Sunday, 30 April 2017

Komisi Yudisial



KOMISI YUDISIAL
Salah satu langkah dan upaya penting dalam rangka mensinergikan reformasi peradilan reformasi pradilan di indonesia adalah dngan pembentukan sebuah lembaga yang bernama komisi yudisial melalui perubahaan ketiga UUD 1945 (Pasal 24 B) dan pengesahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004, yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial.[1]
Pertanyaan sekarang adalah mengapa  negara ini mEmbutuhkan sebuah komisi yudisial? Peran strategis apa yang bisa dilakukan oleh dalam reformasi peradilan?
Jawaban atas pertanyaan ini secara umum dapat kita lihat dalam konsideran menimbang (a dan b) UU komisi Yudisial, yang menyatakan demikian:
a.       bahwa negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan UUD RI Tahun 1945
b.      bahwa komisi yudisial memiliki peranan penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung serta pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
Pembentukan Komisi yudisal merupakan konsekuensi logis yang muncul dari penyatuan atap lembaga peradilan pada MA. Ternyata penyatuan atap berpotensi menimbulkan manopoli kekuasaan kehakimanoleh MA. Disamping itu dikhawatirkan MA tidak akan mampu melaksanakan kewnangan administratif, personel, keuangan dan organisasi pengadilan yang selama ini dilakukan oleh departemen. Bahkan pandangan yang cukup pesimis menyatakan bahwa MA tidak mungkin dapat menjalankan fungsi yang diemban dalam penyatuan atap acara baik karena mengurus dirinya sendiri saja MA tidak mampu.[2]
Pada tahun 1999, Wim Voeeman[3], ahli hukum dari Belanda melakukan penelitian terhadap lembaga semacam komisi yudisial di beberapa negara Uni Eropa. Dalam salah satu kesimpulan penelitian tersebut Voerman mengemukakan bahwa insentif yang penting untuk mendirikan komisis yudisial di hampir semua negara yang diteliti adalah untuk memajukan independensi peradilan.
Senada dengan Voerman, Penelitian yang dilakukan oleh A.Ahsin Thohari[4] menyimpulkan bahwa alasan-alasan utama sebagai penyebab munculnya gagasan komisi yudisial di berbagai negara adalah : (a) lemahnya monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman, karena monitoring hanya dilakukan secara internal saja; (b) tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah dalam hal ini depertemen kehakiman dan kekuasaan kehakiman; (c) kekuasaan kehakiaman dianggap tidak mempunyai efisiensi dan efektifitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masih disibukkan dengan persoalan-persoalan teknis non-hukum; (d) rendahnya kualitas dan tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena tidak diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen; dan (e) pola rekruitmen hakim terlalu bias dengan masalah politik karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga-lembaga politik, yaitu presiden atau parlemen.
Di Indonesia peran strategis yang dapat dilakukan oleh komisi yudisial sesuai denagn ketentuan UUD 1945 beserta perubahan dan UU Nomor 22 tahun 2004 adalah : pertama, mengusulkan pengangkatan hakim agung. Peran ini dilakukan untuk menghindari kentalnya kepentingan politk eksekutif maupun legislatif dalam rekruitmen hakim agung.
kedua, peran lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilakuhakim. Hal ini dilakukan dengan pengawasan eksternal yang sistematis dan intensif oleh lembaga independen terhadap lembaga peradilan dengan partisispasi masyarakat yang seluas-luasnya.
Peran ini harus segera diwujudkan dengan sebaik-baiknya oleh komisi yudisial karena cermin hukum bagi pencari keadilan di negeri ini kian buram. Merebaknya kasus dugaan suap yang melibatkan para hakim MA kian menyurutkan kepercayaan masyarakat pada lembaga ini.
Menjalarnaya pesimisme dan ketidakpercayaan publik terhadap institusi penegak hukum di Indonesia ditengarahi sudah berlangsung lama, sebagaimana penulis uraikan sebelumnya. Sinyalemen terjadinya permainan dan jual beli perkara oleh aparat penegak hukum terjadi mulai pengadilan tingkat pertama hingga tingkat banding di berbagai daerah. Merebaknya penyuapan terhadap hakim kian  mengokohkan citra negatif pengadilan, sekaligus menunjukkan betap susahnya mencari dan menemukan keadilan hukum yang benar-benar bersih dan obyektif dalam sistem peradilan Indonesia.
Salah satu penyebab turunnya kepercayaan masyarakat terhadap profsi hakim adalah adanya korupsi di tubuh peradilan. Tuduhan adanya korupsi di pengadilan di mulai oleh kalangan advokat dengan ungkapan "mafia peradilan". Tuduhan itu sudah dilontarkan oleh PERADIN sejak tahu 1970-an. Mafia peradilan disini tidak merujuk pada konspirasi para aparat keadilan untuk mempermainkan hukum demi keuntungan pribadi.
Penelitian yang dilakukan oleh Tim Indonesia Corporation Watch memberikan gambaran secara gamblang bagaiman pola kerja/modus operandi para pelaku mafia peradilan. Selanjutnya hasil penelitian tersebut juga mengungkapkan bahwa korupsi di peradilan tidak hanya terjadi pengadilan tingkat pertama tapi korupsi juga terjadi sampai pada puncak kekuasaan kehakiman yakni MA.[5]
Pola-pola korupsi dalam pengadilan pidana sudah mulai  berlangsung pada tahap masuk perkara. Agar perkara mendapatkan nomor perkara awal harus memberikan pelicin bagian regitrasi. Sementar pada tahap putusan, putusan dapat dinegosiasi sehingga vonis dapat diatur melalui jaksa tau haikm. Kalau melalui jaksa berarti sudah dalam paket, jaksa akan mengatur semuanya melalui dari tuntutan hingga putusan.[6]
Sementara di MA pola kerja Mafia peradilan sudah berlangsung pada tahapan pendaftaran perkara samapa pada putusan. Pada tahap putusan berlangsung dalam bentuk Sekjend atau asisten hakim agung menghubungi salah satu pihak yang bersengketa dan menawarkan kepada mereka suatu putusan yang dapat memenangkan perkara mereka. Putusan tersebut bisa dibuat sendiri oleh Sekjen atau asisten hakim agung. Bisa juga sebenarnya pihak yang berperkara sudah memenangkan perkara akan tetapi putusannya sudah diketahui oleh orang dalam MA mereka pura-pura menawarkan jasa untuk memenangkan perkaranya.[7]
Penelitian yang dilakukan oleh tim YPSDI di Jawa Timur[8]  menunjukkan bahwa secara kualitaif terjadi penyelewengan dan pelanggaran yang banyak dikeluhkan oleh pencari keadilan. Penyelewengan mulai terjadi mulai dari instansi kepolisian (Polsek, Polres/ta, Polwil, Polda), kejaksaan (negeri,tinggi), pengadilan (negeri,tinggi). Bentuk pelanggaran yang dilakukan berupa penangkapan dan penahanan yang tidak sah, penghentian penyelidikan dan penyidikan yang tidak prosedural serta proses pembuatan berita acara pemeriksaan/penimpanagn KUHAP (di kepolisian). Di Kejaksaan, pelanggaran dapat berupa penyidikan untuk kasus tertentu, penahana, pembautan surat dakwaan, surat penghentian penuntutan dan penyitaan yang tidak prosedural. Sedangkan di pengadilan, penyelewengan berupa putusan pengadilan yang tidak  fair, sangat tertutup dan diwarnai permaian uang.
Terungkapnya transaksi uang dalam dunia perdilan menunjukkan bahwa mafia peradilan yang memperdagangkan hukum dan kewnangan adalah realitas yang tak perlu dibantahkan lagi . Pada tanggal 9 Januari 2006 Harian kompas memberitahkan bahwa hakim berinisial HA, seorang ketua mejelis hakim dalam kasus PT. Jamsostek di tangkap penyidik Tim Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi Kejaksaan.[9]
Upaya Minimalis terhadap berbagai bentuk penyalahgunaan kewenangan oleh hakim dan aparat  peradilan merupakan salah satu alasan mendasar dibentuknya komis yudisial. Hal ini dapat kita simak dalam pembahasan terhadap perubahan UUD 1945 khusunya yang terkait dengan kekuasaan kehakiman.[10]
A.    Sejarah Pembentukan Komisi Yudisial[11]
Pembentukan lembaga pengawas peradilan sebenarnya sempat digagas sebelum terbentuknya Komisi Yudisial. Misalnya, ada wacana pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) dan Dewan Kehormatan Hakim (DKH). 
MPPH yang telah diwacanakan sejak tahun 1968, berfungsi memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir mengenai saran-saran dan/atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian, dan tindakan/hukuman jabatan para hakim yang diajukan, baik oleh Mahkamah Agung maupun oleh Menteri Kehakiman. Sayangnya, ide tersebut menemui kegagalan sehingga tidak berhasil menjadi materi muatan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Sementara Dewan Kehormatan Hakim (DKH) yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 berwenang mengawasi perilaku hakim, memberikan rekomendasi mengenai perekrutan, promosi, dan mutasi hakim, serta menyusun kode etik (code of conduct) bagi para hakim.
Melalui Amandemen Ketiga Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 2001 disepakati tentang pembentukan Komisi Yudisial. Ketentuan mengenai Komisi Yudisial diatur dalam Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maksud dasar yang menjadi semangat pembentukan Komisi Yudisial disandarkan pada keprihatinan mendalam mengenai kondisi wajah peradilan yang muram dan keadilan di Indonesia yang tak kunjung tegak. 
Komisi Yudisial karenanya dibentuk dengan dua kewenangan konstitutif, yaitu untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Selanjutnya, dalam rangka mengoperasionalkan keberadaan Komisi Yudisial, dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang disahkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2004.
Meski pengesahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 pada 13 Agustus 2004, namun kiprah Komisi Yudisial dimulai sejak terbentuknya organ organisasi pada 2 Agustus 2005. Ditandai dengan pengucapan sumpah ketujuh Anggota Komisi Yudisial periode 2005-2010 di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. 
Periode tersebut dipimpin Dr. M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum, dan Wakil Ketua M. Thahir Saimima, S.H., M.Hum. Anggota yang lain adalah Prof. Dr. Mustafa Abdullah (Koordinator Bidang Penilaian Prestasi Hakim dan Seleksi Hakim Agung), Zaenal Arifin, S.H. (Koordinator Bidang Pelayanan Masyarakat), Soekotjo Soeparto, S.H., L.LM. (Koordinator Bidang Hubungan Antar Lembaga), Prof. Dr. Chatamarrasjid Ais, S.H., M.H. (Alm) (Koordinator Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), dan Irawady Jonoes, S.H. (Koordinator Bidang Pengawasan Keluhuran Martabat dan Perilaku Hakim) yang tidak dapat menuntaskan hingga masa jabatan berakhir.
Dalam perjalanannya, lembaga yang diberi amanat untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim ini tak luput dari peristiwa yang menyesakan dada. 
Sebanyak 31 orang hakim agung mengajukan permohonan uji materiil (judicial review) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Yang akhirnya, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:  005/PUU-IV/2006, beberapa kewenangan dalam pengawasan hakim dan hakim MK tidak berlaku. Terkait hakim konstitusi, putusan tersebut menjadi perdebatan panjang lantaran pemohon tidak pernah mengajukannya.
Pada 20 Desember 2010 masa jabatan Anggota Komisi Yudisial Periode 2005 – 2010 berakhir dan digantikan oleh Anggota Komisi Yudisial Periode 2010 – 2015. Ketujuh Anggota Komisi Yudisial Periode 2010 – 2015 pada tanggal tersebut mengucapkan sumpah di hadapan Presiden di Istana Negara dan secara resmi menjadi Anggota Komisi Yudisial. Sehari setelahnya, 21 Desember 2010, dilaksanakan proses serah terima jabatan Anggota Komisi Yudisial Periode 2005 – 2010 kepada Anggota Komisi Yudisial Periode 2010 – 2015 di kantor Komisi Yudisial. Anggota Komisi Yudisial Periode 2010 – 2015, yaitu Prof. Dr. H. Eman Suparman, S.H., M.H, H. Dr. Imam Anshori Saleh, S.H., M.Hum, Dr. Taufiqurrohman S, S.H., M.H, Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si, Dr. H. Abbas Said, S.H., M.H, Dr. Jaja Ahmad Jayus, S.H., M.Hum, dan Dr. Ibrahim, S.H., M.H., LL.M. Proses suksesi keanggotaan ini dilanjutkan dengan Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Komisi Yudisial, yang dipilih dari dan oleh Anggota Komisi Yudisial, pada 30 Desember 2010. Hasilnya, Prof. Dr. H. Eman Suparman, S.H., M.H terpilih sebagai Ketua dan H. Imam Anshori Saleh, S.H., M.Hum terpilih sebagai Wakil Ketua.
Usaha untuk merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial mulai membuahkan hasil dengan lahirnya Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang disahkan pada 9 November 2011. Kelahiran Undang – Undang ini menandai kebangkitan kembali Komisi Yudisial. 
Selain itu, amunisi lain yang menguatkan kewenangan Komisi Yudisial adalah Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum; Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.    
Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang–Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial tersebut memberikan berbagai tugas dan wewenang baru bagi Komisi Yudisial, antara lain : melakukan seleksi pengangkatan hakim adhoc di Mahkamah Agung, melakukan upaya peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim, melakukan langkah-langkah hukum dan langkah lain untuk menjaga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, melakukan penyadapan bekerja sama dengan aparat penegak hukum, dan melakukan pemanggilan paksa terhadap saksi. 
Disahkannya undang-undang tersebut merupakan konkritisasi dari upaya memperkuat wewenang dan tugas Komisi Yudisial sebagai lembaga negara independen yang menjalankan fungsi checks and balances di bidang kekuasaan kehakiman dalam rangka mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. 
Namun dalam perjalanan melaksanakan wewenang dan tugas tersebut, Komisi Yudisial mendapatkan banyak dukungan dari berbagai elemen masyarakat. Misalnya, saat para advokat dan/atau Pengacara Publik pada LKBH Usahid Jakarta, ICW, ILR, LBH Jakarta, YLBHI, MTI, TIl, Perludem, PUSaKO Universitas Andalas, dan KRHN, yang tergabung dalam Koalisi Mayarakat Untuk Peradilan Profesional, yang beralamat di LKBH Usahid Jalan Prof. Dr. Soepomo, SH., Nomor 84, Tebet, Jakarta Selatan melakukan judicial review terkait mekanisme pengangkatan hakim agung. 
Berdasarkan Pasal 18 ayat 4 Undang–Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, dalam jangka waktu paling lambat 15 hari terhitung sejak berakhirnya seleksi berakhir, Komisi Yudisial berkewajiban untuk menetapkan dan mengajukan 3 calon hakim agung kepada DPR dengan tembusan disampaikan kepada Presiden. 
Pemohon meminta agar mekanisme pengangkatan hakim agung di bawah UU MA dan UU KY harus dikembalikan kepada perintah konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27-PUU/XI/2013 mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya di mana Komisi Yudisial menetapkan dan mengajukan 1 calon hakim agung kepada DPR untuk setiap 1 lowongan hakim agung dengan tembusan disampaikan kepada Presiden.
Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Peraturan Komisi Yudisial Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemilihan Pimpinan Komisi Yudisial, masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Komisi Yudisial dijalankan selama 2 tahun 6 bulan dan dapat dipilih kembali untuk 2 tahun dan 6 bulan berikutnya. Prof. Dr. H. Eman Suparman, S.H., M.H. dan H. Imam Anshori Saleh, S.H., M.Hum. mengakhiri masa kepemimpinannya sebagai Ketua dan Wakil Ketua Komisi Yudisial periode Desember 2010 – Juni 2013 pada 30 Juni 2013. Keduanya telah memimpin Komisi Yudisial selama 2,5 tahun sejak terpilih pada 30 Desember 2010 lalu. 
Setelah diadakan pemilihan kembali secara terbuka dan demokratis untuk menentukan Ketua dan Wakil Ketua Komisi Yudisial periode Juli 2013 – Desember 2015, terpilihlah Dr. Suparman Marzuki S.H., M.Si. sebagai Ketua Komisi Yudisial dan Dr. H. Abbas Said, S.H., M.H. sebagai Wakil Ketua Komisi Yudisial. Setelah 2 tahun 6 bulan melaksanakan tugas, Pimpinan dan Anggota KY Periode 2010-2015 ini mengakhiri masa tugasnya pada 18 Desember 2015.
Lima Anggota Komisi Yudisial Periode 2015 – 2020, yaitu Drs. H. Maradaman Harahap, S.H., M.H., Dr. Sumartoyo, S.H., M.Hum., Dr. Joko Sasmito, S.H., M.H., Sukma Violetta, S.H., LL.M., dan Dr. Farid Wajdi, S.H., M.Hum. mengucap sumpah terlebih dahulu di hadapan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, pada Jumat, 18 Desember 2015. Kemudian menyusul dua Anggota KY lainnya, yaitu Dr. Aidul Fitriciada Azhari, S.H., M.Hum dan Dr. Jaja Ahmad Jayus, S.H., M.Hum mengucap sumpah di hadapam Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, Jumat, 12 Februari 2016.
Lengkapnya susunan Anggota KY tersebut dilanjutkan dengan pemilihan Ketua dan Wakil Ketua KY definitif yang digelar pada Jumat, 26 Februari 2016, pukul 09.30 WIB di Gedung KY, Jalan Kramat Raya No.57, Jakarta Pusat. Hasilnya, Dr. Aidul Fitriciada Azhari, S.H., M.Hum terpilih sebagai Ketua KY dan Sukma Violetta, S.H., LL.M. sebagai Wakil Ketua KY Paruh Waktu I Periode 2015-2020. 
Tujuan Komisi Yudisial[12]
  1. Mendapatkan calon Hakim Agung, Hakim Ad Hoc di MA dan hakim di seluruh badan peradilan sesuai kebutuhan dan standar kelayakan.
  2. Mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim.
  3. Peningkatan kepatuhan hakim terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
  4. Terwujudnya kepercayaan publik terhadap hakim.
  5. Meningkatkan kapasitas kelembagaan Komisi Yudisial yang bersih dan bebas KKN. 
Visi dan Misi Komisi Yudisial [13]
Visi Komisi Yudisial
“Terwujudnya Komisi Yudisial yang bersih, transparan, partisipatif, akuntabel, dan kompeten dalam mewujudkan hakim yang bersih, jujur dan profesional”.

Misi Komisi Yudisial
  1. Menyiapkan dan merekrut calon Hakim Agung, Hakim Ad Hoc di Mahkamah Agung dan hakim yang bersih, jujur dan profesional.
  2. Menjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim secara efektif, transparan, partisipatif dan akuntabel.
  3. Menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim secara adil, objektif, transparan, partisipatif dan akuntabel.
  4. Meningkatkan kepercayaan publik terhadap hakim.
  5. Meningkatkan kapasitas kelembagaan Komisi Yudisial menjadi lembaga yang bersih, transparan, partisipatif, akuntabel dan kompeten. 
Sasaran Strategis Komisi Yudisial[14]
  1. Tersedianya Hakim Agung, Hakim Ad Hoc di Mahkamah Agung dan hakim yang kompeten dan berintegritas. 
  2. Terwujudnya peningkatan kompetensi hakim yang mengikuti pelatihan dan kesejahteraan hakim.
  3. Terwujudnya pengambilan langkah hukum/langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.
  4. Terwujudnya hakim yang berkomitmen untuk melaksanakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. 
  5. Meningkatnya kepercayaan publik terhadap hakim. 
  6. Peningkatan kapasitas kelembagaan menjadi organisasi yang efektif dan efisien.
B.     Dasar Hukum Dibentuknya Komisi Yudisial[15]
  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 24A ayat (3): Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
Pasal 24B: (1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,serta perilaku hakim. (2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. (3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.
  1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.
  2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
  3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Hakim.
  4. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
  5. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
  6. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
8.      Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial
C.    Wewenang Tugas dan Keanggotaan Komisi Yudisil
Komisi yudisial dibentuk berdasarkan ketentuan pasal 24B UUD 145 dan UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Dibentuknyya komisi yudisial kian memperbanyak jumlah institusi –institusi negara yang mandiri (state auxiliaris instutition) dalam struktur ketetanegaraan indonesia.
Pasal 22 UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komis Yudisial menyatakan “Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya”
Dari ketentuan tersebut maka komisi Yudisial merupakan lembaga ang mandiri (independence). Secara etimologis istilah “mandiri” berarti menunjukkan kemanpuan berdiri sendiri, swapraja, swasembada.[16] Tidak adanya campur tangan dari kekuasaan lain atau tidak bergantung suatu pihak kepada pihak lainnya dalam literatur juga berarti “independen” dari bahasa inggrisnya independence.
Menurut Jimmly Asshiddiqie[17] ada tiga pengertian indenpendensi, yaitu: (1) structutal indenpendence,  yaitu indenpendensi kelembagaan dimana struktur suatu organisasi yang dapat digambarkan dalam bagan yang sama sekali terpisah dari organisasi lain; (2) fuctional indenpendance, yaitu indenpendensi ang dilihat dari segi jaminan pelaksanaan fungsi dan tidak ditekankan dari struktur kelembagaannya; dan (3) financial independence, yaitu dilihat dari kemandiriannya menentukan sendiri anggaran yang dapat dijamin kemandiriannya dalam menjalankan fungsi.
Kedudukan komisi yudisial sangat penting. Secara struktural kedudukannya diposisikan sederajat dengan MA dan MK, akan tetapi secara fungsional perananya bersifat penunjang (auxiliary) terhadap lembaga kekuasaan kehakiman. Komisi yudisial, meskipun kekuasaana terkait dengan kekuasaan kehakiam, tidak menjalankan fungsi kekuasaan kehakiaman. Komisi ini bukanlah lembaga penegak norma hukum (code of law) melainkan lembaga penegak norma etik (code of etik).[18]
Walaupun komisi yudisial ditentukan sebagai lembaga yang independen tersebut tidak berarti bahwa komisi yudisial tidak diharuskan bertanggung jawab oleh undang-undang. Pasal 38 UU Komisi Yudisial :
(1)    Komisi Yudisial bertanggung jawab kepada publik melalui DPR.
(2)    Pertanggungjawaban kepada publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara:
a.       menerbitkan laporan tahunan; dan
b.      membuka akses informasi secara lengkap dan akurat.
(3)    Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a paling sedikit memuat:
a.       laporan penggunaans anggaran;
b.      data yang berkaitan dengan tugas  mengusulkan pengangkatan hakim agung  kepada DPR; dan
c.       data yang berkaitan dengan tugas menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim.
(4)   Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disampaikan pula kepada Presiden.
(5)   (5)Keuangan Komisi Yudisial diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan menurut ketentuan Undang-Undang.
2.      Wewenag dan Tugas Komisi Yudisial
Dalam pasal 24 B UUD 1945 digunkan istilah "wewenang" untuk menunjukkan fungsi yang harus dilakukan oleh komisi yudisial. Penggunaan istilah "wewenang" menurut Tim Penyusun Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Komisi Yudisial versi Mahkamah Agung[19] kurang tepat karena kata wewenang biasanya diartikan sebagai hak-hak yang dimiliki seseorang  atau suatu badan untuk menjalankan tugasnya. Sementara fungi komisi yudisial berati dalam rangka apa komisi yudisial di bentuk dan tugas menunjukkan hal-ahal apa yang wajib dilakukan oleh suatu lembaga guna mencapai fungsi yang diharapkan.
Dalam UU Komisi Yudisial digunakan istilah wewenang dan tugas, tidak dijabarkan tentang fungsi dari komisi yudisial. Ada pendapat yang mengatakan bahwa wewenang (Bevoegdheid) mengandung penegertian tugas (Plichten) dan hak (rechten). Menurut Bagir Manan[20] wewenang mengandung makna kekuasaan (macht) yng ada pada orfan, sedangkan tugas dan hak ada pada pejabat dari organ.
Pasal 13 UU No. 18 Tahun 2011 Tenatng Komisi Yudisial menyatakan :
a.       mengusulkan pengangkatan hakim agung dan nhakim ad hoc di Mahkamh Agung kepada DPR untuk mendapat persetujuan;
b.      menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
c.       menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung; dan
d.      menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.
C.1. Mengusulkaan Pengangkatan Hakim Agung kepada DPR
Untuk memperoleh hakim ang mampu menyelesaikan tugas dengan baik dan menjaga kehormatan profesi dengan baik dan menjaga kehormatan profesi dengan baik pula maka tentu saja dibutuhkan sistem rekruitmen, seleksi dan pelatihan yang baik. Odette Buitendam (Mantan Menteri Kehakiman Belanda) menyatakan bahwa “good judge are not born but made”
Berbicara tentang sistem seleksi dan rekruitmen hakim jika dikaitkan dengan sistem hukum yang dianut oleh masing-masing negara maka secara umum paling tidak ada 2 model besar. Di negara yang menganut sistem commo law, biasanya rekruitmen hakim bersifat terbuka. Hakim di pengadilan tingkat pertama direkrut dari orang yang pernah menempuh karir sebagai praktisi hukum, legislatif, eksekutif, akademisi hukum atau kalangan hukum yang lain. Sebaliknya di negara yang menganut tradisi civil law seperti Italia, Belanda dan Indonesia, rekruitmen hakim pada pengadilan tingkat pertama diambil dari mahasiswa yang baru lulus dari fakultas hukum.
Di Indonesia, sejak kehadiran Komisi Yudisial khusus untuk rekruitmen Hakim Agung lebih tepat dikatakan menganut sistem campuran karena calon hakim agung disamping berasal dari hakim karir, akan tetapi juga berasal dari non hakim seperti praktisi hukum, akademisi hukum dan lain-lain asal memenuhi syarat yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.
Dalam kaitan ini, Pasal 14 UU No. 22 Tahun 2004 menyatakan :
(1) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, Komisi Yudisial mempunyai tugas:
a.    melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
b.   melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
c.    menetapkan calon Hakim Agung; dan
d.   mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.
(2)  Dalam hal berakhir masa jabatan Hakim Agung, Mahkamah Agung menyampaikan
kepada Komisi Yudisial daftar nama Hakim Agung yang bersangkutan, dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya jabatan tersebut.
(3)  Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan, sejak Komisi Yudisial menerima pemberitahuan dari Mahkamah Agung mengenai lowongan Hakim Agung.
               Selanjutnaya Pasal 16 UU No. 22 Tahun2004 menyebutkan :
(1) Pengajuan calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial harus memperhatikan persyaratan untuk dapat diangkat sebagai Hakim Agung sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(2)  Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengajuan calon hakim agung harus memenuhi persyaratan administrasi dengan menyerahkan sekurang-kurangnya:
a.       daftar riwayat hidup, termasuk riwayat pekerjaan;
b.      ijazah asli atau yang telah dilegalisasi;
c.       surat keterangan sehat jasmani dan rohani dari dokter rumah sakit pemerintah;
d.      daftar harta kekayaan serta sumber penghasilan calon; dan
e.       Nomor Pokok Wajib Pajak.
Kemudian Pasal 18 Mengatur :
(1)  Komisi Yudisial menyelenggarakan seleksi terhadap kualitas dan kepribadian calon Hakim Agung yang telah memenuhi persyaratan administrasi berdasarkan standar yang telah ditetapkan.
(2)  Komisi Yudisial mewajibkan calon Hakim Agung menyusun karya ilmiah dengan topik yang telah ditentukan.
(3)  Karya ilmiah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sudah diterima Komisi Yudisial, dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari sebelum seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan.
(4)  Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara terbuka dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari.
(5) Dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir, Komisi Yudisial menetapkan dan mengajukan 3 (tiga) orang nama calon Hakim Agung kepada DPR untuk setiap 1 (satu) lowongan Hakim Agung, dengan tembusan disampaikan kepada Presiden.
Sebelum kelahiran Komisi Yudisial sistem seleksi dan rekruitmen hakim agung didasarkan pada pasal 8 ayat (1) UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung  dimana kewenangan untuk memilih hakim agung berada di tangan Presiden berdasarkan nama yang diajukan oleh DPR. Dalam mengusulkan nama calon ke Presiden, DPR wajib mendengarkan pendapat MA dan pemerintah.
Proses rekruitmen hakim yang dilaksanakan pada masa orde baru berdasarkan UU No. 4 Tahun 1985 memperlihatkan beberapa kelemahan, antara lain : (1) tidak ada parameter yang obyektif untuk mengukur kualitas dan integritas hakim calon hakim agung; (2) adanya indikasi praktek dropping nama, dimana hakim agung akan memberikan usulan nama kepada MA dengan harapan ketua MA akan memberikan perhatian pada si kandidat dan memasukkan namanya dalam daftar, dan (3) adanya indikasi jaringan, pertemanan, hubungan keluarga dan sebagainya ang menyebabkan pemilihan tidak dilakukan secara obyektif.
Pada era pasca tumbangna Orde Baru, seleksi dan rekruitmen hakim agung yang sebelumnya didominasi oleh pemerintah (Depkeh) dan MA digeser oleh dominasi peran DPR dengan menggunakan mekanisme “fit and proper test”.
Walaupun sudah dilakukan melalui mekanisme “fit and proper test” oleh DPR ternyata juga menyimpan bayak kelemahan mendasar. Berdasarkan pantau yang dilakukan oleh Lelp dan Koalisi NGO (ORNOP) mencatat beberapa distrorsi:[21]dalam proses rekruitmen hakim agung
1.      Kurang Tranparan dan Akuntabel. Dalam proses rekruitmen hakim agung terutama pada tahap klarifikasi dilakukan secara tertutup. Pada awalnya ada 84 bakal calon yang diusulkan oleh pemerintah dan masyarakat. Setelah melalui tahap klarifikasi jumlah bakal calon tinggal 46 orang. Tidak ada penjelaan secara resmi yang terbuka dan jelas mengapa bakal calon lainnya ang berjumlah 38 orang tidak lolos dalam tahap klarifikasi;
2.      Permainan Uang dan Politik Dagang Sapi. Proses fit and proper test tidak terlepasdari praktek permainan uang dan politik dagang sapi. Ada dugaan bahwa bakal calon hakim agung, ketua dan wakil ketua MA yang memberikan sejumlah uang satu atau lebih anggota DPR gunamemuluskan pemilihanna. Bahkan kabarnya, dana tersebut juga berasal dari “bantuan” pihak-pihak ang memiliki kepentingan kepada MA, termasuk Konglomerat.
3.      Kurang Maksimalnya Pelibatan Masyarakat. Dengan dukungan pers yang bebas plus beberapa anggota DPR masyarakat dapat memperoleh informasi tentang proses fit and proper test dan masyarakat cukup aktif memberikan pengaduan kepada DPR mengenai track record bakal calon. Hana sayangnya tidak ada satupun laporan masyarakat yang ditelusuri dan diklarifikasi lebih jauh oleh anggota DPR kepada pelapor atau pihak-pihak lain ang berkompeten;
4.      Parameter Kurang Obyektif. Parameter penilaian tidak diuji terlebih dahulu oleh DPR agar lebih obyektif;
5.      Kompetensi yang Lemah. Utuk dapat menguji dengan baik dibutuhkan anggota-anggota DPR nag menguasai permasalahan yang akan diuji,kritis serta telah melakukan persiapan-persiapan ang dibutuhkan. Permasalahannya sebagian anggota DPR yang melakukan pengujian tersebut tidak memenuhi hal-hal diatas.
6.      Bahkan the right man on the right place. Dalam fit and proper test yang lalu pertimbangan pemahaman hukum bakal calon hakim agung tidak dihubungkan kebutuhan rill MA. Akhirnya jumlah hakim ang menguasai bidang tata usaha negara dan  jidicial review 7 (tujuh) orang, jauh melebihi rata-rata jumlah perkara TUN dan hak uji materiil ke MA tiap tahunnya.
7.      Kekosongan yang Lama. Pada pemilihan hakim agung yang lalu, terjadi gap antara kekosongan jabatan hakim agung dengan pengisian yang lambat.
8.      Kurang Menghargai Bakal Calon. Ada anggota DPR yang proses seleksi yang kasar dan bertanya sambil mengebrak meja kepada bakal calon hanya karena bakal calon pernah menghukum rekan separtaina.
9.      Partai walkout dan abstain serta Presiden yang menolak memilih. Fenomena yang terjadi pada tahun 2000 yang lalu adalah adanya partai ang walkout dan abstain dalam pengesahan calon di DPR serta Presiden tidak mau memilih salah satu calon yang diusulkan DPR sampai sekitar 5 bulan. Yang terakhir ini menyebabkan kekosongan kursi ketua MA menjadi semakin lama dan mengganggu kinerja lembaga tersebut.
Untuk menutupi beberapa kelemahan sistem seleksi dan rekruitmen hakim agung yang berlangsung selama ini, maka diakomodasinya keberadaan komisi yudisial dalam pasal 24B UUD 1945 dan UU No. 22 tahun 2004 dianggap tepat.
Pasal 17 ayat (3) UU No. 22 tahun 2004 menegaskan bahwa dalam melaksanakan seleksi dan rekruitmen calon hakim agung yang oleh komisi yudisial “Masyarakat berhak memberikan informasi atau pendapat terhadap calon Hakim Agung dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Selanjutnya ayat (4) Komisi Yudisial melakukan penelitian atas informasi atau pendapat masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak pemberian informasi atau pendapat berakhir.
Kemudian pasal 18 mengatur :
(1)   Komisi Yudisial menyelenggarakan seleksi terhadap kualitas dan kepribadian calon Hakim Agung yang telah memenuhi persyaratan administrasi berdasarkan standar yang telah ditetapkan.
(2)   Komisi Yudisial mewajibkan calon Hakim Agung menyusun karya ilmiah dengan topik yang telah ditentukan.
(3)   Karya ilmiah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sudah diterima Komisi Yudisial, dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari sebelum seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan.
(4)   Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara terbukadalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari.
(5)   Dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejakseleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir, Komisi Yudisial menetapkan dan mengajukan 3 (tiga) orang nama calon Hakim Agung kepada DPR untuk setiap 1 (satu) lowongan Hakim Agung, dengan tembusan disampaikan kepada Presiden.
Tahap selanjutnya darp proses rekruitmen hakimagung adalah DPR memilih hakim agung berdasarkan daftar nama ang diajukan Komisi Yudisial bersifat mengikat, artinya DPR wajib dan hanya dapat memilih bakal calon diantara daftar nama yang diajukan oleh Komisi Yudisial.
Selanjutnya pasal 19 UU No. 22 Tahun 2004 menyatakan :
(1)   DPR telah menetapkan calon Hakim Agung untuk diajukan kepada Presiden dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterima nama calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5).
(2)   Keputusan Presiden mengenai pengangkatan Hakim Agung ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak Presiden menerima nama calon yang diajukan DPR.
(3)   Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampaui tanpa ada penetapan, Presiden berwenang mengangkat Hakim Agung dari calon yang diajukan Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5).
C.2. Pengawasan Dalam Rangka Menegakkan Kehormatan Dan Keluhuran serta Menjaga Perilaku Hakim
            Dalam catatan MA, paling tidak ada 6 (enam) kelemahan pengawasan intern ang dilakukan oleh MA selama ini, yakni : pertama, kurangnya transparansi dan akuntabilita. Hal ini dapat disimpulkan dari tidak adanya mekanisme yang memberikan hak bagi pelapor untuk mengetahui laporan kemajuan terhadap laporan yang mereka masukkan; kedua, adanya dugaan semangat membela korps. Keengganan korps hakim untuk mengangkat kasus-kasus menimpa anggotanya, secara tidak langsung telah menyuburkan praktek-praktek tidak baik peradilan.
Ketiga, kurang lengkapnya metode pengawasan dan tidak dijalankan metode pengawasan yang ada secara efektif; keempat, kelemahan sumber daya manusia. Penentuan seseorang menjadi pengawas tidak jelas. Di MA, seluruh ketua muda dan hakim agung otomatis menjadi pengawas. Hal yang sama terjadi dalam pemilihan hakim tinggi yang membantu pengawasan. Selain itu, mayoritas pengawas tidak bekerja secara penuh karena memnag tugas utama hakim agung adalah memutus perkara.
Kelima, pelaksanaan pengawasan yang selama ini berjalan kurang melibatkan partisipasi masyarakat; dan keenam, rumitnya birokrasi yang harus dilalui untuk melaporkan/mengadukan perilaku hakim yang menimpang.[22]
Pengawasan ekstern terhadap perilaku hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial diharapkan dapt menutupi kelemahan-kelemahan pengawasan intern ang dilakukan oleh MA. Pasal 22 UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial menyatakan :
(1)   Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Komisi Yudisial:
a.       menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim;
b.      meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim;
c.       melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim;
d.      memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim; dan
e.       membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.
(2)   Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial wajib:
a.       menaati norma, hukum, dan ketentuan peraturan perundangundangan; dan
b.      menjaga kerahasiaan keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia Komisi Yudisial yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota.
(3)   Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
(4)   Badan peradilan dan hakim wajib memberikan keterangan atau data yang diminta Komisi Yudisial dalam rangka pengawasan terhadap perilaku hakim dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan Komisi Yudisial diterima.
(5)   Dalam hal badan peradilan atau hakim tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi wajib memberikan penetapan berupa paksaan kepada badan peradilan atau hakim untuk memberikan keterangan atau data yang diminta.
(6)   Dalam hal badan peradilan atau hakim telah diberikan peringatan atau paksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tetap tidak melaksanakan kewajibannya, pimpinan badan peradilan atau hakim yang bersangkutan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
(7)   Semua keterangan dan data sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat rahasia.
(8)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Komisi Yudisial.
Berdasarkan ketentuan  pasal 22 diatas maka Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan perilaku hakim dilakukan berdasarkan laporan berkala ang diberikan oleh badan peradilan berdasarkan permintaan Komisi Yudisial.
Laporan masyarakat mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh hakim memiliki peran yang sangat penting, karena kerapkali masyarakatlah yang berinteraksi langsung ddengan hakim ketika berperkara di pengadilan. Selain laporan masyarakat ang disampaikan secara langsung, Komisi Yudisial juga dapat memperoleh informasi dari mengenai dugaan pelanggara perilaku hakim dari surat kabar atau media masa.
Media masa harus dianggap sebgai bagian atau wakil masyarakat, sehingga pemberitaan media massa tentang penyimpangan perilaku hakim juga harus ditindaklanjuti dengan cara yang sama seperti halna bila komisi yudisial mendapat dugaan pelanggaran perilaku yang berasal dari masyarakat.
Komisi yudisial sebaiknya mewujudkan transparansi dan akuntabilitas dalam melaksanakan tugas pengawasan terhadap perilaku hakim dengan beberapa langkah berikut : (1) pemberitahuan kepada para  pihak dan perlindungan kerahasian indentitas pelapor. Hendaknya komisi yudisial menginformasikan kepada pelapor, apakah laporan penyimpangan perilaku oleh hakim ditindak lanjuti atau tidak dan hendaknya identitas diri pelapor harus betul-betul dijaga kerahasiannya agar masyarakat atau pihak manapun tidak enggan melaporkannya penyimpangan perilaku oleh hakim; (2) akses informasi. Komisi yudisial perlu membuka informasi kepada pihak yang tidak berkepentingan secara langsung, karena masyarakat secara luas juga memiliki hak atas proses dan hasil pengawasan ang dilakukan oleh komisi yudisial. Hana saja perluh dipilah dan dipilih informasi yang diakses oleh publik dan mana yang bersifat rahasia; (3) penerbitan laporan tahunan. Disamping komisi yudisial menyampaikan laporan dan pertanggungjawaban kepada pihak-pihak yang berkepentingan secara langsung, dipandang perlu juga menerbitkan laporan yang disampaikan kepada masyarakat sebagai pertanggungjawaban kepada publik.[23]
Selanjutnya babakan akhir dari hasil pengawasan yang dilakukan oleh komisi yudisial terhadap pelanggaran perilaku berujung pada rekomendasi kepada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Pasal 23D UU Komisi Yudisial menegaskan :
(1)   Dalam hal dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilak Hakim dinyatakan terbukti sbagimana dimaksud dalam pasal 22C huruf a, Komisi Yudisial mengusulkan penjatuhan sanksi terhadap hakim yang diduga melakukan pelanggaran kepada Mahkamah Agung
(2)   Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :
a.       Sanksi ringan terdiri atas :
1)      tegran lisan;
2)      teguran tertulis; dan
3)      pernyataan tidak puas secara tertulis.
b.      Sanksi sedang terdiri atas :
1)      penundaan kenaikan gaji berkala paling lama 1 (satu) tahun;
2)      penurunan gaji sebesar 1(satu) kali kenaikan gaji berkala paling lama 1 (satu) tahun;
3)      penundaan kenaikan pangkat palin lama 1 (satu) tahun; atau
4)      hakim nonpalu paling lama 6 (enam) bulan.
c.       Sanksi berat terdiri atas :
1)      pembebasan dari jabatan struktural;
2)      hakim nonpalu lebih dari 6 (enam) bulan sampai dengan 2 (dua) tahun.
3)      pemberhentian sementara;
4)      pemberhentian tetap dengan hak pensiun; atau
5)      pembertian tetap dengan tidak hormat.
(3)   Mahkamah Agung menjatuhkan sanksi terhadap Hakim yang melakukan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoma Perilaku Hakim ang diusulkan oleh Komisi Yudisial dalam waktupaling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal usulan diterima.
E. Keanggotaan Komisi Yudisial
Perubahan ketiga UU 1945 tidak mengatur menegenai komposisi Anggota Komisi Yudisial. Pasal 24 B UUD 1945 hanya mengatur persyaratan bahwa anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memilki integritas dan kepribadian tidak tercela.
Lebih lanjut pengaturan tentang persyaratan untuk menjadi anggota Komisi Yudisial ditentukan dalam pasal 26 UU N0. 18 tahun 2011 yang menyatakan bahwa persyaratan untuk
Untuk dapat diangkat menjadi anggota Komisi Yudisial, seorang calon harus memenuhi syarat:
a.       warga negara Indonesia;
b.      bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.       setia pada Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945;
d.      berusia paling rendah 45 (empat puluh lima) tahun dan paling tinggi 68 (enam puluh delapan) tahun pada saat proses pemilihan;
e.       berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang relevan dan/atau mempunyai pengalaman dibidang hukum paling singkat 15 (lima belas)tahun;
f.       berkomitmen untuk memperbaiki sistem peradilan di Indonesia;
g.      memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;
h.      memiliki kemampuan jasmani dan rohani;
i.        tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan; dan
j.        melaporkan harta kekayaan.
Pengaturan mengenai pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial merupakan hal penting setidaknya karena anggota komisi yudisial merupakan hal peting setidaknya karena 2 (dua) alasan, Pertama, Komisi Yudisial memiliki fungsi ang membutuhkan kulaitas anggota ang baik, terutama integritas yang kokoh. Karen untuk dapat melakukan pengawasan dan rekruitmen hakim agung dengan baik maka anggota Komisi udisial harus mempunyai kualitas dan integritas yang tidak meragukan.
Kedua, Konsitusi menyatakan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri. Agar dapat mandiri setidaknya pihak yang memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan adalah pihak yang dapat menjamin kemandirian tersebut, persyaratan dan pemberhentian diatur secar ketat dan mekanisme untuk mengangkat serta memberhentikanya dilakukan dengan memenuhi prinsip transparansi, partisipasi dan akuntabilitas dan sebagainya.[24]
Persoalan siapa yang memiliki kewenangan untuk mengangkat anggota Komis Yudisial telah diatur secara tegas dalam Pasal 24 B ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945, yang menyatakan bahwa anggota Komis Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan DDPR.
Pasal 27 UU No. 22 Tahun 2004 selanjutkan menyatakan :
(1)   Anggota Komisi Yudisial diangkat oleh Presiden dengan persetujuan DPR.
(2)   Persetujuan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada Presiden dalam jangka waktu paling lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak menerima pencalonan Anggota Komisi  Yudisial yang diajukan Presiden.
(3)   Presiden menetapkan keputusan mengenai pengangkatan Anggota KomisiYudisial, dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari sejak menerima persetujuan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Tahap yang harus dilalui dalam melakukan rekruitmenanggota Komisi Yudisial ditentukan dalam pasal 28 UU Komisi Yudisial :
(1)   Sebelum mengajukan calon Anggota Komisi Yudisial kepada DPR,  Presiden membentuk Panitia Seleksi Pemilihan Anggota Komisi Yudisial.
(2)   Panitia Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur pemerintah, praktisi hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat.
(3)   Panitia Seleksi mempunyai tugas:
a.       mengumumkan pendaftaran penerimaan calon Anggota Komisi Yudisial dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari;
b.      melakukan pendaftaran dan seleksi administrasi serta seleksi kualitas dan integritas calon Anggota Komisi Yudisial dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari terhitung sejak pengumuman pendaftaran berakhir;
c.       menentukan dan menyampaikan calon Anggota Komisi Yudisial sebanyak 14 (empat belas) calon, dengan memperhatikan komposisi Anggota Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari.
(4)   Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Panitia Seleksi bekerja secara transparan dengan mengikutsertakan pastisipasi masyarakat.
(5)   Dalam waktu paling lambat 15 (lima belas) hari sejak menerima nama calon dari  Panitia Seleksi, Presiden  mengajukan 14 (empat belas) nama calon Anggota Komisi  Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c kepada DPR.
(6)   DPR wajib memilih dan menetapkan 7 (tujuh) calon anggota dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima usul dari Presiden.
(7)   Calon terpilih disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal berakhirnya pemilihan untuk disahkan oleh Presiden.
(8)   Presiden wajib menetapkan calon terpilih paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal diterimanya surat Pimpinan DPR.
Masa jabatan untuk anggota Komisi Yudisial ditentukan selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Ketentuan tentang masa jabatan ini cukup realistis untuk melaksanakantugas yang dibebankan. Masa jabatan yang tidak terlalu lama merupakan upaya untuk meminimalisir potensi penyalahgunaan kewenangan. Di sejumlah negara masa jabatan anggota komisi yudisial cukupberagam walaupun secara umum tidak lebih dari lima tahun. Misalnya Komisi Yudisial California, Prancis, Denmark, dan Italia menerapkan asa jabatan 4 tahun sementara Spanyol menetapkan masa jabatan 5 tahun.
Dalam UU No. 22 tahun 2001 Pasal 31 menyatakan, Anggota Komisi Yudisial dilarang merangkap menjadi :
a.       pejabat negara atau penyelenggara negara menurut peraturan perundang-undangan;
b.      hakim;
c.       advokat;
d.      notaris dan/atau Pejabat Pembuat Akta Tanah;
e.       pengusaha, pengurus atau karyawan badan usaha milik negara atau badan usaha
f.       swasta;
g.      pegawai negeri; atau
h.      pengurus partai politik.
Pasal 32 menyebutkan : Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Yudisial diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Komisi Yudisial apabila :
a.       meninggal dunia;
b.      permintaan sendiri;
c.       sakit jasmani atau rohani terus menerus; atau
d.      berakhir masa jabatannya.
Pasal 33 ayat (1) menyebutkan : Ketua, Wakil Ketua, Anggota Komisi Yudi sial diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden dengan persetujuan DPR, atas usul Komisi Yudisial dengan alasan:
a.       melanggar sumpah jabatan;
b.      dijatuhi pidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan
c.       berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
d.      melakukan perbuatan tercela;
e.       terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya; atau
f.       melanggar larangan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31.
Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alsan sebagaimana dimaksud pada pasal 33 ayat (1) huruf c dan b dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Dewan Kehormatan Komisi Yudisial.
Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Yudisial sebelum diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 ayat (1) dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Presiden, atas usul Komisi Yudisial yang didasarkan Pada Pasal 35 menyatakan :
(1)    Apabila terhadap seorang Anggota Komisi Yudisial ada perintah penangkapan yang diikuti dengan penahanan, Anggota Komisi Yudisial tersebut diberhentikan sementara dari jabatannya.
(2)    Apabila seorang Anggota Komisi Yudisial dituntut di muka pengadilan dalam perkara pidana tanpa ditahan sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana, yang bersangkutan dapat diberhentikan sementara dari jabatannya.
Di beberapa negara lain pengangkatan dan pemberhentian anggota komisis yudisial tergantung pada sistem keanggotaan ang digunakan. Di Prancis misalna anggota komisi yudisial terdiri dari anggota  yang ex-officio dan anggota yang diangkat. Untuk maka anggota ang ex-officio seperti presiden dan menteri kehakiman maka pengangkatan dan pemberhentian berlaku ketentuan sebagaimana seorang Presiden diangkat dan diberhentikan. Sementara untuk anggota yang ditunjuk/misalnya dari organisasi hakim/jaksa dan conseil d’etat, maka mereka diangkat oleh kepala negara. Hal yang sama juga diperlihatkan oleh Italia dimana untuk ex-officio seperti presiden dan ketua pengadilan mereka diangkatdan diberhentikan sesuai dengan sistem yang ada. Sementara untuk anggota yang diangkat/ditunjuk, maka mereka diangkat oleh parlemen.[25]

DAFTA PUSTAKA
Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara Pres
Website resmi Komisi Yudisial ang diakses dari : http://www.komisiyudisial.go.id/ pada bulan April 2017
UU No. 22 Tahun 2004 tantang Komisi Yudisial ang kemudian dirubah dengan UU No. 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial


[1] Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara Pres, hal. 185 (Perubahan UU Komisi Yudisial dipicu oleh adanya konflik antara KY dengan MA. Tahap konflik atau pertentangan antara KY dengan MA mulai terlihat ketika KY menangani pengaduan kasus sengkta Pilkada Depok Pertengahan 2005. Sepertinya MA merasa :dipermalukan” oleh KY sebagai lembaga baru terbentuk, sehingga rekomendasi tersebut dibiarkan saja dan MA tidak pernah membalas satu suratpun dari KY. Sikap MA kemudian Membuat KY melontarkan gagasan kocok ulang atau seleksi ulang seluruh hakim agung di MA pada awala 2006. Konflik tersebut berlanjut hingga awal 2006, 31 hakim agung mengajukan Judicial Review UU KY. Dan akhirnya, pada hari Rabu tanggal 23 Agustus 2006 MK telah memutuskan permohonan pengujian UU No. 22 Tahun 2004 tentang KY dan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap UUD Negara RI Tahun 1945)
[2] Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara Pres, hal. 186 (Rifqi S. Assegap, Urgensi....OP. Cit)
[3] Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara Pres, hal. 187 (Win Voerman, Komisi Yudisial....,OP. Cit)
[4] Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara Pres, hal. 187 (A. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial....Op. Cit, hal. 218-219)
[5] Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara Pres, hal. 188 (Lihat Wasingatu Zakiyah dkk. 2002. Meningkap Tabir Mafia Peradilan, Jakarta : ICW)
[6] Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara Pres, hal. 188 (Ibid, hal 101)
[7] Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara Pres, hal. 189 (Ibid, hal 211)
[8] Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara Pres, hal.189 ( Eko Sasmito dkk,2004. Buku Panduan Pemantauan Penyimpanagn Praktek Peradilan, Surabaya: YPSDI dan Kemitraan)
[9] Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara Pres, hal. 189-190 (Harian Kompas Tanggal 11 Januari 2006)
[10] Sekretariat Jenderal MPR, “Risalah Rapat ke-3 Panitia Ad Hoc BP MPR Tahun 1999” , Senin, 6 Desember 1999, Jakarta: Diterbitkan Sekjend MPR Tahun 2001.
[16] Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara Pres, hal. 190 (Hari Murti Kridalaksana, 1983. Kamus Sinonim Bahasa Indonesia, Jakarta: Nusa Indah Pres, hal. 89)
[17] Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara Pres, hal.  191 (Jimmly Asshiddiqie, 2002. “Pengaturan Konstitusi tantang indenpendensi Bank Central” makalah disampaikan dalam seminar BI bersama FH UNAIR, surabaya 21 Mei 2002.)
[18] Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara Pres, hal. 191 (Jimmly Asshiddiqie, Sengketa.....OP. Cit, 153-154)
[19] Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara Pres, hal. 192 (Tim Makamah Agung, 2003. Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang Tentang Komisi Yudisial, Jakarta: Mahkamah Agung)
[20] Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara Pres, hal. 192 (Bagir Manan, 2001. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta : Pusat Studi Hukum  FH UII Yogyakarta, hal. 69-70.)
[21]Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara Pres, hal. 195-196 ( Rifqi S. Assegap, 2002. “ Refleksi fit and proper test calon Hakim Agung, Ketua dan Wakil Ketua MA : Sebuah pengantar untuk buku Lelp, 2002. Andai Saya Terpilih, Janji-Janji Calon Katua dan Wakil Ketua MA, Jakarta : Lelp Bekerjasama The Asia Foundation dan USAID.)
[22] Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara Pres, hal.  198 (Mahkamah Agung, Naskah.....OP. Cit hal 52 – 53)
[23] Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara Pres, hal. 199-200 (Astriyani, 2005. “Good Governance untuk Komisi Yudisial” Artikel dalam jurnal Kajian Putusan Pengadilan Dictum No. 5 tahun 2005, Jakarta: LeIP, Hal. 72)
[24] Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara Pres, hal. 202 ( Tim MA, Naskah....Op. Cit, hal 104)
[25]Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara Pres, hal. 206 (Win Voermans, Komisi......Op. Cit)

No comments:

Post a Comment

  KETERKAITAN TEORI KEADILAN DENGAN PAJAK AIR TANAH Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pajak air tanah adalah pajak atas pengambila...