kaku. Menurut Sampford hubungan antar manusia itu bersifat malee, baik dalam kehidupan sosialnya maupun dalam kehidupan hukumnya. Hukum dibangun dari hubungan antarmanusia yang melee tadi, yaitu hubungan sosial antara-individu denan keseluruhan variasi dan kompleksitasnya, ang cenderung ke arah yang sifatna asimetris.
Bagi sampford, skema dan hubungan hukum yang dirumuskan secara eksplisit dalam perundang-undangan, tidak menghilangkan sifat malee di belakangnya, sebab dibelakang hukum positif itu senantiasa terjadi interaksi antarmanusia, yang lebih menentukan ketimbang undang-undang, tentang apa yang terjadi dengan peraturan perundang-undanagn itu. Misalnya, pasal undang-undang boleh saja menentukan bahwa jika si A tidak bayar piutang oleh si B, maka si A harus menggugat dengan gugatan “wanprestasi” dipengadilan. Tetapi apa yang terjadi didalam kenyataannya, tergantung pada relevansi antara interaksi si A dan si B dengan lingkungan sosial dengan lnkungan kulturnya. Jika kultur yang dianut si A percaya pada pranata pengadilan, maka tentu si A akan menggunakan peradilan sebagai sarana untuk mengembalikan uangnya. Tetapi sebaliknya, jika kultur yang dianut oleh si A ternyata tidak mempercayai bahwa pengadilan bakal mampu memenuhi kebutuhan dan rasa keadilannya, maka terhadap si A masih tersedia banyak pilihan lain. Si A dapat memilih mediator untuk membujuk untuk mengintimidasi si B agar membayar utangnya, mungkin dengan penggunaan seorang dept collector (tunkang pukul). Jadi contoh ini menurut sampford membuktikan bahwa pada akhirnya yang muncul adalah legal melee tersebut, ia memberi arti terhadap suatu peraturan, sehingga arti itu ditentukan oleh posisi dari orang yang memberi arti itu.
Kenyataan yang terjadi di masyarakat bahawa masyarakat tidak terpaku pada suatu keteraturan tertentu mengenai suatu hal tertentu, meskipun sebenarnya itulah peraturan yang ditujukan untuk mengatasi ketidakberaturan dalam masyarakat. Tetapi hubungan antara individu antar sosial yang terjadi menyebabkan peraturan itu tidak dapat menjalankan fungsinya untuk mengatasi ketidakteraturan yang berkuasa tetapi dari ketidakteraturan yang timbul ini dapat diperoleh pemahaman tentang apa yang sebenarnya kurang atau tidak terdapat dalam peraturan yang bersangkutan.
Kemudian dengan kekuasan dan kekuatan yang ada pada masing-masing, para pelaku hukum membuat putusan-putusan yang subjektif. Misalnya, hakim melihat perannya sebagai pembuat putusan pribadi, advokat akan menggali dalam perundang-undangan  yang ada untuk celah-celah bagi kepentingan kliennya, sedangkan rakyat melihat hukum sebagai tindakan pejabat aparat hukum. Diatas basis sosial yang demikian itulah sesungguhnya hukum itu ada dan mengada ditengah-tengah masyarakat yang tidak teratur, sehingga hukumpun sesungguhnya penuh dengan ketidakteraturan. Bagaimana mungkin keadaaannya yang dalam kenyataannya penuh dengan ketidakteraturan itu dalam postivis dilihat sebagai sesuatu yan penuh dengan keteraturan. Dengan demikian maka sebetulnya keteraturan itu bukan sesuatu yang nyata ada dalam kenyataan, melainkan sesuatu yang oleh para positivis ingin dilihat ada.
Misalnya, seorang pembunuh yang seharusnya dihukum selama 20 tahun atau maksimalnya hukuman mati. Namun karena mungkin ia mempunyai hubungan yang baik dengan pihak kejaksaan dan pengadilan, maka ia hanya memperoleh hukuman katakanlah selama 5 tahun. Suatu hukuman yang ringan dibandingkan dengan perbuatannya yang telah menghilangkan nyawa  orang lain. Berangkat dari hal ini, keluarga korban yang tidak puas dengan hukuman sang pembunuh yag ringan ingin menuntut balas dan salah satu anggota keluarga korban akhirnya membunuh yang bersangkutan. Contoh kejadian seperti ini memperlihatkan bahwa hukum itu tidak selamanya menimbulkan keteraturan yang terjadi malah hal yang sebaliknya yaitu ketidakteraturan.
Pandangan positivisme sebenarnya tidak lagi mampu menjelaskan, apalagi menemukan solusi terhadap kekacauan (chaos) yang sedang melanda indonesia, sebab kondisi hukum dan keadaan di indonesia telah diperpara dengan berbagai perilaku pejabat negara dan warga masyarakat yang kurang terpuji yang menyebabkan atau menimbulkan kadang chaos di negara ini. Sehingga untuk menjelaskan keadaan ini memerlukan penjelasan yang dapat diberikan dengan gamblang menggunakan teori chaos yang intinya bukan ketidakteraturan melainkan keteraturan apabila dilihat secara holistik, sehingga berbagai peristiwa yang menimbulkan keadaan chaos itu akan dipahami sebagai keteraturan dalam ketidakberaturan. Misalnya, vonis terhadap parto warga desa parante kecematan asam bagus tersangka “ pencuri lima batang tanaman jagung. Contoh kasus ini menjadi sulit dipahami oleh ahli hukum yag berpegang kukuh terhadap optik preskriptif yang merupakn suatu attached concern terhadap hukum positif, serta mendasarkan pada model pendekatan doktrinal yang berdasarkankan logika deduktif normatif dalam melihat dan menyelesaikan kasus-kasus yang ada.
Dapat disimpulkan bahwa teori chaos yang dianggap berkenaan dengan ketidakteraturan, pada saat yang sama berbicara tentang keteraturan. Keteraturan dan kekacauan ini dipandang sebagai dua kekuatan yang saling berhubungan, yang satu mengandung yang lain dan yang satu mengisi yang lain, sehingga chaos secara spontan muncul dalam keteraturan, sementara keteraturan muncul di tengah kekacauan. Untuk itu saya sependapat dengan teori hukum Charles sampfroad bahwa dalam hukum tidak selamnya terdapat keteraturan tetapi hukum juga dapat menimbulkan ketidakteraturan, meskipun tidak mungkin memprediksi keadaan secara pasti tetapi perilaku seluruh kondisi tersebut mudah diketahui.
Ciri-Ciri Hukum Menurut Charles Sampford

1.      Written (tertulis)
Hukum tertulis baik yang dikodivikasikan ataupun tidak dikodivikasikan, jika hukum tersebut dikodivikasikan maka kelebihannya yaitu adanya kepastian hukum, adanya kekuasaan hukum dan adanya penyederhanaan hukum, sedangkan kekurangannya yaitu bergeraknya hukum menjadi lambat dan tidak mampu dengan cepat mengikuti hal-hal yang terus bergerak maju.
2.      Socially relevant (relevan secara sosial)
Hukum memiliki hubungan timbal balik dengan masyarakat, karena hukum itu sendiri merupakan saran pengatur masyarakat dan bekerja didalam masyarakat. Itulah sebabnya hukum tidak terlepas dari gagasan maupun pendapat-pendapat yang hidup dikalangan anggota masyarakat, agar hukum dapat diterapkan dengan sebaik-baiknya.
3.      Created by a public body (dibuat oleh suatu badan publik)
Undang-undang adalah salah satu instrumen untuk mengatur masyarakat yang dicita-citakan. Karena itu proses pembentukannya harus dilakukan dengan prinsip check and blance antar lembaga negara sesuai dengan kedudukan dan kewenangan yang dimilikinya.
4.      Backed by coercion (didukung oleh paksaan)
Untuk itu hukum berisi perintah dan larangan
5.      Enforched by courts and police (ditegankkan oleh pengadilan dan polisi)
Agar hukum dapar ditegakkan jika terjadi pelanggaran
6.      Possessing moral force (memilik kekuatan moral)
Kultur hukum merupakan sikap dan nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat, sehingga unsur kultur hukum inilah yang menentukan mengapa orang patuh atau tidak terhadap hukum. Contohnya, pada suatu kasus perjanjian meskipun dalam perjanjian itu tidak didasarkan pada undang-undang yang ada, tetapi tidak bertentangan dengan moral dan ketertiban umum, perjanjian itu tetap sah sehingga prinsi hukum dan moral bahwa perjanjian itu harus ditaati, sehingga tercipta bentuk jaminan kebendaan yang baru yang sebelumnya tidak diatur dalam undang-undang
7.      Obeyed or used by most of the  people mast of  the time ( ditaati atau digunakan disebagain besar waktu oleh sebagian besar orang)
Untuk mengatur  tingkah laku manusia agar tercipta ketertiban, kenyamanan, keamanan, dan keadilan, hal ini tentu saja dapat dilihat dari suatu tindakan masyarakt untuk dinilai apakah layak untuk dijadikan sebagi suatu aturan yang harus ditati atau tidak, sehingga aturan ang ada lahir dari kebiasan yang baik dari masyarakat
8.      Expressible in the from of rule (dapat diungkapan dalam bentuk suatu aturan)
Asas yang melahirkan norma hukum, kemudian norma hukum yang melahirkan aturan hukum. Dari satu asas hukum dan satu norma hukum dapat melahirkan lebih dari satu aturan hukum hingga tak terhingga jumlahnya. Contohnya asas hukum “pengakuan terhadap hak milik individu”, dapat melahirkan norma hukum, antara lain: tidak boleh mengabil hak milik orang lain, tidak boleh murusak hak milik orang lain, dan sebagainya. Dari norma hukum tidak boleh mengambil hak milik orang lain, muncullah berbagai aturan di dalam perundang-undangan. Contohnya pasal 362 KUHP tentang ancaman pidana pencurian, pasal 372 KUHP tentang ancaman pidana bagi penggelapan.
9.      In accord with the natural law and the valves  of members  of the society the spawned if (sesuai dengan isi hukum alam dan nilai-nilai warga masyarakat yang melahirkannya)
Nilai merupakan dasar dari moral/etika. Contohnya, suatu nilai yang lazim dianut oleh masyarakatdi indonesia bahwa persetubuh antara seseorang pria dan wanita barulah wajar dilakukan jika keduanya terikat suatu perkawinan yang sah. Secara moral/etika berarti berzinah merupakan perbuatan yang salah, yang kemudian dirumuskan kedalam kaidah hukum. Kaidah seperti itulah yang kemudian mengatur perilaku manusia sehingga timbul pola perilaku tertentu.
10.  Genaral (umum)
Hukum harus umum agar fleksibel,  jika khusus maka akan tertinggal dengan objeknya
11.  Promulgated (diumumkan resmi)
Agar setiap orang mengetahui aturan-aturan yang ada, sebab ketidaktahuan hukum bukan alasan pemaaf dan pembenar
12.  Non retroactive (tidak berlaku surut)
Jika aturan berlaku surut maka akan merusak integritas hukum
13.  Clear (jelas)
Agar mudah dipahami
14.  Non contradictory (tidak kontradiksi)
Agar tidak terjadi kontradiksi maka diperlukan asas
15.  Not requiring impossible action (tidak menuntut tindakan yang mustahil)
Agar tidak ada alasan untuk tidak menaati hukum
16.  In frequently changed (jarang berubah)
Hukum dalam membuat aturan tidak berubah-ubah karena akan terjadi kesemrawutan
Berdasarkan hal tersebut diatas , maka saya dapat menyimpulkan bahwa cri-ciri yang dikemukakan oleh Charles Sampfroad untuk saat ini sudah mencakup ciri-ciri yang diperlukan dalam membentuk suatu hukum, meskipun demikian ada beberapa hal yang saya tidak sependapat misalnya harus tetulis, menurut saya selain hukum tertulis juga perlu adanya pengakuan terhadap hukum tidak tertulis meskipun peraturannya dapat berubah sewaktu-waktu sesuai dengan kepentingan yeng menghendakinya, tetapi selama itu baik mengapa tidak diakui sebagi hukum. Ditegakkan oleh pengadilan dan polisi, menurut saya tidak semua permasalahan harus ditegakkan oleh pengadilan dan polisi tetapi juga dapat diselesaikan diluar pengadilan.

Sumber:
Achmad Ali, 2009, “Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradialan”, Jakarta: Kencana

Realisme Hukum Amerika Serikat dan Realisme Hukum Skandinavia



Realisme Hukum Amerika Serikat dan Realisme Hukum Skandinavia

A.    Realisme Hukum Amerika Serikat
Aliran Realisme Amerika Serikat merupaka kumpulan pemikiran yang beragam, tetapi mempunyai satu fokus pandangan yang sama tentang hukum. Realisem hukum berarti studi tentang hukum sebagai suatu yang benar-benar secara nyata dilaksanakan, ketimbang sekedar hukum sebagai aturan yang teruat dalam perundang-undang. Adapun karakteristik pendekatan aliran realis terhadap problem-problem ilmu hukum mencakup:
·         Suatu penyelidikan kedalam unsur-unsur khas dari kasus-kasus
·         Suatu kesadaran tentang faktor-faktor iraasional faktor-faktor tidak logis dalm pembuatan putusan hakim
·         Penafsirantentang aturan-aturan hukum melalui evaluasiterhadap konsekuensi-konsekuensi praktis dari aturan-aturan tersebut
·         Suatu perhatian terhadap hukum dalam kaitannya dengan politik, ekonomi, dan lain-lain.
Holmes, sebagai hakim agung pada Mahkamah Agung Amerika, telah mengilhami gerakan kaum realis di Amerika Serikat, dengan peryataan fundamental bahwa para juris tidak seharusnya puas dengan bentukbentuk dangkal dari kata-kata, semata-mata hanya karena kata-kata bersangkuta telah sangat sering digunakan dan telah diulang-ulang dari salah satu ujung “union” keujung lainnya. Sehingga harus memikirkan ha-hal, bukannya kata-kata, atau sekurang-kuragnya harus secara konstan menerjemahkan kata-kata kedalam fakta-fakta yang diwakiliny jika hendak mengikuti sesuatu yang nyata dan benar, jadi esensi penegasan Holmestentang pengujian fakta-fakta. Menurut Holmes kehidupan hukum bukan logika, melainkan pengalaman (the life of the law has been, not logic, but experience). Adapun kritikan terhadap realisme  hukum Amerika, yakni:
1.      Pemikiran realisme ala Amerika Serikat hanya munkin diterapkan di negara dimana bagian terbesar hukumnya dikembangkan melalui pengadilan-pengadilan seperti di Amerika Serikat, padahal di dalam kenyataanya, banyak negara dan masyarakat yang tidak seperti Amerika serikat. Sehingga hapir tidak diterapkan di negara-negara atau masyarakat-masyarakat yang menggunakan sistem yang menuangkan sebagian besar hukumya ke dalam perundang-undangan.
2.      Pendekatan realis tidak dapat diterapkan pada kasus-kasus sulit, yaitu dalam hal undang-undangnya tiak jelas atau belum ada secara eksplit. Dimana hukum sudah pasti dan jelas, maka hakim hanya sedikit melakukan pilihan yaitu menemukan aturan mana yang akan digunakannya untuk kasus konkret yang dihadapnya atau menerapkan hukum. Namun menurut prof. Achmad Ali, keterlibatan hakim secara priadi dalam putusan-putusannya, tidak hanya ada kalau aturannya kurang jelas, sebab undang-undang hanya mengatur hal-hal yang sifatnya umum, dan hakimlah yang selalu menghubungkan dan mencocokkannya dengan kasus-kasus konkret yang diadilinya, dengan menggunakan interpretasi.
Meskipun secara umum penganut realisme hukum berpandangan bahwa yang dimaknakan sebagai hukum adalah putusa hakim, dan bukan undang-undang, karena undang-undang hanyalah sumber hukum, dan baru menjadi hukum setelah dijelmakan dalam putusan hakim. Tetapi di kalngan kaum realis sendiri terdapat dua sayap yaitu:
1.      The sociological wing of realism, inti ajarannya adalah bahwa ada beraneka ragam kekuatan sosial yang memaksadan mempengaruhi penilaian hakim terhadap fakta-fakta dari kasus yang sdang dihadapinya, yang mana, kekuatan sosialitulah yang menentukan lahirnya putusan hakim, ketimbang aturan-aturan hukum.
2.      The indiosyncracy wing of realism yang menekankan pada pengaruh faktor psikologis dan kepribadian individu.
Dengan demikian sayap sosiologis dalam realisme merupakan embrio mazhab sosiologis sedangkan syap indiosyncray dalam realisme merupakan embrio mazhab legal psikologis.

B.     Realisme Hukum Skandinavia
Realisme Skandinavia sejalan dengan realisme Amerika Serikar, yaitu secara umum menolak das sollen dalam studi hukum dan berpaling jauh dari spekulasi yang bersifat metafisik dan berpaling jauh dari spekulasiyang bersifat metafisikdan beralih ke investigasi tentang fakta-fakta dari sistem-sistem hukum. Meskipun demikian terdapat perbedaan antara realisme Amerika Serikat dan Skandinavia, yaitu:
1.      Realisme Amerika Serikat lebih menaruh perhatian terhadap aspek-aspek perilaku pengadilan ketimbang terhadap pertanyaan-pertanyaan hukum yang dihasilkan dari perhatian terhadap sifat dan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang
2.      Dasar filsafat Skandinavia adalah penolakan terhadap konsep tentang pikiran (mind) yang encakup fenomena-fenomena mental, yang merupakan tiak lebih dari reaksi-reaksi otak.
3.      Bagi kaum realisme Skandinavia, yang disebut “ide-ide”, semata-mata merupakan rasionalisasi-rasionalisasi dari eksistensi objektif, ide-ide itu semata-mata ungkapan verbal dari reaksi-reaksi terhadap fakta-fakta dan kondisi-kondisi (lingkungan-lingkungan) eksternalnya.
Lundstedt, seorang professor hukum Swedia, mengikuti Hagerstrom dalam penolakannya secara total terhadap argumen yang bersifat metafisik. Menurut Lundstedt, hukum hanyalah merupakan fakta-fakta esksistensi sosila, sedangkan selain itu tidak lebih hanya sekedar ilusi. Suatu sistem hukum mencerminkan aspirasi-aspirasi sosial yang secarasistematik mengorganisir fakta sosial, maka tujuan-tujuan sistem itu aka muncul pula secara jelas.
Penganut lainnya, Olivecrona, seorang juris swedia menggap tidak perlu mendifinisikan hukum. Metode analisis yang digunakannya mencakupi penyelidikan tentang keseluruhan fakta yang ada dalam istilah “aturan-aturan hukum”. Olivecrona menekankan bahwa, atruran-aturan hukum, meskipun bukan merupakan perintah nyata, etapi diberikan dalam bentuk perintah.  Kata-kata apa yang digunaka, arti dari aturan adalah suatu tindakan ini harus dilakukan dalam kondisi-kondisi demikian dan demikian, hak ini harus muncul dari fakta-fakta yang demikian dan demikian, pejabat itu harus mempunyai kekuasaan ini atau itu, dan lain-lain. Olivecrona mengistilahkan aturan-aturan yang bersifat paksaandenga istilah “aturan-aturan primer”, sedangkat aturan-aturan bagi tingka laku warga yag bersifat privat (perdata) diistilahkan sebagai “aturan-aturan sekunder”.
Penganut relisme Skandinavia berpandangan, bahwa para warga mengasumsikan perintah-perintah yang bersifat independen itu sbagai perintah-perintah yang harus ditaati, karena mereka memang telah dikondisikan untuk berfikir dengan cara ini. Tetapi aturan-aturan yang berdasarkan perintah-perintah independen itu harus tampak masuk akal dan sanksi-sanksi yang menyertainya harus bersifat tetap dan tidak memihak.



Sumber:
Achmad Ali, 2009, “Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradialan”, Jakarta: Kencana

Konsep Segitiga Terhadap Pluralisme Hukum Oleh Werner Menski


Teori Riangular Concept Of Legal Pluralism (Konsep Segitiga Terhadap Pluralisme Hukum Oleh Werner Menski)

Di kalangan pakar teori hukum, sekarang dikenal sebuah teori hukum termutakhir untuk menjawab realitas dunia globalisasi saat ini, yaitu triangular concept of legal pluralism (konsep segitiga pluralisme hukum). Teori ini diperkenalkan sejak tahun 2000 kemudian dimodifikasi pada tahun 2006 oleh Werner Menski, seorang profesor hukum dari University of Landon, pakar hukum di bidang Hukum Bangsa-Bangsa Asia dan Afrika, yang menonjolkan Karakter Plural kultur dan hukum. Dari subjek kajiannya, Menski kemudian memperkenalkan teori hukumnya itu, yang memang sangat relevan bagi hukum bangsa-bangsa Asia dan Afrika, maupun juga bagi bangsa Barat.
Sejak itu, banyak teori-teori hukum sebelumnya yang mulai tergeser, seperti teori the disorder  of law-nya Charles Sampford yang ekstrem untuk menolak eksistensi sistem hukum, dan terutama menggeser keras teori-teori klasik yang dianggap tidak relevan dengan dunia globalisasi, antara lain teori-teori positivistik dari Hans Kelsen, dan Montesqueiu. Tetapi sebaliknya, triangular concept legal pluralism dari menski ini, memperkuat konsep Lawrence M. Friedman tentang unsur sistem hukum ketiga, yaitu Legal Culture (kultur hukum), yang sebelumnya belum dikenal, sebelum Friedman memperkenalkannya di tahun 1970-an. Justru eksistensi kultur hukum yang sifatnya sangat pluralistik, melahirkan kebutuhan adanya sebuah teori hukum yang mampu menjelaskan fenomena pluralisme hukum, yang merupakan suatu realitas. Di era globalisasi saat ini, di mana hubungan antarwarga dunia, tidak lagi dibatasi oleh sekat-sekat sempit otoritas kaku dari masing-masing negara, tetapi di hampir semua bidang,  komunikasi yang semakin canggih, menebab n dunia tiba-tiba terasa menjad suatu  “negara dunia”, dan setiap warga dunia dari suatu negara ke negara lain, suka atau tidak suka, akan berhadapan dengan hukum asing, yang tentunya tidak mungkin persis sama atau bahkan sangat kontras dengan hukum di negaranya sendiri. Setiap penduduk dunia yang melakukan perjalanan ke negara asing, baik secara fisik maupun melalui “dunia maya” (Internet) akan merasakan kehadiran realitas pluralisme hukum itu dalam kehidupannya.
Pluralisme hukum bukan hanya mengenai beraneka ragamnya hukum positif yang ada, baik antarbangsa maupun di dalam sutu negara tertentu, contonhnya di Amerika Serikat, setiap “state” (negara bagian) memiliki sistem hukum, sistem peradilan, dan hukum positif masing-masing; demikian juga di Indonesia setiap daerah memiliki hukum lokal masing-masing; melainkan juga, pluralisme hukum adalah mengenai perilaku hukum dari masing-masing individu atau kelompok yang ada disetiap bangsa dan masyarakat di dunia ini. Dan tentu saja sangat tidak realitas, ketika berbagai sistem hukum, sistem peradilan dan hukum positif yang sangat plural atau beraneka ragam itu, hanya dikaji dengan menggunakan salah satu jenis pendekatan hukum secara sempit saja, atau pendekatan moral belaka. Tak ada metode ang lebih relevan untuk menghadapi berbagai isu hukum di era globalisasi dunia dewasa ini, kecuali dengan penggunaan  secara proporsional secara serentak ketiga pendekatan hukum: normatif, empiris dan filsufis, dan itulah yang dikenal sebagai Triangular Concept Of Legal Pluralism.
1.      Pendekatan ‘jurisprudential’ atau kajian normatif hukum, yang menfokuskan kajiannya dengan memandang hukum sebagai suatu sistem yang utuh yang mencakupi seperangkat asas-asas hukum, norma-norma hukum, dan aturan-aturan hukum (tertulis maupun tidak tertulis).
Harus diketahui bahwa asas hukum ang elahirkan norms hukum, dsn norms hukum melahirkan aturan hukum. Dari satu asas hukum dapat melahirkan lebih dari satu norma hukum hingga tak terhingga norma hukum, dan dari satu norma hukum dapat melahirkan lebih dari satu aturan hukum hingga tak terhingga aturan hukm.
2.      Pendekatan empiris ‘legal empirical’, yang memfokuskan kajiannya dengan memandang hukum sebagai seperangkat realitas (reality), seperangkat tindakan (action), dan seperangkat perilaku (behavior).
Pendekaan legal emirical ini masih dibedakan lagi kedalam kajian-kajian:
a.       Sosiologi hukum yang masih dibedakan kedalam:
·         Sosiology of law yang lahir di Eropa Barat.
·         Sociologicsl jurisprudance yang lahir di Amerika; plopornya Profesor Roscoe Pound dari Harvard University Law School.
b.      Antropology hukum
c.       Psikologi hukum yang masih dibedakan ke dalam:
·         Psychology in lawI, merujuk pada suatu aplikasi spesifik dari psikologi dalam hukum.
·         Psychology and law, digunakan untuk riset psikologi terhadap terdakwa, para polisi, pengacara, jaksa dan hakim.
·         Psychology of law, digunakan untuk merujuk pada riset psikologis terhadap isu-isu, seperti mengapa orang menaati hukum atau tidak menaati hukum tertentu, perkembangan moral, dan presepsi serta sikap publik terhadap berbagai sanksi pidana.
·         Forensic pschology adalah penggunaan psikologi dalam proses pengadilan.
Di luar itu, kalau ke empat pendekatan di atas lebih berfokus pada faktor kejiwaannya belaka, maka telah muncul ilmu baru ang identik, yang lebih menekankan pada faktor ilmu baru yang identik, yang lebih menekankan pada faktor biologis pengaruh otak dan saraf terhadap isu-isu hukum. Neuroscience and law adalah suatu kajian baru tentang keunikan pentingnya pengaruh otak dan saraf bagi perilaku manusia, dan karena itu bagi masyarakat dan hukum. Ada empat area utama kajian neuroscience and law, yaitu: (1) wawasan baru tentang isu-isu pertanggungjawaba; (2) meningkatkan kemampuan untuk ‘membaca pikiran’; (3) prediksi yang lebih baik terhadap perilaku yang akan datang; dan (4) prospek terhadap peningkatan kemanpuan otak manusia. Salah satu contoh penerapan kajian ini kedalam praktek hukum, antara lain penggunaan alat penguji kebohongan atau lie detection.
d.      Hukum dan ekonomi (law and economic), bedakan dengan kajian hukum ekonomi yang mrupakan bagian pendekatan jurisprudential atau kajian normatif hukum.
e.       Hukum dan pembangun (law and devolovment)
f.       Hukum dan struktur sosial (law and sosial  structure0
g.      Kajian hukum kritis (the critical legal)
3.      Pendekatan filsufis, yang memfokuskan kajiannya ddengan memandang hukum sebagai seperangkat nilai-nilai mral serta ide-ide yang abstrak, di antaranya kajian tentang moral keadilan.
Penedekatan filsfis ini dipelajari dalam mata kuliah Filsafa Hukum, Logika Hukum, dan Teori Hukum. Dalam kaitan tiga pendekatan ilmu hukum itu, hukum ummna dapat dibedakan kedalam:
a.       Ius constituendum: hukum ideal yang diharapkan berlaku, bidang ini didekati dengan pendekatan filsufis
b.      Ius constitutum: hkum ositif, yaitu hukum yang diberlakukan oleh suatu negara tertentu, untu suatu waktu tertentu, tetapi belum tentu di dalam realitasnya bener-benar berlaku
c.       Ius operatum: hukum ang dalam ralitasnya benar-benar berlaku
Beberapa pakar hukum membedakan ilmu hukum ke dalam:
a.       Ilmu hukum semu (quasi jurisprudance) atau ilmu hukum praktis
b.      Ilmu hukum yang sesungguhnya (true jurisprudance)
Tentu yang dimaksud sebagai ilmu hukum semu adalah ilmu hukum positif atau ilmu hukum perundang-undangan, sedangkan yang dimaksud ilmu hukum yang sesungguhnya adalah kajian emiris dan kajian filosofis terhadap hukum
Dari komentar editor  Cambridge University Press tentang karya monumental Werner Menski berjudul Coparative Law in a Global: Context, The Legal System of Asia and Africa (2006). Dapat disimpulkan bahwa teori Menski, menyajikan satu pemikiran kembali secara kritis dalam kajian perbandingan hukum dan teori hukum, di dunia globalisasi dewasa ini, dan mengusulkan suatu metode baru teori hukum, yang meyoroti kelemahan pendekatan teoritis Barat selama ini, mencakupi kelemahan teori-teori perbandingan hukum, hukum publik internasional, teori hukum, dan ilmu hukum normatif, terutama kajian Barat tentang hukum Asia dan Afrika. Menski menegaskan bahwa teori-teori Barat yang terlalu sempit dan eurosentris tak mamp menjawab tantangan globalisasi. teori hukum Menski mengombinasikan secara interaktif teori hukum alam modern, postivisme, dan sosiologi hukum, untuk membahas pluralisme hukum ang merupakan realitas dunia global, melalui konsep segitiga pluralisme hukum-nya. Fokus utama kajian Menski adalah hukum Hindu, hukum Islam, hukum-hukum Afrika, dan hukum Cina, yang kemudian dapat diterapkan untuk mengjkaji hukum lain.
A.    Unsur triangular concept of legal pluralism
Menurut Menski, sifat alami hukum yang plural adalah sesuatu yang ada sehubungan dengan sifat plural hukum tersebut, lebih awal ditujukan melalui konsep yang dicetuskan oleh Chiba tentang identity postulate (postulat identitas dari setiap hukum). Model yang digunakan Thuis, mengerucut dalam suatu konsep global yang rada mengelompokkan konsep global tentang legal culture, ketika Chiba menuliskan bahwa:
 “Sepanjang suatu kultur hukum terpelihara, maka a basic legal postulate for the people’s cultural identity i law, (suatu dasar postulat hukum bagi identitas kultural rakyat di dalam hukum), harus disyaratkan sebagai the identity postulate of a legal culture (Postulat identitas dari suatu kultur hukum), harus disyaratkan sebagi berfungsi. Hal itu akan memandu orang dalam memilih bagaimana  untuk melakukan “reformasi” terhadap keseluruhan sruktur hukum, mencakup, antara lain, kombinasi hukum asli (pribumi) dan hukum yang merupakan hasil cangkokan hukum asing, dalam rangka untuk memelihara akomodasi mereka untuk mampu mengubah keadaan di lingkungannya.”
‘postulat identitas’ ini muncul sebagai sebuah pusat yang secara terus-menerus menegoisasikan elemen suatu kultur hukum secara terus-menerus, mendekat dan secara langsung berhubungan pada nilai etis, norma-norma sosial dan aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah, sebagai fakta kehidupan manusia dalam berbagai penjelmaan spesifik kultur mereka. Ini berarti bahwa, hukum sebagai suatu fenomena global memiliki kesamaan di seluruh dunia, dalam arti bahwa di mana-mana hukum terdiri atas dasar  nilai etis, norma-norma sosial, dan aturan-aturan yang dibuat oleh negara, meskipun tentu saja di dalam realitasnya, muncul banak sekali variasi kultur yang lebih spesifik. Hal ini hanya mengkonfirmasikan tentang ‘premis dasar’ yang telah diketahui, bahwa semua hukum adalah kultur-spesifik dan bahwa di dalam berbagai bidang hukum seperti kontrak, perkawinan, dan pembunuhan adalah merupakan fenomena universal, yang tampak secara terus-menerus berubah dari waktu ke waktu serta dari raung/spasi ke ruang/spasi  lain.
Lebih lanjut bagi menski, dengan menggunakan pendekatan tiga tipe utama hukum utama yaitu hukum yang diciptakan oleh masyarakat, hukum yang diciptakan oleh negara dan hukum yang timbulnya melalui nilai dan estetika, maka kajian mutakhir kini, terutama sekali yang digunakan di dalam Bagian II buku karya Werner Menski ini, telah ditujukan bahwa ketiga unsur tersebut bersifat plural. Sesungguhnya, di dalam realitas, tampak bahwa masing-masing dari ketiga tipe hukum tersebut, juga berisikan dua unsur tipe hukum lainnya. Selanjutnya kita lalu menemukan suatu level intristik yang benar-benar bersifat plural, yang kemudian saat ini, menghasilkan sembilan unsur-unsur atau komponen nyata dari hukum, dan bukan hanya tiga unsur saja. Maka dimungkinkanlah untuk menggambarkan hal ini ke dalam satu grafik mengenai sifat plural internal dari ketiga tipe hukum tersebut diatas, ang berfokus pada analisis terhadap sistem-sitem hukum yang ada di Asia dan Afrika.
Skema yang digunakan adalah benar-benar tidak lagi mudah untuk menjelaskan dan memahaminya. Betapa pun, realisme hukum adalah menyangkut akal sehat. Untuk menggambarkan model ini, kita memberikan simbol penomoran, yaitu nomor 1 pada segitiga unsur ‘masyarakat’ (number 1 to the triangle of society), nomor 2 pada unsur ‘negara’ (number 2 to the triangle of state), dan nomor 3 pada dunia nilai serta etika (number 3 to the realm of values And ethics). Urutan ini tidak menyiratkan bahwa ada unsur yang relatif lebih unggul atau superior ketimbang unsur lain, tidak bertujuan bahwa secara relatif nomor 1 lebih unggul atau superior ketimbang nomor 2 dan nomor 3; atau yang nomor 2 lebih unggul ketimbang nomor 3.
 












Hal utama adalah untuk secara sungguh-sungguh menciptakan suatu interaksi yang sifatnya tetap, dari tiga unsur yang telah diberi nomor urut tadi, terutama tidak berdasarkan kekuasaan maupun status relatif masing-masing dari ketiga unsur tersebut. Inilah yang menjadi alasan, mengapa satu tipe teori hukum terhadap dirinya sendiri, tidak akan bekerja untuk menjelaskan sifat alami hukum yang pada hakikatnya bersifat plural, dan hanya satu analisis pendukung pluralisme sebagai yang disajikan di dalam pembahasan ini yang mampu untuk mencapai hal ini.
Selanjutnya menurut Menski, untuk memperkenalkan representatif grafis atau (skema) dari ‘level of intristic the second’  pluralisme hukum yang disajikan di atas, kita memulai dengan hukum yang ditemukan di dalam kehidupan sosial, karena di kehidupan sosial itulah merupakan tempat di mana hukum selalu berlokasi. Studi terkini di bidang hukum, mengonfirmasikan bahwa tidak ada masyarakat yang tanpa hukum, sementara itu, mungkin sedikit sekali, atau hampir tidak ada hukum produk negara di dalam suatu konteks kultur dan lokal khusus tertentu. Di bidanng sosial, kita menemukan aturan-aturan, norma-norma, ataupun input-input yang berasal dari negoisasi hukum yang kurang lebih murni bersumber dari citra pluralismenya hukum, di mana barangkali tidak ada dari citra pluralisnya hukum, di mana barangkali tidak ada dari dalam satu masyarakat tertentu (dalam hal ini, pegertian masyarakat, tentu saja bukan dalam makna ‘masyarakat secara nasional’, melainkan dimaksudkan adalah masyarakat dalam bentuk suatu komunitas atau kelompok lokal yang kecil, bahkan barangkali dalam bentuk suatu klan atau komunitas, menurut Cotterel, akan tampak, tergantung pada pernyataan identitas masing-masing. Jika suatu kelompok manusia tertentu membedakan kelompoknya sendiri sebagai anggota kelompok dengan anggota kelompoknya, misalnya perbedaan secara etnis, maka di situ kita mulai untuk melihat kemunculan tata hukum yang terpisah). Ini yang kita berikan nomor 11 dalam penomoran, yang merefleksikan fakta bahwa seluruh atau sebagian besar elemen dari tipe hukum ini, mula-mula berasal dari dalam segitiga ini. Aturan-aturan di dalam kehidupan sosial, juga dipengaruhi oleh kehadiran dari ‘co-existing’ hukum produk negara, yang kita berikan sebagi nomor 12 dalam penomoran, yang mencerminkan sifatnya yang lebih hibrid dan mendapat pengaruh  persial dari hukum produk negara. di sisi lain, poros pusat dalam ‘the triangle of society’, kita berikan sebagai nomor 13 dalam penomoran, terhadap norma-norma sosial dan proses-proses yang menghasilkan beberapa validitas dan kewenangan dari lingkungan etika dan nilai-nilai. Secara meneluruh, citra intristik dari pluralisme hukum terdapat dalam ‘the triangle of society’. Hal itu membuktikan bahwa ini juga merupakan kehidupan kultur, tetapi kultur yang barangkali juga secara intristik bersifat plural dan bersifat meluas ke dalam kehidupan kenegaraan dan ke alam nilai. Dengan demikian, hal itu berarti bahwa analisis kultural juga akan memperoleh manfaat dari penerapan metode analisis kesadaran pluralitas (plurality-conscious analytical methods).
Berikutnya kita pidah ke the triangle of the state. Di dalam suatu konteks hukum tertentu, mungkin saja tidak tampak adanya hukum produk negara, di mana studi ini menemukan bahwa selalu terdapat beberapa jenis hukum. Dengan demikian, jenis hukum yang secara langsung bersumber dari produk negara, mungkin saja relatif kecil dan bahkan tak terliha, atau mungkin juga dalam bentuknya sebagai legislasi formal dalam jumlah yang besar-besaran. Namun, apapun bentuknya dan apa pun membentuknya, dan apa pun kemungkinan sifat yang tepat dari negara, (hal ini merupakan suatu problem yang ditinggalkan untuk para ilmuwan politik, tetapi studi termutakhir menyakinkan bahwa masalah tersebut merupakan bidang mereka, yang juga, mereka akan memperoleh manfaat dari analisis kesedaran-pluralitas yang lebih mendalam), kita memberikan elemen sentral dari hukum produk negara sebagai penomoran dengan nomor 22. Ini merefleksikan fakta bahwa seperti berbagai jenis hukum produk negara, yang mana dapat mengambil bentuk dari aturan-aturan, norma-norma ataupun input negoisasi, yang tumbah terutama dalam jenis segitaga hukum produk negara ini. Berikutnya, kita memberikan nomor 21 untuk berbagai jenis hukum produk negara  negara yang mendapat pengaruh oleh dunia kehidupan sosialnya. Kita segera dapat memikirkan berbagai contoh-contoh jenis hukum, yang mana dalam istilah yang digunakan Chiba dikenal sebagai ‘the second type of official law’ (tipe kedua dari hukum resmi negara), yaitu hukum negara yang tidak benar-benar dibuat oleh negara, melainkan dilegitimasi berlakunya oleh negara (‘state law that was not really made by state but accepted  by it’). Penalaran yang sama dapat diterapkan, pada sisi lain dari ‘the statist triangle’, kepada tipe-tipe hukum produk negara (‘state-made law) yag mendapat pengaruh dari nilai-nilai dan etika spesifik. Ini yang dalam penomoran kita berikan sebagai nomor 23, yang merefleksikan input dari segitiga ketiga (‘third triangle’).
Kita kemudian dapat pindah ke pembahasan mengenai’segitiga hukum alam’ (the triangle of natural law) dan pengembangan keadaanya yang plural. Kita memberikan nomor 33 bagi tipe hukum yang sumbernya telah ‘berutang’ pada ‘input-input’ yang berhubungan erat dengan jenis segitiga hukum alam ini. Kita kemudian memberikan nomor 32 untuk unsur-unsur nilai dan unsur-unsur etis, dari apa yang diistilahkan oleh Chiba, sebagai ‘postulat hukum’, yang secara sebagain besar telah ‘berutang’, baik mengenai eksistensi mereka maupun mengena bentuk mereka, akibat kehadiran negara, atau karena adanya kesadaran tentang kehadiran ‘some rule-negoitating power’ yang menggerakkan awal dari segitiga jenis ini. Selanjutnya kita melengkapi putaran ini, denga cara memberi nomor 31 bagi nilai dan etika, yang tampak untuk sebagian tersebar telah’berutang’ bentuk mereka pad ‘input’ sosial, dan kemudian kita kembali pada kehidupan kultur yang lebih luas. Citranya secara keseluruha kemudian tampak dalam skema yang telah digambarkan sebelumnya.
B.     Menerima Pluuralisme Hukum Sebagai Suaturealitas Tak Terelakkan
Menurut Prof. Achmad Ali, S.H, berdasarkan pendapat Menski, bahwa kalu kita ibaratkan hukum itu sebagai pohon, maka kita tidak dapat memandang bagian-bagian pohon itu secara persial, melainkan secara total. Kita tidak boleh memandang sebagian kayunya hanya dalam fungsi sebagai ‘akar’ yang menyerap makanan dari tanah (yang dalam hukum adalah masyarakat dan nilai-nilai hukumnya), ‘batang’ yang memperkokoh pohon itu (dalam hukum adalah hukum positif), dan ‘dahan ranting’ yang menjulur ka atas langit dan ke berbagai arah untuk menghirup aroma surgawi ( di dalam hukum adalah nilai-nilai moral, agama, dan etika). Hukum jika di ibaratkan pohon, maka seluruh kayunya harus dipandang secara total, sebagai satu kesatuan yang utuh, terdiri dari: hukum yang dilahirkan masyarakat, hukum yang merupakan produk negara dan nilai-nilai moral, keagamaan dan etika. Ketiga pilar utama itulah hukum yang utuh.
Kalau kita bandigkan dengan teori tiga tipe hukum dari Nonet & Selznick, maka mereka menempatkantipe hukum responsif sebagai tipe hukum ideal mereka, yang dalam perkembangannya telah melewati tipe hukum represif dan tipe hukum otonom. Sedangkan, Warner Menski, menjadikan sebagai tipe hukum idealnya, yaitu “the holy grail of all law, suatu tipe hukum yang berhasil secara optimal menjalin interaksi di antara iga komponen utama tadi, secaranorms atau norma-norma sosial, dan  posited state-made legal rules ( state-made law), yaitu hukum buatan negra.
Dan jika konsp pluralisme hukum dari Menski ini kita hubungkan dengan konsep tiga unsur sistem hukum yang diperkenalkan oleh Lawrence M. Friedman, maka dapat kita katakan, bahwa pluralitas hkum tidak hanya menyangkut substansi atau strukturnya, tetapi juga bahkan lebih tinggi tingkatan pluralitasnya unsur ‘kultur hukum’ yang mencakup pluralitas kebiasaan-kebiasaan yang ada, serta juga pluralitas dari cara berfikir dan cara bertindak di bidang hukum.
Dan yang terpenting dari tiga komponen dikembangkan menjadi sembilan komponen menunjukkan jenis-jenis pilar yang ada dalam konsep segitiga Menski sebagai berikut:
1.      Hukum produk negara yang sesungguhnya, yang muncul langsung sebagai hukum, dan tidak dikenal sebelumnya di dalam nilai-nilai etika, moral dan agama, mapun norma sosial. Contohnya UU penggunaan Helm BAGI Pengendara Motor. Peraturan ini absolut produk negara
2.      Produk hukum negara yang hanya melegitimasi norma sosial yang telah ada sebelumnya, contohnya; larangan membunuh, mencuri, dan memperkosa. Perbuatan itu sebelum diancamkan pidana dalam KUHP, memeng telah dinyatakan sebagai kejahan oleh norma moral dan agama, maupun oleh norma-norma sosial.
3.      Hukum produk negara yang memperoleh pengaruh sebagai hasil negosiasi dengan norma-norma etika, moral dan agama, atau norma-norma sosial atau kultur tertentu.
4.      Hukum ang murni produk sosial
5.      Hukum produk sosial yang telah mendapat pengaruh sebagai hasil negosiasi dengan kekuasaan negara
6.      Hukum produk sosial yang telah mendapat pengaruh sebagai hasil negosiasi dengan nilai etika moral atau agama
7.      Nilai-nilai etika, moral, atau agama yang masih murni
8.      Nilai-nilai etika, moral, atau agama yang telah mendapat pengaruh sebagai hasil negosiasi dengan norma-norma sosial atau kultur tertentu
9.      Nilai-nilai etika, moral atau agama yang telah mendapat pengaruh sebagai hasil negosiasi dengan kekuasaan pemerintah.
Tidak ada pohon yang benar-benar sama, demikian juga hukum. Oleh karena itu, sebagai analisis realistis, berhadapan dengan dilema umum yang menrupakan fenomena uiversal, yaitu, bahwa kita berupaya untuk menganalisis sedemikian anyak bentuk-bentu yang berbeda, di mana kita akan teru-terus sibuk mengidentifikasi unsur-unsur secara keseluruhan, untuk dapat memahami sebagai suatu totalitas yang pada hakikatnya bersifat plural. Pada saat bersamaan, kita juga harus mencoba memahami skenario spesifik untuk bekerja ke arah sesuai, solusi-solusi justice-consensius (kesadaran tentang keadilan). Baik di tingkat global, maupun tingkat lokal, dan di tingkat mana pun, maka tantangan merupakan suatu negoisasi yang konstan, buka suatu pernyataan yang kabur tentang hal ini atau tentang perspektif itu. Untuk, sifat hukum yang alami, yang pada hakikatnya plural, selalu memungkinkan banyak perspektif. Oleh karena itu, dalam beberapa hal, keseluruhan teori hukum menghadapi keadaan sulit, ang kemunculannya barangkalai sebagain besar dengan tajam dari Ilmu Hukum Islam, di mana konsep kunci dari  ikhtilaf, adalah menoleransi keanekaragaman dan mengakui kemungkinan kesalahan yang dihasilkan oleh sifat manusia. Dan, di dalam tradisi Ilmu Hukum Islam, pengakuan tentang pluralisme sangat tampak, karena tidak ada seorangpun yang mempunyai hak istimewa untuk menjadi penafsir tunggal, sebagi contoh, dikenalnya mazhab dalam hukum Islam (Maliki, Syafi, Hambali, dan lainnya).

Sumber:
Achmad Ali, 2009, “Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradialan”, Jakarta: Kencana













  KETERKAITAN TEORI KEADILAN DENGAN PAJAK AIR TANAH Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pajak air tanah adalah pajak atas pengambila...