Friday, 7 April 2017

“ KONFLIK LAHAN DI LUWU TIMUR ANTARA MASYARAKAT ADAT SUKU PAMONA DAN PT. SINDOKA ”



KONFLIK LAHAN DI LUWU TIMUR  ANTARA  MASYARAKAT ADAT SUKU PAMONA DAN PT. SINDOKA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sebagai salah satu unsur esensial penbentuk negara, tanah memegang peran penting dalam kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara yang bersangkutan, lebih-lebih yang corak agrarisnya berdominasi. Di Negara yang rakyatnya berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk mencapai tujuan itu, diperlukan campur tangan Penguasa, yang competent dalam urusan tanah ini, khususnya mengenai lahirnya, berpindahnya dan berakhirnya hak milik atas tanah. Di lingkungan hukum adat, campur tangan itu dilakukan oleh Kepala berbagai persekutuan hukum, seperti Kepala atau Pengurus Desa.[1]
Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yangsangat penting sebagai kebutuhan manusia. Tanah untuk daerah tertentu harganya semakin mahal, maka semakin sulit untuk mendapatkannya sehingga tanah seolah menjadi barang langka. Penguasaan dan pengaturan serta penyelenggaraanpenggunaan tanah oleh Negara diarahkan pemanfaatannya dengan mempertahankan Hak Atas Tanah Ulayat, Tanah Rakyat dan fungsi sosial untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[2]
 Hasil pengamatan yang saya dapat bahwa masyarakat adat suku Pamona di Desa Teromu, Kecamatan Mangkutana, Kabupaten Luwu Timur provensi sulawesi selatan merupakan persekutuan hukum adat teritorial dan geologis. Keberadaannya masih diakui serta masih mempertahankan pemerintahan adat dan sangat tergantung pada tanah Hak Ulayat. Namun, pada 29 Juni 2014 terjadi bentrok warga adat Pamona dan polisi, buntut konflik lahan dengan perusahaan terjadi di Sulawesi Selatan. Yang mana disebabkan karena sengketa lahan meskipun PT. Sindoka mendapatkan HGU di Luwu Timur sejak 1987, berakhir 2017, dengan luas 3.500 hektar, di Desa Teromu, tetapi selama ini lahan dibiarkan terlantar kemudian masyarakat sekitar menggarap HGU Sindoka sejak 1998 karena tidak ada aktivitas sama sekali.[3]
Untuk menghindari kejadian seperti terulang lagi maka dalam acara dialog RUU PPHMA AMAN Tana Luwu adalah untuk membangun kesepahaman bersama berbagai pihak di tingkat lokal, dalam hal ini wilayah Tana Luwu (Kab. Luwu, Palopo, Luwu Utara dan Luwu Timur). Dari kegiatan ini diharapkan adanya masukan serta rekomendasi agar dapat mendorong percepatan pengesahan RUU PPHMA. Abd. Rahman Nur menambahkan bahwa  sejak tahun 2011 s/d 2012, DPR RI Melalui Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) telah mengajukan Rancangan Undang – undang Pengakuan dan Perlindungan Hak – Hak Masyarakat Adat (RUU PPHMA) sebagai salah satu upaya perlindungan dan pengakuan terhadap hak Masyarakat Adat di Indonesia[4].
Dalam makalah ini saya akan membahas mengenai tanah adat luwu khususnya mengenai konflik sengketa lahan  yang terjadi di Desa Teromu, Kecamatan Mangkutana, Kabupaten Luwu Timur provensi sulawesi selatan yang menyangkut konflik lahan di luwu timur yang melibatkan PT. Sindoka dan warga adat pamona serta polisi dan masyarakat adat pamona bentrok dan penyelesaian konflik tersebut akan dibahas lebih lanjut dalam bab selanjutnya.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1    Bagaimanakah Konflik Lahan Di Luwu Timur, Yang Melibatkan PT. Sindoka Dan Masyarakat Adat Pamona Dapat Terjadi ?
1.2.2.   Mengapa Konflik Di Lahan Luwu Timur, Yang Melibatkan Polisi Dan Masyarakat  Adat Pamona Mengakibatkan Bentrok ?
1.2.3.   Bagaimanakah Penyelesaian Konflik Lahan Di Luwu Timur, Yang Melibatkan PT. Sindoka Dan masarakat Adat Pamona ?
1.3. Tujuan Pembahasan
1.3.1    Dapat Mengetahui Bagaimana Konflik Lahan Luwu Timur, Yang Melibatkan PT. Sindoka Dan masyarakat Adat Pamona Dapat Terjadi.
1.3.2.   Dapat Mengetahui Mengapa Konflik Lahan Luwu Timur, Yang Melibatkan Polisi Dan masyarakat Adat Pamona Mengakibatkan Bentrok.
1.3.3.   Dapat Mengetahui Bagaimana Penyelesaian Konflik Lahan Luwu Timur, Yang Melibatkan PT. Sindoka Dan masyarakat Adat Pamona.

1.3. Metode Penulisan
Adapun metode penulisan yang digunakan yaitu Metode studi pustaka yang dilakukan untuk menunjang metode wawancara dan observasi yang tidak dilakukan. Diman pengumpulan informasi yang dibutuhkan dilakukan dengan mencari referensi-referensi yang berhubungan dengan masalah  yang dibahas  dari referensi yang  dapat diperoleh dari buku-buku atau internet.
1.4. Manfaat Penulisan
1.4.1    Dapat Memahamii Bagaimana Konflik Lahan Luwu Timur, Yang Melibatkan PT. Sindoka Dan masyarakat Adat Pamona Dapat Terjadi.
1.4.2.   Dapat Memahami Mengapa Konflik Lahan Luwu Timur, Yang Melibatkan Polisi Dan masyarakat Adat Pamona Mengakibatkan Bentrok.
1.4.3.   Dapat Memahami Bagaimana Penyelesaian Konflik Lahan Luwu Timur, Yang Melibatkan PT. Sindoka Dan masyarakat Adat Pamona.


















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hukum Tanah Adat Di Indonesia
A.    Pengertian Hak Ulayat/ Hak Purba
Hak purba adalah hak yang dipunyai oleh suatu suku (clan/ gens/ stam), sebuah serikat desa-desa (dorpenbond) atau biasanya oleh sebuah desa saja untuk menguasai seluruh tanah dan seisinya dalam lingkungan wilayahnya.
Dalam redaksi lain disebutkan bahwa hak persekutuan atas tanah adalah hak persekutuan (hak masyarakat hukum) dalam hukum adat terhadap tanah tersebut. Hak Ulayat adalah pengakuan bersama oleh seluruh anggota masyarakat dan didalamnya juga terkandung hak kepunyaan perorangan yang berarti orang perorangan boleh mempunyai tanah di lingkungan hak ulayat tersebut.
Van Vollenhoven menyebutkan lima ciri hak ulayat adalah sebagai berikut:
a.              Hak individual diliputi juga oleh hak persekutuan.
b.             Pimpinan persekutuan dapat menentukan untuk menyatakan dan menggunakan bidang-bidang tanah tertentu ditetapkan untuk kepentingan umum dan terhadap tanah ini tidak diperkenankan diletakkan hak perseorangan.
c.              Orang asing yang mau menarik hasil tanah-tanah ulayat ini haruslah terlebih dulu meminta izin dari kepada persekutuan dan harus membayar uang pengakuan, setelah panen harus membaar uang sewa.
d.             Persekutuan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi di atas lingkungan ulayat.
e.              Larangan mengasingkan tanah yang termasuk tanah ulayat.[5]
      B. Tanah Ulayat
Tanah ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama yang diyakini sebagai karunia suatu kekuatan ghaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat sebagai unsur pendukung utama bagi kebidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa.
 Apabila dipandang dari sudut bentuk masyarakat hukum adat, maka lingkungan tanah mungkin dikuasai oleh suatu masyarakat hukum adat atau beberapa masyarakat. Oleh karena itu biasanyanya lingkungan tanah adat dibedakan antara :
a.                   Lingkungan tanah sendiri.
b.                  Lingkungan tanah bersama.[6]
C.  Kedudukan Tanah dalam Hukum Adat
Ada 2 hal yang menyebabkan tanah itu memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat, yaitu :
a.    Karena sifatnya
Yakni merupakan satu – satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, toh masih bersifat tetap dalam keadaannya bahkan kadang – kadang malahan menjadi lebih menguntungkan.
Contohnya : sebidang tanah itu di bakar diatasnya di jatuhkan bom – bom misalnya, tanah tersebut tidak lenyap setelah api padam ataupun setelah pemboman selesai sebidang tanah tersebut akan muncul kembali tetap berujud tanah seperti semula.
b.    Karena fakta
             Yaitu suatu kenyataan bahwa tanah itu :
·      Merupakan tempat tinggal persekutuan.
·      Memberikan penghidupan kepada persekutuan.
·      Merupakan tempat di mana para warga persekutuan yang meninggal dunia dikebumikan.
Merupakan pula tempat tinggalkepada dayang – dayang pelindung persekutuan dan roh para leluhur persekutuan.[7]
D.  Hubungan Hak Ulayat Dengan Hak Perorangan
Menurut Ter Haar hubungan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan persekutuan adalah timbal balik dan memiliki kekuatan yang sama. Selanjutnya hak ulayat juga juga berlaku terhadap orang-orang luar.
Apabila orang-orang di luar hendak memasuki persekutuan mereka harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari kepala persekutuan dan sebelum permohonan mereka dikabulkan terlebih dahulu harus memberi sesuatu kepada persekutuan.[8]
E.   Kedudukan Hak Ulayat Dalam UUPA (UU No. 5 Tahun 1960)
Dalam Undang-undang Pokok Agraria pasal 5 UU No.5 1960 menyebutkan bahwa: “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam UU ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”
Unsur-unsur yang penting dalam UUPA yang perlu kita perhatikan dan mempunyai kaitan dengan uraian ini lebih lanjut adalah:
a.              Bahwa tidak ada perbedaan tiap-tiap WNI baik laki-laki maupun wanita dalam memperoleh kesempatan untuk mendapatkan sesuatu hak dan manfaat atas tanah. [pasal 9: (2)]
b.             Bahwa UUPA No.5 1960 mengharuskan adanya pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum atas tanah (pasal 19)
c.              Bahwa UUPA No.5 1960 membenarkan adanya sistem pemilikan bersama (pasal 17)
d.             Perintah penegasan hak-hak atas tanah adat yang telah ada sebelum UUPA No.5 1960 diundangkan (pasal-pasal ketentuan Konversi).
Untuk menerangkan bagaimana hubungan antara hak ulayat dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)/ UU No. 5 Tahun 1960 kita dapat melihat pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut: “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”
Berdasarkan pasal 3 di atas, hak ulayat atau hak tanah adat diakui keberadaannya, akan tetapi pengakuan itu diikuti syarat-syarat yang harus dipenuhi diantaranya:
a.    Eksistensinya masih ada
b.    Tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
c.    Tidak bertentangan dengan aturan-aturan dalam undang-undang.
Ketentuan ini berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat itu dalam hukum agraria yang baru (UUPA). Sebagaimana diketahui biarpun menurut kenyataannya hak ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan pula di dalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah hak tersebut diakui secara resmi di dalam undang-undang, dengan akibat bahwa di dalam melaksanakan peraturan-peraturan agraria hak ulayat itu pada zaman penjajahan dulu seringkali diabaikan.
Berhubung dengan disebutnya hak ulayat di dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yang pada hakikatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya di dalam pemberian hak atas tanah (umpamanya hak guna usaha) masyarakat hukum yang bersangkutan sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan diberi “recognitie”, yang memang ia berhak menerimanya selaku pemegang hak ulayat itu.
Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika berdasarkan hak ulayat itu masyarakat hukum tersebut menghalang-halangi pemberian hak guna usaha itu, sedangkan pemberian hak tersebut di daerah itu sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian pula tidaklah dapat dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk. Pengalaman menunjukkan pula, bahwa pembangunan daerah-daerah itu sendiri sering kali terhambat karena mendapat kesukaran mengenai hak ulayat, inilah yang merupakan pangkal pikiran kedua pada ketentuan pasal 3 tersebut di atas.

Kepentingan suatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan Negara yang lebih luas dan hak ulayatnya pun pelaksanaannya harus sesuai dengan kepentingan yang lebih luas itu. Dalam UUPA dan hukum tanah nasional, bahwasanya hak ulayat tidak dihapus, tetapi juga tidak akan mengaturnya, dalam artian adalah mengatur hak ulayat dapat berakibat melanggengkan atau melestarikan eksistensinya. Karena pada dasarnya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan (uraian 85 dan 106 E).[9]
      F. Hak Persekutuan Atas Tanah
Mengingat akan fakta dimaksud diatas, maka antara persekutuan dengan tanah yang didudukinya itu terdapat hubungan yang erat sekali hubungan yang mempunyai sumber serta yang bersifat religio-magis.
Hak persekutuan atas tanah ini disebut hak pertuanan atau hak ulayat. Hak ini oleh Van Vollenhoven disebut “beschikkingsrecht”. Istilah lain dalam bahasa Indonesia merupakan suatu pengertian yang baru, satu dan lain.
Istilah-istilah daerah yang berarti lingkungan kekuasaan, wilayah kekuasaan ataupun tanah yang merupakan wilayah yang dikuasai persekutuan adalah antara lain “Patuanan”(Ambon),“Panyampeto”(Kalimantan),“Wewengkon”(Jawa),“Prabumian”(Bali), “Pawatasan” (Kalimantan), “Totabuan” (Balaang Mangondow), “Limpo” (Sulawesi Selatan), “Nuru” (Buru), “Ulayat” (Minangkabau).
Beschikkingsrecht ataupun hak ulayat ini berlaku keluar dan kedalam. Hak persekutuan ini pada hakikatnya membatasi kebebasan usaha atau kebebasan gerak para warga persekutuan sebagai perseorangan. Pembatasan ini dilakukan demi kepentingan persekutuan. Antara hak persekutuan ini (hak ulayat) dan hak para warganya masing-masing ada hubungan timbal-balik yang saling mengisi.
              Objek hak ulayat ini adalah :
a.    Tanah (daratan)
b.    Air (perairan seperti misalnya : kali, danau, pantai beserta perairannya).
c.    Tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar (pohon buah-buahan, pohon-pohon untuk kayu pertukangan atau kayu bakar dan lain sebagainya).
d.   Binatang yang hidup liar.
           Cara memelihara serta mempertahankan hak ulayat yaitu:
a.  Pertama-tama persekutuan berusaha meletakkan batas-batas di sekeliling wilayah kekuasaannya itu.
b.  Usaha kedua adalah menunjuk pejabat-pejabat tertentu yang khusus bertugas mengawasi wilayah  kekuasaan persekutuan yang bersangkutan.
Disamping petugas-petugas yang khusus ini, biasanya diadakan pula patrol-patroli perbatasan disebut sebagai salah satu cara penegasan wilayah kekuasaan surat-surat pikukuh ataupun Piagam yang dikeluarkan oleh raja-raja dahulu. Hak ulayat ini dalam bentuk dasarnya adalah suatu hak daripada persekutuan atas tanah yang didiami.[10]
G. Pengaruh Terhadap Hukum Tanah Adat
Faktor-faktor extern yang mempengaruhi hukum tanah adat datangnya dari :
a.   Raja-raja
       Yang merusak
       Yang memperkuat

b.                  Pemerintah kolonial, Gubernemen.
Pada umumnya hak ulayat pada khususnya ternyata dari tindakannya dalam politik agrarianya yang terpenting diantaranya adalah :
   Pajak Bumi (landrent) dari Raffles
   Cultuurstelsel dari Gubernur-Jenderal Van den Bosch
   Agrarische Wet, Agrarisch Besluit, Domeinverklaring[11]
2.2. Masyarakat Hukum Adat Di Indonesia
Berdasarkan Undang-undang No. 41 Tahun 1999 Bab IX Pasal 67 Ayat 1 menyebutkan bahwa, masyarakat hukum adat sepanjang menurut keberadaannya masih ada dan diakui keberadaannya dan mempunyai hak :
a.    Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan.
b.    Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan Undang-undang.
c.    Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka peningkatan kesejahteraannya.
Masyarakat hukum adat diakui keberadaannya jika menurut kenyataan memenuhi unsur-unsur antara lain :
a.    Masyarakat masih dalam bentuk penguyuban.
b.    Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat pengusaha adatnya.
c.    Ada wilayah hukum adat yang jelas.
d.   Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati.
Masyarakat adat juga memiliki kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta kebebasan untuk mengelola serta memanfaatkan sumber daya alam secara arif.
Kegiatan hutan rakyat dalam aktifitas tanah dan hutan untuk dijadikan sumber kehidupan berlangsung secara turun-temurun bahkan eksistensi tradisional masyarakat hukum adat tumbuh dan tersebar sejak dahulu sebagai pengelola tanah hutan. Tanah ulayat dan hukum adat yang dilestarikan berlangsung terus menerus secara swakelola di berbagai wilayah.[12]
2.3. Sejarah Masyarakat Adat Suku Pamona
 Ahli etnografi Belanda klasik seperti Kruyt dan ahli bahasa Adriani menyebut orang Pamona sebagai orang Toraja Poso-Tojo atau Toraja Bare'e, dan menggolongkannya sebagai orang Toraja Timur. Nama Pamona dipakai oleh para peneliti asal Sulawesi Tengah sejak tahun 1970-an sebagai pengganti sebutan Toraja Poso atau Toraja Bare'e. Suku bangsa ini mendiami Kabupaten Poso di Provinsi Sulawesi Tengah, yaitu di Kecamatan Poso Kota Poso Pesisir, Una-Una, Walea, Lage, Pamona Utara, Pamona Selatan, Ampana Kota, Ampana Barone, Ulubongka, dan Tojo. Jumlah populasinya sekitar 125.000 jiwa.
A.    Sejarah Suku Pamona
Kennedy (1935) membagi orang Pamona (Toraja Timur) ke dalam empat kelompok. Kelompok pertama berdiam di sekitar Teluk Tomini dan leher jazirah Timur Sulawesi Tengah, terdiri dari beberapa sub-suku bangsa seperti Orang Lalaeo, Ra'u, Poso, dan Wana.
Kelompok kedua berdiam di sekitar Danau Poso yaitu sub-suku bangsa Pebato, Lage, Kadambuku, Unda'e, Payapi, Lamusa, Longken, Buyu, Pu'umboto, Wotu dan Bancea. Kelompok ketiga mendiami bagian lembah Sungai La'a sebelah hulu dan bagian timur Danau Poso, yaitu sub-suku bangsa Palende, Kalae, Tanandoa, Pada, Pakambia, dan Pu'umnana. Kelompok keempat adalah mereka yang mendiami bagian hulu Sungai Kalaena dan bagian selatan Danau Poso, yaitu sub-suku bangsa Lampu, Tawi, Laiwono dan Lembo.
B.     Bahasa Suku Pamona
Ahli etnolinguistik seperti Adriani mengelompokkan orang Pamona ke dalam kelompok berbahasa bare'e (ingkar, tidak atau tak). Kemudian bahasa mereka lebih dikenal sebagai bahasa Pamona.
C.     Mata Pencaharian Suku Pamona
                Mata pencaharian utama masyarakat ini adalah pertanian di ladang tebang bakar dan berpindah, walaupun sebagian sudah ada pula yang bercocok tanam menetap di sawah dan kebun. Tanaman utamanya adalah padi, disamping jagung, sayur-mayur dan palawija. Pada masa sekarang mereka semakin tertarik kepada pertanian menetap, terutama sejak diperkenalkannya tanaman komoditi seperti cengkeh dan kopi. Sebagian anggota masyarakatnya masih memiliki mata pencaharian sebagai peramu hasil hutan dan berburu binatang liar.
D.  Kekerabatan Suku Pamona
Prinsip hubungan kekerabatan orang Pamona pada dasarnya bilateral. Pasangan keluarga baru biasanya tinggal di lingkungan rumah pihak isteri, sampai mereka mempunyai anak pertama dan sudah merasa sanggup untuk berdiri sendiri.
E.   Agama Dan Kepercayaan Suku Pamona
Pada masa sekarang orang Pamona sudah memeluk agama Islam atau Kristen. Sistem kepercayaan asli mereka bersifat animisme dan mempercayai adanya dewa-dewa (pue) yang mempengaruhi alam dan kehidupan. Tokoh dewa yang paling mereka segani adalah Pue N'Palaburu, yaitu dewa pencipta alam yang berdiam di tempat matahari terbit dan terbenam, karena itu juga dikenal sebagai Dewa Matahari. Tokoh dewa yang sering dimintai pertolongan dalam pengobatan penyakit karena gangguan roh jahat adalah Pue Ni Songi.
Dewa yang sering pula dihubungi untuk berbagai upacara keagamaan adalah Wurake. Selain dewa-dewa, kekuatan adikodrati lain mereka anggap berasal dari roh-roh nenek moyang. Kekuatan makhluk gaib itu hanya bisa dihubungi dengan perantaraan para syaman. Roh para leluhur perlu diberi sesajian dalam setiap tahap proses perputaran lingkaran hidup, serta untuk meminta perlindungan agar jangan diganggu oleh makhluk jadi-jadian yang disebut tau mepongko.[13]
2.4. Hak Guna Usaha (HGU)
A.    Pengertian Hak Guna Usaha
Hak guna usaha adalah Tanah negara yang telah diberikan hak untuk diusahakan oleh individu maupun badan usaha. Ukuran luas tanah telah ditetapkan oleh menteri yang luas minimumnya 5 Hektar (individu) dan maksimum 25 Hektar (badan usaha) yang meliputi bdang pertanian, perikanan, perkebunan, dll. Hak guna usaha hanyalah pada sebidang tanah dan tidak berhubungan dengan bangunan rumah. Hak guna usaha diberikan jangka waktu maksimal 35 tahun dan dapat diperpanjang maksimal 25 tahun. Pengajuannya selambat-lambatnya 2 tahun sebelum berakhir.
Proses terjadinya atau diadakannya HGU adalah berdasarkan permintaan pemohon kepada BPN yang nantinya, dikelarkan SKPH. Kepala kantor provinsi berwenang menerbitkan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 200 hektar. Jika lebih, maka yang berwenang menerbitkan SKPH nya adalah kepala BPN.
Selain kita membahas mengenai pengertian Hak guna usaha, kitapun harus tau Kewajiban pemegang HGU, adalah sebagai berikut :
a.         Membayar uang pada negara
b.        Melaksanakan usaha perikanan, pertanian, ataupun perkebunan, sesuai peruntukan dan ersyaratan yang ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya
c.         mengusahakan sendiri tanah HGU dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha bedasarkan kriteri yang telah ditetapkan oleh instansi teknis
d.        Memelihra sumber daya alam, kesuburan tanah, dan kelestarian lingkungan hidup
e.         Setiap akhir tahun harus membuat laporan tertulis seputar penggunaan HGU nya
f.         menyerahkan kembali taah yang diberikan dengan HGU pada negara sesudah HGU nya habis
g.        Menyerahkan sertifikat HGU yang telah habis kepada kepala kantor pertahanan
B.     Prosedur Hak Tanggungan Atas Pembebanan HGU
Adapun prosedur hak tanggungan atas pembebanan hgu , diantaranya
a.       Adanya perjanjian utang piutang yang dibuat dengan akta notariil atau akta dibawah tangan sebagai perjanjian pokoknya
b.      Adanya penyerahan HGU sebagai jaminan utang yang dibuktikan dengan akta pemberian hak tanggungan yang dibuat leh PPAT sebagai perjanjian ikutan
c.       Adanya pendaftaran akta pemberian hak tanggungan kepada kantor pertahanan kabupaten/kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah dan diterbitkan sertifikat hak tanggungan
C.     Peralihan Hak Guna Usaha
HGU dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. HGU dapat beralih dengan cara pewarisan, yang harus dibuktikandengan adanya surat wasiat atau surat keterangan sebagai ahli waris yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, bukti identitas para ahli waris dan sertifikasi HGU yang bersangkutan.
Bahasan lainnya sesudah teori pengertian hak guna usaha, kita juga wajib memahami bentuk peralihan lain dari hak tersebut adalah jual beli, tukar menukar, hibah, dan penyertaan dalam modal perusahaanyang harus dibuktikan dengan akta PPAT khusus yang ditunjuk oleh kepala BPN, sedangkan lelang harus dibuktikan dengan berita acara lelang yang dibuat oleh pejabat kantor lelang.
D.    HGU Hapus dikarenakan :
a.         Tenor waktu berakhir
b.         Dihentikan sebelum waktunya berakhir karena syarat tidak terpenuhi
c.         Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir
d.        Dicabut untuk kepentingan umum
e.         Diterlantarkan
f.          Tanahnya musnah
g.         Ketentuan dalam pasal 30 ayat 2[14]
3.5. Ringkasan Isi Putusan MK No. 35/PUU-X/2012
Pada 16 Mei 2013, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No 35/PUU/X/2012. Putusan ini terkait Judicial Review yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) dan perwakilan Masyarakat Hukum Adat di Riau dan Jawa Barat.
Putusan tersebut memberi ruang dan mengembalikan hak masyarakat hukum adat atas tanah adat. Substansi Putusan, Hutan Adat berdiri sendiri, sebelumnya hutan adat bagian dari hutan negara. Pasca putusan MK, status hutan adat terbagi tiga: Hutan Negara, Hutan adat dan hutan hak.[15]
Pasal yang diuji yaitu: Pasal 1 angka 6, Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), Pasal 67 ayat (1), ayat (2), ayat (3)
A.    Amar Putusan:
 Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
a.    Kata “negara” dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.    Kata “Negara” dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dimaksud menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”;
c.    Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang‖;
d.   Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang‖;
e.    Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat”;
f.     Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat”;
g.    Penjelasan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
h.    Penjelasan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
i.      Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

j.      Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
k.    Frasa “dan ayat (2)” dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
l.      Frasa “dan ayat (2)” dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dimaksud menjadi “Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”;
B.     Interpretasi Terhadap Putusan:
a.    Pasal 1 huruf f: Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat, berubah menjadi "Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat"
b.    Pasal 4 ayat  (3): Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, berubah menjadi " penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang"
c.    Pasal 5 Ayat (1): Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: a. hutan negara, dan b. hutan hak, berubah menjadi " Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: a.Hutan Negara, b. Hutan Hak, c. Hutan Adat. Pasal 5 Ayat (2): Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat, dihapus. Pasal 5 Ayat (3): Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya, dirubah menjadi "Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ; dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya" (4) Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah, Tidak ada perubahan.
Pasal 67 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Tidak ada perubahan. Sehingga UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi:
a.       Pasal 1 huruf f: Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat
b.      Pasal 4 ayat  (3): penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang"
c.       Pasal 5 Ayat (1): Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: a.Hutan Negara, b. Hutan Hak, c. Hutan Adat.
d.      Pasal 5 Ayat (2): Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ; dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya"[16]











BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Konflik Lahan Di Luwu Timur Antara PT. Sindoka Dan Suku Pamona
Sengketa lahan antar PT. Sinar Indonesia Merdeka (Sindoka) dengan masyarakat petani di Dusun Keroncia, Desa Turumo, Kecamatan Mangkutana, hingga kini masih terus memanas. Sejumlah pihak menilai, kondisi ini ini rawan konflik jikatidak di carikan solusinya. Hal ini bermula karena masyarakat menolak sikap PT. Sindoka yang memagari areal lahan mereka dengan alasan HGU yang mereka kantongi. Pasalnya, dalam areal itu terdapat perkebunan produktif milik warga yang siap panen, namun tidak dapat diakses akibat adanaya pemagaran yang dilakukan PT. Sindoka.
PT. Sinar Indonesia Merdeka (sindoka) merupakan perusaan dibawah Sintesa Grup. Dalam pilot project PT. Sindoka, disebut jika perusahaan ini bergerak dalam bidang penyiapan bahan baku bio-etanol. PT. Sindoka memperoleh hak guna usaha selama 30 tahun dari pemerintah seluas 3.500 hektar, di desa teromu, kecamatan mangkutana, kabupaten luwu timur, pada tahun 1987. HGU PT. Sindoka akan berakhir pada tahun 2017. PT. Sindoka yang didirikan pada 1979 berada di desa teromu, kecamatan mangkutana, kabupaten luwu timur, sulawesi selatan.
Pada tahun 1987 pemerintah menerbitkan sertifikat hak guna usaha No. 1 Tahun 1987 atas pengolahaan lahan PT. Sindoka seluas 3.500 hektar yang digunakan dalam melaksanakan produksinya. Meski sempat tidak sempat mengelolah lahan mereka, namun PT. Sindoka mengklaim jika lahan yang mereka kuasai itu masih berlaku hingga tahun 2017 mendatang dan sementara juga menguruskan perpanjangan sertifikat HGU.  Warga yang menguasai lahan di areal kawasan PT. Sindoka mulai menggarap lahan tersebut sejak tahun 1998. Saat itu, lahan yang ada telah diterlantarkan oleh PT. Sindoka  dan memanfaatkan lahan itu untuk keperluan perkebunan masyarakat. Saat ini, jumlah warga yang menguasai lahan di areal PT. Sindoka mencapai 300 orang. Namun, warga kecewa, ketika tanaman perkebunan mereka sudah mulai memasuki masa produktif, PT. Sindoka justry melakukan pemagaran sehingga warga kesulitan unuk memasuki areal tersebut. Polemik antara PT. Sindoka dengan warga yang menguasai lahan mulai lahan mulai nampak. Apalagi PT. Sindoka sudh mulai ingin menggarap lahan yang masuk dalam HGU.[17]
3.2. Bentrokan Antara Polisi Dan Masyarakat Adat Pamona
Bentrok warga adat Pamona dan polisi, buntut konflik lahan dengan perusahaan terjadi di Sulawesi Selatan. Tepatnya di Desa Teromu, Kecamatan Mangkutana, Kabupaten Luwu Timur. Sekitar 57 warga luka-luka dan ditahan Polres Luwu Timur. Bata Manurung, ketua BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tana Luwu, mengatakan, bentrokan pada 29 Juni 2014, namun terkesan ditutup-tutupi dan baru mengetahui dari warga pada 17 Juli serta langsung mencari informasi sehingga mengetahui bahwa 57 orang diamankan dan masih 20 orang yang ditahan polisi serta hampir seluruh warga mengalami kekerasan bahkan luka lebam di wajah.
Bentrok warga dengan kepolisian ini buntut konflik warga dengan PT Sinar Indonesia Merdeka (Sindoka), anak perusahaan Sintesa Grup yang menyiapkan bahan baku bio-etanol. Sindoka mendapatkan HGU di Luwu Timur sejak 1987, yang berakhir 2017 dengan luas 3.500 hektar, di Desa Teromu. Namun meski masa HGU berakhir 2017, selama ini lahan dibiarkan terlantar sehingga masyarakat sekitar menggarap HGU Sindoka sejak 1998 karena menilai Sindoka sudah menelantarkan lahan sejak HGU 1987 dan tidak ada aktivitas sama sekali dan saat ini masyarakat menggarab lahan sekitar 300 orang. Beberapa warga pasca bentrok kemudian digiring ke kantor polisi dan dikumpulkan dengan tangan diborgol. Sebagian mereka luka-luka dan lebam lalu mereka diamankan ke kantor polisi  
Setelah sekian tahun dikelola warga, Sindoka berusaha mengambil alih dengan memagari area yang kini menjadi perkebunan masyarakat itu. Akses warga memanen hasil kebun ditutup. Hal inilah yang memicu amarah warga kemudian membakar pos keamanan perusahaan di sekitar kawasan. Buntutnya, kekerasan polisi terhadap warga.
Menurut Asmar Exwar, direktur Walhi Sulsel, menyesalkan, kekerasan aparat ini karena selama ini, Sindoka bermasalah dengan mengambil habis kayu di sana dan merupakan perusahaan kayu yang membabat habis hutan dengan dalih bio-etanol. Waraga masyarakat di daerah ersebut merupakan suku Pamona yang terbagi dalam 12 anak suku adalah komunitas adat, secara administratif di dua provinsi, yaitu Sulawesi Tengah (Poso, Tojo Una-Una, dan sebagian Morowali). Sebagian kecil di Luwu Timur, Sulsel.
 Diyakini nenek moyang Pamona dari dataran Salu Moge (Luwu Timur). Karena berada di gunung yang jauh dari pusat pemerintahan hingga lewat Macoa Bawalipu, mereka turun mendekati pusat pemerintahan di sekitar Mangkutana (Luwu Timur).[18]
3.3. Dampak Konflik PT. Sindoka Dengan Masyarakat Adat Suku Pamona
Melihat konflik yang terjadi di Desa Koroncia Kecamatan Mangkutana beberapa waktu lalu terkait sengketa lahan dengan PT. Sinar Indonesia Merdeka (PT. Sindoka)  mendatangkan dampak yang buruk terutama bagi masyarakt di daerah tersebut, terutama masyarakat yang mengelolah lahan yang menjadi sengketa.
Dari apa yang yang saya baca diberbagai sumber konflik tersebut membuat penghasilan warga menjadi berkurang dan konflik ini terjadi saat warga telah siap untuk memanen hasil ertanian dan perkebunan mereka karena akses jalan untuk mengkut hasil panen telah di tutup oleh PT. Sindoka.
Hal inilah juga mengakibatkan ketegangan di daerah tersebut terutama setelah bentrok yang melibatkan masyarakat dan polisi yang menyebabkan kekerasan polisi terhadap masyarakat yang menimbulkan luka-luka di kalangan masyarakat, yang seharusna polisi yang melindungi masyarakat bukan sebaliknya.
Sehingga permasalahan ini dapat diatasi dengan cara damai tetapi karena hal tersebut dapat membuat masyarakat berfikir negatif kepada pemerintah untuk itu pemerintah selaaknya mencari solusi ang tepat untuk menyelesaikan konflik tersebut. Sebab jika di lihat dari permasalahan ini terjadi karena hak guna usaha yang di keluarkan oleh pemerintah sendiri.
Bukankah seharusnya jika PT. Sindoka sudah mengantongi HGU maka seharusna mereka mengolah lahan tersebut bukan malah membiarkannya terlantar begitu saja sehingga membuat masyarakat di daerah tersebut mengolahnya dan pemerintah jika memang membenarkan apa yang dilakukan PT. Sindoka maka karena mereka mengantongi HGU seharusnya msyarakat mengelolahnya dan sebagian masyarakat yang mengelolah lahan tersebut sudah mengantongi sertifikat.
Dimana salah satu dihapusnya hak guna usaha ialah jika lahan tersebut ditelantarkan dan bukankah masyarakat skita mengolah lahan tersebut karena terlebih dahulu pemerintah PT. Sindo sendiri yang membiarkan lahan tersebut sehingga masyarakat mengolahnya untuk itu pemerintah seharusnya segera menyelesaikan konflik tersebut sehingga pandangan masyarakt kepada pemerintah tidak negatif dan menggap peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah tidak diterapkan dengan semestinya.
3.4. Penyelesaian Konflik PT. Sindo Dengan Masyarakat Adat Suku Pamona
Menanggapi aspirasi warga Desa Koroncia Kecamatan Mangkutana beberapa waktu lalu terkait sengketa lahan dengan dengan PT Sinar Indonesia Merdeka (PT. Sindoka)  Pemerintah Kabupaten Luwu Timur melalui Asisten Pemerintahan Setdakab Luwu Timur langsung menggelar mediasi dengan melibatkan perwakilan warga dan pihak PT. Sindoka.
H. Syahidin Halun didampingi Camat Mangkutana Satri, Kasat Pol PP Indra Fawzy dan Kakan Kesbang Nurlang saat meninjau lokasi tersebut, mengakui sengketa lahan bisa berujung konflik jika tidak segera diselesaikan, makanya pemerintah daerah segera melibatkan instansi terkait untuk segera memediasi kedua belah pihak agar sengketa lahan diwilayah ini tidak berkepanjangan.
Syahidin menjelaskan, pemkab menilai permintaan warga tentang permintaan warga untuk segera membuka akses jalan yang ditutup pihak PT. Sindoka sangat normatif, namun bukan berarti segala tuntutan mereka harus dikabulkan, menurut Syahidin penyelesaian masalah ini tetap harus berdiri diatas aturan dan perundangan serta hukum yang berlaku, karena pihak PT. Sindoka dengan jelas menyebut lahan yang disengketakan memiliki izin Hak Guna Usaha (HGU) hingga 2017. Dalam kunjungan tersebut, H. Syahidin menjelaskan bahwa sengketa lahan warga dengan perusahaan merupakan persoalan pemerintah dan dalam waktu dekat akan segera diselesaikan.
Menurut H. Syahidin, penyelesaian sengketa lahan ini harus disikapi dengan bijak agar keputusan yang diambil dapat menguntungkan kedua belah pihak yang bersengketa olehnya itu setelah peninjauan ini sesegera mungkin kami melaporkan ke pimpinan untuk membentuk tim dengan melibatkan pihak terkait, untuk itu saya  berharap kepada warga untuk tidak terprovokasi.
Syahidin juga menegaskan, Pemerintah akan tetap memperjuangkan apa yang menjadi hak masyarakat, karena boleh saja perusahaan beroperasi namun hak masyarakat jangan diabaikan. Salah seorang warga Ambo Unga (45) meminta supaya pihak perusahaan segera membuka akses jalan, Untuk itu kami sangat berharap kepada Pemkab mau memfasilitasi permasalahan warga tersebut, sebagaimana mereka ketahui bahwa lahan yang dipagari kawat berduri menurutnya sudah jelas tidak menunjukkan lagi itikad baik, apalagi sebelumnya penutupan akses ini belum pernah disosialisaikan.
Sementara menurut Direktur PT. Sindoka Hary mengatakan pihaknya sebenarnya sudah berulang kali memberikan penjelasan kepada warga terkait masalah ini, namun tidak mendapat tanggapan warga, sehingga kami menutup akses jalan tersebut. Untuk diketahui masalah sengketa lahan seluas kurang lebih 3600 Hektar berawal saat PT.Sindoka meninggalkan lahan sejak tahun 1998, lahan yang ditinggalkan tersebut dimanfaatkan oleh warga sekitar.[19]
Untuk menghindari hal ini dapat terjadi lagi maka dalam dialog para pihak kembali digelar oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Tana Luwu, Kegiatan yang dilaksanakan pada hari kamis (22/08/2013) bertempat di Hotel Agro Wisata Kota Palopo. Dialog ini dihadiri oleh perwakilan Komunitas Masyarakat Adat, Organisasi Kemahasiswaan, NGO, Kapolres Kota Palopo, Badan Pertanahan, Dinas Kehutanan. Hadir sebagai narasumber Dr.H.Suedi,S.Pd.,M.Si (Rektor Universitas Cokroaminoto) Ir. Abdullah (mewakili Walikota Palopo), Andi Maradang Mackulau, Opu Bau’ (Datu Luwu ke-40) dan Koordinator Biro Advokasi AMAN Tana Luwu Abd. Rahman Nur.
Dalam dialog tersebut Datu Luwu Andi Maradang Mackulau dalam sambutannya mengatakan; “Lahirnya RUU PPHMA merupakan sebuah langkah maju, karena masyarakat adatlah pemilik asli dari negara yang sekarang bernama Indonesia. Menurut pemahaman saya Kedatuan dan Masyarakat Adat di Tana Luwu adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan, tidak mungkin ada Kedatuan Luwu kalau tidak ada masyarakat adatnya, hubungan sinergis antara masyarakat adat dengan Kedatuan Luwu bersama Rajanya To Manurun telah terjalin baik sejak awal berdirinya Kedatuan Luwu dan menegaskan bahwa Kedatuan Luwu akan selalu ada bersama-sama AMAN, khususnya AMAN Tana Luwu, mengawal percepatan pengesahan RUU PPHMA menjadi undang – undang”.
Abdul Rahman Nur pembicara mewakili AMAN Tana Luwu mengatakan, bahwa dialog ini untuk membangun kesepahaman bersama berbagai pihak di tingkat lokal, dalam hal ini wilayah Tana Luwu (Kab. Luwu, Palopo, Luwu Utara dan Luwu Timur). Dari kegiatan ini diharapkan adanya masukan serta rekomendasi agar dapat mendorong percepatan pengesahan RUU PPHMA. Abd. Rahman Nur menambahkan bahwa  sejak tahun 2011 s/d 2012, DPR RI Melalui Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) telah mengajukan Rancangan Undang – undang Pengakuan dan Perlindungan Hak – Hak Masyarakat Adat (RUU PPHMA) sebagai salah satu upaya perlindungan dan pengakuan terhadap hak Masyarakat Adat di Indonesia. Pada pertengahan bulan Mei 2013 kemarin, Presiden RI telah mengeluarkan sebuah amanat guna mempercepat pengesahan RUU PPHMA menjadi UU PPHMA sebagai satu pedoman atau regulasi yang mengatur eksistensi Masyarakat Adat di Indonseia untuk membentuk kerjasama 4 Kementrian (1) ESDM, (2) Kehutanan, (3) Menhukum dan Ham, (4) Mendagri.
Hal senada disampaikan Rektor Universitas Cokroaminoto Palopo Dr. Suedi, bahwa permasalahan yang selama ini dihadapi oleh masyarakat adat adalah sengketa lahan wilayah adat mereka dengan pemerintah dan perusahaan. Menurutnya permasalahan tersebut muncul sejak tahun 1975, dimana semua struktur adat  dihilangkan setelah masuknya Sistem Pemerintahan Desa. Oleh karenanya semua struktur perangkat adat hilang berikut tatanan budaya, dampak paling besarnya adalah kerusakan lingkungan.
Tapi dengan adanya respon positif dari pemerintah Indonesia, DPR RI juga  AMAN yang telah  menginisiasi lahirnya  RUU PPHMA merupakan terobosan yang luar biasa bagi perkembangan Politik Hukum di Indonesia, dimana masyarakat adat ditempatkan bukan lagi menjadi objek pembangunan akan tetapi menjadi subjek atau pelaku pembangunan. Namun  menurutnya apapun bentuk undang-undang ini ketika disahkan pusat, itu tidak akan berpengaruh apa-apa jika masyarakat adat tidak punya aksi sendiri.  Masyarakat adat  harus memperlihatkan kepada dunia bahwa masyarakat adat kita ini kuat dan bersatu.[20]
Begitupun dalam diskusi yang dilaksanakan oleh Deputi II Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012 bersama perwakilan beberapa Kementrian RI diantaranya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN, Kementrian Dalam Negeri dan serta Peneliti Epistema Institute, Yance Arizona  yang bertujuan untuk menggali informasi mengenai implementasi pelaksanaan Putusan MK No.35/PUU-X/2012 dari berbagai pihak.
Sebagaimana diketahui bahwa Putusan MK No.35 tahun 2012 (16/5/2013) lalu, tentang Hutan Adat menjadi keputusan penting dalam mengubah kebijakan negara terhadap masyarakat adat dan haknya atas wilayah adat di Indonesia. Putusan MK tersebut menegaskan hak masyarakat adat atas wilayah adatnya, yaitu hutan adat. Namun dalam kurun waktu 2 tahun pasca putusan MK 35, para akademisi dan pakar hukum berpandangan lain mereka  menganggap pemerintah dalam melaksanakan putusan tersebut masih setengah hati, meskipun pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan ketentuan perundangan-undangan. Diantaranya UU Desa, Permendagri 52 tahun 2014, Perber 4 Kementerian dan Lembaga Pemerintah tentang tata cara penguasaan tanah di dalam wilayah hutan adat.
 Dalam diskusi tersebut Sekretaris Jendral AMAN, Abdon Nababan mengatakan bahwa selama 2 tahun lahirnya MK 35, AMAN berserta masyarakat adat sudah melakukan beberapa hal, diantaranya adalah Masyarakat adat dan para pendirinya membuat dan mencanangkan tanda tangan di lapangan yang mengindentifikasikan keberadaan hutan adat, namun hingga kini pihak pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Kementrian Agraria dan Tata Ruang/ BPN tidak pernah hadir untuk menandakan hutan adat tersebut. Selain itu, masyarakat adat selama 2 tahun telah melakukan rehabilitasi dengan menanam 35 juta pohon di lahan hutan adat yang sempat rusak di berbagai wilayah adat.
Menanggapi hal tersebut, Perwakilan dari Kementrian Agraria dan Tata Ruang/ BPN Bapak Gunawan mengakui bahwa kementriannya belum melaksanakan pendaftaran tanah adat dalam kawasan hutan. Saat ini Kementrian Agraria dan Tata Ruang/ BPN baru melakukan sosialisasi dan ke depannya akan dibentuk tim khusus yang akan terjun ke berbagai daerah untuk melakukan pengukuran untuk peta pendaftaran tanah adat.[21]




BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulisyang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuanhukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. Tanah ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu.
Hak ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya, dimana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya. Masyarakat dan sumberdaya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turuntemurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
Pengelolaan dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian pekerjaan atau usaha yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk melakukan serangkaian kerja dalam mencapai tujuan tertentu.[22] Sedangkan hak guna usaha adalah Tanah negara yang telah diberikan hak untuk diusahakan oleh individu maupun badan usaha.
Salah satu konflik mengenai tanah adat terjadi di masyarakat petani di Dusun Keroncia, Desa Turumo, Kecamatan Mangkutana, hingga kini masih terus memanas. Hal ini bermula karena masyarakat menolak sikap PT. Sindoka yang memagari areal lahan mereka dengan alasan HGU yang mereka kantongi. Pasalnya, dalam areal itu terdapat perkebunan produktif milik warga yang siap panen, namun tidak dapat diakses akibat adanaya pemagaran yang dilakukan PT. Sindoka.

Pada tahun 1987 pemerintah menerbitkan sertifikat hak guna usaha No. 1 Tahun 1987 atas pengolahaan lahan PT. Sindoka seluas 3.500 hektar yang digunakan dalam melaksanakan produksinya. Meski sempat tidak sempat mengelolah lahan mereka, namun PT. Sindoka mengklaim jika lahan yang mereka kuasai itu masih berlaku hingga tahun 2017 mendatang dan sementara juga menguruskan perpanjangan sertifikat HGU.
Warga yang menguasai lahan di areal kawasan PT. Sindoka mulai menggarap lahan tersebut sejak tahun 1998. Saat itu, lahan yang ada telah diterlantarkan oleh PT. Sindoka  dan memanfaatkan lahan itu untuk keperluan perkebunan masyarakat. Saat ini, jumlah warga yang menguasai lahan di areal PT. Sindoka mencapai 300 orang.
Namun, warga kecewa, ketika tanaman perkebunan mereka sudah mulai memasuki masa produktif, PT. Sindoka justry melakukan pemagaran sehingga warga kesulitan unuk memasuki areal tersebut. Polemik antara PT. Sindoka dengan warga yang menguasai lahan mulai lahan mulai nampak. Apalagi PT. Sindoka suduh mulai ingin menggarap lahan yang masuk dalam HGU. Hal tersebut juga mengakibatkan bentrok antara warga dengan polisi yang mengakibatkan kekerasan polisi terhadap masyarakat dan beberapa pihak mennyesalkan hal tersebut sebab menganggap PT. Sindoka merupakan perusahan kayu yang membabat hutan dengan dalih bio-etanol.
4.1. Saran
Masih banyak konflik yang terjadi menyangkut masalah tanah adat di indonesia dan terkesang pemerintah selalu memihak pehak yang berkepentingan, sehingga  membuat msyarakat adat menjadi dirugikan dalam hal ini.
 Untuk itu pemerintah seharusnya tidak hanya sekedar membuat peraturan tetapi tidak ada implementasi nyata, sehingga konflik seperti inisering terjadi dan sering  menimbulkan bentrok yang mengakibatkan timbulnya kekerasan, apalagi yang melakukannya adalah aparat pemerintah itu sendiri.








[1] Di aksess dari http://wardahcheche.blogspot.com/2014/04/hukum-tanah-adat.html
[2] Diakses dari http://www.slideshare.net/YogieVianto/sengketa-jual-beli-tanah-adat
[3] Diakses dari http://www.mongabay.co.id/2014/07/22/konflik-lahan-luwu-timur-polisi-dan-warga-adat-pamona-bentrok/
[4] Diakses dari http://www.aman.or.id/2013/08/27/dialog-ruu-pphma-aman-tana-luwu/
[5] Diakses dari http://manusiapinggiran.blogspot.com/2013/01/mengenal-hukum-tanah-dalam-adat.html
[6] Diakses dari http://manusiapinggiran.blogspot.com/2013/01/mengenal-hukum-tanah-dalam-adat.html
[7] Diakses dari https://setiawatiiriani.wordpress.com/2012/11/30/kedudukan-tanah-dalam-hukum-adat/
[8] Dikutip dari http://manusiapinggiran.blogspot.com/2013/01/mengenal-hukum-tanah-dalam-adat.html
[9] Dikutip dari http://manusiapinggiran.blogspot.com/2013/01/mengenal-hukum-tanah-dalam-adat.html
[10] Diakses dari http://manusiapinggiran.blogspot.com/2013/01/mengenal-hukum-tanah-dalam-adat.html
[11] Diakses dari http://manusiapinggiran.blogspot.com/2013/01/mengenal-hukum-tanah-dalam-adat.html
[12]Diakses dari http://pengertian-definisi.blogspot.com/2011/03/masyarakat-hukum-adat.html
[13] Diakses dari http://suku-dunia.blogspot.com/2014/11/sejarah-suku-pamona-di-sulawesi.html

[14] Diakses dari http://dokumenrumahtanah.blogdetik.com/pengertian-hak-guna-usaha-lengkap/
[15] Diakses dari https://cathuk.wordpress.com/2013/05/29/ringkasan-putusan-mahkamah-konstitusi-nomor-35puu-x2012/
[16] Diakses dari https://www.facebook.com/notes/raflis/putusan-mahkamah-konstitusi-nomor-35puu-x2012/1
[17] Dikutip dari http://luwuraya.com/assetcuk/uploads/2014/06/sindokavswarga.swf
[18] Diakses dari http://www.mongabay.co.id/2014/07/22/konflik-lahan-luwu-timur-polisi-dan-warga-adat-pamona-bentrok/
[19] Diakses dari http://www.luwutimurkab.go.id/lutim/index.php?option=com_content&view=article&id=3222:hindari-konflik-pemkab-mediasi-sengketa-lahan&catid=1:berita-terbaru
[20] Diakses dari http://www.aman.or.id/2015/04/24/pemerintah-setengah-hati-implementasikan-putusan-mk-no-35puu-x2012/
[21] Diakses dari http://www.aman.or.id/2015/04/24/pemerintah-setengah-hati-implementasikan-putusan-mk-no-35puu-x2012/
[22] Diakses dari http://www.slideshare.net/YogieVianto/sengketa-jual-beli-tanah-adat




DAFTAR PUSTAKA
·         http://www.aman.or.id/2015/04/24/pemerintah-setengah-hati-implementasikan-putusan-mk-no-35puu-x2012/ diakses pada hari kamis pada tanggal 01 april 2015 pukul 10.12 WITA.
·         http://suku-dunia.blogspot.com/2014/11/sejarah-suku-pamona-di-sulawesi.html diakses pada hari kamis pada tanggal 01 april 2015 pukul 13.02 WITA.
·         http://www.mongabay.co.id/2014/07/22/konflik-lahan-luwu-timur-polisi-dan-warga-adat-pamona-bentrok/ diakses pada hari kamis pada tanggal 28 april 2015 pukul 13.42 WITA.
·         http://wardahcheche.blogspot.com/2014/04/hukum-tanah-adat.html diakses pada hari kamis pada tanggal 28 april 2015 pukul 16.02 WITA.
·         https://setiawatiiriani.wordpress.com/2012/11/30/kedudukan-tanah-dalam-hukum-adat/ diakses pada hari kamis pada tanggal 01 april 2015 pukul 19.32 WITA.
·         http://www.hukumsumberhukum.com/2014/09/pengertian-hukum-adat-di-indonesia.html#_diakses pada hari kamis pada tanggal 01 april 2015 pukul 21.32 WITA.
·         http://hendru-kapantow.blogspot.com/2012/06/penyelesaian-sengketa-tanah.html diakses pada hari kamis pada tanggal 01 april 2015 pukul 22.12 WITA.
·         http://dokumenrumahtanah.blogdetik.com/pengertian-hak-guna-usaha-lengkap/ diakses pada hari kamis pada tanggal 02 april 2015 pukul 10.22 WITA.
·         https://cathuk.wordpress.com/2013/05/29/ringkasan-putusan-mahkamah-konstitusi-nomor-35puu-x2012/  diakses pada hari kamis pada tanggal 02 april 2015 pukul 10.32 WITA.
·         https://www.facebook.com/notes/raflis/putusan-mahkamah-konstitusi-nomor-35puu-x2012/10151902719892646 diakses pada hari kamis pada tanggal 02 april 2015 pukul 10.52 WITA.
·         http://luwuraya.com/assetcuk/uploads/2014/06/sindokavswarga.swf diakses pada hari kamis pada tanggal 02 april 2015 pukul 11.228 WITA.

No comments:

Post a Comment

  KETERKAITAN TEORI KEADILAN DENGAN PAJAK AIR TANAH Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pajak air tanah adalah pajak atas pengambila...