KOMISI YUDISIAL
Salah satu
langkah dan upaya penting dalam rangka mensinergikan reformasi peradilan
reformasi pradilan di indonesia adalah dngan pembentukan sebuah lembaga yang
bernama komisi yudisial melalui perubahaan ketiga UUD 1945 (Pasal 24 B) dan pengesahan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004, yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial.[1]
Pertanyaan
sekarang adalah mengapa negara ini mEmbutuhkan
sebuah komisi yudisial? Peran strategis apa yang bisa dilakukan oleh dalam
reformasi peradilan?
Jawaban atas
pertanyaan ini secara umum dapat kita lihat dalam konsideran menimbang (a dan
b) UU komisi Yudisial, yang menyatakan demikian:
a.
bahwa negara Kesatuan Republik Indonesia
adalah negara hukum yang menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menjalankan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan UUD RI
Tahun 1945
b.
bahwa komisi yudisial memiliki peranan
penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui
pencalonan hakim agung serta pengawasan terhadap hakim yang transparan dan
partisipatif guna menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga
perilaku hakim.
Pembentukan
Komisi yudisal merupakan konsekuensi logis yang muncul dari penyatuan atap
lembaga peradilan pada MA. Ternyata penyatuan atap berpotensi menimbulkan
manopoli kekuasaan kehakimanoleh MA. Disamping itu dikhawatirkan MA tidak akan
mampu melaksanakan kewnangan administratif, personel, keuangan dan organisasi
pengadilan yang selama ini dilakukan oleh departemen. Bahkan pandangan yang
cukup pesimis menyatakan bahwa MA tidak mungkin dapat menjalankan fungsi yang
diemban dalam penyatuan atap acara baik karena mengurus dirinya sendiri saja MA
tidak mampu.[2]
Pada tahun 1999,
Wim Voeeman[3],
ahli hukum dari Belanda melakukan penelitian terhadap lembaga semacam komisi
yudisial di beberapa negara Uni Eropa. Dalam salah satu kesimpulan penelitian
tersebut Voerman mengemukakan bahwa insentif yang penting untuk mendirikan
komisis yudisial di hampir semua negara yang diteliti adalah untuk memajukan
independensi peradilan.
Senada dengan
Voerman, Penelitian yang dilakukan oleh A.Ahsin Thohari[4] menyimpulkan
bahwa alasan-alasan utama sebagai penyebab munculnya gagasan komisi yudisial di
berbagai negara adalah : (a) lemahnya monitoring yang intensif terhadap
kekuasaan kehakiman, karena monitoring hanya dilakukan secara internal saja;
(b) tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah
dalam hal ini depertemen kehakiman dan kekuasaan kehakiman; (c) kekuasaan
kehakiaman dianggap tidak mempunyai efisiensi dan efektifitas yang memadai
dalam menjalankan tugasnya apabila masih disibukkan dengan persoalan-persoalan
teknis non-hukum; (d) rendahnya kualitas dan tidak adanya konsistensi putusan
lembaga peradilan, karena tidak diawasi secara intensif oleh lembaga yang
benar-benar independen; dan (e) pola rekruitmen hakim terlalu bias dengan
masalah politik karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah
lembaga-lembaga politik, yaitu presiden atau parlemen.
Di Indonesia
peran strategis yang dapat dilakukan oleh komisi yudisial sesuai denagn
ketentuan UUD 1945 beserta perubahan dan UU Nomor 22 tahun 2004 adalah : pertama, mengusulkan pengangkatan hakim
agung. Peran ini dilakukan untuk menghindari kentalnya kepentingan politk
eksekutif maupun legislatif dalam rekruitmen hakim agung.
kedua,
peran
lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilakuhakim. Hal ini dilakukan dengan pengawasan eksternal yang sistematis
dan intensif oleh lembaga independen terhadap lembaga peradilan dengan
partisispasi masyarakat yang seluas-luasnya.
Peran ini harus
segera diwujudkan dengan sebaik-baiknya oleh komisi yudisial karena cermin
hukum bagi pencari keadilan di negeri ini kian buram. Merebaknya kasus dugaan
suap yang melibatkan para hakim MA kian menyurutkan kepercayaan masyarakat pada
lembaga ini.
Menjalarnaya
pesimisme dan ketidakpercayaan publik terhadap institusi penegak hukum di
Indonesia ditengarahi sudah berlangsung lama, sebagaimana penulis uraikan
sebelumnya. Sinyalemen terjadinya permainan dan jual beli perkara oleh aparat
penegak hukum terjadi mulai pengadilan tingkat pertama hingga tingkat banding
di berbagai daerah. Merebaknya penyuapan terhadap hakim kian mengokohkan citra negatif pengadilan,
sekaligus menunjukkan betap susahnya mencari dan menemukan keadilan hukum yang
benar-benar bersih dan obyektif dalam sistem peradilan Indonesia.
Salah satu
penyebab turunnya kepercayaan masyarakat terhadap profsi hakim adalah adanya
korupsi di tubuh peradilan. Tuduhan adanya korupsi di pengadilan di mulai oleh
kalangan advokat dengan ungkapan "mafia peradilan". Tuduhan itu sudah
dilontarkan oleh PERADIN sejak tahu 1970-an. Mafia peradilan disini tidak
merujuk pada konspirasi para aparat keadilan untuk mempermainkan hukum demi
keuntungan pribadi.
Penelitian yang
dilakukan oleh Tim Indonesia Corporation Watch memberikan gambaran secara
gamblang bagaiman pola kerja/modus operandi para pelaku mafia peradilan.
Selanjutnya hasil penelitian tersebut juga mengungkapkan bahwa korupsi di
peradilan tidak hanya terjadi pengadilan tingkat pertama tapi korupsi juga
terjadi sampai pada puncak kekuasaan kehakiman yakni MA.[5]
Pola-pola
korupsi dalam pengadilan pidana sudah mulai
berlangsung pada tahap masuk perkara. Agar perkara mendapatkan nomor
perkara awal harus memberikan pelicin bagian regitrasi. Sementar pada tahap
putusan, putusan dapat dinegosiasi sehingga vonis dapat diatur melalui jaksa
tau haikm. Kalau melalui jaksa berarti sudah dalam paket, jaksa akan mengatur
semuanya melalui dari tuntutan hingga putusan.[6]
Sementara di MA
pola kerja Mafia peradilan sudah berlangsung pada tahapan pendaftaran perkara
samapa pada putusan. Pada tahap putusan berlangsung dalam bentuk Sekjend atau
asisten hakim agung menghubungi salah satu pihak yang bersengketa dan
menawarkan kepada mereka suatu putusan yang dapat memenangkan perkara mereka.
Putusan tersebut bisa dibuat sendiri oleh Sekjen atau asisten hakim agung. Bisa
juga sebenarnya pihak yang berperkara sudah memenangkan perkara akan tetapi
putusannya sudah diketahui oleh orang dalam MA mereka pura-pura menawarkan jasa
untuk memenangkan perkaranya.[7]
Penelitian yang
dilakukan oleh tim YPSDI di Jawa Timur[8] menunjukkan bahwa secara kualitaif terjadi
penyelewengan dan pelanggaran yang banyak dikeluhkan oleh pencari keadilan.
Penyelewengan mulai terjadi mulai dari instansi kepolisian (Polsek, Polres/ta,
Polwil, Polda), kejaksaan (negeri,tinggi), pengadilan (negeri,tinggi). Bentuk
pelanggaran yang dilakukan berupa penangkapan dan penahanan yang tidak sah,
penghentian penyelidikan dan penyidikan yang tidak prosedural serta proses
pembuatan berita acara pemeriksaan/penimpanagn KUHAP (di kepolisian). Di
Kejaksaan, pelanggaran dapat berupa penyidikan untuk kasus tertentu, penahana,
pembautan surat dakwaan, surat penghentian penuntutan dan penyitaan yang tidak
prosedural. Sedangkan di pengadilan, penyelewengan berupa putusan pengadilan
yang tidak fair, sangat tertutup dan
diwarnai permaian uang.
Terungkapnya
transaksi uang dalam dunia perdilan menunjukkan bahwa mafia peradilan yang
memperdagangkan hukum dan kewnangan adalah realitas yang tak perlu dibantahkan
lagi . Pada tanggal 9 Januari 2006 Harian kompas memberitahkan bahwa hakim
berinisial HA, seorang ketua mejelis hakim dalam kasus PT. Jamsostek di tangkap
penyidik Tim Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi Kejaksaan.[9]
Upaya Minimalis
terhadap berbagai bentuk penyalahgunaan kewenangan oleh hakim dan aparat peradilan merupakan salah satu alasan
mendasar dibentuknya komis yudisial. Hal ini dapat kita simak dalam pembahasan
terhadap perubahan UUD 1945 khusunya yang terkait dengan kekuasaan kehakiman.[10]
A. Sejarah
Pembentukan Komisi Yudisial[11]
Pembentukan lembaga pengawas
peradilan sebenarnya sempat digagas sebelum terbentuknya Komisi Yudisial.
Misalnya, ada wacana pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH)
dan Dewan Kehormatan Hakim (DKH).
MPPH yang telah diwacanakan sejak
tahun 1968, berfungsi memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir
mengenai saran-saran dan/atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan,
promosi, kepindahan, pemberhentian, dan tindakan/hukuman jabatan para hakim
yang diajukan, baik oleh Mahkamah Agung maupun oleh Menteri Kehakiman.
Sayangnya, ide tersebut menemui kegagalan sehingga tidak berhasil menjadi
materi muatan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Sementara Dewan Kehormatan Hakim
(DKH) yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 berwenang mengawasi
perilaku hakim, memberikan rekomendasi mengenai perekrutan, promosi, dan mutasi
hakim, serta menyusun kode etik (code of conduct) bagi para hakim.
Melalui Amandemen Ketiga Undang–Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 2001 disepakati tentang
pembentukan Komisi Yudisial. Ketentuan mengenai Komisi Yudisial diatur dalam
Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maksud
dasar yang menjadi semangat pembentukan Komisi Yudisial disandarkan pada
keprihatinan mendalam mengenai kondisi wajah peradilan yang muram dan keadilan
di Indonesia yang tak kunjung tegak.
Komisi Yudisial karenanya dibentuk
dengan dua kewenangan konstitutif, yaitu untuk mengusulkan pengangkatan hakim
agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Selanjutnya, dalam rangka
mengoperasionalkan keberadaan Komisi Yudisial, dibentuk Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang disahkan di Jakarta pada tanggal 13
Agustus 2004.
Meski pengesahan Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2004 pada 13 Agustus 2004, namun kiprah Komisi Yudisial dimulai sejak
terbentuknya organ organisasi pada 2 Agustus 2005. Ditandai dengan pengucapan
sumpah ketujuh Anggota Komisi Yudisial periode 2005-2010 di hadapan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono.
Periode tersebut dipimpin Dr. M.
Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum, dan Wakil Ketua M. Thahir Saimima, S.H., M.Hum.
Anggota yang lain adalah Prof. Dr. Mustafa Abdullah (Koordinator Bidang
Penilaian Prestasi Hakim dan Seleksi Hakim Agung), Zaenal Arifin, S.H.
(Koordinator Bidang Pelayanan Masyarakat), Soekotjo Soeparto, S.H., L.LM.
(Koordinator Bidang Hubungan Antar Lembaga), Prof. Dr. Chatamarrasjid Ais,
S.H., M.H. (Alm) (Koordinator Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM),
dan Irawady Jonoes, S.H. (Koordinator Bidang Pengawasan Keluhuran Martabat dan
Perilaku Hakim) yang tidak dapat menuntaskan hingga masa jabatan berakhir.
Dalam perjalanannya, lembaga yang
diberi amanat untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang
lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim ini tak luput dari peristiwa yang menyesakan dada.
Sebanyak 31 orang hakim agung
mengajukan permohonan uji materiil (judicial review) Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Yang akhirnya, melalui Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor: 005/PUU-IV/2006, beberapa kewenangan dalam pengawasan
hakim dan hakim MK tidak berlaku. Terkait hakim konstitusi, putusan tersebut
menjadi perdebatan panjang lantaran pemohon tidak pernah mengajukannya.
Pada 20 Desember 2010 masa jabatan
Anggota Komisi Yudisial Periode 2005 – 2010 berakhir dan digantikan oleh
Anggota Komisi Yudisial Periode 2010 – 2015. Ketujuh Anggota Komisi Yudisial
Periode 2010 – 2015 pada tanggal tersebut mengucapkan sumpah di hadapan
Presiden di Istana Negara dan secara resmi menjadi Anggota Komisi Yudisial.
Sehari setelahnya, 21 Desember 2010, dilaksanakan proses serah terima jabatan
Anggota Komisi Yudisial Periode 2005 – 2010 kepada Anggota Komisi Yudisial
Periode 2010 – 2015 di kantor Komisi Yudisial. Anggota Komisi Yudisial Periode
2010 – 2015, yaitu Prof. Dr. H. Eman Suparman, S.H., M.H, H. Dr. Imam Anshori
Saleh, S.H., M.Hum, Dr. Taufiqurrohman S, S.H., M.H, Dr. Suparman Marzuki,
S.H., M.Si, Dr. H. Abbas Said, S.H., M.H, Dr. Jaja Ahmad Jayus, S.H., M.Hum,
dan Dr. Ibrahim, S.H., M.H., LL.M. Proses suksesi keanggotaan ini dilanjutkan
dengan Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Komisi Yudisial, yang dipilih dari dan
oleh Anggota Komisi Yudisial, pada 30 Desember 2010. Hasilnya, Prof. Dr. H.
Eman Suparman, S.H., M.H terpilih sebagai Ketua dan H. Imam Anshori Saleh,
S.H., M.Hum terpilih sebagai Wakil Ketua.
Usaha untuk merevisi Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial mulai membuahkan hasil dengan
lahirnya Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang –
Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang disahkan pada 9
November 2011. Kelahiran Undang – Undang ini menandai kebangkitan kembali
Komisi Yudisial.
Selain itu, amunisi lain yang
menguatkan kewenangan Komisi Yudisial adalah Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum; Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1985 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang–Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial tersebut memberikan berbagai tugas dan wewenang baru bagi Komisi
Yudisial, antara lain : melakukan seleksi pengangkatan hakim adhoc di Mahkamah
Agung, melakukan upaya peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim, melakukan
langkah-langkah hukum dan langkah lain untuk menjaga kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim, melakukan penyadapan bekerja sama dengan aparat
penegak hukum, dan melakukan pemanggilan paksa terhadap saksi.
Disahkannya undang-undang tersebut
merupakan konkritisasi dari upaya memperkuat wewenang dan tugas Komisi Yudisial
sebagai lembaga negara independen yang menjalankan fungsi checks and
balances di bidang kekuasaan kehakiman dalam rangka mewujudkan kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Namun dalam perjalanan melaksanakan
wewenang dan tugas tersebut, Komisi Yudisial mendapatkan banyak dukungan dari
berbagai elemen masyarakat. Misalnya, saat para advokat dan/atau Pengacara
Publik pada LKBH Usahid Jakarta, ICW, ILR, LBH Jakarta, YLBHI, MTI, TIl,
Perludem, PUSaKO Universitas Andalas, dan KRHN, yang tergabung dalam Koalisi
Mayarakat Untuk Peradilan Profesional, yang beralamat di LKBH Usahid Jalan
Prof. Dr. Soepomo, SH., Nomor 84, Tebet, Jakarta Selatan melakukan judicial
review terkait mekanisme pengangkatan hakim agung.
Berdasarkan Pasal 18 ayat 4
Undang–Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor
22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, dalam jangka waktu paling lambat 15 hari
terhitung sejak berakhirnya seleksi berakhir, Komisi Yudisial berkewajiban
untuk menetapkan dan mengajukan 3 calon hakim agung kepada DPR dengan tembusan
disampaikan kepada Presiden.
Pemohon meminta agar mekanisme
pengangkatan hakim agung di bawah UU MA dan UU KY harus dikembalikan kepada
perintah konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27-PUU/XI/2013
mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya di mana Komisi Yudisial
menetapkan dan mengajukan 1 calon hakim agung kepada DPR untuk setiap 1
lowongan hakim agung dengan tembusan disampaikan kepada Presiden.
Berdasarkan Pasal 6 ayat (2)
Peraturan Komisi Yudisial Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemilihan
Pimpinan Komisi Yudisial, masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Komisi Yudisial
dijalankan selama 2 tahun 6 bulan dan dapat dipilih kembali untuk 2 tahun dan 6
bulan berikutnya. Prof. Dr. H. Eman Suparman, S.H., M.H. dan H. Imam Anshori
Saleh, S.H., M.Hum. mengakhiri masa kepemimpinannya sebagai Ketua dan Wakil
Ketua Komisi Yudisial periode Desember 2010 – Juni 2013 pada 30 Juni 2013.
Keduanya telah memimpin Komisi Yudisial selama 2,5 tahun sejak terpilih pada 30
Desember 2010 lalu.
Setelah diadakan pemilihan kembali
secara terbuka dan demokratis untuk menentukan Ketua dan Wakil Ketua Komisi
Yudisial periode Juli 2013 – Desember 2015, terpilihlah Dr. Suparman Marzuki
S.H., M.Si. sebagai Ketua Komisi Yudisial dan Dr. H. Abbas Said, S.H., M.H.
sebagai Wakil Ketua Komisi Yudisial. Setelah 2 tahun 6 bulan melaksanakan
tugas, Pimpinan dan Anggota KY Periode 2010-2015 ini mengakhiri masa tugasnya
pada 18 Desember 2015.
Lima Anggota Komisi Yudisial Periode
2015 – 2020, yaitu Drs. H. Maradaman Harahap, S.H., M.H., Dr. Sumartoyo, S.H.,
M.Hum., Dr. Joko Sasmito, S.H., M.H., Sukma Violetta, S.H., LL.M., dan Dr.
Farid Wajdi, S.H., M.Hum. mengucap sumpah terlebih dahulu di hadapan Presiden
Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta, pada Jumat, 18 Desember 2015. Kemudian
menyusul dua Anggota KY lainnya, yaitu Dr. Aidul Fitriciada Azhari, S.H., M.Hum
dan Dr. Jaja Ahmad Jayus, S.H., M.Hum mengucap sumpah di hadapam Presiden Joko
Widodo di Istana Negara, Jakarta, Jumat, 12 Februari 2016.
Lengkapnya susunan Anggota KY
tersebut dilanjutkan dengan pemilihan Ketua dan Wakil Ketua KY definitif yang
digelar pada Jumat, 26 Februari 2016, pukul 09.30 WIB di Gedung KY, Jalan
Kramat Raya No.57, Jakarta Pusat. Hasilnya, Dr. Aidul Fitriciada Azhari, S.H.,
M.Hum terpilih sebagai Ketua KY dan Sukma Violetta, S.H., LL.M. sebagai Wakil
Ketua KY Paruh Waktu I Periode 2015-2020.
Tujuan Komisi Yudisial[12]
- Mendapatkan calon Hakim Agung, Hakim Ad Hoc di MA dan hakim di seluruh badan peradilan sesuai kebutuhan dan standar kelayakan.
- Mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim.
- Peningkatan kepatuhan hakim terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
- Terwujudnya kepercayaan publik terhadap hakim.
- Meningkatkan kapasitas kelembagaan Komisi Yudisial yang bersih dan bebas KKN.
Visi dan Misi Komisi Yudisial [13]
Visi
Komisi Yudisial
“Terwujudnya Komisi Yudisial yang
bersih, transparan, partisipatif, akuntabel, dan kompeten dalam mewujudkan
hakim yang bersih, jujur dan profesional”.
Misi Komisi Yudisial
Misi Komisi Yudisial
- Menyiapkan dan merekrut calon Hakim Agung, Hakim Ad Hoc di Mahkamah Agung dan hakim yang bersih, jujur dan profesional.
- Menjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim secara efektif, transparan, partisipatif dan akuntabel.
- Menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim secara adil, objektif, transparan, partisipatif dan akuntabel.
- Meningkatkan kepercayaan publik terhadap hakim.
- Meningkatkan kapasitas kelembagaan Komisi Yudisial menjadi lembaga yang bersih, transparan, partisipatif, akuntabel dan kompeten.
Sasaran Strategis Komisi Yudisial[14]
- Tersedianya Hakim Agung, Hakim Ad Hoc di Mahkamah Agung dan hakim yang kompeten dan berintegritas.
- Terwujudnya peningkatan kompetensi hakim yang mengikuti pelatihan dan kesejahteraan hakim.
- Terwujudnya pengambilan langkah hukum/langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.
- Terwujudnya hakim yang berkomitmen untuk melaksanakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
- Meningkatnya kepercayaan publik terhadap hakim.
- Peningkatan kapasitas kelembagaan menjadi organisasi yang efektif dan efisien.
B.
Dasar
Hukum Dibentuknya Komisi Yudisial[15]
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 24A ayat (3): Calon hakim
agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk
mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh
Presiden.
Pasal 24B: (1) Komisi Yudisial
bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat,serta perilaku hakim. (2) Anggota Komisi Yudisial harus
mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas
dan kepribadian yang tidak tercela. (3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (4)
Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan
undang-undang.
- Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Hakim.
- Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
- Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
- Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
8. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi
Yudisial
C. Wewenang Tugas dan Keanggotaan
Komisi Yudisil
Komisi
yudisial dibentuk berdasarkan ketentuan pasal 24B UUD 145 dan UU No. 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial. Dibentuknyya komisi yudisial kian memperbanyak
jumlah institusi –institusi negara yang mandiri (state auxiliaris instutition) dalam struktur ketetanegaraan
indonesia.
Pasal
22 UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komis Yudisial menyatakan “Komisi Yudisial
merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan
wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya”
Dari
ketentuan tersebut maka komisi Yudisial merupakan lembaga ang mandiri (independence). Secara etimologis istilah
“mandiri” berarti menunjukkan kemanpuan berdiri sendiri, swapraja, swasembada.[16]
Tidak adanya campur tangan dari kekuasaan lain atau tidak bergantung suatu
pihak kepada pihak lainnya dalam literatur juga berarti “independen” dari
bahasa inggrisnya independence.
Menurut
Jimmly Asshiddiqie[17]
ada tiga pengertian indenpendensi, yaitu: (1) structutal indenpendence, yaitu indenpendensi kelembagaan dimana
struktur suatu organisasi yang dapat digambarkan dalam bagan yang sama sekali
terpisah dari organisasi lain; (2) fuctional
indenpendance, yaitu indenpendensi ang dilihat dari segi jaminan
pelaksanaan fungsi dan tidak ditekankan dari struktur kelembagaannya; dan (3) financial independence, yaitu dilihat
dari kemandiriannya menentukan sendiri anggaran yang dapat dijamin
kemandiriannya dalam menjalankan fungsi.
Kedudukan
komisi yudisial sangat penting. Secara struktural kedudukannya diposisikan
sederajat dengan MA dan MK, akan tetapi secara fungsional perananya bersifat
penunjang (auxiliary) terhadap lembaga kekuasaan kehakiman. Komisi yudisial,
meskipun kekuasaana terkait dengan kekuasaan kehakiam, tidak menjalankan fungsi
kekuasaan kehakiaman. Komisi ini bukanlah lembaga penegak norma hukum (code of law) melainkan lembaga penegak
norma etik (code of etik).[18]
Walaupun
komisi yudisial ditentukan sebagai lembaga yang independen tersebut tidak
berarti bahwa komisi yudisial tidak diharuskan bertanggung jawab oleh
undang-undang. Pasal 38 UU Komisi Yudisial :
(1) Komisi Yudisial bertanggung jawab kepada
publik melalui DPR.
(2) Pertanggungjawaban kepada publik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara:
a. menerbitkan laporan tahunan; dan
b. membuka akses informasi secara
lengkap dan akurat.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a paling sedikit memuat:
a. laporan penggunaans anggaran;
b. data yang berkaitan dengan
tugas mengusulkan pengangkatan hakim
agung kepada DPR; dan
c. data yang berkaitan dengan tugas
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim.
(4)
Laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a disampaikan pula kepada Presiden.
(5)
(5)Keuangan Komisi Yudisial
diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan menurut ketentuan Undang-Undang.
2.
Wewenag
dan Tugas Komisi Yudisial
Dalam
pasal 24 B UUD 1945 digunkan istilah "wewenang" untuk menunjukkan
fungsi yang harus dilakukan oleh komisi yudisial. Penggunaan istilah
"wewenang" menurut Tim Penyusun Naskah Akademis Rancangan
Undang-Undang Komisi Yudisial versi Mahkamah Agung[19]
kurang tepat karena kata wewenang biasanya diartikan sebagai hak-hak yang
dimiliki seseorang atau suatu badan
untuk menjalankan tugasnya. Sementara fungi komisi yudisial berati dalam rangka
apa komisi yudisial di bentuk dan tugas menunjukkan hal-ahal apa yang wajib
dilakukan oleh suatu lembaga guna mencapai fungsi yang diharapkan.
Dalam
UU Komisi Yudisial digunakan istilah wewenang dan tugas, tidak dijabarkan
tentang fungsi dari komisi yudisial. Ada pendapat yang mengatakan bahwa
wewenang (Bevoegdheid) mengandung penegertian tugas (Plichten) dan hak
(rechten). Menurut Bagir Manan[20]
wewenang mengandung makna kekuasaan (macht) yng ada pada orfan, sedangkan tugas
dan hak ada pada pejabat dari organ.
Pasal
13 UU No. 18 Tahun 2011 Tenatng Komisi Yudisial menyatakan :
a. mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan nhakim ad
hoc di Mahkamh Agung kepada DPR untuk mendapat persetujuan;
b. menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
c. menetapkan
Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung;
dan
d.
menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode
Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.
C.1.
Mengusulkaan Pengangkatan Hakim Agung kepada DPR
Untuk
memperoleh hakim ang mampu menyelesaikan tugas dengan baik dan menjaga
kehormatan profesi dengan baik dan menjaga kehormatan profesi dengan baik pula
maka tentu saja dibutuhkan sistem rekruitmen, seleksi dan pelatihan yang baik.
Odette Buitendam (Mantan Menteri Kehakiman Belanda) menyatakan bahwa “good
judge are not born but made”
Berbicara
tentang sistem seleksi dan rekruitmen hakim jika dikaitkan dengan sistem hukum
yang dianut oleh masing-masing negara maka secara umum paling tidak ada 2 model
besar. Di negara yang menganut sistem commo law, biasanya rekruitmen hakim
bersifat terbuka. Hakim di pengadilan tingkat pertama direkrut dari orang yang
pernah menempuh karir sebagai praktisi hukum, legislatif, eksekutif, akademisi
hukum atau kalangan hukum yang lain. Sebaliknya di negara yang menganut tradisi
civil law seperti Italia, Belanda dan Indonesia, rekruitmen hakim pada
pengadilan tingkat pertama diambil dari mahasiswa yang baru lulus dari fakultas
hukum.
Di
Indonesia, sejak kehadiran Komisi Yudisial khusus untuk rekruitmen Hakim Agung
lebih tepat dikatakan menganut sistem campuran karena calon hakim agung
disamping berasal dari hakim karir, akan tetapi juga berasal dari non hakim
seperti praktisi hukum, akademisi hukum dan lain-lain asal memenuhi syarat yang
ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.
Dalam
kaitan ini, Pasal 14 UU No. 22 Tahun 2004 menyatakan :
(1)
Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, Komisi
Yudisial mempunyai tugas:
a. melakukan
pendaftaran calon Hakim Agung;
b. melakukan
seleksi terhadap calon Hakim Agung;
c. menetapkan
calon Hakim Agung; dan
d. mengajukan
calon Hakim Agung ke DPR.
(2) Dalam hal berakhir masa jabatan Hakim Agung,
Mahkamah Agung menyampaikan
kepada Komisi Yudisial
daftar nama Hakim Agung yang bersangkutan, dalam jangka waktu paling lambat 6
(enam) bulan sebelum berakhirnya jabatan tersebut.
(3) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan, sejak Komisi
Yudisial menerima pemberitahuan dari Mahkamah Agung mengenai lowongan Hakim
Agung.
Selanjutnaya Pasal 16 UU No. 22
Tahun2004 menyebutkan :
(1)
Pengajuan calon Hakim Agung kepada Komisi Yudisial harus memperhatikan
persyaratan untuk dapat diangkat sebagai Hakim Agung sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
(2) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), pengajuan calon hakim agung harus memenuhi persyaratan administrasi
dengan menyerahkan sekurang-kurangnya:
a.
daftar riwayat hidup, termasuk riwayat
pekerjaan;
b.
ijazah asli atau yang telah
dilegalisasi;
c.
surat keterangan sehat jasmani dan
rohani dari dokter rumah sakit pemerintah;
d.
daftar harta kekayaan serta sumber
penghasilan calon; dan
e.
Nomor Pokok Wajib Pajak.
Kemudian
Pasal 18 Mengatur :
(1)
Komisi Yudisial menyelenggarakan seleksi terhadap kualitas dan
kepribadian calon Hakim Agung yang telah memenuhi persyaratan administrasi
berdasarkan standar yang telah ditetapkan.
(2)
Komisi Yudisial mewajibkan calon Hakim Agung menyusun karya ilmiah dengan
topik yang telah ditentukan.
(3) Karya ilmiah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) sudah diterima Komisi Yudisial, dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh)
hari sebelum seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan.
(4) Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan secara terbuka dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari.
(5)
Dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak seleksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir, Komisi Yudisial menetapkan dan
mengajukan 3 (tiga) orang nama calon Hakim Agung kepada DPR untuk setiap 1
(satu) lowongan Hakim Agung, dengan tembusan disampaikan kepada Presiden.
Sebelum
kelahiran Komisi Yudisial sistem seleksi dan rekruitmen hakim agung didasarkan
pada pasal 8 ayat (1) UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dimana kewenangan untuk memilih hakim agung
berada di tangan Presiden berdasarkan nama yang diajukan oleh DPR. Dalam mengusulkan
nama calon ke Presiden, DPR wajib mendengarkan pendapat MA dan pemerintah.
Proses rekruitmen
hakim yang dilaksanakan pada masa orde baru berdasarkan UU No. 4 Tahun 1985
memperlihatkan beberapa kelemahan, antara lain : (1) tidak ada parameter yang
obyektif untuk mengukur kualitas dan integritas hakim calon hakim agung; (2)
adanya indikasi praktek dropping
nama, dimana hakim agung akan memberikan usulan nama kepada MA dengan harapan
ketua MA akan memberikan perhatian pada si kandidat dan memasukkan namanya
dalam daftar, dan (3) adanya indikasi jaringan, pertemanan, hubungan keluarga
dan sebagainya ang menyebabkan pemilihan tidak dilakukan secara obyektif.
Pada era pasca
tumbangna Orde Baru, seleksi dan rekruitmen hakim agung yang sebelumnya
didominasi oleh pemerintah (Depkeh) dan MA digeser oleh dominasi peran DPR
dengan menggunakan mekanisme “fit and
proper test”.
Walaupun sudah
dilakukan melalui mekanisme “fit and
proper test” oleh DPR ternyata juga menyimpan bayak kelemahan mendasar.
Berdasarkan pantau yang dilakukan oleh Lelp dan Koalisi NGO (ORNOP) mencatat
beberapa distrorsi:[21]dalam
proses rekruitmen hakim agung
1.
Kurang Tranparan dan Akuntabel. Dalam
proses rekruitmen hakim agung terutama pada tahap klarifikasi dilakukan secara
tertutup. Pada awalnya ada 84 bakal calon yang diusulkan oleh pemerintah dan
masyarakat. Setelah melalui tahap klarifikasi jumlah bakal calon tinggal 46
orang. Tidak ada penjelaan secara resmi yang terbuka dan jelas mengapa bakal
calon lainnya ang berjumlah 38 orang tidak lolos dalam tahap klarifikasi;
2.
Permainan Uang dan Politik Dagang Sapi.
Proses fit and proper test tidak terlepasdari praktek
permainan uang dan politik dagang sapi. Ada dugaan bahwa bakal calon hakim
agung, ketua dan wakil ketua MA yang memberikan sejumlah uang satu atau lebih
anggota DPR gunamemuluskan pemilihanna. Bahkan kabarnya, dana tersebut juga
berasal dari “bantuan” pihak-pihak ang memiliki kepentingan kepada MA, termasuk
Konglomerat.
3.
Kurang Maksimalnya Pelibatan Masyarakat.
Dengan dukungan pers yang bebas plus beberapa anggota DPR masyarakat dapat
memperoleh informasi tentang proses fit
and proper test dan masyarakat cukup aktif memberikan pengaduan kepada DPR
mengenai track record bakal calon.
Hana sayangnya tidak ada satupun laporan masyarakat yang ditelusuri dan
diklarifikasi lebih jauh oleh anggota DPR kepada pelapor atau pihak-pihak lain
ang berkompeten;
4.
Parameter Kurang Obyektif. Parameter
penilaian tidak diuji terlebih dahulu oleh DPR agar lebih obyektif;
5.
Kompetensi yang Lemah. Utuk dapat
menguji dengan baik dibutuhkan anggota-anggota DPR nag menguasai permasalahan
yang akan diuji,kritis serta telah melakukan persiapan-persiapan ang
dibutuhkan. Permasalahannya sebagian anggota DPR yang melakukan pengujian
tersebut tidak memenuhi hal-hal diatas.
6.
Bahkan the right man on the right place. Dalam fit and proper test yang lalu pertimbangan pemahaman hukum bakal
calon hakim agung tidak dihubungkan kebutuhan rill MA. Akhirnya jumlah hakim
ang menguasai bidang tata usaha negara dan jidicial review 7 (tujuh) orang, jauh
melebihi rata-rata jumlah perkara TUN dan hak uji materiil ke MA tiap tahunnya.
7.
Kekosongan yang Lama. Pada pemilihan
hakim agung yang lalu, terjadi gap antara kekosongan jabatan hakim agung dengan
pengisian yang lambat.
8.
Kurang Menghargai Bakal Calon. Ada
anggota DPR yang proses seleksi yang kasar dan bertanya sambil mengebrak meja
kepada bakal calon hanya karena bakal calon pernah menghukum rekan separtaina.
9.
Partai walkout dan abstain serta
Presiden yang menolak memilih. Fenomena yang terjadi pada tahun 2000 yang lalu
adalah adanya partai ang walkout dan abstain dalam pengesahan calon di DPR
serta Presiden tidak mau memilih salah satu calon yang diusulkan DPR sampai
sekitar 5 bulan. Yang terakhir ini menyebabkan kekosongan kursi ketua MA
menjadi semakin lama dan mengganggu kinerja lembaga tersebut.
Untuk menutupi
beberapa kelemahan sistem seleksi dan rekruitmen hakim agung yang berlangsung
selama ini, maka diakomodasinya keberadaan komisi yudisial dalam pasal 24B UUD
1945 dan UU No. 22 tahun 2004 dianggap tepat.
Pasal 17 ayat
(3) UU No. 22 tahun 2004 menegaskan bahwa dalam melaksanakan seleksi dan
rekruitmen calon hakim agung yang oleh komisi yudisial “Masyarakat berhak
memberikan informasi atau pendapat terhadap calon Hakim Agung dalam jangka
waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak pengumuman sebagaimana dimaksud pada
ayat (2). Selanjutnya ayat (4) Komisi Yudisial melakukan penelitian atas
informasi atau pendapat masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam
jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak pemberian
informasi atau pendapat berakhir.
Kemudian pasal 18
mengatur :
(1)
Komisi Yudisial menyelenggarakan seleksi
terhadap kualitas dan kepribadian calon Hakim Agung yang telah memenuhi
persyaratan administrasi berdasarkan standar yang telah ditetapkan.
(2)
Komisi Yudisial mewajibkan calon Hakim
Agung menyusun karya ilmiah dengan topik yang telah ditentukan.
(3)
Karya ilmiah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) sudah diterima Komisi Yudisial, dalam jangka waktu paling lama 10
(sepuluh) hari sebelum seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan.
(4)
Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan secara terbukadalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh)
hari.
(5)
Dalam jangka waktu paling lambat 15
(lima belas) hari terhitung sejakseleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
berakhir, Komisi Yudisial menetapkan dan mengajukan 3 (tiga) orang nama calon
Hakim Agung kepada DPR untuk setiap 1 (satu) lowongan Hakim Agung, dengan
tembusan disampaikan kepada Presiden.
Tahap
selanjutnya darp proses rekruitmen hakimagung adalah DPR memilih hakim agung
berdasarkan daftar nama ang diajukan Komisi Yudisial bersifat mengikat, artinya
DPR wajib dan hanya dapat memilih bakal calon diantara daftar nama yang
diajukan oleh Komisi Yudisial.
Selanjutnya
pasal 19 UU No. 22 Tahun 2004 menyatakan :
(1) DPR
telah menetapkan calon Hakim Agung untuk diajukan kepada Presiden dalam jangka
waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterima nama calon sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5).
(2) Keputusan
Presiden mengenai pengangkatan Hakim Agung ditetapkan dalam jangka waktu paling
lama 14 (empat belas) hari sejak Presiden menerima nama calon yang diajukan
DPR.
(3) Dalam
hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampaui tanpa ada
penetapan, Presiden berwenang mengangkat Hakim Agung dari calon yang diajukan
Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5).
C.2.
Pengawasan Dalam Rangka Menegakkan Kehormatan Dan Keluhuran serta Menjaga
Perilaku Hakim
Dalam catatan
MA, paling tidak ada 6 (enam) kelemahan pengawasan intern ang dilakukan oleh MA
selama ini, yakni : pertama,
kurangnya transparansi dan akuntabilita. Hal ini dapat disimpulkan dari tidak
adanya mekanisme yang memberikan hak bagi pelapor untuk mengetahui laporan
kemajuan terhadap laporan yang mereka masukkan; kedua, adanya dugaan semangat membela korps. Keengganan korps hakim
untuk mengangkat kasus-kasus menimpa anggotanya, secara tidak langsung telah
menyuburkan praktek-praktek tidak baik peradilan.
Ketiga,
kurang lengkapnya metode pengawasan dan tidak dijalankan metode pengawasan yang
ada secara efektif; keempat, kelemahan
sumber daya manusia. Penentuan seseorang menjadi pengawas tidak jelas. Di MA,
seluruh ketua muda dan hakim agung otomatis menjadi pengawas. Hal yang sama
terjadi dalam pemilihan hakim tinggi yang membantu pengawasan. Selain itu,
mayoritas pengawas tidak bekerja secara penuh karena memnag tugas utama hakim
agung adalah memutus perkara.
Kelima,
pelaksanaan
pengawasan yang selama ini berjalan kurang melibatkan partisipasi masyarakat;
dan keenam, rumitnya birokrasi yang
harus dilalui untuk melaporkan/mengadukan perilaku hakim yang menimpang.[22]
Pengawasan ekstern
terhadap perilaku hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial diharapkan dapt
menutupi kelemahan-kelemahan pengawasan intern ang dilakukan oleh MA. Pasal 22
UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial menyatakan :
(1) Dalam
melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Komisi Yudisial:
a. menerima
laporan masyarakat tentang perilaku hakim;
b. meminta
laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim;
c. melakukan
pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim;
d. memanggil
dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku
hakim; dan
e. membuat
laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada
Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan
kepada Presiden dan DPR.
(2) Dalam
melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial
wajib:
a. menaati
norma, hukum, dan ketentuan peraturan perundangundangan; dan
b. menjaga
kerahasiaan keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia Komisi Yudisial
yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota.
(3) Pelaksanaan
tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim
dalam memeriksa dan memutus perkara.
(4) Badan
peradilan dan hakim wajib memberikan keterangan atau data yang diminta Komisi
Yudisial dalam rangka pengawasan terhadap perilaku hakim dalam jangka waktu
paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan Komisi
Yudisial diterima.
(5) Dalam
hal badan peradilan atau hakim tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi wajib memberikan
penetapan berupa paksaan kepada badan peradilan atau hakim untuk memberikan
keterangan atau data yang diminta.
(6) Dalam
hal badan peradilan atau hakim telah diberikan peringatan atau paksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tetap tidak melaksanakan kewajibannya,
pimpinan badan peradilan atau hakim yang bersangkutan dikenakan sanksi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
(7) Semua
keterangan dan data sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat rahasia.
(8) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur oleh Komisi Yudisial.
Berdasarkan
ketentuan pasal 22 diatas maka Komisi
Yudisial dalam melakukan pengawasan perilaku hakim dilakukan berdasarkan
laporan berkala ang diberikan oleh badan peradilan berdasarkan permintaan
Komisi Yudisial.
Laporan masyarakat
mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh hakim memiliki peran yang
sangat penting, karena kerapkali masyarakatlah yang berinteraksi langsung
ddengan hakim ketika berperkara di pengadilan. Selain laporan masyarakat ang
disampaikan secara langsung, Komisi Yudisial juga dapat memperoleh informasi
dari mengenai dugaan pelanggara perilaku hakim dari surat kabar atau media
masa.
Media masa harus
dianggap sebgai bagian atau wakil masyarakat, sehingga pemberitaan media massa
tentang penyimpangan perilaku hakim juga harus ditindaklanjuti dengan cara yang
sama seperti halna bila komisi yudisial mendapat dugaan pelanggaran perilaku
yang berasal dari masyarakat.
Komisi yudisial
sebaiknya mewujudkan transparansi dan akuntabilitas dalam melaksanakan tugas
pengawasan terhadap perilaku hakim dengan beberapa langkah berikut : (1)
pemberitahuan kepada para pihak dan
perlindungan kerahasian indentitas pelapor. Hendaknya komisi yudisial menginformasikan
kepada pelapor, apakah laporan penyimpangan perilaku oleh hakim ditindak
lanjuti atau tidak dan hendaknya identitas diri pelapor harus betul-betul
dijaga kerahasiannya agar masyarakat atau pihak manapun tidak enggan
melaporkannya penyimpangan perilaku oleh hakim; (2) akses informasi. Komisi
yudisial perlu membuka informasi kepada pihak yang tidak berkepentingan secara
langsung, karena masyarakat secara luas juga memiliki hak atas proses dan hasil
pengawasan ang dilakukan oleh komisi yudisial. Hana saja perluh dipilah dan
dipilih informasi yang diakses oleh publik dan mana yang bersifat rahasia; (3)
penerbitan laporan tahunan. Disamping komisi yudisial menyampaikan laporan dan
pertanggungjawaban kepada pihak-pihak yang berkepentingan secara langsung,
dipandang perlu juga menerbitkan laporan yang disampaikan kepada masyarakat
sebagai pertanggungjawaban kepada publik.[23]
Selanjutnya babakan
akhir dari hasil pengawasan yang dilakukan oleh komisi yudisial terhadap
pelanggaran perilaku berujung pada rekomendasi kepada Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi. Pasal 23D UU Komisi Yudisial menegaskan :
(1) Dalam
hal dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilak Hakim dinyatakan
terbukti sbagimana dimaksud dalam pasal 22C huruf a, Komisi Yudisial
mengusulkan penjatuhan sanksi terhadap hakim yang diduga melakukan pelanggaran
kepada Mahkamah Agung
(2) Sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :
a. Sanksi
ringan terdiri atas :
1) tegran
lisan;
2) teguran
tertulis; dan
3) pernyataan
tidak puas secara tertulis.
b. Sanksi
sedang terdiri atas :
1) penundaan
kenaikan gaji berkala paling lama 1 (satu) tahun;
2) penurunan
gaji sebesar 1(satu) kali kenaikan gaji berkala paling lama 1 (satu) tahun;
3) penundaan
kenaikan pangkat palin lama 1 (satu) tahun; atau
4) hakim
nonpalu paling lama 6 (enam) bulan.
c. Sanksi
berat terdiri atas :
1) pembebasan
dari jabatan struktural;
2) hakim
nonpalu lebih dari 6 (enam) bulan sampai dengan 2 (dua) tahun.
3) pemberhentian
sementara;
4) pemberhentian
tetap dengan hak pensiun; atau
5) pembertian
tetap dengan tidak hormat.
(3) Mahkamah
Agung menjatuhkan sanksi terhadap Hakim yang melakukan pelanggaran Kode Etik
dan/atau Pedoma Perilaku Hakim ang diusulkan oleh Komisi Yudisial dalam
waktupaling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal usulan diterima.
E.
Keanggotaan Komisi Yudisial
Perubahan ketiga UU
1945 tidak mengatur menegenai komposisi Anggota Komisi Yudisial. Pasal 24 B UUD
1945 hanya mengatur persyaratan bahwa anggota Komisi Yudisial harus mempunyai
pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki pengetahuan dan pengalaman
di bidang hukum serta memilki integritas dan kepribadian tidak tercela.
Lebih lanjut pengaturan
tentang persyaratan untuk menjadi anggota Komisi Yudisial ditentukan dalam
pasal 26 UU N0. 18 tahun 2011 yang menyatakan bahwa persyaratan untuk
Untuk dapat diangkat menjadi anggota
Komisi Yudisial, seorang calon harus memenuhi syarat:
a. warga
negara Indonesia;
b. bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia
pada Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Undang-Undang Dasar
NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945;
d. berusia
paling rendah 45 (empat puluh lima) tahun dan paling tinggi 68 (enam puluh
delapan) tahun pada saat proses pemilihan;
e. berijazah
sarjana hukum atau sarjana lain yang relevan dan/atau mempunyai pengalaman
dibidang hukum paling singkat 15 (lima belas)tahun;
f. berkomitmen
untuk memperbaiki sistem peradilan di Indonesia;
g. memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela;
h. memiliki
kemampuan jasmani dan rohani;
i.
tidak pernah dijatuhi pidana karena
melakukan tindak pidana kejahatan; dan
j.
melaporkan harta kekayaan.
Pengaturan mengenai
pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial merupakan hal penting
setidaknya karena anggota komisi yudisial merupakan hal peting setidaknya
karena 2 (dua) alasan, Pertama, Komisi
Yudisial memiliki fungsi ang membutuhkan kulaitas anggota ang baik, terutama
integritas yang kokoh. Karen untuk dapat melakukan pengawasan dan rekruitmen
hakim agung dengan baik maka anggota Komisi udisial harus mempunyai kualitas
dan integritas yang tidak meragukan.
Kedua,
Konsitusi
menyatakan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri. Agar dapat mandiri
setidaknya pihak yang memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan
adalah pihak yang dapat menjamin kemandirian tersebut, persyaratan dan
pemberhentian diatur secar ketat dan mekanisme untuk mengangkat serta
memberhentikanya dilakukan dengan memenuhi prinsip transparansi, partisipasi
dan akuntabilitas dan sebagainya.[24]
Persoalan siapa yang
memiliki kewenangan untuk mengangkat anggota Komis Yudisial telah diatur secara
tegas dalam Pasal 24 B ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945, yang menyatakan
bahwa anggota Komis Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas
persetujuan DDPR.
Pasal 27 UU No. 22
Tahun 2004 selanjutkan menyatakan :
(1)
Anggota
Komisi Yudisial diangkat oleh Presiden dengan persetujuan DPR.
(2)
Persetujuan
DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada Presiden dalam
jangka waktu paling lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak menerima pencalonan
Anggota Komisi Yudisial yang diajukan
Presiden.
(3)
Presiden
menetapkan keputusan mengenai pengangkatan Anggota KomisiYudisial, dalam jangka
waktu paling lama 15 (lima belas) hari sejak menerima persetujuan DPR
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Tahap yang harus
dilalui dalam melakukan rekruitmenanggota Komisi Yudisial ditentukan dalam
pasal 28 UU Komisi Yudisial :
(1) Sebelum
mengajukan calon Anggota Komisi Yudisial kepada DPR, Presiden membentuk Panitia Seleksi Pemilihan
Anggota Komisi Yudisial.
(2) Panitia
Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur pemerintah,
praktisi hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat.
(3) Panitia
Seleksi mempunyai tugas:
a. mengumumkan
pendaftaran penerimaan calon Anggota Komisi Yudisial dalam jangka waktu 15
(lima belas) hari;
b. melakukan
pendaftaran dan seleksi administrasi serta seleksi kualitas dan integritas
calon Anggota Komisi Yudisial dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari terhitung
sejak pengumuman pendaftaran berakhir;
c. menentukan
dan menyampaikan calon Anggota Komisi Yudisial sebanyak 14 (empat belas) calon,
dengan memperhatikan komposisi Anggota Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (3) dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari.
(4) Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Panitia Seleksi bekerja
secara transparan dengan mengikutsertakan pastisipasi masyarakat.
(5) Dalam
waktu paling lambat 15 (lima belas) hari sejak menerima nama calon dari Panitia Seleksi, Presiden mengajukan 14 (empat belas) nama calon
Anggota Komisi Yudisial sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf c kepada DPR.
(6) DPR
wajib memilih dan menetapkan 7 (tujuh) calon anggota dalam waktu paling lambat
30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima usul dari Presiden.
(7) Calon
terpilih disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden paling lambat 15 (lima
belas) hari terhitung sejak tanggal berakhirnya pemilihan untuk disahkan oleh
Presiden.
(8) Presiden
wajib menetapkan calon terpilih paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung
sejak tanggal diterimanya surat Pimpinan DPR.
Masa jabatan untuk
anggota Komisi Yudisial ditentukan selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat
dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Ketentuan tentang masa
jabatan ini cukup realistis untuk melaksanakantugas yang dibebankan. Masa
jabatan yang tidak terlalu lama merupakan upaya untuk meminimalisir potensi
penyalahgunaan kewenangan. Di sejumlah negara masa jabatan anggota komisi
yudisial cukupberagam walaupun secara umum tidak lebih dari lima tahun.
Misalnya Komisi Yudisial California, Prancis, Denmark, dan Italia menerapkan
asa jabatan 4 tahun sementara Spanyol menetapkan masa jabatan 5 tahun.
Dalam UU No. 22 tahun
2001 Pasal 31 menyatakan, Anggota Komisi Yudisial dilarang merangkap menjadi :
a.
pejabat
negara atau penyelenggara negara menurut peraturan perundang-undangan;
b.
hakim;
c.
advokat;
d.
notaris
dan/atau Pejabat Pembuat Akta Tanah;
e.
pengusaha,
pengurus atau karyawan badan usaha milik negara atau badan usaha
f.
swasta;
g.
pegawai
negeri; atau
h.
pengurus
partai politik.
Pasal 32 menyebutkan : Ketua, Wakil
Ketua, dan Anggota Komisi Yudisial diberhentikan dengan hormat dari jabatannya
oleh Presiden atas usul Komisi Yudisial apabila :
a.
meninggal
dunia;
b.
permintaan
sendiri;
c.
sakit
jasmani atau rohani terus menerus; atau
d.
berakhir
masa jabatannya.
Pasal 33 ayat (1) menyebutkan :
Ketua, Wakil Ketua, Anggota Komisi Yudi sial diberhentikan tidak dengan hormat
dari jabatannya oleh Presiden dengan persetujuan DPR, atas usul Komisi Yudisial
dengan alasan:
a.
melanggar
sumpah jabatan;
b.
dijatuhi
pidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan
c.
berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
d.
melakukan
perbuatan tercela;
e.
terus
menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya; atau
f.
melanggar
larangan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31.
Pengusulan
pemberhentian tidak dengan hormat dengan alsan sebagaimana dimaksud pada pasal
33 ayat (1) huruf c dan b dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan
secukupnya untuk membela diri di hadapan Dewan Kehormatan Komisi Yudisial.
Ketua, Wakil Ketua, dan
Anggota Komisi Yudisial sebelum diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana
dimaksud dalam pasal 33 ayat (1) dapat diberhentikan sementara dari jabatannya
oleh Presiden, atas usul Komisi Yudisial yang didasarkan Pada Pasal 35
menyatakan :
(1) Apabila
terhadap seorang Anggota Komisi Yudisial ada perintah penangkapan yang diikuti
dengan penahanan, Anggota Komisi Yudisial tersebut diberhentikan sementara dari
jabatannya.
(2) Apabila
seorang Anggota Komisi Yudisial dituntut di muka pengadilan dalam perkara
pidana tanpa ditahan sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana, yang
bersangkutan dapat diberhentikan sementara dari jabatannya.
Di beberapa negara lain
pengangkatan dan pemberhentian anggota komisis yudisial tergantung pada sistem
keanggotaan ang digunakan. Di Prancis misalna anggota komisi yudisial terdiri
dari anggota yang ex-officio dan anggota yang diangkat. Untuk maka anggota ang
ex-officio seperti presiden dan menteri kehakiman maka pengangkatan dan
pemberhentian berlaku ketentuan sebagaimana seorang Presiden diangkat dan
diberhentikan. Sementara untuk anggota yang ditunjuk/misalnya dari organisasi
hakim/jaksa dan conseil d’etat, maka
mereka diangkat oleh kepala negara. Hal yang sama juga diperlihatkan oleh
Italia dimana untuk ex-officio seperti
presiden dan ketua pengadilan mereka diangkatdan diberhentikan sesuai dengan
sistem yang ada. Sementara untuk anggota yang diangkat/ditunjuk, maka mereka
diangkat oleh parlemen.[25]
DAFTA
PUSTAKA
Sirajuddin dan Winardi, 2015. “
Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara Pres
Website resmi Komisi Yudisial ang
diakses dari : http://www.komisiyudisial.go.id/
pada bulan April 2017
UU No. 22 Tahun 2004 tantang Komisi
Yudisial ang kemudian dirubah dengan UU No. 18 Tahun 2011 tentang Komisi
Yudisial
[1]
Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara
Pres, hal. 185 (Perubahan UU Komisi Yudisial dipicu oleh adanya konflik antara
KY dengan MA. Tahap konflik atau pertentangan antara KY dengan MA mulai
terlihat ketika KY menangani pengaduan kasus sengkta Pilkada Depok Pertengahan
2005. Sepertinya MA merasa :dipermalukan” oleh KY sebagai lembaga baru
terbentuk, sehingga rekomendasi tersebut dibiarkan saja dan MA tidak pernah
membalas satu suratpun dari KY. Sikap MA kemudian Membuat KY melontarkan
gagasan kocok ulang atau seleksi ulang seluruh hakim agung di MA pada awala
2006. Konflik tersebut berlanjut hingga awal 2006, 31 hakim agung mengajukan
Judicial Review UU KY. Dan akhirnya, pada hari Rabu tanggal 23 Agustus 2006 MK
telah memutuskan permohonan pengujian UU No. 22 Tahun 2004 tentang KY dan UU
No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap UUD Negara RI Tahun 1945)
[2]
Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara
Pres, hal. 186 (Rifqi S. Assegap, Urgensi....OP. Cit)
[3]
Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara
Pres, hal. 187 (Win Voerman, Komisi Yudisial....,OP. Cit)
[4]
Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara
Pres, hal. 187 (A. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial....Op. Cit, hal. 218-219)
[5]
Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara
Pres, hal. 188 (Lihat Wasingatu Zakiyah dkk. 2002. Meningkap Tabir Mafia
Peradilan, Jakarta : ICW)
[6]
Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara
Pres, hal. 188 (Ibid, hal 101)
[7]
Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara
Pres, hal. 189 (Ibid, hal 211)
[8]
Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara
Pres, hal.189 ( Eko Sasmito dkk,2004. Buku Panduan Pemantauan Penyimpanagn
Praktek Peradilan, Surabaya: YPSDI dan Kemitraan)
[9]
Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara
Pres, hal. 189-190 (Harian Kompas Tanggal 11 Januari 2006)
[10]
Sekretariat Jenderal MPR, “Risalah Rapat ke-3 Panitia Ad Hoc BP MPR Tahun 1999”
, Senin, 6 Desember 1999, Jakarta: Diterbitkan Sekjend MPR Tahun 2001.
[11]
http://komisiyudisial.go.id/statis-14-sejarah-pembentukan.html
diakses pada bulan April 2017
[12]
http://komisiyudisial.go.id/statis-22-tujuan-ky.html
diakses pada bulan April 2017
[13]
http://komisiyudisial.go.id/statis-16-visi-misi.html
diakses pada bulan April 2017
[14]
http://komisiyudisial.go.id/statis-23-sasaran-strategis-ky.html
diakses pada bulan April 2017
[15]
http://www.komisiyudisial.go.id/statis-24-dasar-hukum.html
diakses pada bulan April 2017
[16]
Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara
Pres, hal. 190 (Hari Murti Kridalaksana, 1983. Kamus Sinonim Bahasa Indonesia,
Jakarta: Nusa Indah Pres, hal. 89)
[17]
Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara
Pres, hal. 191 (Jimmly Asshiddiqie,
2002. “Pengaturan Konstitusi tantang indenpendensi Bank Central” makalah
disampaikan dalam seminar BI bersama FH UNAIR, surabaya 21 Mei 2002.)
[18]
Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara
Pres, hal. 191 (Jimmly Asshiddiqie, Sengketa.....OP. Cit, 153-154)
[19]
Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara
Pres, hal. 192 (Tim Makamah Agung, 2003. Naskah Akademis dan Rancangan
Undang-Undang Tentang Komisi Yudisial, Jakarta: Mahkamah Agung)
[20]
Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara
Pres, hal. 192 (Bagir Manan, 2001. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta
: Pusat Studi Hukum FH UII Yogyakarta,
hal. 69-70.)
[21]Sirajuddin
dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara Pres, hal. 195-196
( Rifqi S. Assegap, 2002. “ Refleksi fit and proper test calon Hakim Agung,
Ketua dan Wakil Ketua MA : Sebuah pengantar untuk buku Lelp, 2002. Andai Saya
Terpilih, Janji-Janji Calon Katua dan Wakil Ketua MA, Jakarta : Lelp
Bekerjasama The Asia Foundation dan USAID.)
[22]
Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara
Pres, hal. 198 (Mahkamah Agung,
Naskah.....OP. Cit hal 52 – 53)
[23]
Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara
Pres, hal. 199-200 (Astriyani, 2005. “Good Governance untuk Komisi Yudisial”
Artikel dalam jurnal Kajian Putusan Pengadilan Dictum No. 5 tahun 2005,
Jakarta: LeIP, Hal. 72)
[24]
Sirajuddin dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara
Pres, hal. 202 ( Tim MA, Naskah....Op. Cit, hal 104)
[25]Sirajuddin
dan Winardi, 2015. “ Dasar-Dasar Hukum Tata Negara” malang : Setara Pres, hal. 206
(Win Voermans, Komisi......Op. Cit)
No comments:
Post a Comment