KONFLIK LAHAN DI LUWU TIMUR ANTARA MASYARAKAT ADAT SUKU PAMONA DAN PT. SINDOKA
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Sebagai salah
satu unsur esensial penbentuk negara, tanah memegang peran penting dalam
kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara yang bersangkutan,
lebih-lebih yang corak agrarisnya berdominasi. Di Negara yang rakyatnya
berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk mencapai tujuan itu, diperlukan
campur tangan Penguasa, yang competent dalam urusan tanah ini, khususnya
mengenai lahirnya, berpindahnya dan berakhirnya hak milik atas tanah. Di
lingkungan hukum adat, campur tangan itu dilakukan oleh Kepala berbagai
persekutuan hukum, seperti Kepala atau Pengurus Desa.[1]
Tanah sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yangsangat penting sebagai
kebutuhan manusia. Tanah untuk daerah tertentu harganya semakin mahal, maka
semakin sulit untuk mendapatkannya sehingga tanah seolah menjadi barang langka.
Penguasaan dan pengaturan serta penyelenggaraanpenggunaan tanah oleh Negara
diarahkan pemanfaatannya dengan mempertahankan Hak Atas Tanah Ulayat, Tanah
Rakyat dan fungsi sosial untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.[2]
Hasil pengamatan yang saya dapat bahwa
masyarakat adat suku Pamona di Desa Teromu, Kecamatan Mangkutana, Kabupaten
Luwu Timur provensi sulawesi selatan merupakan persekutuan hukum adat
teritorial dan geologis. Keberadaannya masih diakui serta masih mempertahankan
pemerintahan adat dan sangat tergantung pada tanah Hak Ulayat. Namun, pada 29
Juni 2014 terjadi bentrok warga adat Pamona dan polisi, buntut konflik lahan
dengan perusahaan terjadi di Sulawesi Selatan. Yang mana disebabkan karena
sengketa lahan meskipun PT. Sindoka mendapatkan HGU di Luwu Timur sejak 1987,
berakhir 2017, dengan luas 3.500 hektar, di Desa Teromu, tetapi selama ini
lahan dibiarkan terlantar kemudian masyarakat sekitar menggarap HGU Sindoka
sejak 1998 karena tidak ada aktivitas sama sekali.[3]
Untuk menghindari
kejadian seperti terulang lagi maka dalam acara dialog RUU PPHMA AMAN Tana Luwu
adalah untuk membangun kesepahaman bersama berbagai pihak di tingkat lokal,
dalam hal ini wilayah Tana Luwu (Kab. Luwu, Palopo, Luwu Utara dan Luwu Timur).
Dari kegiatan ini diharapkan adanya masukan serta rekomendasi agar dapat
mendorong percepatan pengesahan RUU PPHMA. Abd. Rahman Nur menambahkan
bahwa sejak tahun 2011 s/d 2012, DPR RI
Melalui Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) telah mengajukan Rancangan
Undang – undang Pengakuan dan Perlindungan Hak – Hak Masyarakat Adat (RUU
PPHMA) sebagai salah satu upaya perlindungan dan pengakuan terhadap hak
Masyarakat Adat di Indonesia[4].
Dalam makalah
ini saya akan membahas mengenai tanah adat luwu khususnya mengenai konflik
sengketa lahan yang terjadi di Desa
Teromu, Kecamatan Mangkutana, Kabupaten Luwu Timur provensi sulawesi selatan
yang menyangkut konflik lahan di luwu timur yang melibatkan PT. Sindoka dan warga
adat pamona serta polisi dan masyarakat adat pamona bentrok dan penyelesaian konflik
tersebut akan dibahas lebih lanjut dalam bab selanjutnya.
1.2.
Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimanakah Konflik Lahan Di Luwu Timur,
Yang Melibatkan PT. Sindoka Dan Masyarakat Adat Pamona Dapat Terjadi ?
1.2.2. Mengapa Konflik Di Lahan Luwu Timur, Yang
Melibatkan Polisi Dan Masyarakat Adat
Pamona Mengakibatkan Bentrok ?
1.2.3. Bagaimanakah Penyelesaian Konflik Lahan Di Luwu
Timur, Yang Melibatkan PT. Sindoka Dan masarakat Adat Pamona ?
1.3.
Tujuan Pembahasan
1.3.1 Dapat Mengetahui Bagaimana Konflik Lahan
Luwu Timur, Yang Melibatkan PT. Sindoka Dan masyarakat Adat Pamona Dapat
Terjadi.
1.3.2. Dapat Mengetahui Mengapa Konflik Lahan Luwu
Timur, Yang Melibatkan Polisi Dan masyarakat Adat Pamona Mengakibatkan Bentrok.
1.3.3. Dapat Mengetahui Bagaimana Penyelesaian
Konflik Lahan Luwu Timur, Yang Melibatkan PT. Sindoka Dan masyarakat Adat
Pamona.
1.3. Metode Penulisan
Adapun metode
penulisan yang digunakan yaitu Metode studi pustaka yang dilakukan untuk
menunjang metode wawancara dan observasi yang tidak dilakukan. Diman pengumpulan
informasi yang dibutuhkan dilakukan dengan mencari referensi-referensi yang
berhubungan dengan masalah yang dibahas dari referensi yang dapat diperoleh dari buku-buku atau internet.
1.4.
Manfaat Penulisan
1.4.1 Dapat Memahamii Bagaimana Konflik Lahan Luwu
Timur, Yang Melibatkan PT. Sindoka Dan masyarakat Adat Pamona Dapat Terjadi.
1.4.2. Dapat Memahami Mengapa Konflik Lahan Luwu
Timur, Yang Melibatkan Polisi Dan masyarakat Adat Pamona Mengakibatkan Bentrok.
1.4.3. Dapat Memahami Bagaimana Penyelesaian Konflik
Lahan Luwu Timur, Yang Melibatkan PT. Sindoka Dan masyarakat Adat Pamona.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Hukum Tanah Adat Di Indonesia
A.
Pengertian Hak Ulayat/ Hak Purba
Hak purba adalah hak yang dipunyai
oleh suatu suku (clan/ gens/ stam), sebuah serikat desa-desa (dorpenbond) atau
biasanya oleh sebuah desa saja untuk menguasai seluruh tanah dan seisinya dalam
lingkungan wilayahnya.
Dalam redaksi lain disebutkan bahwa
hak persekutuan atas tanah adalah hak persekutuan (hak masyarakat hukum) dalam
hukum adat terhadap tanah tersebut. Hak Ulayat adalah pengakuan bersama oleh
seluruh anggota masyarakat dan didalamnya juga terkandung hak kepunyaan
perorangan yang berarti orang perorangan boleh mempunyai tanah di lingkungan
hak ulayat tersebut.
Van Vollenhoven menyebutkan lima
ciri hak ulayat adalah sebagai berikut:
a.
Hak individual diliputi juga oleh hak
persekutuan.
b.
Pimpinan persekutuan dapat menentukan
untuk menyatakan dan menggunakan bidang-bidang tanah tertentu ditetapkan untuk
kepentingan umum dan terhadap tanah ini tidak diperkenankan diletakkan hak
perseorangan.
c.
Orang asing yang mau menarik hasil
tanah-tanah ulayat ini haruslah terlebih dulu meminta izin dari kepada
persekutuan dan harus membayar uang pengakuan, setelah panen harus membaar uang
sewa.
d.
Persekutuan bertanggung jawab atas
segala sesuatu yang terjadi di atas lingkungan ulayat.
e.
Larangan mengasingkan tanah yang
termasuk tanah ulayat.[5]
B. Tanah Ulayat
Tanah ulayat merupakan tanah
kepunyaan bersama yang diyakini sebagai karunia suatu kekuatan ghaib atau
peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat
sebagai unsur pendukung utama bagi kebidupan dan penghidupan kelompok tersebut
sepanjang masa.
Apabila dipandang dari sudut bentuk masyarakat
hukum adat, maka lingkungan tanah mungkin dikuasai oleh suatu masyarakat hukum
adat atau beberapa masyarakat. Oleh karena itu biasanyanya lingkungan tanah
adat dibedakan antara :
a.
Lingkungan tanah sendiri.
b.
Lingkungan tanah bersama.[6]
C. Kedudukan
Tanah dalam Hukum Adat
Ada 2 hal yang menyebabkan tanah
itu memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat, yaitu :
a.
Karena sifatnya
Yakni
merupakan satu – satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang
bagaimanapun juga, toh masih bersifat tetap dalam keadaannya bahkan kadang – kadang
malahan menjadi lebih menguntungkan.
Contohnya
: sebidang tanah itu di bakar diatasnya di jatuhkan bom – bom misalnya, tanah
tersebut tidak lenyap setelah api padam ataupun setelah pemboman selesai
sebidang tanah tersebut akan muncul kembali tetap berujud tanah seperti semula.
b.
Karena fakta
Yaitu suatu kenyataan bahwa tanah
itu :
·
Merupakan tempat tinggal persekutuan.
·
Memberikan penghidupan kepada
persekutuan.
·
Merupakan tempat di mana para warga
persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan.
Merupakan pula tempat tinggalkepada
dayang – dayang pelindung persekutuan dan roh para leluhur persekutuan.[7]
D.
Hubungan Hak Ulayat Dengan Hak
Perorangan
Menurut Ter Haar hubungan antara
kepentingan perseorangan dan kepentingan persekutuan adalah timbal balik dan
memiliki kekuatan yang sama. Selanjutnya hak ulayat juga juga berlaku terhadap
orang-orang luar.
Apabila orang-orang di luar hendak
memasuki persekutuan mereka harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari kepala
persekutuan dan sebelum permohonan mereka dikabulkan terlebih dahulu harus
memberi sesuatu kepada persekutuan.[8]
E.
Kedudukan Hak Ulayat Dalam UUPA (UU No.
5 Tahun 1960)
Dalam Undang-undang
Pokok Agraria pasal 5 UU No.5 1960 menyebutkan bahwa: “Hukum Agraria yang
berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan
yang tercantum dalam UU ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala
sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”
Unsur-unsur yang
penting dalam UUPA yang perlu kita perhatikan dan mempunyai kaitan dengan
uraian ini lebih lanjut adalah:
a.
Bahwa tidak ada perbedaan tiap-tiap WNI
baik laki-laki maupun wanita dalam memperoleh kesempatan untuk mendapatkan
sesuatu hak dan manfaat atas tanah. [pasal 9: (2)]
b.
Bahwa UUPA No.5 1960 mengharuskan adanya
pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dalam rangka memberikan
jaminan kepastian hukum atas tanah (pasal 19)
c.
Bahwa UUPA No.5 1960 membenarkan adanya
sistem pemilikan bersama (pasal 17)
d.
Perintah penegasan hak-hak atas tanah
adat yang telah ada sebelum UUPA No.5 1960 diundangkan (pasal-pasal ketentuan
Konversi).
Untuk menerangkan
bagaimana hubungan antara hak ulayat dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)/
UU No. 5 Tahun 1960 kita dapat melihat pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut:
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak
ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat,
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa
serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan
lain yang lebih tinggi.”
Berdasarkan pasal 3 di
atas, hak ulayat atau hak tanah adat diakui keberadaannya, akan tetapi pengakuan
itu diikuti syarat-syarat yang harus dipenuhi diantaranya:
a.
Eksistensinya masih ada
b.
Tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional
c.
Tidak bertentangan dengan aturan-aturan
dalam undang-undang.
Ketentuan ini
berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat itu dalam hukum agraria yang baru
(UUPA). Sebagaimana diketahui biarpun menurut kenyataannya hak ulayat itu ada
dan berlaku serta diperhatikan pula di dalam keputusan-keputusan hakim, belum
pernah hak tersebut diakui secara resmi di dalam undang-undang, dengan akibat
bahwa di dalam melaksanakan peraturan-peraturan agraria hak ulayat itu pada
zaman penjajahan dulu seringkali diabaikan.
Berhubung dengan
disebutnya hak ulayat di dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yang pada
hakikatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat akan
diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada
masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya di dalam pemberian hak atas tanah
(umpamanya hak guna usaha) masyarakat hukum yang bersangkutan sebelumnya akan
didengar pendapatnya dan akan diberi “recognitie”, yang memang ia berhak
menerimanya selaku pemegang hak ulayat itu.
Tetapi sebaliknya
tidaklah dapat dibenarkan, jika berdasarkan hak ulayat itu masyarakat hukum
tersebut menghalang-halangi pemberian hak guna usaha itu, sedangkan pemberian
hak tersebut di daerah itu sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas.
Demikian pula tidaklah dapat dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum
berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya hutan secara
besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar dalam
rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan
penduduk. Pengalaman menunjukkan pula, bahwa pembangunan daerah-daerah itu
sendiri sering kali terhambat karena mendapat kesukaran mengenai hak ulayat,
inilah yang merupakan pangkal pikiran kedua pada ketentuan pasal 3 tersebut di
atas.
Kepentingan suatu
masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan Negara yang lebih
luas dan hak ulayatnya pun pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang
lebih luas itu. Dalam UUPA dan hukum tanah nasional, bahwasanya hak ulayat
tidak dihapus, tetapi juga tidak akan mengaturnya, dalam artian adalah mengatur
hak ulayat dapat berakibat melanggengkan atau melestarikan eksistensinya.
Karena pada dasarnya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah,
yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat
yang bersangkutan (uraian 85 dan 106 E).[9]
F. Hak Persekutuan Atas Tanah
Mengingat akan fakta dimaksud
diatas, maka antara persekutuan dengan tanah yang didudukinya itu terdapat
hubungan yang erat sekali hubungan yang mempunyai sumber serta yang bersifat
religio-magis.
Hak persekutuan atas tanah ini disebut
hak pertuanan atau hak ulayat. Hak ini oleh Van Vollenhoven disebut
“beschikkingsrecht”. Istilah lain dalam bahasa Indonesia merupakan suatu
pengertian yang baru, satu dan lain.
Istilah-istilah daerah yang berarti
lingkungan kekuasaan, wilayah kekuasaan ataupun tanah yang merupakan wilayah
yang dikuasai persekutuan adalah antara lain
“Patuanan”(Ambon),“Panyampeto”(Kalimantan),“Wewengkon”(Jawa),“Prabumian”(Bali),
“Pawatasan” (Kalimantan), “Totabuan” (Balaang Mangondow), “Limpo” (Sulawesi
Selatan), “Nuru” (Buru), “Ulayat” (Minangkabau).
Beschikkingsrecht ataupun hak
ulayat ini berlaku keluar dan kedalam. Hak persekutuan ini pada hakikatnya
membatasi kebebasan usaha atau kebebasan gerak para warga persekutuan sebagai
perseorangan. Pembatasan ini dilakukan demi kepentingan persekutuan. Antara hak
persekutuan ini (hak ulayat) dan hak para warganya masing-masing ada hubungan
timbal-balik yang saling mengisi.
Objek hak ulayat ini adalah :
a.
Tanah (daratan)
b.
Air (perairan seperti misalnya : kali, danau,
pantai beserta perairannya).
c.
Tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar
(pohon buah-buahan, pohon-pohon untuk kayu pertukangan atau kayu bakar dan lain
sebagainya).
d.
Binatang yang hidup liar.
Cara memelihara serta mempertahankan
hak ulayat yaitu:
a. Pertama-tama persekutuan berusaha meletakkan
batas-batas di sekeliling wilayah kekuasaannya itu.
b. Usaha kedua adalah menunjuk pejabat-pejabat
tertentu yang khusus bertugas mengawasi wilayah
kekuasaan persekutuan yang bersangkutan.
Disamping petugas-petugas
yang khusus ini, biasanya diadakan pula patrol-patroli perbatasan disebut
sebagai salah satu cara penegasan wilayah kekuasaan surat-surat pikukuh ataupun
Piagam yang dikeluarkan oleh raja-raja dahulu. Hak ulayat ini dalam bentuk
dasarnya adalah suatu hak daripada persekutuan atas tanah yang didiami.[10]
G. Pengaruh Terhadap Hukum Tanah Adat
Faktor-faktor extern yang
mempengaruhi hukum tanah adat datangnya dari :
a.
Raja-raja
•
Yang merusak
•
Yang memperkuat
b.
Pemerintah kolonial, Gubernemen.
Pada umumnya hak ulayat pada
khususnya ternyata dari tindakannya dalam politik agrarianya yang terpenting
diantaranya adalah :
•
Pajak Bumi (landrent) dari Raffles
•
Cultuurstelsel dari Gubernur-Jenderal Van den Bosch
•
Agrarische Wet, Agrarisch Besluit, Domeinverklaring[11]
2.2. Masyarakat Hukum Adat Di Indonesia
Berdasarkan Undang-undang No. 41
Tahun 1999 Bab IX Pasal 67 Ayat 1 menyebutkan bahwa, masyarakat hukum adat
sepanjang menurut keberadaannya masih ada dan diakui keberadaannya dan
mempunyai hak :
a. Melakukan pemungutan hasil hutan
untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan.
b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan
berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan
Undang-undang.
c. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka
peningkatan kesejahteraannya.
Masyarakat hukum adat diakui
keberadaannya jika menurut kenyataan memenuhi unsur-unsur antara lain :
a. Masyarakat masih dalam bentuk
penguyuban.
b. Ada kelembagaan dalam bentuk
perangkat pengusaha adatnya.
c. Ada wilayah hukum adat yang jelas.
d. Ada pranata dan perangkat hukum,
khususnya peradilan adat yang masih ditaati.
Masyarakat adat juga memiliki
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta kebebasan untuk mengelola serta
memanfaatkan sumber daya alam secara arif.
Kegiatan hutan rakyat dalam
aktifitas tanah dan hutan untuk dijadikan sumber kehidupan berlangsung secara
turun-temurun bahkan eksistensi tradisional masyarakat hukum adat tumbuh dan
tersebar sejak dahulu sebagai pengelola tanah hutan. Tanah ulayat dan hukum
adat yang dilestarikan berlangsung terus menerus secara swakelola di berbagai
wilayah.[12]
2.3.
Sejarah Masyarakat Adat Suku Pamona
Ahli etnografi Belanda klasik seperti Kruyt
dan ahli bahasa Adriani menyebut orang Pamona sebagai orang Toraja Poso-Tojo
atau Toraja Bare'e, dan menggolongkannya sebagai orang Toraja Timur. Nama
Pamona dipakai oleh para peneliti asal Sulawesi Tengah sejak tahun 1970-an
sebagai pengganti sebutan Toraja Poso atau Toraja Bare'e. Suku bangsa ini
mendiami Kabupaten Poso di Provinsi Sulawesi Tengah, yaitu di Kecamatan Poso
Kota Poso Pesisir, Una-Una, Walea, Lage, Pamona Utara, Pamona Selatan, Ampana
Kota, Ampana Barone, Ulubongka, dan Tojo. Jumlah populasinya sekitar 125.000
jiwa.
A.
Sejarah Suku Pamona
Kennedy (1935) membagi orang Pamona
(Toraja Timur) ke dalam empat kelompok. Kelompok pertama berdiam di sekitar
Teluk Tomini dan leher jazirah Timur Sulawesi Tengah, terdiri dari beberapa
sub-suku bangsa seperti Orang Lalaeo, Ra'u, Poso, dan Wana.
Kelompok kedua berdiam di sekitar
Danau Poso yaitu sub-suku bangsa Pebato, Lage, Kadambuku, Unda'e, Payapi,
Lamusa, Longken, Buyu, Pu'umboto, Wotu dan Bancea. Kelompok ketiga mendiami
bagian lembah Sungai La'a sebelah hulu dan bagian timur Danau Poso, yaitu
sub-suku bangsa Palende, Kalae, Tanandoa, Pada, Pakambia, dan Pu'umnana.
Kelompok keempat adalah mereka yang mendiami bagian hulu Sungai Kalaena dan
bagian selatan Danau Poso, yaitu sub-suku bangsa Lampu, Tawi, Laiwono dan
Lembo.
B. Bahasa
Suku Pamona
Ahli etnolinguistik seperti Adriani
mengelompokkan orang Pamona ke dalam kelompok berbahasa bare'e (ingkar, tidak
atau tak). Kemudian bahasa mereka lebih dikenal sebagai bahasa Pamona.
C.
Mata Pencaharian Suku Pamona
Mata pencaharian utama
masyarakat ini adalah pertanian di ladang tebang bakar dan berpindah, walaupun
sebagian sudah ada pula yang bercocok tanam menetap di sawah dan kebun. Tanaman
utamanya adalah padi, disamping jagung, sayur-mayur dan palawija. Pada masa
sekarang mereka semakin tertarik kepada pertanian menetap, terutama sejak
diperkenalkannya tanaman komoditi seperti cengkeh dan kopi. Sebagian anggota
masyarakatnya masih memiliki mata pencaharian sebagai peramu hasil hutan dan
berburu binatang liar.
D. Kekerabatan
Suku Pamona
Prinsip hubungan kekerabatan orang
Pamona pada dasarnya bilateral. Pasangan keluarga baru biasanya tinggal di
lingkungan rumah pihak isteri, sampai mereka mempunyai anak pertama dan sudah
merasa sanggup untuk berdiri sendiri.
E.
Agama Dan Kepercayaan Suku Pamona
Pada masa sekarang orang Pamona
sudah memeluk agama Islam atau Kristen. Sistem kepercayaan asli mereka bersifat
animisme dan mempercayai adanya dewa-dewa (pue) yang mempengaruhi alam dan
kehidupan. Tokoh dewa yang paling mereka segani adalah Pue N'Palaburu, yaitu
dewa pencipta alam yang berdiam di tempat matahari terbit dan terbenam, karena
itu juga dikenal sebagai Dewa Matahari. Tokoh dewa yang sering dimintai
pertolongan dalam pengobatan penyakit karena gangguan roh jahat adalah Pue Ni
Songi.
Dewa yang sering pula dihubungi
untuk berbagai upacara keagamaan adalah Wurake. Selain dewa-dewa, kekuatan
adikodrati lain mereka anggap berasal dari roh-roh nenek moyang. Kekuatan
makhluk gaib itu hanya bisa dihubungi dengan perantaraan para syaman. Roh para
leluhur perlu diberi sesajian dalam setiap tahap proses perputaran lingkaran
hidup, serta untuk meminta perlindungan agar jangan diganggu oleh makhluk
jadi-jadian yang disebut tau mepongko.[13]
2.4.
Hak Guna Usaha (HGU)
A. Pengertian
Hak Guna Usaha
Hak guna usaha
adalah Tanah negara yang telah diberikan hak untuk diusahakan oleh individu
maupun badan usaha. Ukuran luas tanah telah ditetapkan oleh menteri yang luas
minimumnya 5 Hektar (individu) dan maksimum 25 Hektar (badan usaha) yang
meliputi bdang pertanian, perikanan, perkebunan, dll. Hak guna usaha hanyalah
pada sebidang tanah dan tidak berhubungan dengan bangunan rumah. Hak guna usaha diberikan jangka
waktu maksimal 35 tahun dan dapat diperpanjang maksimal 25 tahun. Pengajuannya
selambat-lambatnya 2 tahun sebelum berakhir.
Proses
terjadinya atau diadakannya HGU adalah berdasarkan permintaan pemohon kepada
BPN yang nantinya, dikelarkan SKPH. Kepala kantor provinsi berwenang
menerbitkan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 200 hektar. Jika lebih,
maka yang berwenang menerbitkan SKPH nya adalah kepala BPN.
Selain
kita membahas mengenai pengertian Hak guna usaha, kitapun harus tau Kewajiban
pemegang HGU, adalah sebagai berikut :
a.
Membayar
uang pada negara
b.
Melaksanakan
usaha perikanan, pertanian, ataupun perkebunan, sesuai peruntukan dan
ersyaratan yang ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya
c.
mengusahakan
sendiri tanah HGU dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha bedasarkan kriteri
yang telah ditetapkan oleh instansi teknis
d.
Memelihra
sumber daya alam, kesuburan tanah, dan kelestarian lingkungan hidup
e.
Setiap
akhir tahun harus membuat laporan tertulis seputar penggunaan HGU nya
f.
menyerahkan
kembali taah yang diberikan dengan HGU pada negara sesudah HGU nya habis
g.
Menyerahkan
sertifikat HGU yang telah habis kepada kepala kantor pertahanan
B.
Prosedur
Hak Tanggungan Atas Pembebanan HGU
Adapun prosedur hak tanggungan atas
pembebanan hgu , diantaranya
a. Adanya perjanjian utang piutang yang
dibuat dengan akta notariil atau akta dibawah tangan sebagai perjanjian
pokoknya
b. Adanya penyerahan HGU sebagai
jaminan utang yang dibuktikan dengan akta pemberian hak tanggungan yang dibuat
leh PPAT sebagai perjanjian ikutan
c. Adanya pendaftaran akta pemberian
hak tanggungan kepada kantor pertahanan kabupaten/kota setempat untuk dicatat
dalam buku tanah dan diterbitkan sertifikat hak tanggungan
C.
Peralihan
Hak Guna Usaha
HGU dapat
beralih dan dialihkan kepada pihak lain. HGU dapat beralih dengan cara
pewarisan, yang harus dibuktikandengan adanya surat wasiat atau surat
keterangan sebagai ahli waris yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, bukti
identitas para ahli waris dan sertifikasi HGU yang bersangkutan.
Bahasan
lainnya sesudah teori pengertian hak guna usaha, kita juga wajib memahami bentuk
peralihan lain dari hak tersebut adalah jual beli, tukar menukar, hibah, dan
penyertaan dalam modal perusahaanyang harus dibuktikan dengan akta PPAT khusus
yang ditunjuk oleh kepala BPN, sedangkan lelang harus dibuktikan dengan berita
acara lelang yang dibuat oleh pejabat kantor lelang.
D.
HGU
Hapus dikarenakan :
a.
Tenor
waktu berakhir
b.
Dihentikan
sebelum waktunya berakhir karena syarat tidak terpenuhi
c.
Dilepaskan
oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir
d.
Dicabut
untuk kepentingan umum
e.
Diterlantarkan
f.
Tanahnya
musnah
g.
Ketentuan
dalam pasal 30 ayat 2[14]
3.5. Ringkasan Isi Putusan MK No.
35/PUU-X/2012
Pada 16
Mei 2013, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No 35/PUU/X/2012. Putusan ini
terkait Judicial Review yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nasional
(AMAN) dan perwakilan Masyarakat Hukum Adat di Riau dan Jawa Barat.
Putusan
tersebut memberi ruang dan mengembalikan hak masyarakat hukum adat atas tanah
adat. Substansi Putusan, Hutan Adat berdiri sendiri, sebelumnya hutan adat
bagian dari hutan negara. Pasca putusan MK, status hutan adat terbagi tiga:
Hutan Negara, Hutan adat dan hutan hak.[15]
Pasal yang diuji yaitu: Pasal 1 angka 6, Pasal 4
ayat (3), Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), Pasal 67 ayat (1),
ayat (2), ayat (3)
A.
Amar Putusan:
Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk
sebagian;
a. Kata
“negara” dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Kata
“Negara” dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, sehingga Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan dimaksud menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah
masyarakat hukum adat”;
c. Pasal
4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3888) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “penguasaan hutan oleh Negara
tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang‖;
d. Pasal
4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3888) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai “penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum
adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang‖;
e. Pasal
5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3888) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Hutan negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat”;
f. Pasal
5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3888) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak
termasuk hutan adat”;
g. Penjelasan
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3888) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
h. Penjelasan
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3888) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
i. Pasal
5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3888) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
j. Pasal
5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3888) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
k. Frasa
“dan ayat (2)” dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41Tahun 1999 tentang
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3888) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
l. Frasa
“dan ayat (2)” dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, sehingga Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan dimaksud menjadi “Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut
kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui
keberadaannya”;
B. Interpretasi
Terhadap Putusan:
a. Pasal
1 huruf f: Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat
hukum adat, berubah menjadi "Hutan adat adalah hutan yang berada dalam
wilayah masyarakat hukum adat"
b. Pasal
4 ayat (3): Penguasaan hutan oleh Negara
tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada
dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional,
berubah menjadi " penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak
masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
undang-undang"
c. Pasal
5 Ayat (1): Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: a. hutan negara, dan b.
hutan hak, berubah menjadi " Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari:
a.Hutan Negara, b. Hutan Hak, c. Hutan Adat. Pasal 5 Ayat (2): Hutan negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat, dihapus. Pasal
5 Ayat (3): Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya
masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya,
dirubah menjadi "Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ; dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat
hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya" (4)
Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada
lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah, Tidak ada
perubahan.
Pasal 67 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Tidak ada
perubahan. Sehingga UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi:
a. Pasal
1 huruf f: Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum
adat
b. Pasal
4 ayat (3): penguasaan hutan oleh negara
tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam undang-undang"
c. Pasal
5 Ayat (1): Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: a.Hutan Negara, b. Hutan
Hak, c. Hutan Adat.
d. Pasal
5 Ayat (2): Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ; dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum
adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya"[16]
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1.
Konflik Lahan Di Luwu Timur Antara PT. Sindoka Dan Suku Pamona
Sengketa lahan antar PT. Sinar Indonesia Merdeka (Sindoka)
dengan masyarakat petani di Dusun Keroncia, Desa Turumo, Kecamatan Mangkutana,
hingga kini masih terus memanas. Sejumlah pihak menilai, kondisi ini ini rawan
konflik jikatidak di carikan solusinya. Hal ini bermula karena masyarakat
menolak sikap PT. Sindoka yang memagari areal lahan mereka dengan alasan HGU
yang mereka kantongi. Pasalnya, dalam areal itu terdapat perkebunan produktif
milik warga yang siap panen, namun tidak dapat diakses akibat adanaya pemagaran
yang dilakukan PT. Sindoka.
PT. Sinar Indonesia Merdeka (sindoka) merupakan
perusaan dibawah Sintesa Grup. Dalam pilot project PT. Sindoka, disebut jika
perusahaan ini bergerak dalam bidang penyiapan bahan baku bio-etanol. PT. Sindoka
memperoleh hak guna usaha selama 30 tahun dari pemerintah seluas 3.500 hektar,
di desa teromu, kecamatan mangkutana, kabupaten luwu timur, pada tahun 1987.
HGU PT. Sindoka akan berakhir pada tahun 2017. PT. Sindoka yang didirikan pada
1979 berada di desa teromu, kecamatan mangkutana, kabupaten luwu timur,
sulawesi selatan.
Pada tahun 1987 pemerintah menerbitkan sertifikat
hak guna usaha No. 1 Tahun 1987 atas pengolahaan lahan PT. Sindoka seluas 3.500
hektar yang digunakan dalam melaksanakan produksinya. Meski sempat tidak sempat
mengelolah lahan mereka, namun PT. Sindoka mengklaim jika lahan yang mereka
kuasai itu masih berlaku hingga tahun 2017 mendatang dan sementara juga
menguruskan perpanjangan sertifikat HGU. Warga yang menguasai lahan di areal kawasan
PT. Sindoka mulai menggarap lahan tersebut sejak tahun 1998. Saat itu, lahan
yang ada telah diterlantarkan oleh PT. Sindoka
dan memanfaatkan lahan itu untuk keperluan perkebunan masyarakat. Saat
ini, jumlah warga yang menguasai lahan di areal PT. Sindoka mencapai 300 orang.
Namun, warga kecewa, ketika tanaman perkebunan mereka sudah mulai memasuki masa
produktif, PT. Sindoka justry melakukan pemagaran sehingga warga kesulitan unuk
memasuki areal tersebut. Polemik antara PT. Sindoka dengan warga yang menguasai
lahan mulai lahan mulai nampak. Apalagi PT. Sindoka sudh mulai ingin menggarap
lahan yang masuk dalam HGU.[17]
3.2.
Bentrokan Antara Polisi Dan Masyarakat Adat Pamona
Bentrok warga adat Pamona dan
polisi, buntut konflik lahan dengan perusahaan terjadi di Sulawesi Selatan.
Tepatnya di Desa Teromu, Kecamatan Mangkutana, Kabupaten Luwu Timur. Sekitar 57
warga luka-luka dan ditahan Polres Luwu Timur. Bata Manurung, ketua BPH Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tana Luwu, mengatakan, bentrokan pada 29 Juni
2014, namun terkesan ditutup-tutupi dan baru mengetahui dari warga pada 17 Juli
serta langsung mencari informasi sehingga mengetahui bahwa 57 orang diamankan dan
masih 20 orang yang ditahan polisi serta hampir seluruh warga mengalami
kekerasan bahkan luka lebam di wajah.
Bentrok warga dengan kepolisian ini
buntut konflik warga dengan PT Sinar Indonesia Merdeka (Sindoka), anak
perusahaan Sintesa Grup yang menyiapkan bahan baku bio-etanol. Sindoka
mendapatkan HGU di Luwu Timur sejak 1987, yang berakhir 2017 dengan luas 3.500
hektar, di Desa Teromu. Namun meski masa HGU berakhir 2017, selama ini lahan
dibiarkan terlantar sehingga masyarakat sekitar menggarap HGU Sindoka sejak 1998
karena menilai Sindoka sudah menelantarkan lahan sejak HGU 1987 dan tidak ada
aktivitas sama sekali dan saat ini masyarakat menggarab lahan sekitar 300
orang. Beberapa warga pasca bentrok kemudian digiring ke kantor polisi dan
dikumpulkan dengan tangan diborgol. Sebagian mereka luka-luka dan lebam lalu
mereka diamankan ke kantor polisi
Setelah sekian tahun dikelola
warga, Sindoka berusaha mengambil alih dengan memagari area yang kini menjadi
perkebunan masyarakat itu. Akses warga memanen hasil kebun ditutup. Hal inilah
yang memicu amarah warga kemudian membakar pos keamanan perusahaan di sekitar
kawasan. Buntutnya, kekerasan polisi terhadap warga.
Menurut Asmar Exwar, direktur Walhi
Sulsel, menyesalkan, kekerasan aparat ini karena selama ini, Sindoka bermasalah
dengan mengambil habis kayu di sana dan merupakan perusahaan kayu yang membabat
habis hutan dengan dalih bio-etanol. Waraga masyarakat di daerah ersebut
merupakan suku Pamona yang terbagi dalam 12 anak suku adalah komunitas adat,
secara administratif di dua provinsi, yaitu Sulawesi Tengah (Poso, Tojo
Una-Una, dan sebagian Morowali). Sebagian kecil di Luwu Timur, Sulsel.
Diyakini nenek moyang Pamona dari dataran Salu
Moge (Luwu Timur). Karena berada di gunung yang jauh dari pusat pemerintahan
hingga lewat Macoa Bawalipu, mereka turun mendekati pusat pemerintahan di sekitar
Mangkutana (Luwu Timur).[18]
3.3.
Dampak Konflik PT. Sindoka Dengan Masyarakat Adat Suku Pamona
Melihat konflik yang terjadi di Desa Koroncia
Kecamatan Mangkutana beberapa waktu lalu terkait sengketa lahan dengan PT.
Sinar Indonesia Merdeka (PT. Sindoka) mendatangkan
dampak yang buruk terutama bagi masyarakt di daerah tersebut, terutama
masyarakat yang mengelolah lahan yang menjadi sengketa.
Dari apa yang yang saya baca diberbagai sumber
konflik tersebut membuat penghasilan warga menjadi berkurang dan konflik ini
terjadi saat warga telah siap untuk memanen hasil ertanian dan perkebunan
mereka karena akses jalan untuk mengkut hasil panen telah di tutup oleh PT.
Sindoka.
Hal inilah juga mengakibatkan ketegangan di daerah
tersebut terutama setelah bentrok yang melibatkan masyarakat dan polisi yang
menyebabkan kekerasan polisi terhadap masyarakat yang menimbulkan luka-luka di
kalangan masyarakat, yang seharusna polisi yang melindungi masyarakat bukan
sebaliknya.
Sehingga permasalahan ini dapat diatasi dengan cara
damai tetapi karena hal tersebut dapat membuat masyarakat berfikir negatif
kepada pemerintah untuk itu pemerintah selaaknya mencari solusi ang tepat untuk
menyelesaikan konflik tersebut. Sebab jika di lihat dari permasalahan ini
terjadi karena hak guna usaha yang di keluarkan oleh pemerintah sendiri.
Bukankah seharusnya jika PT. Sindoka sudah
mengantongi HGU maka seharusna mereka mengolah lahan tersebut bukan malah
membiarkannya terlantar begitu saja sehingga membuat masyarakat di daerah
tersebut mengolahnya dan pemerintah jika memang membenarkan apa yang dilakukan
PT. Sindoka maka karena mereka mengantongi HGU seharusnya msyarakat
mengelolahnya dan sebagian masyarakat yang mengelolah lahan tersebut sudah
mengantongi sertifikat.
Dimana salah satu dihapusnya hak guna usaha ialah
jika lahan tersebut ditelantarkan dan bukankah masyarakat skita mengolah lahan
tersebut karena terlebih dahulu pemerintah PT. Sindo sendiri yang membiarkan
lahan tersebut sehingga masyarakat mengolahnya untuk itu pemerintah seharusnya
segera menyelesaikan konflik tersebut sehingga pandangan masyarakt kepada
pemerintah tidak negatif dan menggap peraturan yang telah dibuat oleh
pemerintah tidak diterapkan dengan semestinya.
3.4.
Penyelesaian Konflik PT. Sindo Dengan Masyarakat Adat Suku Pamona
Menanggapi aspirasi
warga Desa Koroncia Kecamatan Mangkutana beberapa waktu lalu terkait sengketa
lahan dengan dengan PT Sinar Indonesia Merdeka (PT. Sindoka) Pemerintah Kabupaten Luwu Timur melalui
Asisten Pemerintahan Setdakab Luwu Timur langsung menggelar mediasi dengan
melibatkan perwakilan warga dan pihak PT. Sindoka.
H. Syahidin Halun
didampingi Camat Mangkutana Satri, Kasat Pol PP Indra Fawzy dan Kakan Kesbang
Nurlang saat meninjau lokasi tersebut, mengakui sengketa lahan bisa berujung
konflik jika tidak segera diselesaikan, makanya pemerintah daerah segera
melibatkan instansi terkait untuk segera memediasi kedua belah pihak agar
sengketa lahan diwilayah ini tidak berkepanjangan.
Syahidin menjelaskan,
pemkab menilai permintaan warga tentang permintaan warga untuk segera membuka
akses jalan yang ditutup pihak PT. Sindoka sangat normatif, namun bukan berarti
segala tuntutan mereka harus dikabulkan, menurut Syahidin penyelesaian masalah
ini tetap harus berdiri diatas aturan dan perundangan serta hukum yang berlaku,
karena pihak PT. Sindoka dengan jelas menyebut lahan yang disengketakan
memiliki izin Hak Guna Usaha (HGU) hingga 2017. Dalam kunjungan tersebut, H.
Syahidin menjelaskan bahwa sengketa lahan warga dengan perusahaan merupakan
persoalan pemerintah dan dalam waktu dekat akan segera diselesaikan.
Menurut H. Syahidin, penyelesaian
sengketa lahan ini harus disikapi dengan bijak agar keputusan yang diambil
dapat menguntungkan kedua belah pihak yang bersengketa olehnya itu setelah
peninjauan ini sesegera mungkin kami melaporkan ke pimpinan untuk membentuk tim
dengan melibatkan pihak terkait, untuk itu saya
berharap kepada warga untuk tidak terprovokasi.
Syahidin juga
menegaskan, Pemerintah akan tetap memperjuangkan apa yang menjadi hak
masyarakat, karena boleh saja perusahaan beroperasi namun hak masyarakat jangan
diabaikan. Salah seorang warga Ambo Unga (45) meminta supaya pihak perusahaan
segera membuka akses jalan, Untuk itu kami sangat berharap kepada Pemkab mau
memfasilitasi permasalahan warga tersebut, sebagaimana mereka ketahui bahwa
lahan yang dipagari kawat berduri menurutnya sudah jelas tidak menunjukkan lagi
itikad baik, apalagi sebelumnya penutupan akses ini belum pernah
disosialisaikan.
Sementara menurut
Direktur PT. Sindoka Hary mengatakan pihaknya sebenarnya sudah berulang kali
memberikan penjelasan kepada warga terkait masalah ini, namun tidak mendapat tanggapan
warga, sehingga kami menutup akses jalan tersebut. Untuk diketahui masalah
sengketa lahan seluas kurang lebih 3600 Hektar berawal saat PT.Sindoka
meninggalkan lahan sejak tahun 1998, lahan yang ditinggalkan tersebut
dimanfaatkan oleh warga sekitar.[19]
Untuk menghindari hal ini dapat terjadi lagi maka
dalam dialog para pihak kembali digelar oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN) Wilayah Tana Luwu, Kegiatan yang dilaksanakan pada hari kamis
(22/08/2013) bertempat di Hotel Agro Wisata Kota Palopo. Dialog ini dihadiri
oleh perwakilan Komunitas Masyarakat Adat, Organisasi Kemahasiswaan, NGO,
Kapolres Kota Palopo, Badan Pertanahan, Dinas Kehutanan. Hadir sebagai
narasumber Dr.H.Suedi,S.Pd.,M.Si (Rektor Universitas Cokroaminoto) Ir. Abdullah
(mewakili Walikota Palopo), Andi Maradang Mackulau, Opu Bau’ (Datu Luwu ke-40)
dan Koordinator Biro Advokasi AMAN Tana Luwu Abd. Rahman Nur.
Dalam dialog tersebut Datu Luwu Andi Maradang
Mackulau dalam sambutannya mengatakan; “Lahirnya RUU PPHMA merupakan sebuah langkah
maju, karena masyarakat adatlah pemilik asli dari negara yang sekarang bernama
Indonesia. Menurut pemahaman saya Kedatuan dan Masyarakat Adat di Tana Luwu
adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan, tidak mungkin ada Kedatuan Luwu
kalau tidak ada masyarakat adatnya, hubungan sinergis antara masyarakat adat
dengan Kedatuan Luwu bersama Rajanya To Manurun telah terjalin baik sejak awal
berdirinya Kedatuan Luwu dan menegaskan bahwa Kedatuan Luwu akan selalu ada
bersama-sama AMAN, khususnya AMAN Tana Luwu, mengawal percepatan pengesahan RUU
PPHMA menjadi undang – undang”.
Abdul Rahman Nur pembicara mewakili AMAN Tana Luwu
mengatakan, bahwa dialog ini untuk membangun kesepahaman bersama berbagai pihak
di tingkat lokal, dalam hal ini wilayah Tana Luwu (Kab. Luwu, Palopo, Luwu
Utara dan Luwu Timur). Dari kegiatan ini diharapkan adanya masukan serta
rekomendasi agar dapat mendorong percepatan pengesahan RUU PPHMA. Abd. Rahman
Nur menambahkan bahwa sejak tahun 2011
s/d 2012, DPR RI Melalui Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) telah mengajukan
Rancangan Undang – undang Pengakuan dan Perlindungan Hak – Hak Masyarakat Adat
(RUU PPHMA) sebagai salah satu upaya perlindungan dan pengakuan terhadap hak
Masyarakat Adat di Indonesia. Pada pertengahan bulan Mei 2013 kemarin, Presiden
RI telah mengeluarkan sebuah amanat guna mempercepat pengesahan RUU PPHMA
menjadi UU PPHMA sebagai satu pedoman atau regulasi yang mengatur eksistensi
Masyarakat Adat di Indonseia untuk membentuk kerjasama 4 Kementrian (1) ESDM,
(2) Kehutanan, (3) Menhukum dan Ham, (4) Mendagri.
Hal senada disampaikan Rektor Universitas
Cokroaminoto Palopo Dr. Suedi, bahwa permasalahan yang selama ini dihadapi oleh
masyarakat adat adalah sengketa lahan wilayah adat mereka dengan pemerintah dan
perusahaan. Menurutnya permasalahan tersebut muncul sejak tahun 1975, dimana
semua struktur adat dihilangkan setelah
masuknya Sistem Pemerintahan Desa. Oleh karenanya semua struktur perangkat adat
hilang berikut tatanan budaya, dampak paling besarnya adalah kerusakan
lingkungan.
Tapi dengan adanya respon positif dari pemerintah
Indonesia, DPR RI juga AMAN yang
telah menginisiasi lahirnya RUU PPHMA merupakan terobosan yang luar biasa
bagi perkembangan Politik Hukum di Indonesia, dimana masyarakat adat
ditempatkan bukan lagi menjadi objek pembangunan akan tetapi menjadi subjek
atau pelaku pembangunan. Namun
menurutnya apapun bentuk undang-undang ini ketika disahkan pusat, itu
tidak akan berpengaruh apa-apa jika masyarakat adat tidak punya aksi
sendiri. Masyarakat adat harus memperlihatkan kepada dunia bahwa
masyarakat adat kita ini kuat dan bersatu.[20]
Begitupun dalam diskusi yang dilaksanakan oleh Deputi
II Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyelenggarakan Focus Group
Discussion (FGD) mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012 bersama
perwakilan beberapa Kementrian RI diantaranya Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, Kementrian Dalam Negeri dan
serta Peneliti Epistema Institute, Yance Arizona yang bertujuan untuk menggali informasi
mengenai implementasi pelaksanaan Putusan MK No.35/PUU-X/2012 dari berbagai
pihak.
Sebagaimana diketahui bahwa Putusan MK No.35 tahun
2012 (16/5/2013) lalu, tentang Hutan Adat menjadi keputusan penting dalam
mengubah kebijakan negara terhadap masyarakat adat dan haknya atas wilayah adat
di Indonesia. Putusan MK tersebut menegaskan hak masyarakat adat atas wilayah
adatnya, yaitu hutan adat. Namun dalam kurun waktu 2 tahun pasca putusan MK 35,
para akademisi dan pakar hukum berpandangan lain mereka menganggap pemerintah dalam melaksanakan
putusan tersebut masih setengah hati, meskipun pemerintah telah mengeluarkan
berbagai kebijakan dan ketentuan perundangan-undangan. Diantaranya UU Desa,
Permendagri 52 tahun 2014, Perber 4 Kementerian dan Lembaga Pemerintah tentang
tata cara penguasaan tanah di dalam wilayah hutan adat.
Dalam diskusi
tersebut Sekretaris Jendral AMAN, Abdon Nababan mengatakan bahwa selama 2 tahun
lahirnya MK 35, AMAN berserta masyarakat adat sudah melakukan beberapa hal,
diantaranya adalah Masyarakat adat dan para pendirinya membuat dan mencanangkan
tanda tangan di lapangan yang mengindentifikasikan keberadaan hutan adat, namun
hingga kini pihak pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Kementrian Agraria dan
Tata Ruang/ BPN tidak pernah hadir untuk menandakan hutan adat tersebut. Selain
itu, masyarakat adat selama 2 tahun telah melakukan rehabilitasi dengan menanam
35 juta pohon di lahan hutan adat yang sempat rusak di berbagai wilayah adat.
Menanggapi hal tersebut, Perwakilan dari Kementrian
Agraria dan Tata Ruang/ BPN Bapak Gunawan mengakui bahwa kementriannya belum
melaksanakan pendaftaran tanah adat dalam kawasan hutan. Saat ini Kementrian
Agraria dan Tata Ruang/ BPN baru melakukan sosialisasi dan ke depannya akan
dibentuk tim khusus yang akan terjun ke berbagai daerah untuk melakukan
pengukuran untuk peta pendaftaran tanah adat.[21]
BAB
IV
PENUTUP
4.1.
Kesimpulan
Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia.
Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulisyang tumbuh dan
berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena
peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat
memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Selain itu dikenal pula
masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum
adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuanhukum karena kesamaan tempat
tinggal ataupun atas dasar keturunan. Tanah ulayat adalah bidang tanah yang di
atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.
Hak ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum
adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan
lingkungan warganya, dimana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk
mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut
bagi kelangsungan hidupnya. Masyarakat dan sumberdaya yang dimaksud memiliki
hubungan secara lahiriah dan batiniah turuntemurun dan tidak terputus antara
masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
Pengelolaan dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian
pekerjaan atau usaha yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk melakukan
serangkaian kerja dalam mencapai tujuan tertentu.[22]
Sedangkan
hak guna usaha adalah Tanah negara yang telah diberikan hak untuk diusahakan
oleh individu maupun badan usaha.
Salah satu konflik mengenai tanah adat terjadi di masyarakat
petani di Dusun Keroncia, Desa Turumo, Kecamatan Mangkutana, hingga kini masih
terus memanas. Hal ini bermula karena masyarakat menolak sikap PT. Sindoka yang
memagari areal lahan mereka dengan alasan HGU yang mereka kantongi. Pasalnya,
dalam areal itu terdapat perkebunan produktif milik warga yang siap panen,
namun tidak dapat diakses akibat adanaya pemagaran yang dilakukan PT. Sindoka.
Pada tahun 1987 pemerintah menerbitkan sertifikat
hak guna usaha No. 1 Tahun 1987 atas pengolahaan lahan PT. Sindoka seluas 3.500
hektar yang digunakan dalam melaksanakan produksinya. Meski sempat tidak sempat
mengelolah lahan mereka, namun PT. Sindoka mengklaim jika lahan yang mereka
kuasai itu masih berlaku hingga tahun 2017 mendatang dan sementara juga
menguruskan perpanjangan sertifikat HGU.
Warga yang menguasai lahan di areal kawasan PT.
Sindoka mulai menggarap lahan tersebut sejak tahun 1998. Saat itu, lahan yang
ada telah diterlantarkan oleh PT. Sindoka
dan memanfaatkan lahan itu untuk keperluan perkebunan masyarakat. Saat
ini, jumlah warga yang menguasai lahan di areal PT. Sindoka mencapai 300 orang.
Namun, warga kecewa, ketika tanaman perkebunan
mereka sudah mulai memasuki masa produktif, PT. Sindoka justry melakukan
pemagaran sehingga warga kesulitan unuk memasuki areal tersebut. Polemik antara
PT. Sindoka dengan warga yang menguasai lahan mulai lahan mulai nampak. Apalagi
PT. Sindoka suduh mulai ingin menggarap lahan yang masuk dalam HGU. Hal
tersebut juga mengakibatkan bentrok antara warga dengan polisi yang
mengakibatkan kekerasan polisi terhadap masyarakat dan beberapa pihak
mennyesalkan hal tersebut sebab menganggap PT. Sindoka merupakan perusahan kayu
yang membabat hutan dengan dalih bio-etanol.
4.1.
Saran
Masih banyak konflik yang terjadi menyangkut masalah
tanah adat di indonesia dan terkesang pemerintah selalu memihak pehak yang
berkepentingan, sehingga membuat
msyarakat adat menjadi dirugikan dalam hal ini.
Untuk itu
pemerintah seharusnya tidak hanya sekedar membuat peraturan tetapi tidak ada
implementasi nyata, sehingga konflik seperti inisering terjadi dan sering menimbulkan bentrok yang mengakibatkan
timbulnya kekerasan, apalagi yang melakukannya adalah aparat pemerintah itu
sendiri.
[1] Di
aksess dari http://wardahcheche.blogspot.com/2014/04/hukum-tanah-adat.html
[2] Diakses
dari http://www.slideshare.net/YogieVianto/sengketa-jual-beli-tanah-adat
[3] Diakses
dari
http://www.mongabay.co.id/2014/07/22/konflik-lahan-luwu-timur-polisi-dan-warga-adat-pamona-bentrok/
[4] Diakses
dari http://www.aman.or.id/2013/08/27/dialog-ruu-pphma-aman-tana-luwu/
[5] Diakses
dari
http://manusiapinggiran.blogspot.com/2013/01/mengenal-hukum-tanah-dalam-adat.html
[6] Diakses
dari
http://manusiapinggiran.blogspot.com/2013/01/mengenal-hukum-tanah-dalam-adat.html
[7] Diakses
dari https://setiawatiiriani.wordpress.com/2012/11/30/kedudukan-tanah-dalam-hukum-adat/
[8] Dikutip
dari
http://manusiapinggiran.blogspot.com/2013/01/mengenal-hukum-tanah-dalam-adat.html
[9] Dikutip
dari
http://manusiapinggiran.blogspot.com/2013/01/mengenal-hukum-tanah-dalam-adat.html
[10] Diakses
dari
http://manusiapinggiran.blogspot.com/2013/01/mengenal-hukum-tanah-dalam-adat.html
[11] Diakses
dari
http://manusiapinggiran.blogspot.com/2013/01/mengenal-hukum-tanah-dalam-adat.html
[12]Diakses
dari http://pengertian-definisi.blogspot.com/2011/03/masyarakat-hukum-adat.html
[13]
Diakses dari http://suku-dunia.blogspot.com/2014/11/sejarah-suku-pamona-di-sulawesi.html
[14]
Diakses dari http://dokumenrumahtanah.blogdetik.com/pengertian-hak-guna-usaha-lengkap/
[15]
Diakses dari https://cathuk.wordpress.com/2013/05/29/ringkasan-putusan-mahkamah-konstitusi-nomor-35puu-x2012/
[16]
Diakses dari https://www.facebook.com/notes/raflis/putusan-mahkamah-konstitusi-nomor-35puu-x2012/1
[17]
Dikutip dari http://luwuraya.com/assetcuk/uploads/2014/06/sindokavswarga.swf
[18] Diakses
dari http://www.mongabay.co.id/2014/07/22/konflik-lahan-luwu-timur-polisi-dan-warga-adat-pamona-bentrok/
[19]
Diakses dari http://www.luwutimurkab.go.id/lutim/index.php?option=com_content&view=article&id=3222:hindari-konflik-pemkab-mediasi-sengketa-lahan&catid=1:berita-terbaru
[20]
Diakses dari http://www.aman.or.id/2015/04/24/pemerintah-setengah-hati-implementasikan-putusan-mk-no-35puu-x2012/
[21]
Diakses dari http://www.aman.or.id/2015/04/24/pemerintah-setengah-hati-implementasikan-putusan-mk-no-35puu-x2012/
[22]
Diakses dari http://www.slideshare.net/YogieVianto/sengketa-jual-beli-tanah-adat
DAFTAR
PUSTAKA
·
http://www.aman.or.id/2015/04/24/pemerintah-setengah-hati-implementasikan-putusan-mk-no-35puu-x2012/ diakses
pada hari kamis pada tanggal 01 april 2015 pukul 10.12 WITA.
·
http://suku-dunia.blogspot.com/2014/11/sejarah-suku-pamona-di-sulawesi.html diakses pada hari kamis pada tanggal 01
april 2015 pukul 13.02 WITA.
·
http://www.mongabay.co.id/2014/07/22/konflik-lahan-luwu-timur-polisi-dan-warga-adat-pamona-bentrok/ diakses
pada hari kamis pada tanggal 28 april 2015 pukul 13.42 WITA.
·
http://wardahcheche.blogspot.com/2014/04/hukum-tanah-adat.html diakses
pada hari kamis pada tanggal 28 april 2015 pukul 16.02 WITA.
·
https://setiawatiiriani.wordpress.com/2012/11/30/kedudukan-tanah-dalam-hukum-adat/
diakses pada hari kamis pada tanggal 01
april 2015 pukul 19.32 WITA.
·
http://www.hukumsumberhukum.com/2014/09/pengertian-hukum-adat-di-indonesia.html#_diakses pada hari kamis pada tanggal 01
april 2015 pukul 21.32 WITA.
·
http://hendru-kapantow.blogspot.com/2012/06/penyelesaian-sengketa-tanah.html diakses
pada hari kamis pada tanggal 01 april 2015 pukul 22.12 WITA.
·
http://dokumenrumahtanah.blogdetik.com/pengertian-hak-guna-usaha-lengkap/ diakses pada hari kamis pada tanggal 02
april 2015 pukul 10.22 WITA.
·
https://cathuk.wordpress.com/2013/05/29/ringkasan-putusan-mahkamah-konstitusi-nomor-35puu-x2012/ diakses pada hari
kamis pada tanggal 02 april 2015 pukul 10.32 WITA.
·
https://www.facebook.com/notes/raflis/putusan-mahkamah-konstitusi-nomor-35puu-x2012/10151902719892646 diakses pada hari kamis pada tanggal 02 april 2015
pukul 10.52 WITA.
·
http://luwuraya.com/assetcuk/uploads/2014/06/sindokavswarga.swf diakses pada hari kamis pada tanggal 02 april 2015
pukul 11.228 WITA.
·
http://www.luwutimurkab.go.id/lutim/index.php?option=com_content&view=article&id=3222:hindari-konflik-pemkab-mediasi-sengketa-lahan&catid=1:berita-terbaru
diakses pada hari kamis pada tanggal 02
april 2015 pukul 12.00 WITA.
No comments:
Post a Comment